Banyak beredar
di kalangan masyarakat yang mengira bahwa berbuka puasa dengan yang manis-manis
merupakan anjuran langsung atau kebiasaan dari Nabi SAW yang dijadikan sebagai
sunnah puasa jika tidak menemukan kurma untuk berbuka. Padahal tidaklah
demikian dan hal tersebut bukanlah merupakan hadits Nabi SAW. Meskipun kita
tidak menafikan kesunnahannya dimana tingkatan keutamaannya berada pada posisi
setelah makanan/minuman yang tersebut dalam hadits Nabi SAW. Adapun
makanan/minuman yang dianjurkan dengannya berbuka puasa sesuai dengan sabda
Nabi SAW dapat diperhatikan dalam hadits Anas bin Malik r.a, beliau berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮ ﻝُ ﺍﻟﻠِّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪً ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ
ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٌ ﻓَﻌَﻠَﻰ ﺗَﻤَﺮَﺍﺕٍ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢ ﺗَﻜُﻦْ ﺣَﺴَﺎ ﺣَﺴَﻮﺍﺕٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ
Rasulullah SAW biasanya berbuka dengan kurma basah (ruthab),
jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan kurma kering (tamr), jika tidak ada tamr
maka minum dengan satu tegukan air. (H.R. Abu Dawud dan Turmidzi, beliau
menyatakan hadits ini hasan)
Dalam hadits lain disebutkan:
إذا كان أحدكم
صائماً فليفطر على التمر، فإن لم يجد التمر فعلى الماء؛ فإنه طهور
Apabila salah
seorang kamu berpuasa, maka berbukalah dengan kurma, jika tidak ada kurma, maka
berbukalah dengan air. Sesungguhnya air itu suci. (Hadits riwayat sunan yang
empat. Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih, Ibnu Hibban dan al-Hakim
mengatakan, shahih)
Berdasarkan
hadis tersebut kita mengetahui bahwa kebiasaan Rasulullah SAW dalam mengawali
berbuka puasa, dengan kurma. Namun jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan
air putih saja, bukan
makanan/minuman yang manis-manis sebagaimana dipahami sebagian masyarakat kita
selama ini. Urutan keutamaannya adalah ruthab (kurma basah), kemudian tamr
(kurma kering) dan kemudian air putih. Para ulama dalam memahami hadits di atas, memandang kesunahan
berbuka puasa dengan kurma yang terkandung sifat manis di dalamnya. Berdasarkan
pemahaman ini, makanan/minuman yang manis-manis termasuk dalam katagori sunnah
mengawali berbuka dengannya, akan tetapi karena ini tidak terdapat dalam hadits
Nabi SAW dan hanya merupakan hasil ijtihad para ulama, maka urutan keutamaannya
berada pada posisi setelah yang disebut dalam hadits, yaitu kurma dan air putih.
Dalam I’anah
al-Thalibin disebutkan,
والحاصل
أن الأفضل أن يفطر بالرطب، ثم التمروفي معناه العجوة، ثم البسر، ثم الماء وكونه من ماء زمزم أولى، ثم الحلو وهو ما لم تمسه
النار كالزبيب، واللبن، والعسل - واللبن أفضل من العسل، واللحم أفضل منهما، ثم
الحلواء
Alhasil, sesungguhnya
yang lebih utama adalah berbuka dengan ruthab (kurma basah), kemudian tamr
(kurma kering). Yang semakna dengan tamr adalah kurma ajwa kemudian kurma muda.
Setelah itu air putih, dimana air zamzam lebih utama dari air lainnya. Kemudian
makanan/minuman yang manis-manis, yakni yang tidak sentuh api seperti anggur,
susu dan madu. Susu lebih utama dari madu. Daging lebih utama dari keduanya. Setelah
itu halwaa (makanan manis yang disentuh api). (I’anah al-Thalibin: II/278)
Setelah kurma, air
putih lebih utama dari makanan/minuman lain, karena air putih ini bersama kurma
ada disebut dalam hadits Nabi SAW sebagaimana dalam hadits di atas. Adapun
selainnya merupakan hasil ijtihad para
ulama. Dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj disebutkan,
وَقَوْلُهُ: فَمَاءٌ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ بَقِيَّةِ أَنْوَاعِ الْحَلْوَى
كَالْعَسَلِ وَغَيْرِهِ لِوُرُودِ الْخَبَرِ فِيهِ.
Perkataan
pengarang: maka air, yakni air itu lebih utama dari jenis makanan/minum yang
manis-manis yang lain seperti madu dan lainnya, karena ada hadits terkait air. (Hasyiah
al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj: II/328)
Sesuai dengan
penjelasan di atas, penempatan posisi makanan/minuman yang manis-manis dalam
urutan kedua setelah kurma adalah dha’if. Dalam Fathul Mu’in disebutkan:
قال الشيخان لا شيء افضل بعد التمر غير الماء فقول
الروياني الحلو افضل من الماء ضعيف
Dua Syeikh (Imam al-Nawawi dan al-Rafi’i)
mengatakan, tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air. Karena itu,
pendapat al-Rauyani bahwa yang manis lebih utama dari air adalah pendapat yang
dha’if. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/278-279)
Wallahua’lam
bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar