‘Illah
hukum merupakan salah satu rukun qiyas dan sangat dominan dalam menentukan
sahnya sebuah qiyas. Karenanya, kajian tentang illah sangat penting untuk
mengetahui apakah sebuah qiyas sah atau tidak, sehingga tidak heran pembahasan berkisar
masalah ‘illah dalam qiyas lebih banyak dalam kitab-kitab ushul fiqh
dibandingkan rukun qiyas lainnya. Devinisi ‘illah sebagaimana dikemukakan dalam
kitab ushul fiqh adalah:
)الأصح )أنها (أي العلة) المعرف للحكم ( فمعنى كون الإسكار مثلاً علة أنه معرف أي علامة على حرمة المسكر
Menurut pendapat yang lebih shahih,
‘illah adalah yang memperkenalkan hukum. Karena itu, makna keadaan memabukkan
merupakan ‘illah (sebagai contoh) adalah keadaan memabukan itu dapat memperkenalkan atau menjadi tanda atas keharaman setiap benda
yang memabukkan. (Ghayah al-Wushul).
Apabila kita menjadikan menyakiti
sebagai ‘illah keharaman mengatakan “ah” kepada orangtua berdasarkan firman
Allah :
فلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" (Q.S. al-Isra’: 23)
Maka itu artinya kita menjadikan
menyakiti sebagai tanda atas keharaman setiap bentuk sikap yang dapat menyakiti
orangtua seperti memukul, mencubit, memarahinya dan lain-lain.
Ditinjau dari aspek substansinya, Zakariya
al-Anshari mengklasifikasikan ‘illah kepada lima pembagian, yaitu:
1.
Washaf hakiki yang dhahir (tidak tersembunyi) dan terzhabith (terukur). Yang
dimaksud dengan washaf hakiki di sini adalah
ما يتعقل في نفسه من غير توقف على عرف أو
غيره.
Suatu sifat yang dapat
tergambar dalam pikiran tentang substansinya tanpa tergantung kepada ‘uruf atau
lainnya.
Contohnya makanan sebagai
‘illah ribawi.
2.
Washaf ‘urfi yang itthirad (tidak berubah dengan sebab perbedaan waktu). Sesuai
dengan namanya, washaf ini dipahami tergantung pada ‘uruf yang berlaku.
Karenanya, kadang-kadang washaf ‘urfi berubah seiring perubahan waktu dan
tempat. Misalnya sifat mulia dan hina pada kafaah dalam pernikahan
3.
Washaf lughawiyah, yakni washaf berdasarkan penamaannya menurut lughat.
Misalnya ‘illah pengharaman nabiiz (anggur) karena penamaannya sebagai khamar
dalam Bahasa Arab.
4.
Hukum syar’i, baik ma’lulnya (hukum yang diperkenalkan oleh ‘illah) hukum
sya’r’i juga ataupun suatu perkara yang hakiki. Contoh yang pertama, menjadikan
kebolehan menjual sesuatu milik bersama sebagai ‘illah kebolehan menggadainya.
Contoh yang kedua, menjadikan keharaman menyentuh rambut dengan sebab terjadi
thalaq dan halal dengan sebab nikah sebagai ‘illah ada kehidupan pada rambut
sama halnya dengan tangan.
5.
Washaf yang murakkab (tersusun dari beberapa unsur). Misalnya menjadikan
pembunuhan yang sengaja dan secara bermusuhan kepada orang yang setara
sebagai ‘illat wujud qishas. Ada empat
unsur di sini, yaitu pembunuhan, faktor kesengajaan, dilakukan karena
bermusuhan dan kesetaraan antara pembunuh dan yang terbunuh. Keempat unsur ini
menjadi ‘illah bagi wujud qishas atas si pembunuh. (Ghayah al-Wushul).
Beberapa catatan tentang pembagian di
atas
1.
Dhahir dan terukur (terdhabith) merupakan syarat ‘illah dalam semua
pembagiannya, bukan hanya menjadi syarat bagi washaf hakiki (pembagian pertama)
sebagamana dhahir kalam pengarang Ghayah al-Wushul di atas. Karena itu, Syeikh
al-‘Ithar dalam Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’ mengatakan,
وَلَمْ يُقَيِّدْهُ وَمَا بَعْدَهُ بِكَوْنِهِ ظَاهِرًا
مُنْضَبِطًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ إلَّا كَذَلِكَ
Pengarang tidak mengqaidkan pembagian washaf ‘urfi dan
pembagian sesudahnya bahwa keadaannya
dhahir dan terdhabith, karena pembagian-pembagian tersebut tidak ada kecuali
demikian adanya (dhahir dan terdhabith) (Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’:
II/275)
2.
Sebagaimana dikemukakan
di atas, ‘illah hukum harus bersifat dhahir. Artinya sebuah washaf yang
tersembunyi (khafaa’) tidak dapat menjadi ‘illah sebuah hukum. Para ulama
menafsirkan makna khafaa’ di sini dengan makna:
مَا لَا يُمْكِنُ الِاطِّلَاعُ عَلَيْهِ
Sesuatu yang tidak memungkinkan
diketahui.
Contoh washaf tersembunyi
adalah keridhaan dalam akad. Pemindahan hak milik dalam suatu jual beli didasarkan
kepada keridhaan antara dua pihak berdasarkan hadits Nabi
SAW:
إنَّما
البيعُ عن تراضٍ
Jual beli hanya berdasarkan saling meridhai (H.R. Ibnu Majah)
Namun kita tidak dapat
menggantungkan keabsahan jual beli tersebut kepada washaf keridhaan
pihak-pihak. Karena keridhaan adalah suatu sifat yang tersembunyi dalam
hati-hati masing-masing pihak yang tidak mungkin diketahui oleh pihak lain.
Karena itu, keabsahan jual beli harus digantungkan kepada suatu washaf lain yang
dhahir dan terdhabith yang diduga mengandung washaf keridhaan tersebut
(madhinnah), yaitu lafazh ijab qabul yang dapat didengar oleh pihak-pihak yang
berakad.
Namun al-Zarkasyi
mengkritik devinisi ini. Menurut beliau, seandainya yang menjadi maksudnya
adalah sesuatu yang tidak memungkinkan diketahui sama sekali, baik dengan
i’tibar dirinya sendiri ataupun dengan i’tibar washaf lain yang dapat menjadi
petunjuk kepadanya (madhinnahnya), maka bagaimana bisa membenarkan
menjadikannya sebagai tanda pengenal (amaarah) hukum, baik dengan i’tibar sendirinya
ataupun dengan i’tibar madhinnahnya. Ada penafsiran lain atas devinisi di atas,
yaitu dengan maksud tidak memungkinkan diketahui dengan i’tibar washaf itu
sendiri, akan tetapi dimungkinkan diketahuinya dengan i’tibar washaf lain
(menjadi ‘illah) yang memberi petunjuk kepada adanya washaf tersebut. Namun
al-Zarkasyi mengatakan, apabila maksudnya seperti yang kedua ini, maka kritikan
di atas dianggap kecil dan sepele. Karena yang tidak memungkinkan diketahui
hanya dengan i’tibar dirinya sendiri, akan tetapi masih memungkinkan
mengetahuinya dengan memperhatikan atsarnya (gejala-gejalanya). (Lihat: al-Bahr
al-Muhith fi Ushul al-Fiqh: VII/170-171)
Disamping penafsiran di atas, ada penafsiran lain terhadap makna khafaa’
(tersembunyi) dalam bab ‘illah hukum, yaitu suatu washaf yang tidak dapat
diketahui dengan indera dhahir manusia. Penafsiran seperti ini dapat dipahami
dari beberapa kitab ushul fiqh karya ulama kontemporer seperti dalam kitab Ilmu
Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf. Dalam kitab ini beliau menjelaskan:
ومعنى ظهوره أن
يكون محسا يدرك بحاسة من الحواس الظاهرة؛ لأن العلة هي المعرف للحكم في الفرع فلا
بد أن تكون أمرا ظاهرا يدرك بالحس في الأصل ويدرك بالحس وجوده في الفرع
Pengertian washaf dhahir adalah washaf
tersebut dapat diketahui dengan indera dhahir, karena ‘illah adalah pengenal
hukum pada furu’. Karena itu diharuskan merupakan sesuatu yang dhahir yang
dapat diketahui dengan indera pada ashal dan juga dapat diketahui keberadaannya
dengan indera pada furu’.
Kemudian beliau melanjutkan:
لهذا لا يصح التعليل بأمر خفي لا يدرك
بحاسة ظاهرة؛ لأنه لا يمكن التحقق من وجوده ولا عدمه
Karena itu, tidak sah menjadi ‘illah dengan suatu yang tersembunyi, yang
tidak dapat diketahui dengan indera dhahir. Karena tidak dapat dipastikan
wujudnya dan juga tidak adanya.
Berdasarkan kriteria ini,
‘Abdul Wahab Khalaf menyebut beberapa
contoh berikut ini:
a.
nuthfah suami yang ada dalam rahim isterinya tidak dapat menjadi ‘illah
hukum penetapan nasab, akan tetapi dikembalikan illahnya kepada madhinnahnya
yang dhahir, yaitu akad pernikahan yang shahih.
b.
Saling ada keridhaan dalam jual beli tidak dapat menjadi ‘illah hukum
pemindahan hak milik dalam perkara pertukaran harta, akan tetapi dikembalikan
‘illahnya kepada madhinnah dhahirnya, yaitu ijab dan qabul
c.
Sempurna akal tidak dapat menjadi ‘illah hukum mencapai akil baligh
seseorang, akan tetapi dikembalikan kepada madhinnah dhahirnya, yaitu berumur
seseorang anak 15 tahun atau muncul tanda-tanda baligh sebelum berumur 15
tahun. (Ilmu Ushul Fiqh: 66)
Pengertian dhahir ‘illat sebagaimana dikemukakan ‘Abdul Wahab Khalaf juga
dikemukakan Wahbah al-Zuhaili dalam kitab beliau, Ushul Fiqh al-Islami berikut
ini:
ومعنى ظهورالعلة كما عرف سابقا أن تكون مدركة بحاسة من الحواس
الظاهرة
Pengertian dhahir ‘illah sebagaimana devinisi
sebelumnya adalah ‘illah tersebut dapat diketahui dengan salah satu indera yang
lima. (Ushul Fiqh al-Islami:
I/654)
3.
Terdhabith dapat diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan makna terukur,
yakni tidak berbeda dengan sebab perbedaan orang yang mengalaminya sebab pengaruh
waktu dan kondisi yang berbeda-beda. Pengarang Hasyiah al-‘Ithar mengatakan,
)قَوْلُهُ:
مُنْضَبِطًا (أَيْ
لَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَفْرَادِ
Perkataan pengarang:
“mundhabith”, maknanya tidak berbeda dengan sebab perbedaan contoh kasusnya.
Seterusnya beliau mengatakan,
فَخَرَجَ الْمَشَقَّةُ بِالنَّظَرِ إلَى الْقَصْرِ وَالْفِطْرِ
فَلَا يُعَلَّلُ بِهِ بَلْ يُعَلَّلُ بِالْمُسافةِ
Karena itu, kesukaran
tidak termasuk ‘illah untuk qashar shalat dan berbuka puasa. Akan tetapi ‘illah
untuknya adalah jarak perjalanan.
(Hasyiah
al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’ul Jawami’: II/257)
Menjadikan jarak perjalanan sebagai ‘illah kebolehan qashar shalat dan
berbuka puasa, karena jarak perjalanan merupakan ukuran yang jelas (dhahir) dan
terdhabith, dimana dalam ukuran jarak perjalanan tersebut berpotensi terjadi
kesukaran.
4.
Berdasarkan uraian point
3 di atas, maka hikmah tidak boleh menjadi
‘illah hukum kalau memang hikmah tersebut tidak memenuhi kriteria ‘terdhabith’.
Zakariya al-Anshari mengatakan,
(ولا
يجوز في الأصح كونها الحكمة إن لم تنضبط) كالمشقة في السفر لعدم انضباطها، فإن
انضبطت جاز كما رجحه الآمدي وابن الحاجب وغيرهما لانتفاء المحذور،
Menurut pendapat yang lebih shahih tidak boleh keadaan ‘illat itu berupa
hikmah jika hikmah tersebut tidak terukur (terdhabith) seperti kesukaran dalam
musafir, karena kesukarannya tidak dapat diukur. Karena itu, jika hikmah
tersebut terukur, maka boleh menjadi ‘illah sebagaimana tarjih al-Aamadiy, Ibnu
al-Haajib dan lainnya karena tidak ada yang perlu dihindari. (Ghayah al-Wushul: 121).
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar