I.
Pengertian fatarah
Menurut kamus al-Munawir, secara
bahasa ahli bermakna famili, kerabat, keluarga, penghuni, yang bertanggung
jawab, pengikut. Sedangkan makna fatarah antara lain tenang, reda, masa dan
periode. Adapun makna ahli fatarah dalam
istilah menurut Ibnu Hajar al-Haitami adalah orang-orang yang tidak diutus seorang
Rasul kepada mereka.[1]
Dalam Kitab al-Hawi lil fatawa karangan
al-Suyuthi dijelaskan bahwa ahli fatarah adalah umat-umat yang zaman hidupnya
berada antara dua zaman para Rasul yang tidak diutus kepada mereka risalah
rasul pertama dan mereka juga tidak mendapati rasul yang kedua. Misalnya
orang-orang Arab yang tidak diutus kepada mereka Nabi Isa as dan mereka juga
tidak terhubung dengan Nabi SAW. Fatarah dengan makna ini mencakup zaman di
antara semua para Rasul. Namun pada saat membahas patarah, para fuqaha
mendefinisi sebagai fatarah hanya antara zaman Nabi Isa as dan Nabi SAW.[2]
Senada dengan al-Suyuthi, Hasan al-‘Ithar menyebutkan ahli fatarah adalah
setiap orang yang zaman hidupnya berada antara dua orang rasul, dimana rasul
pertama tidak diutus kepada mereka dan sedangkan mereka juga tidak mendapati
rasul kedua.[3]
Adapun fatarah antara Isa dan diutus
Nabi SAW adalah sekitar 600 tahun.[4]
Hal ini sesuai dengan hadits riwayat al-Bukhari berbunyi :
عن سلمان الفارسي قال : فترة بين عيسى
ومحمد عليهما الصلاة والسلام ستمائة سنة .
“Dari Salman al-Farisi, beliau
mengatakan, fatarah antara Isa dan Muhammad semoga Allah memberikan rahmat dan
keselamatan atas keduanya adalah 600 tahun.”
(H.R. al-Bukhari)[5]
Ibnu Hajar al-Asqalany telah menisbahkan
pendapat ini kepada jumhur ahli ma’rifah bi al-akhbar.[6]
II. Padangan para ulama status ahli fatarah antara
Nabi Isa As dan Nabi Kita Muhammad SAW.
Para ulama setelah sepakat terjadi fatarah dalam
bidang furu’ syariat, mereka berbeda
pendapat dalam mengomentari status ahli fatarah dalam bidang aqaid.[7]
Menurut Muhammad al-Dusuqi terjadi perbedaan pendapat ulama dalam dua kelompok
pendapat, yakni :
1.
fatarah hanya dalam furu’
syariat, tidak ada fatarah dalam akidah
2.
fatarah dalam akidah dan
furu’ syariat.
Al-Dusuqi
menjelaskan kepada kita terjadi perbedaan pendapat, apakah apakah memadai
taklif ‘aqaid dengan sampai dakwah
siapa saja dari seorang nabi atau
diharuskan sampai dakwah seorang nabi dizamannya. Pendapat memadai taklif ‘aqaid dengan sampai dakwah siapa saja dari seorang nabi berargumentasi tidak
ada fatarah dalam aqaid, berbeda dengan furu’, karena aqaid disepakati di
antara para rasul. Sedangkan pendapat diharuskan sampai dakwah seorang nabi
dizamannya, melihat dalam bidang ‘aqaid berlaku fatarah juga sama halnya dengan
furu’.[8]
Dhahirnya al-Dusuqi lebih cenderung kepada pendapat pertama, sebagaimana ucapan
beliau :
ومن هذا يعلم انه لا يصح بنجاة احد من الجاهلية الذين لا معرفة عندهم
بالعقائد لكونه من اهل الفترة
“Dari ini dapat dimaklumi bahwa tidak
shahih pendapat terlepas seseorang yang hidup pada zaman Jahiliyah yang tidak
mengenal aqidah di sisi mereka karena mereka termasuk ahli fatarah.” [9]
Namun Ibnu Hajar al-Haitamy membantah pendapat ini. Dalam
al-Fatawa al-Haditsiyah beliau mengatakan, dakwaan yang mengatakan setiap orang
yang tidak beriman setelah diutus Nabi Adam atau Nuh (berdasarkan awal nabi
adalah Adam atau Nuh), maka mereka dalam neraka, pendapat ini menyalahi dhahir
ayat al-Qur’an. Karena itu, tidak boleh menjadi pegangan.[10]
Dalam
menjelaskan status ahli fatarah ini, al-Banany menjelaskan satu jama’ah dari
ulama berpendapat ahli fatarah meskipun
tidak sampai dakwah seorang nabi yang diutus kepada mereka, akan tetapi telah
sampai kepada mereka dakwah para nabi yang tidak diutus kepada mereka
seperti Saiyidina Musa, Harun, Sulaiman,
Daud dan lain-lain. Karena itu, barangsiapa di antara mereka yang mempunyai
pemikiran dan nadhar, sedangkan mereka tidak mengi’tiqad agama yang benar, maka
dihukum kafir. Dan barangsiapa di antara mereka pernah mendengar satu ayat
dakwah kepada Allah dan mereka meninggalkan berargumentasi dengan akalnya untuk
menyatakan shahih dakwah tersebut, sedangkan mereka termasuk ahli argumentasi
dan nadhar , niscaya mereka termasuk yang berpaling dari dakwah maka mereka
adalah kafir. Selanjutnya al-Banany menjelaskan bahwa ini merupakan pendapat
yang dipegang Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim, al-Nawawi mengatakan :
أَنَّ مَنْ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ
الْعَرَبُ مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلَيْسَ
هَذَا مُؤَاخَذَةٌ قَبْلَ بُلُوغِ الدَّعْوَةِ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ كَانَتْ قَدْ
بَلَغَتْهُمْ دَعْوَةُ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ
اللَّهِ تَعَالَى وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang mati pada zaman fatarah dimana
mereka dalam keadaan penyembah berhala sebagaimana halnya orang-orang Arab pada
saat itu, maka mereka adalah ahli neraka. Ini bukanlah memberi azab sebelum
sampai dakwah, karena telah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim dan nabi
lainnya dari para nabi-nabi semoga Allah memberikan rahmat dan kesejahteraan
bagi mereka.”
Kemudian al-Banany menyebut pendapat kedua (tidak
diazab ahli fatarah) yang merupakan pendapat jumhur pengikut Asy’ari, Ushuliyun
dan fuqaha Syafi’yah. Mereka ini berargumentasi antara lain :
1.
hadits-hadits shahih yang
menyatakan ada jama’ah ahli fatarah mendapat azab neraka merupakan hadits ahad
tidak dapat dipertentangkan dengan dalil-dalil qath’i yang memastikan ahli
fatarah tidak di azab dalam neraka
2.
boleh jadi orang-orang yang
diazab berdasarkan hadits shahih tersebut karena ada suatu kekhususan yang
menyebabkan demikian dalam ilmu Allah SWT, sebagaimana halnya dikatakan pada
kasus budak beserta bayinya yang dibunuh Nabi Khizir a.s.
3.
dalil-dalil qath’i
memastikan tidak ada azab sehingga ada hujjah. Karena itu, dapat dimaklumi
bahwa ahli fatarah tidak di azab dalam neraka.[11]
Dhahirnya pendapat pertama yang dikemukan oleh al-Banani di atas
merupakan pendapat kalangan al-Maturidiyah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu
al-‘Abidin (seorang ulama mutaakhirin mazhab Hanafi), beliau mengatakan :
أَمَّا الْمَاتُرِيدِيَّةُ، فَإِنْ
مَاتَ قَبْلَ مُضِيِّ مُدَّةٍ يُمْكِنُهُ فِيهَا التَّأَمُّلُ وَلَمْ يَعْتَقِدْ
إيمَانًا وَلَا كُفْرًا فَلَا عِقَابَ عَلَيْهِ، بِخِلَافِ مَا إذَا اعْتَقَدَ
كُفْرًا أَوْ مَاتَ بَعْدَ الْمُدَّةِ غَيْرَ مُعْتَقِدٍ شَيْئًا
“Adapun
kalangan al-Maturidiyah, seandainya seseorang meninggal dunia sebelum berlalu
satu masa yang memungkinkan diirinya berpikir, sedangkan dia tidak beri’tiqad
iman dan tidak juga kufur, maka tidak ada siksaan atasnya. Ini berbeda apabila
seseorang sempat mengi’tiqad kufur atau meninggal dunia sesudah berlalu masa
berpikir, akan tetapi dia tidak mengi’tiqad apapun.”[12]
Dr Mustafa al-Zuhaily juga telah
mengutip Pendapat al-Maturidiyah ini dalam kitabnya, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh
al-Islami, beliau mengatakan, al-Maturidiyah mengecualikan kewajiban beriman
dan i’tiqad keesaan Allah Ta’ala. Sesungguhnya ahli fatarah apabila tidak mengi’tiqad
yang demikian sebagaimana yang diwajib oleh akal mereka, maka mereka diazab dan
dihisab atas kesyirikan dan kekufuran mereka, karena iman merupakan kebaikan bagi diri seseorang yang tidak dapat menerima
gugurnya dengan satu alasan apapun. Ini juga merupakan pendapat kebanyakan
ulama Hanafiyah yang mewajibkan iman dan mengharamkan kufur atas setiap orang
yang berakal, baik sampai dakwah kepada mereka maupun tidak sampai. Karena akal
secara mandiri dapat memahami sebagian hukum Allah Ta’ala. Yang sangat utama
dari hukum-hukum Allah itu adalah iman dengan Allah Ta’ala. Dan pernah diriwayat
dari Abu Hanifah, beliau mengatakan, tidak ada uzur seseorang dalam hal kebodohan
dengan khaliqnya, karena dia dapat menganalisa dalil-dalil keesaan Allah.[13]
Sementara itu, ada penjelasan ulama mengenai ahli
fatarah ini dengan menggunakan tafshil, diantaranya al-Suyuthi dalam kitabnya
al-Hawi lil Fatawi. Beliau membagikan ahli fatarah menjadi tiga kelompok, yakni
:
1.
yang mempunya akidah tauhid
dengan mata hatinya. Kemudian sebagian mereka ini tidak masuk dalam syari’atnya
seperti Qus bin Sa’idah dan Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Sebagian yang lain masuk
dalam syari’at yang haq yang lurus, seperti Tubba’ dan kaumnya
2.
yang melakukan pergantian
dan mengubah agama, berakidah musyrik, tidak bertauhid dan mengada-adakan
syariat untuk diri sendiri, maka mereka membuat hukum halal dan haram. Mereka
ini mayoritas seperti ‘Amr bin Luhay, seorang yang pertama sekali meciptakan
ajaran menyembah berhala bagi orang Arab, menciptakan hukum-hukum. Maka Amr bin
Luhay membuat syari’at membelah telinga unta bahiirah (unta yang sudah
melahirkan lima kali, diberi tanda dengan membelah telinganya untuk
dipersembahkan kepada berhala), membuat syariat saaibah (unta yang ditandai
dengan belah telinga untuk dipersembahkan kepada berhala karena sembuh dari
penyakit), membuat syariat al-waashilah (anak kambing jantan yang
dipersembahkan kepada berhala) dan membuat syariat al-haami (binatang yang
membuntingi anaknya, maka binatang tersebut tidak boleh lagi dinaiki dan
dibebani muatan. Satu kelompok orang Arab lain menambah lagi ajaran yakni
menyembah jin dan malaikat, membakar bayi mereka, membuat rumah-rumah kemudian
rumah-rumah tersebut di persiapkan pelayannya dan hijab untuk menyayangi Ka’bah
seperti Laata, ‘Uzza dan Manaah.
3.
Mereka ini tidak musyrik, tidak
bertauhid, tidak masuk dalam syari’at seorang nabi, tidak mengadakan syariat dan
agama baru, akan tetapi umurnya kekal dalam kelalaian semua ini.
Kemudian al-Suyuthi menjelaskan, kepada kelompok yang
kedua inilah dipertempatkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa mereka
diazab dalam neraka, karena mereka kufur tanpa ‘uzur. Adapun pembagian ketiga,
mereka inilah hakikat ahli fatarah dan mereka ini tidak di azab dalam neraka.
Sedangkan kelompok pertama, terkait dengan Qus dan Zaid, Rasulullah pernah
bersabda :
انه يبعث امة وحده
“Sesungguhnya dia
itu di bangkitkan sebagai umat tersendiri”
Adapun Tubba’
dan orang-orang yang sama dengannya, mereka ini seperti hukum ahli agama yang
masuk dalam agamanya selama mereka tidak mendapati Islam yang memansukhkan setiap
agama.[14]
[1]
Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri,
Beirut, Hal. 113
[2] Al-Suyuthi,
al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal.
209
[3]
Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Jam’ al-Jawami’, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 89
[4] Al-Suyuthi,
al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II,
Hal. 206
[5] Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 71, No 3948
[6]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Maktabah Syamilah, Juz. II,
Hal. 40
[7]
Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62
[8]
Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah
Thaha Putra, Semarang, Hal 53
[9] Al-Dusuqi,
Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah Thaha Putra,
Semarang, Hal 53
[10] Ibnu
Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut,
Hal. 113
[11] Al-Banany,
Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62-63
[12] Ibnu
‘Abidin, Hasyiah Ibnu ‘Abidin ‘ala Dur al-Mukhtar, Maktabah Syamilah,
Juz. III, Hal. 185
[13]
Mushtafa al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh
(al-Madkhal-al-Mashadir-al-Hukm al-Syar’i), Dar al-Khair, Hal. 459-460.
[14] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar