Selasa, 09 Agustus 2011

Penggunaan Sayyidina dalam Tasyahud Shalat


Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut ulama al-Syafi`iyah.[1] Adapun lafaz shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW adalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
 (H.R. Bukhari [2]  dan Ahmad [3])

Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan :
Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.”[4]

Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya.[5] Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan :
 Berkata pengarang  kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.”[6]

Pendapat yang senada ini juga dapat dilihat dalam Hasyiah Rad al-Mukhtar, karangan Ibnu Abidin, juga dari kalangan Hanafiah.[7]
Dalil-dalil fatwa ini, antara lain :
1.      Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
 “Pengucapan “sayyidina” merupakan sikap sopan santun.”[8]
Pendapat ini didasarkan pada Sabda Rasulullah SAW:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
Artinya : Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa’at.” (Shahih Muslim).[9]

Hadits ini menyatakan bahwa Rasulullah SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari akhirat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia di dunia dan akhirat, sebagaimana dikemukan oleh al-Nawawi dalam mensyarahkan hadits di atas, yaitu :
Adapun sabda Rasulullah SAW pada hari kiamat, sedangkan beliau adalah sayyid, baik di dunia maupun di akhirat, sebab dikaidkan demikian adalah karena nyata sayyid beliau itu bagi setiap orang, tidak ada yang berusaha mencegah, menentang dan seumpamanya, berbeda halnya di dunia, maka ada dakwaan dari penguasa kaum kafir dan dakwaan orang musyrik”.[10]

            Berdasarkan pemahaman ini, maka menjadi sebuah keutamaan nama Rasulullah SAW disebut dalam shalat dengan menggunakan perkataan sayyidina.
2.      Hadits Abu Sa’id, berkata :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر
Artinya : Rasulullah SAW bersabda, Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat. Aku tidak sombong.(H.R. Turmidzi)[11]

Hadits ini juga dipahami sebagaimana penjelasan hadits pertama di atas
Sebagian umat Islam menolak menggunakan sayyidina dalam shalat dengan menuduh perbuatan tersebut termasuk dalam bid’ah yang dicela dalam agama. Penolakan ini dengan berargumentasi antara lain :
1.      Sabda Rasulullah SAW :
 لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ
Artinya : Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.

Jawab kita :
Hadits ini tidak memiliki dasar sama sekali, bahkan dalam segi bahasa termasuk kesalahan fatal yang tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang paling fasihnya orang arab dalam bertutur kata. Hal ini dikarenakan kalimat “sayyid“ berasal dari kata “ سَادَ – يَسُوْدُ “ , yang seharusnya ketika menginginkan makna seperti dalam hadits, maka dengan redaksi “ لاَ تُسَوِّدُوْنِي “ dan bukanlah dengan “ لاَ تُسَيِّدُونِي “ . Oleh karena itu, Ibnu Abidin mengatakan :
Adapun hadits ” Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat, maka batil, tidak ada asal, sebagaimana telah dikatakan oleh sebagaian hafizh muataakhirin.”[12]

Senada dengan pernyataan di atas juga disampaikan oleh Syarwani dalam Hasyiah Syarwani ’ala Tuhfah al-Muhtaj.[13]
            Dengan demikian, pernyataan di atas yang didakwa sebagai hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW.

2. Sabda Rasulullah SAW,

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُه
Artinya : Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya. (H.R. Bukhari)[14]

            Mereka mengatakan, hadits melarang kita menyanjung Rasulullah SAW secara berlebihan. Mengatakan sayyidina termasuk katagori menyanjung secara berlebihan. Tapi katakan untuk beliau ”Hamba Allah dan Rasul-Nya”
Jawab kita :
            Larangan pada hadits tersebut adalah menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Menyebut sayyidina sebelum menyebut nama Rasulullah SAW tidak ada anggapan dan jauh sama sekali dari penuhanan Rasulullah SAW. Sedangkan perintah mengucapkan kepada Rasulullah SAW pada hadits tersebut ”Hamba Allah dan Rasul-Nya” adalah dalam konteks larangan menyanjung sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam. Artinya,  ini tidak berarti Rasulullah SAW tidak boleh disebut dengan gelar-gelar lain seperti Nabiyullah, Khatim al-Nabi, sayyidina dan lain-lain. Badruddin al-Ainy al-Hanafi dalam menafsir hadits di atas mengatakan :
”Sabda Rasulullah SAW ”sebagaimana sanjungan Nashrani”, maksudnya, pada dakwaan tentang Isa sebagai tuhan dan lainnya. Sedangkan sabda Rasulullah SAW, ”Aku hamba-Nya dan seterusnya” maka itu termasuk merendah diri dan mendhahirkannya adalah tawadhu’.”[15]

Dengan demikian, hadits ini tidak tepat dijadikan hujjah melarang menyebut sayyidina kepada Rasullah SAW, baik dalam dalam shalat maupun luar shalat

3. Hadits dari Anas bin Malik, berkata :
أن رجلا قال يا محمد يا سيدنا وبن سيدنا وخيرنا وبن خيرنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا أيها الناس عليكم بتقواكم ولا يستهوينكم الشيطان أنا محمد بن عبد الله عبد الله ورسوله والله ما أحب أن ترفعوني فوق منزلتي التي أنزلني الله عز و جل
Artinya : Seorang lelaki telah datang kepada RAsulullah SAW seraya berkata:”Ya Muhammad! Ya Sayyidina, Ya anak Sayyidina! ,wahai yang terbaik di kalangan kami dan anak orang terbaik di kalangan kami !” Rasulullah menjawab:”Wahai manusia, hendaklah kalian bertaqwa dan jangan membiarkan syaitan mempermainkan engkau. Sesungguhnya aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba Allah dan Rasul-Nya dan Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku.(H.R. Ahmad)[16]

 Jawab kita :
Memperhatikan ujung hadits ini yang berbunyi,
Demi Allah bahwasanya aku tidak suka sesiapa mengangkat kedudukan aku melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagiku”

Dan hadits riwayat Muslim sebelum ini, berbunyi :

“Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat”

Maka menurut hemat kami, menyebut kata sayyidina kepada Nabi SAW tidaklah termasuk mengangkat kedudukan Nabi SAW melebihi apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tentukan bagi beliau. Karena Rasulullah SAW sendiri mengakui sebagaimana dalam hadits Muslim di atas bahwa beliau adalah sayyid bagi anak Adam. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang melarang memanggil beliau dengan sayyid sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ahmad ini ?. Jawabnya adalah larangan tersebut adalah dalam konteks menyanjung Nabi SAW sebagaimana sanjungan kaum Nashrani kepada Nabi Isa ibnu Maryam, yakni kaum Nashrani memanggil Isa .a.s. sebagai tuhan. Pemahaman ini sesuai dengan konteks hadits riwayat Bukhari di atas, yaitu :
“Janganlah kamu menyanjungku sebagaimana sanjungan Nasrani terhadap Ibnu Maryam, sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

            Pemahaman hadits ini telah dijelaskan pada penjelasan hadits ini di atas. Dengan demikian hadits riwayat Ahmad tersebut tidak terjadi paradoks dengan hadits riwayat Muslim.

4. Rasulullah SAW telah mengajar bagaimana cara bershalawat kepada beliau dalam shalat dengan tanpa perkataan sayyidina. Shalawat yang diajarkan Rasulullah SAW tersebut berbunyi :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد
(H.R. Bukhari)[17]
Dengan demikian, berarti tidak dibolehkan menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Membaca sayyidina dalam shalat berarti menambah-nambah zikir dalam shalat selain zikir yang diajarkan Rasulullah SAW. Maka perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela. Lagi pula Rasulullah SAW pernah bersabda :
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat

Jawab kita :
Menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :       
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya :  Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan  pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) [18]

            Dalam hadits di atas, seorang sahabat Nabi menambah sebuah zikir dalam i’tidalnya, padahal belum ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW mengenai zikir tersebut. Bahkan Nabi SAW memujinya setelah shalat. Ini menunjukkan bahwa boleh menambah zikir dalam shalat. Tentunya ini selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”.[19]
           
            Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dipahami kenapa ada beberapa sahabat ada yang melakukan penambahan zikir dalam shalat, seperti tindakan Ibnu Umar menambah perkataan “wa barakatuhu” dan “wahdahu la syarika lahu” dalam tasyahud shalat sebagaimana pernyataan beliau dalam hadits Abu Daud[20] yang kualiatas hadits tersebut adalah shahih.[21]
            Mengenai hadits “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat” di atas, lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah
حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Bukahri22[22] dan  Syafi’i)[23]

                                 Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”.                             Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
a.  Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
b.   Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya  tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak boleh menambah zikir dalam shalat seperti  perkataan sayyidina dalam tasyahud.

5. Ada sebagian kaum muslimin yang berpendapat penambahan perkataan ”sayyidina” dalam tasyahud shalat merupakan perbuatan bid’ah yang harus dijauhi, berargumentasi bahwa penambahan tersebut bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW yang mencukupkan penyebutan nama Muhammad tanpa tambahan ”sayyidina” pada tata cara shalawat kepada beliau, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Bukhari dan Ahmad di atas.
Jawab kita :
            Seandainya (sekali lagi seandainya) kita memahami bahwa perintah dalam hadits tersebut merupakan perintah bershalawat kepada Rasululllah SAW dengan tidak boleh menambah perkataan ”sayyidina”, maka perintah Rasulullah ini termasuk dalam katagori perintah yang bertentangan dengan sikap adab kita kepada beliau sendiri. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian ulama berpendapat lebih baik mengikuti perintah, sedangkan sebagian lain berpendapat lebih baik mengikuti adab.[24] Pendapat lebih baik mengikuti adab kita kepada Rasulullah SAW lebih rajih dibandingkan pendapat lebih baik mengikuti perintah beliau. Amirulmukminin Abu Bakar r.a. pernah pada suatu ketika sedang mengimami shalat manusia, tidak mengikuti perintah Rasulullah SAW untuk tetap menjadi imam, bahkan beliau tetap mundur dari imam mempersilakan  Rasulullah SAW maju menjadi imam. Sikap Abu Bakar tetap mundur tidak mengikuti perintah Rasulullah tersebut sebagai sikap adab beliau kepada Rasulullah SAW sebagaimana tercermin dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim secara lengkap di bawah ini :
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتِ الصَّلَاةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ: أَتُصَلِّي بِالنَّاسِ فَأُقِيمُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ فِي الصَّلَاةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لَا يَلْتَفِتُ فِي الصَّلَاةِ، فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ، فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ: «يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ» قَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا لِي رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ؟ مَنْ نَابَهُ شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ»
Artinya : Dari Sahal bin Sa'd As Sa'idi, bahwa suatu hari Rasulullah SAW pergi menemui Bani 'Amru bin 'Auf untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Kemudian tiba waktu shalat, lalu ada seorang mu'adzin menemui Abu Bakar seraya berkata, "Apakah engkau mau memimpin shalat berjama'ah sehingga aku bacakan iqamatnya?" Abu Bakar menjawab, "Ya." Maka Abu Bakar memimpin shalat. Tak lama kemudian datang Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan shalat. Lalu beliau bergabung dan masuk ke dalam shaf. Orang-orang kemudian memberi isyarat dengan bertepuk tangan, namun Abu Bakar tidak bereaksi dan tetap meneruskan shalatnya. Ketika suara tepukan semakin banyak, Abu Bakar berbalik dan ternyata dia melihat ada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW memberi isyarat yang maksudnya: 'Tetaplah kamu pada posisimu'. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya lalu memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW tersebut. Kemudian Abu Bakar mundur dan masuk dalam barisan shaf lalu Rasulullah SAW maju dan melanjutkan shalat. Setelah shalat selesai, beliau bersabda: "Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu ketika aku perintahkan agar kamu tetap pada posisimu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah patut bagi anak Abu Qahafah untuk memimpin shalat di depan Rasulullah". Maka Rasulullah SAW bersabda: "Mengapa kalian tadi banyak bertepuk tangan?. Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita." (H.R. Muslim[25] dan Bukhari[26])

Berdasarkan pendapat yang rajih ini yang didasarkan kepada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim di atas, maka menambah “sayyidina” pada tasyahud shalat yang merupakan sikap adab kita kepada Rasulullah SAW lebih utama dilakukan dibandingkan bershalawat kepada Rasulullah SAW tanpa tambahan “sayyidina” yang merupakan perintah Rasulullah SAW. Penjelasan senada dengan ini pernah dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Dur al-Manzhud[27]









[1]. Ibrahim Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 188
[2]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[3] .Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 244, No. Hadits : 18158
[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[5] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[6] Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 181
[7] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[8] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157
[9] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 59, No. Hadits : 6079
[10] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 37
[11] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 308, No. Hadits 3148
[12] Ibnu Abidin, Hasyiah Rad al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513
[13] Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86
[14]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 204, No. Hadits : 3445
[15] Badruddin al-‘Ainy al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary Syarah Shahih al-Bukhary, Maktabah Syamilah, Juz. XXIII, Hal. 441
[16] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 153, No. Hadits : 12573
[17] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 178, No. Hadits : 3370
[18] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
[19] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
[20] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 367, No. Hadits : 937
[21] Badruddin al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251
[22] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631
[23] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235
[24] Ibnu Qasim al-‘Ubadi, Hasyiah al-‘Ubady ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiah  Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad,  Mesir, Juz. II, Hal. 86
[25] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 316,  No. Hadits : 421
[26] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 684
[27] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Dur al-Manzhud, Dar al-Minhaj, Hal. 133-134

50 komentar:

  1. assalamualaikum...
    dalam ibadah sudah ada tuntunannya,,janganlah berlebih2an sampai menambah2kan kalimat,.itu ijtihad para ulama...tapi alangkah baiknya kita tidak merubah dalam hal sholawat...toh tidak ada hadist yang shahih dalam pelafasan itu yang memakai kata sayyid..,banyak ulama juga ga sependapat dengan tambahan2 kalimat itu,karena meraka memegang teguh dan menjaga apa yang di ajarkan nabi kepada para sahabat sampai tabi'in,tabi'ut tabi'i...ini semua pendapat ana dan sepengetahuan ana..wassalamualaikum

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. banyak juga ulama yang sependapat dgn penambahan saiyidina.
      2. tidak ada hadist yang shahih dalam pelafasan itu yang memakai kata sayyid, bukan berarti gak bolehkan ?
      3. dalam ibadah sudah ada tuntunan dari nabi, dan yang tidak ada tuntunan belum tentu tidak boleh. contohnya usman bin affan menambah azan pada waktu shalat jumat dll

      wassalam

      Hapus
    2. maksud kami "yang tidak ada tuntunan" adalah tuntunan secara detil

      Hapus
    3. Karena umat islam sudah banyak di Madinah, maka sahabat Usman bin affan menyuruh orang adzan di pasar, 1 jam sebelum waktu sholat jum'at masuk

      Hapus
  2. Ana lebih suka, kalau sementara tidak mengerjakan sesuatu yang berada dalam ikhtilaf para ulama, atau masih belum ada keyakinan yang mutlak akan ke'absahan'nya. LEBIH baik ditinggalkan. Jika itu perkara sunat menurut sebagian yang lain, ana rasa Ibadah sunat itu banyaaaaakkkk g terhitung jumlahnya..

    Logikanya:
    Jika antum mengerjakannya, kemudian itu salah.. Antum berdosa dan amalan antum sia2...
    Jika antum tidak mengerjakannya, kemudian itu benar... Antum tidak berdosa dan sama sekali waktu antum untuk itu, bisa antum lakukan untuk ibadah sunnah lain yang lebih pasti dan jelas kebenarannya..

    Begitu.. 'Pendapat' Saya.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau saudara lebih suka tidak mengerjakan sesuatu yang berada dalam ikhtilaf para ulama, atau masih belum ada keyakinan yang mutlak akan ke'absahan'nya. itu hak saudara. namun kalau sdr berargumentasinya Jika mengerjakannya, kemudian itu salah.. maka berdosa dan amalan sia2...maka argumentasi tsb bertentangan dgn hadits :
      إِذَا اِجْتَهَدَ الْحَاكِم فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا اِجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر
      Artinya : Seorang hakim apabila berijtihad, ternyata ijtihadnya benar, maka mendapat dua pahala dan kalau berijtihad, ternyata ijtihadnya salah, maka mendapat satu pahala.(H.R. Bukhari dan Muslim)

      berdasarkan hadits di atas, kalau ternyata ijtihad ulama tsb salah pada hakikatya di hadapan Allah, maka tetap mendapat pahala, alias tidak berdosa meskipun pahalanya tidak sama dgn pahala orang berijtihad dan benar. jadi logika saudara itu gak benar. lagi pula ikhtilaf ulama itu bukan hanya sebatas yg sunnat2 saja, tetapi ada juga yg wajib. seperti wajibkah membaca basmalah dalam fatihah ketika shalat? lalu karena ini iktilaf, apakah sdr tidak membaca basmalah atau fatihah dalam shalat atau pilihan apa yang akan sdr lakukan?

      wassalam

      Hapus
  3. shalawat yang diajarkan Nabi adalah riwayat dari Ibnu Abi Laila, bahwa beliau bertemu Ka’ab bin Ujrah (shahabat), kemudian Ka’ab mengatakan, “Maukah kamu, aku beri hadiah? Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, … Bagaimanakah bacaan salawat kepadamu?’ Beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…‘.” (Hadist Muttafaq'alaihi/ HR. Bukhari dan Muslim)

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum Tgk Alizar Usman saya ingin memberitahukan kepada anda ketika Rasulullah bangkit dari ruku Ketika beliau mengangkat kepala dari ruku sambil mengucapkan, “Sami’allahuKetika beliau mengangkat kepala dari ruku sambil mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah” (semoga Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya), maka seseorang laki-laki mengucapkan, “Rabbana walakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaraakan fiihi” (Wahai Tuhan kami, hanya bagiMulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik, dan diberkahi). Kenapa Rasulullah memujinya, karena zikir itu untuk memuji Allah yang pantas di sembah. Lalu ucapan sayidinna artinya hanya pemimpin hal ini tidaklah sesuai dengan sunnah. Kenapa? Karena Rasulullah tidak menyukai pujian apapun bentuk ucapan yang kita anggap naik belum tentu baik data Allah dan rasulullah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rasulullah SAW sendiri mengakui beliau sebagai sayyid sesuai dgn hadits muslim dan turmidzi di atas, kok anda gak mau mengakuinya?

      Hapus
    2. Di antara shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat dari Ibnu Abi Laila, bahwa beliau bertemu Ka’ab bin Ujrah (shahabat), kemudian Ka’ab mengatakan, “Maukah kamu, aku beri hadiah? Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, … Bagaimanakah bacaan salawat kepadamu?’ Beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)

      Hapus
    3. Di antara shalawat yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat dari Ibnu Abi Laila, bahwa beliau bertemu Ka’ab bin Ujrah (shahabat), kemudian Ka’ab mengatakan, “Maukah kamu, aku beri hadiah? Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, … Bagaimanakah bacaan salawat kepadamu?’ Beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad…‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)

      Hapus
  5. Assalamu'allaikum, menurut saya baik muslim yang dalam ibadahnya menggunakan sayidinna atau tidak, jangan lah kita memandang pada satu nilai yaitu melebih-lebih kan. bahkan kita sendiri memiliki 4 imam yakni, imam ibnu hanbali, imam maliki, imam syafi'i, imam abu hanafi. Jadi, baik digunakan atau tidak kalimat sebagai bentuk pernghormatan kita (Sayidinna) itu tidaklah masalah. Karna diantara kedunya ada dalil nya. Kalau gitu bagaimana bisa kita tidak menyebut kan kalimat penghormatan kita terhadap baginda Nabiyil Musthofa Muhammas SAW sementara ke empat sahabat beliau kita tambahkan sayidinna, seperti Sayidinna 'Ali dll.

    BalasHapus
  6. Kang Tkg. Alizar... teruskan berkarya.... dg mengexplor dalil2 versi kitab kuneng... ana sgt mendukung dan setuju... mudah2 web ini penuh barokah ... amien...

    BalasHapus
  7. Ilmu yang bermanfaat ustadz... mohon ijin untuk share

    BalasHapus
  8. Alhamdulillah, terima kasih ustad tausiyahnya.

    BalasHapus
  9. Menurut saya benar atau tidaknya itu hanya Allah SWT yg menentukan. Jdi lakukan yg menurut kalian baik. Toh niat dan tujuannya beribadah kepada Allah SWT. Soal penambahan kata Sayyid yg diperdebat kan sama orang orang dulu sampai orang orang jaman skarang, ga ada tamat nya kalo diterusin, tunggu kiamat baru kelar tu masalah :v.

    Ini hanya pendapat saya yg minim pengetahuan tentang agama apalagi soal hadits.
    Mohon maaf jika ada kata-kata saya yg kurang/tidak berkenan.

    BalasHapus
  10. Assalam... pa ustd,
    Sya jg klo tahiyat pake sayyidina karna sudah diajarkan dari kecil. Tpi yg sya ingin tahu pra sahabat Nabi dan pengikutnya terdahulu ko ga ada yg pake sayyidina padahal beliau2 pra sahabat dan pengikutnya jg sangat memuji, menyanjung dan menghormati Nabi melebihi hormatnya kita2 zaman sekarang.
    Mohon bimbingan ilmunya ustad,
    Terimakasih. Wassalam....

    BalasHapus
  11. Assalam... Pa ustad.
    Sya jg klo baca tahiyyat ditambah kata sayyidina karna sejak kecil diajarkan seperti itu. Tpi yg ingin sya tahu ko para sahabat dan pengikut Nabi terdahulu ga ada yg menggunakan kata sayyida ditahiyyatnya maksud sya ga ada riwayat, sejarah gitu. bukan berarti mereka tidak sopan, seperti penjelasan adab kepda Nabi diatas karna beliau para sahabat dan pengikut terdahulu sangat menyanjung, menghormati dan mencintai Nabi bahkan melebihi hormat dan cinta kita2 pda zaman sekarang.
    Mohon bimbingannya ustad,,
    Terimakasih, Wassalam....

    BalasHapus
    Balasan
    1. bukan tidak ada, tapi tidak ada riwayat yg kita tau bahwa mereka ada mengucapkannya. jadi tdk tau bukan berarti tidak ada.
      wassalam

      Hapus
    2. "bukan tidak ada, tapi tidak ada riwayat yg kita tau bahwa mereka ada mengucapkannya. jadi tdk tau bukan berarti tidak ada."

      Ini pernyataan antum maknanya berantakan, kalo tdk tahu, yaaa tugasnya mencari tahu di kitab2 hadits, kalo ternyata setelah dicari2 riwayatnya tdk ada, memang berarti sebenarnya tdk ada riwayat ttg penambahan kata "sayyid" dlm melafazkan shalawat.

      Antum hanya tinggal mengatakan bahwa "Saya awalnya tdk tahu (bukan berarti tdk ada) kemudian saya setelah cari2 ternyata memang tdk ada". Nah jelas to...endingnya "tdk ada". Titik. Selesai.

      Wallaahu'alam.

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. berarti mayoritas ulama ga pakai ya ustad.... mohon bimbingannya ustad

      Hapus
  12. Assalam...alaikum, mhn penjlasan,bilamana pemahaman diatas dpt dibenarkan, mengapa tdk diterapkan juga pada pengucapan syahadatain,adzan,barjanzi,...??? Bukankan hal ini menimbulkan ke-tidakkonsisten-an?

    BalasHapus
  13. Assalamu'alaikum, bila penalaran penjelasan diatas dapat diterima, mengapa lafadz Syahadatain, Adzan, bacaan barjanzi, tidak juga disesuaikan? Apakah ada penjelasan mengapa hanya diterapkan di bacaan tahiyat akhir saja?. Yg saya ingat dibacaan barjanzi: Allaahumma shoolli'alaaa (??sayyidina??)Muhammad,yaa robbi shoolli'alaihi wassallim...

    BalasHapus
  14. Jangan lupa perbedaan adalah rahmat. semoga kita senantiasa ditunjukkan jalan yg lurus oleh Allah SWT.

    BalasHapus
  15. Allah ta’ala berfirman :

    وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

    Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.(Al Anfal:46)


    semoga Allah SWT senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus

    BalasHapus
  16. Ya Allah Ya Rabb....dari mana datang nya bisikan "saling merasa benar" semopga penjelasan membuat semakin jelas. Wa'tashimu bihablillah ......!!!

    BalasHapus
  17. Permasalahannya di sanad ilmu, orang awam langsung membaca terjemah hadist tanpa melalui ilmu2 bahasa arab dan pendukung lainnya sehingga merasa seperti 4 imam madzhab, mengambil ilmu langsung dr alquran dan hadist tanpa melalui guru yg bersambung ilmunya ke sayyidina rasulullah. Ya akhirnya tinggal copas hadist, ga manut k ahli ilmu yg belasan thn berkecimpung d bidangnya, debat kusir urusannya.
    Bawa2 ulama dr madzhab anu, bermadzhab k anu pun tdk hny sekedar copas krn opini sama...
    Jadi sebaiknya bermadzhab dl dan temukan guru yg sesuai sanad madzhab tersebut, dari situ sudah masuk golongan ahlusunnah wal jamaah krn punya sanad yg jelas, baru berdiskusi lg untuk menambah khazanah keilmuan...
    Wassalam

    BalasHapus
  18. Assalamu'alaikum
    Mempermasalahkan dan menghujat seperti cikal bakal memecah umat Islam.. Menurut sya Al Qur'an Dan Hadist tidak bisa ditafsirkan secara global..berpendapat tp tidak ada ilmu ya sama aja..
    Banyan orang hafal Qur'an Dan Hadist tp suka mengkafirkan,membid'ahkan Dan menuduh musyrik..

    BalasHapus
  19. G usah pake dalil ini sudah kelihatan di mata kepala kita..kyai kyai yang mengamalkan tahlilan..sholawatan..maulidan..sudah terbukti dimuliakan baik semasa hidupnya maupun sesudah wafatnya terbukti jasadnya masih utuh..demikian halnya walisongo berjuta orang menziarahinya..apakah masuk neraka menurut pemahaman wahabi..???walisongo dimuliakan sesuai dengan kebaikan menyelaraskan kehidupan islam dengan adat..makanya banyak yang memeluk agama islam di indonesia..klo model wahabi cara dakwahnya ke indonesia..saya yaaaakin 100 prosen orang indonesia banyak yang menganut hinduisme

    BalasHapus
  20. Adat istiadat ke Timuran dan memang sudah menjadi norma bagi masyarakat (g Pake Dalil-karena saya gak ngerti dalil)berlaku sopan santun. Yang muda manggil yang tua Mas/Kang/abang..Istri memanggil Suami Mas/kakanda..Anak memanggil Orangtua Bapak/ibu/abi/abu..Cucu memanggil Kakek Eyang/Opah/Kakek/nenek. Islam menjungjung hal seperti itu termasuk memanggil Rasulullah, Sahabat dan orang orang sholeh. memang Rasulullah g Minta dihargai secara berlebihan namun bukan berarti kita sebagai pengikutnya g menghargai Rasulullah. Sebagai Umat Islam yang hidup jauh dari jaman Rasulullah wajib hukumnya (ijtihad saya) menghormati Rasulullah baik memanggilnya dengan Sayidina, wa maulana, wa habibina, wa dzuhrina Nabi Muhammad SAW. malaikat saja salah satu makhluk yang mulia menghormati Rasulullah Sayidina Muhammad SAW. Apalagi kita makhluk yang selalu berbuat salah. Saya yakin Rasulullah berpendapat tidak ingin dihormati secara berlebihan karena memang Rasulullah sudah menjadi makhluk yang mulia tanpa dihormatipun Rasulullah Sudah Mulia. Allohumma Sholi ala sayidina Muhammad SAW.

    BalasHapus
  21. Agama tidak pernah salah namun AHLI Agamanya yang salah karena terlalu banyak golangan.yg penting niat.

    BalasHapus
  22. "sayyidina dalam tahiyyat" berarti di dalam praktek shalat. Cukup lama saya mengkaji hal tersebut, tapi saya terus belajar karena ilmu itu luas. Singkat saja jadi muncul kesimpulan yaitu ada yg memakai atau membolehkan; bahkan sampai mangharuskan, trus ada yang tidak memakai; bahkan tidak-membolehkan dengan tegas. Saya pribadi tidak memakai kata sayyidina dalam tahhiyat. SEBENARNYA yang saya ingin komentari: tolong hormati para ustadz atau ulama! tolong "lebih santun dalam berbahasa" meskipun tidak setuju dengan apa yang disampaikan/dijelaskan, apalagi sampai keluar kata kasar. Hati-hati jangan sampai "memfitnah" para ulama! Misalnya entah dimana aja apabila ternyata ditemukan guru/ustadz yg "jelas" sekali menyimpang atau mungkin berpura-pura muslim, tetap bahasa harus santun TAPI TEGAS, serta doakan semoga diberi hidayah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. siapa yang mengeluarkan kata-kata kasar? siapa yang memfitnah para Ustadz??

      Hapus
    2. Justru Sayyid Ahmad Zaini Dahlan banyak dilecehkan dan dikafirkan oleh orang-orang Wahabi..padahal beliau itu adalah Gurunya para Ulama dan Habib yang ada di Indonesia

      Hapus
  23. Alhamdulillah..
    saya bermazhab Imam Syafi'i, yang melafadzkan sayyidina dalam shalat.
    sebelumnya saya menjadi ragu setelah segelintir orang menyatakan melafadzkan sayyidina itu dapat membatalkan shalat kita.
    saya menjadi bingung karena dari kecil diajarkan dengan memakai sayyidina saat shalat.

    setelah membaca ini saya berpikir, kalau memang memakai sayyidina itu salah, maka bagaimana dengan Imam Syafi'i yang memakai dari dulu?
    dan pengikutnya juga.
    dan logikanya apabila salah, maka dari dulu sudah ada protes kepada Imam Syafi'i.

    jadi kesimpulan yang saya dapat dari bacaan ini, membaca lafadz sayyidina pada shalat adalah sunat.

    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih infonya mas Atep, tentang sayyidina memang adalah perbedaan yang ulama-pun telah selesai membahasnya, ada yg makai ada yg tidak.

      Cuma saya ingin tahu Imam Syafi'i menggunakan "sayyidina" dalam sholat di tasyahud? di kitab mana disebutkan?? sebagai tambahan ilmu bagi saya pribadi dan pembaca. trimakasih, barakallahu lak

      Hapus
  24. kalo saya sih ikut tuntunan rasul aja,yaitu tanpa ada kata "sayyidina",soalnya itu udah pasti,dan rasul pun berbicara seperti itu

    BalasHapus
  25. saya memang bukan ahli agama, bahkan bisa dikatakan buta agama. tapi islam itu adalah agama yang dapat diterima akal. jika rasa tidak dapat diterima akal jangan diikuti. Dalam pengucapan sayyidina pada bacaan sholat yang dirasa sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad, kenapa tidak dipakai. bukankah kita menyebut Pak Presiden Jokowi, bukan hanya pak jokowi. ajaran Rasulullah lah yang paling sempurna, namun bukan berarti ketika bukan berarti kita menambah-nambahkan dalam ajaran nya tidak mengakui kesempurnaan beliau ( kesempurnaan hanya milik Allah ). jika itu tujuan nya baik. seperti jelas banyak terdapat dalam hadist bahwa wanita lebih utama sholat dirumahnya bahkan lebih utama sholat di kamar nya daripada diruang tamu, namun sholat berjamaah di mesjid memiliki keutamaan 27 derajat. kalau saya berpikiran itu adalah jaman dahulu, yang minim penerangan, gelap, jarak mesjid yang jauh, banyak jahilliyah, karena dianggap untuk melindungi wanita. namun hal itu tidak berlaku bagi wanita jaman sekarang agar lebih utama sholat didalam kamarnya, karena jaman saat ini mudahnya sholat menuju mesjid, jaman sudah aman, dan banyaknya dijumpai mesjid. di hadist hal ini tidak ditemukan. bahkan kalian pasti tahu asal mula alqur'an bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad, karena nabi Muhammad tidak memerintahkan sahabatnya untuk membukukan al-Qur'an. ini merupakan pemikiran dan kesepakatan para sahabat Nabi. bukankah para sahabat nabi tidak salah yang tidak melaksanakan yang tidak pernah nabi Muhammad lakukan.

    BalasHapus
  26. inilah yang ditakutkan Nabi Muhammad SAW, perdebatan pakai sayyid atau tidak pakai sayyid...bisa ditunggangi syaiton.. sehingga yang ada bukan kebaikan yang diperolah tapi kemudharatan saling hujat.

    BalasHapus
  27. ini pencerahan dari tuan guru alizar semoga Allah berkahi umurnya. terima kasih tuan guru.....lanjutkan terus biarkan anjing mengonggong kafilah berlalu.

    BalasHapus
  28. Ketika kami sedang ngopi dan mendengar perbincangan orang..kata nya kalau seseorang masih suka beradu argumen atau berdebat berarti ilmunya masih di ambang pikiran, belum meresap dalam hati.. Ini kata orang lo yaaa.

    BalasHapus
  29. Ilmu untuk diamalkan.
    Terimakasih

    BalasHapus
  30. Assalamualaikum Tgk
    Kita ingin bertanya dari mana keluar makna "diberi hak untuk memberikan syafa’at" darikata مشفع menurut anilisis disiplin ilmu sharaf beseta faidah bab تفعیل dari kalimat musyaffak tsb Tgk. Saya masih kesulitan memahami terjemah itu berdasarkan wazan تفعیل. Mohon oencerahannya Tgk.
    Terimakasih

    BalasHapus