Minggu, 31 Juli 2011

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), pengertian sabab, hal.13

ثم أخذت فى بيان متعلق خطاب الوضع من سبب وغيره فقلت ( وَالسَّبَبُ ) الشرعى هنا ( وَصْفٌ ) وجودى أوعدمى ( ظَاهِرٌ مُنْضَبِطٌ مُعَرِّفٌ لِلْحُكْمِ ) الشرعى لامؤثر فيه بذاته أو بإذن الله أوباعث عليه كما قال بكل قائل كما سيأتى بيانها فى معنى العلة وهذا التعريف مبين لمفهوم السبب وبه عرف المصنف فى شرح المختصركالآمدى وعرفه فى الأصل بما يبين خاصته ولذلك عدلت عنه الى الأول والمعبر عنه هنا بالسبب هو المعبر عنه فى القياس بالعلة كالزنا لوجوب الجلد والزوال لوجوب الظهر والإسكار لحرمة الخمر ومن قال لا يسمى الوقت السببى كالزوال علة نظر الى اشتراط المناسبة فى العلة وسيأتى انها لايشترط فيها بناء على انها المعرف وهو الحق وخرج بمعرف الحكم المانع وسيأتى

Kemudian aku masuk dalam menjelaskan objek ta’alluq khitab wazh’i berupa sebab dan lainnya, maka aku katakan : (Sebab) syar’i di sini adalah sifat, baik yang bersifat wujud ataupun yang bersifat ‘adami/tidak ada (yang zhahir,(1) terukur (2) dan dapat memperkenalkan hukum) syar’i, bukan berarti sifat itu memberi bekas kepada hukum dengan zatnya atau dengan izin Allah ataupun sifat itu yang memotifasi munculnya hukum,(3) sebagaimana dikatakan demikian itu oleh yang mengatakannya sebagaimana penjelasannya nanti pada makna ‘illat. Devinisi ini menjelaskan pengertian sebab. Dengannya, pengarang mendevinisikannya dalam Syarah Mukhtashar sebagaimana halnya al-Amady. Pengarang mendevinisikan sebab dalam Asal dengan sifat yang menjelaskan kekhususannya, karena itu, aku beralih darinya kepada devinisi pertama. Makna yang ‘ibarat di sini dengan sebab merupakan yang ‘ibarat dengan ‘illat dalam bab qiyas,(4) seperti zina merupakan sebab kewajiban cambuk, tergelincir matahari merupakan sebab wajib dhuhur dan memabukkan merupakan sebab keharaman khamar.(5) Orang-orang yang berpendapat bahwa waktu yang bersifat sebagai sebab seperti tergelincir matahari tidak dinamakan sebagai ‘illat, mereka meninjau kepada disyaratkan munasabah pada ‘illat. Nanti akan datang penjelasannya bahwa tidak disyaratkan munasabah pada ‘illat, karena didasarkan bahwa ‘illat itu adalah yang memperkenalkan hukum. Pendapat ini merupakan pendapat yang benar. Dengan perkataan “mu’arrif al-hukm” keluarlah al-mani’. Nanti akan datang penjelasannya.

Penjelasannya

(1).Karena itu, sifat yang tersembunyi tidak dapat dijadikan sebagai sebab, seperti ‘uluq (segumpal darah sebagai bakal bayi) dinisbahkan kepada ‘iddah. ‘Uluq seorang wanita bukan suatu yang dhahir, karena mengetahui ada ‘uluq seorang wanita tidak dapat diketahui secara mudah oleh semua orang. Oleh karena itu, yang menjadi sebab ‘iddah adalah haruslah sesuatu yang dhahir, yaitu jatuh thalaq.1 Dengan demikian, kapan ada thalaq, waktu itu ada ‘iddah, meskipun tidak ada ‘uluq.

(2).Maksudnya, sifat tersebut wujud pada setiap kasus, seperti perjalanan dengan jarak empat burud (perjalanan panjang) merupakan sebab qashar shalat. Kesukaran tidak dapat menjadi sebab qashar shalat, karena kesukaran kadang-kadang wujud pada satu kasus, tetapi tidak wujud dalam kasus yang lain,2 seperti perjalanan panjang dengan menggunakan pesawat terbang

(3).Pendapat mengenai devinisi sebab ini muncul empat pendapat, yaitu :
a.Jumhur Ahlussunnah wal Jama’ah, mengatakan sebab itu adalah suatu sifat yang memperkenalkan hukum atau dengan kata lain, sebab merupakan tanda yang dapat dikenal hukum dengan sebabnya.
b.Mu’tazilah, mengatakan sebab adalah suatu sifat yang dapat memberi ta’tsir bi zatihi (memberi bekas dengan zatnya sendiri) kepada hukum
c.Al-Ghazali, mengatakan sebab adalah suatu sifat yang dapat memberi ta’tsir kepada hukum dengan izin Allah Ta’ala
d.Al-Amady, mengatakan sebab adalah suatu sifat yang memotifasi munculnya suatu ketetapan hukum 3

(4).Al-Banany mengatakan, Alhasil apa saja yang terbenar sebab atasnya, maka terbenar ‘illat atasnya.4

(5).Yang pertama merupakan contoh sebab dalam bentuk perbuatan untuk hukum wajib dan yang kedua adalah contoh sebab dalam bentuk bukan perbuatan juga untuk hukum wajib. Sedangkan yang ketiga adalah contoh sebab untuk hukum haram.5

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 96
2.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 96
3.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 94-95
4.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 95
5.Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 95

1 komentar: