Minggu, 03 Agustus 2014

Tafsir Isyari dalam Pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah (bag.1)



A.    Sumber-sumber tafsir al-Qur’an menurut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah

Berikut keterangan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai sumber-sumber tafsir yang dapat menjadi pedoman dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an, antara lain :
1.      Ibnu Katsir dalam menjelaskan sumber tafsirnya mengatakan :
Pada ketika itu, apabila kita tidak mendapatinya dalam Al-Qur’an dan juga tidak pada sunnah, maka kita kembali kepada pendapat sahabat, karena mereka lebih tahu tentang itu”.

Terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai qaul tabi’in. Menurut pendapat yang shahih tidak menjadi hujjah. [1]
2.      Berkata Ahmad`Shawy :
 Sumber tafsir adalah al-Kitab, al-Sunnah, atsar dan ahli fashahah dari orang-orang Arab asli.[2]

3.      Dalam kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an,  Zarkasyi menjelaskan kepada kita bahwa ada empat sumber tafsir, yaitu naqal (kutipan) dari Rasulullah SAW, perkataan sahabat, muthlaq lughat dan  maqtazhaa makna kalam dan maqtazhaa  kekuatan syara’.  
Penggunaan perkataan sahabat adalah karena perkataan sahabat ditempatkan pada posisi marfu’. Sedangkan perkataan tabi’in terjadi perbedaan ulama dalam menjadikannya sebagai sumber tafsir.[3]  Penjelasan Zarkasyi ini juga telah dikemukakan al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.[4]
Berdasarkan keterangan ulama-ulama besar di atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat sumber tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu :
1.      al-Qur’an itu sendiri,
2.      Hadits Nabi,
3.      Qaul sahabat Nabi
4.      Mutlaq dan maqtazha lughat.
5.      Qaul para tabi’in. Namun dalam hal qaul Tabi’in, para ulama berbeda pendapat tentang penerimaannya sebagai sumber tafsir.
Lalu bagaimana dengan ilham para waliyullah ?

Ilham sebagai sumber tafsir.
Dengan semata-mata mendakwakan diri mendapat ilham atau kasyaf tentang penafsiran suatu ayat al-Qur’an tidaklah menjadi hujjah untuk membenarkan penafsiran yang dilakukannya, apalagi kalau penafsiran itu bertentangan dengan sumber-sumber tafsir mu’tabar, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, qaul sahabat Nabi dan lughat Arab. Para ulama telah menjelaskan kepada kita bahwa ilham tidak dapat menjadi hujjah dalam agama. Hal ini karena ilham tidak ada jaminan aman dari tipu daya syaithan. Berikut ini penjelasan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai kedudukan ilham atau kasyaf dalam kehujjahannya, yaitu :
a.    Syekh Zakaria Al-Anshary mengatakan :
 Ilham yang terjadi pada manusia yang tidak ma’shum tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena tidak aman dari tipu daya syaithan” [5]

b.    Pengarang ‘al-Aqaid al-Nasafiyah (Syekh Najmuddin Abu Hafash, salah seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah terkenal) mengatakan :
“Ilham tidaklah termasuk dalam sebab-sebab mengenal keabsahan sesuatu menurut ahlul haq.”[6]

c.    Abu al-Muzhaffar al-Sam’any dalam kitab al-Qawathi’, menghikayah dari Abu Zaid al-Dabusy salah seorang imam dari kalangan ulama Hanafiyah, mengatakan :
“Ilham adalah sesuatu yang menggerakkan hati kepada suatu ilmu yang menghendaki kepada beramal tanpa ada pendalilian. Pendapat yang menjadi pegangan Jumhur ulama adalah tidak boleh beramal dengannya kecuali pada ketika tidak ada hujjah sama sekali dalam bab mubah. Sebagian ahli bid’ah mengatakan menjadi hujjah.[7]

Syekh Hasan al-‘Ithar menjelaskan kepada kita bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan kepada kita supaya melakukan pendalilian dan itu sebagai dalil bahwa ilham tidak dapat menjadi hujjah. Ayat-ayat al-Qur’an itu diantaranya :
1.      Q.S. al-Hasyr : 2, berbunyi :
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya : Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai mata hati (Q.S. al-Hasyr : 2)


2.      Q.S. al-Ghasyiah : 17, berbunyi :
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (Q.S. al-Ghasyiah : 17)

Selanjutnya beliau mengatakan :
“Tidak ada sebuah perintah merujuk kepada kata hati mengenai hukum-hukum dan aqaid” [8]

B.     Tafsir isyari dalam pandangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
Tafsir isyari adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat yang dipahami dari makna dhahirnya. Yang menjadi asumsi dasar menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna dhahir teks tersebut. Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-‘Irfan mendefenisikan tafsir isyari sebagai berikut :
التفسير الإشاري: هو تأويل القرآن بغيرظاهره لإشارة خفية تظهر لأرباب السلوك والتصوف ويمكن الجمع بينها وبين الظاهرالمراد أيضا
 “Tafsir isyari adalah pentakwilan dengan bukan makna dhahirnya, karena isyarat tersembunyi yang nyata bagi ahli suluk dan tasauf serta dimungkinkan mengkompromikan antara makna isyarat tersebut dan makna dhahir yang menjadi maksudnya juga.”[9]
         
Devinisi di atas menjelaskan kepada kita bahwa bahwa tafsir isyari harus  memenuhi kriteria-kriteria berikut :
a.       Tafsir isyari adalah menyingkap suatu makna yang ada di balik  makna dhahir suatu ayat al-Qur’an
b.      Penafsirannya berdasarkan isyarat yang didapati ahli sufi dalam suluknya.
c.       Pemahaman berdasarkan isyarat tidak boleh bertentangan dan harus dapat dikompromikan dengan makna dhahir dari ayat al-Qur’an

            Kriteria-kriteria tersebut di atas juga dapat dipahami keterangan-keterangan ulama mu’tabar dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah berikut ini :
1.        Dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an, karya al-Suyuthi disebutkan :
قال التفتازاني في شرحه‏:‏ سميت الملاحدة باطنية لادعائهم أن النصوص ليست على ظاهرها بل لها معان باطنية لا يعرفها إلا المعلم وقصدهم بذلك نفي الشريعة بالكلية‏ قال وأما ما يذهب إليه بعض المحققين من أن النصوص على ظواهرها، ومع ذلك فيها إشارات خفية إلى دقائق تنكشف على أرباب السلوك يمكن التطبيق بينها وبين الظواهر المرادة فهو من كمال الإيمان ومحض العرفان‏.‏
“Al-Taftazany dalam Syarahnya mengatakan, dinamakan kelompok mulhid dengan nama bathiniyah karena dakwa mereka bahwa nash-nash itu bukanlah bermakna atas dhahirnya, tetapi ada makna-makna bathin yang tidak diketahui kecuali seorang guru. Tujuan mereka dengan hal itu adalah menafikan syari’at secara menyeluruh. Al-Taftazani melanjutkan, adapun pendapat sebagian ahli tahqiq bahwa nash-nash itu atas dhahirnya, namun padanya ada isyarat-isyarat tersembunyi kepada sehalus-halus makna yang terbuka atas ahli suluk, tetapi antara maknanya tersebut dan makna dhahir yang dimaksudkan dimungkinkan dikompromikan, maka ini bersumber dari sesempurna iman dan ketulusan makrifah.”[10]
2.        Syeikh Tajuddin ibn ‘Ithaillah dalam Lathaif al-Manan sebagaimana kutipan al-Suyuthi menyebutkan :
اعلم أن تفسير هذه الطائفة لكلام الله وكلام رسوله بالمعاني الغريبة ليس إحالة للظاهر عن ظاهره ولكن ظاهر الآية مفهوم منه ما جلبت الآية له ودلت عليه في عرف اللسان وثم أفهامٌ باطنةٌ تُفهم عند الآية والحديث لمن فتح الله قلبه. وقد جاء في الحديث لكل آية ظهر وبطن فلا يصدنك عن تلقي هذه المعاني منهم وأن يقول لك ذو جدل معارضةً: هذا إحالة لكلام الله وكلام رسوله. فليس ذلك بإحالة وإنما يكون إحالة لو قالوا لا معنى للآية إلا هذا وهم لم يقولوا ذلك بل يقرءون الظواهر على ظواهرها مرادًا بها موضوعاتها ويفهمون عن الله تعالى ما أفهمهم‏.‏
“Ketahuilah sesungguhnya penafsiran kelompok ini (ahli sufi) bagi kalam Allah dan Rasul-Nya dengan makna-makna yang sukar dipahami bukanlah memaling nash dhahir dari makna dhahirnya, tetapi dipahami dari dhahir ayat makna-makna yang dikandung  ayat-ayat tersebut dan ditunjuki atasnya oleh ‘uruf bahasa, kemudian pemahaman-pemahaman bathin dipahami dari ayat dan hadits bagi orang-orang yang dibuka Allah hatinya. Sungguh tersebut dalam sebuah hadits, “Bagi setiap ayat ada dhahir dan ada bathin”. Karena itu, jangan memalingkan kamu dari mengambil makna-makna ini dari mereka (ahli sufi). Yang membantah mengatakan kepadamu, “Ini pemalingan dari kalam Allah dan Rasul-Nya.” Maka ini bukanlah pemalingan, sesungguhnya hanya disebut pemalingan kalau mereka mengatakan, “Tidak ada makna ayat kecuali ini”, padahal mereka tidak mengatakan yang demikian itu, tetapi mereka hanya membaca nash dhahir atas makna yang dhahir yang menjadi maksud dan maknanya, kemudian mereka memahami yang bersumber dari Allah Ta’ala apa yang diberikan pemahaman oleh Allah kepada mereka.” [11]
3.        Imam al-Ghazali seorang sufi besar dalam sejarah Islam, dalam Ihya Ulmuddin mengatakan :
ولا يدل تفسير ظاهر اللفظ عليه وليس هو مناقضاً لظاهر التفسير بل هو استكمال له ووصول إلى لبابه عن ظاهره فهذا ما نورده لفهم المعاني الباطنة لا ما يناقض الظاهر
“Tafsir dhahir tidak menunjuki (secara langsung) atasnya (rahasia-rahasia al-Qur’an), tetapi ia tidak bertentangan dengan tafsir dhahir, bahkan ia menyempurnakan dan menyampaikan kepada isinya dari dhahiriyahnya. Maka yang kami kemukakan ini untuk memahami makna-makna yang bathin yang tidak bertentangan dengan makna dhahir.”[12]

Pada halaman sebelumnya, al-Ghazali menuturkan :
ومن ادعى فهم اسرار القرأن ولم يحكم التفسير الظاهر فهو كمن يدعوى البلوغ الى صدر البيت قبل مجاوزة الباب او يدعى فهم مقاصد الاتراك من كلامهم وهو لا يفهم لغة الترك
“Barangsiapa yang mendakwa dirinya memahami rahasia-rahasia al-Qur’an, sedangkan dia tidak teguh mengetahui tafsir dhahir, maka dia sama dengan orang yang mendakwakan dirinya sampai ke dalam rumah sebelum melewati pintunya atau sama dengan orang yang mendakwa dirinya memahami maksud kalam orang-orang Turki, padahal dia tidak memahami bahasa orang Turki.”[13]

Namun demikian, Tafsir isyari ini menurut Ibnu Shalah bukanlah merupakan tafsir, tetapi hanya merupakan bandingan (nadhir) terhadap maksud zhahir al-Qur’an. Kaum Shufi mengatakannya itu bukanlah dalam kerangka menjelaskan maksud ayat, tetapi hanya menyebut suatu  bandingan dengan bandingan (al-nadhir bin nadhir). Dalam mendukung kesimpulan tersebut,  Ibnu Shalah mengatakan :
“Aku telah mendapati dari Imam Abu Hasan al-Wahidy sesungguhnya beliau mengatakan, Abu Abd al-Rahman al-Salamy telah mengarang kitab Hakikat Tafsir. Al-Wahidy mengatakan, “Barang siapa yang mengi’tiqad bahwa yang demikian itu adalah tafsir, maka sungguh ia menjadi kafir.”[14]

Dalam menjelaskan bandingan (nadhir) terhadap maksud zhahir al-Qur’an di atas oleh kaum Shufi, Ibnu Shalah menyebutkan contoh Q.S. al-Taubah : 123, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu (Q.S. al-Taubah :123)

Dengan ayat ini, kaum Shufi menyamakan nafsu yang ada pada manusia dengan kafir dengan jalan kesamaan (wajh al-tasybih) sama-sama  sesuatu yang harus dibenci dan dekat dengan manusia, sehingga seolah-seolah kaum Shufi tersebut mengatakan, “Kita diperintah memerangi nafsu dan golongan kafir yang ada disekitar kita.”[15]
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama dalam penamaan tafsir isyari ini, kalaupun diterima tafsir kaum Shufi ini sebagai tafsir isyari , maka tafsir yang didakwa sebagai tafsir isyari ini haruslah memenuhi kriteria-kriteria dia atas.
Dalam kitabnya Ilmu Tafsir,  Dr. Muhammad Husain al-Zahaby menyebutkan,  yang termasuk dalam katagori tafsir isyari di antara kitab-kitab tafsir antara lain Tafsir al-Qur’an al-Adhim karya Sahal al-Tastariy (w. 283 H), Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdurrahman al-Salamy (w. 412 H) dan ‘Arais al-Bayan fi ‘Haqaiq al-Qur’an karya Abu Muhammad al-Syairazi (w. 606 H).[16]

C.      Penafsiran berdasarkan isyarat yang bertentangan dengan tafsir dhahir merupakan penafsiran al-Qur’an versi kelompok Bathiniyah yang dikecam oleh Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.

1.      Al-Taftazany dalam Syarahnya mengatakan :
سميت الملاحدة باطنية لادعائهم أن النصوص ليست على ظاهرها بل لها معان باطنية لا يعرفها إلا المعلم وقصدهم بذلك نفي الشريعة بالكلية‏
“Al-Taftazany dalam Syarahnya mengatakan, dinamakan kelompok mulhid dengan nama bathiniyah karena dakwa mereka bahwa nash-nash itu bukanlah bermakna atas dhahirnya, tetapi ada makna-makna bathin yang tidak diketahui kecuali seorang guru. Tujuan mereka dengan hal itu adalah menafikan syari’at secara menyeluruh.[17]
2.      Al-Ghazali mengecam kelompok bathiniyah karena mereka menakwilkan al-Qur’an kepada makna bathin yang bertentangan dengan makna dhahir, Beliau berargumentasi bahwa apabila lafazh-lafazh al-Qur’an dan hadits dipalingkan dari maknanya yang dhahir tanpa ada dalil naqal dari Rasulullah SAW, naqal sahabatnya atau tanpa ada dalil aqli yang secara gamblang dapat menjelaskan adanya mudharat menggunakan makna zhahir, maka semua lafazh-lafazh itu batal kepercayaannya dan hilanglah manfaat kalam Allah dan sunnah Rasul-Nya,  padahal kita ber’ubudiyah kepada Allah dengan cara mengamalkan makna dhahir lafazh. Selanjutnya al-Ghazali mengecam kelompok bathiniyah ini dengan ucapan beliau :
Dengan jalan itu, kelompok bathiniyah tersebut melakukan penghancuran semua syari’at dengan cara mentakwil dhahirnya dan memaknainya sesuai dengan pikiran mereka.”[18]

3.       Al-Nasafi mengatakan :
 “Nash-nash dipertempatkan atas dhahirnya dan berpaling darinya kepada makna yang didakwa oleh ahli bathin adalah ilhad (kufur).”[19]

4.      Dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an, karya al-Suyuthi disebutkan :
وسئل شيخ الإسلام سراج الدين البلقيني عن رجل قال في قوله تعالى من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه  إن معناه  "من ذلّ" أي من الذل. "ذي" إشارة إلى النفس، "يشفَ" من الشفا جواب "مَنْ" "ع" أمر من الوعي، فأفتى بأنه ملحد وقد قال تعالى إن الذين يلحدون في آياتنا لا يخفون علينا قال ابن عباس: هو أن يوضع الكلام على غير موضعه. أخرجه ابن أبي حاتم
“Syeikh al-Islam Sirajuddin al-Balqaini ditanya mengenai seseorang yang menafsirkan firman Allah :
من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه
Sesungguhnya maknanya “man dzalla” maksudnya dari perkataan “dzalla”, “dzii” isyarat kepada jiwa, “Yasyfa” dari syifa merupakan jawab dari “man”, sedangkan “’u” amar dari “al-wa’i” , beliau mengifta’ sesungguhnya orang itu adalah mulhid. Allah Taala berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang ilhad (ingkar) ayat-ayat kami, tidak tersembunyi mereka pada kami” Ibnu Abbas mengatakan, “Yaitu memposisikan  kalam bukan atas tempatnya.” Telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Hatim.”[20]

D.      Contoh tafsir yang didakwa sebagai tafsir isyari yang tidak memenuhi kriteria tafsir yang benar menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin telah mengecam beberapa contoh penafsiran ayat al-Qur’an, antara lain :
1.        Penafsiran Q.S. Thaha : 24, berbunyi :
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طغَى
Artinya : Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas (Q.S. Thaha : 24)

Fir’aun dalam ayat di atas diisyaratkan kepada hati yang keras, sehingga ayat di atas bermakna : “Pergilah kepada hati, sesungguhnya ia telah melampaui batas.” Al-Ghazali mengatakan, penafsiran sejenis ini kadang-kadang digunakan sebagian juru nasehat pada maksud-maksud yang benar untuk memperbagus kalam dan menggemarkan para pendengar, tetapi ini tetap terlarang. [21] Ayat ini secara terang bermakna perintah Allah kepada Musa berangkat menemui Fir’aun untuk menyampaikan dakwah dan tentu terlalu jauh serta tidak ada relefansinya kalau perkataan “Fir’aun” dikatakan mengisyaratkan kepada hati, mengingat Fir’aun merupakan orang sudah dicap kufur oleh Allah Ta’ala, sedangkan hati manusia merupakan nur anugerah Allah sebagai alat ma’rifat kepada Allah. Lebih berbahaya lagi, apabila dipahami bahwa termasuk orang yang mempunyai hati adalah para anbiya, para salafusshalih, para auliya Allah, apakah hati mereka ini dapat disamakan dengan Fir’aun? Na’uzubillah, tentu jawabannya tidak dapat disamakan. Maka kelirulah orang-orang yang memahami seperti itu.
2.        Penafsiran Q.S. al-A’raf : 117, berbunyi :
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ
Artinya : Dan Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu! (Q.S. al-A’raf : 117)
Tongkat disini dipahami tempat sandaran selain Allah Ta’ala sehingga makna ayat di atas adalah perintah membuang tempat sandaran selain Allah dan hanya kepada Allah saja menyandarkan diri. Perhatikan, dimana letak relefansinya antara tongkat yang dijadikan Musa sebagai sebab untuk menghancurkan Fir’aun dengan sandaran selain Allah Ta’ala. Tongkat Musa menjadi sarana menghancurkan kebatilan Fir’aun, sedangkan sandaran selain Allah Ta’ala merupakan sesuatu yang tercela. Semua kita pasti akan mengatakan bahwa tongkat Musa sebagai alat menghancurkan kebatilan tidak dapat disamakan dengan sandaran selain Allah yang merupakan perbuatan syirik. Karena itu, maka al-Ghazali setelah menyebut penafsiran batil ini, mengatakan :
“Semua itu adalah haram dan sesat serta dapat merusakkan agama pada makhluq. Tidak pernah dinaqal sesuatupun hal tersebut dari Sahabat, Tabi’in dan juga dari Hasan Basri, sedangkan beliau merupakan tokoh besar dalam dakwah dan menasehati manusia.”[22]

Contoh lain penafsiran al-Qur’an yang didakwa sebagai tafsir isyari yang tidak memenuhi kriteria tafsir yang benar menurut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai berikut :
1.    Penafsiran kaum Syiah Rafidhah Q.S. al-Rahman : 19-22, berbunyi :
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا يَبْغِيَانِ (20) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (21) يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ(22)
Artinya : Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. (Q.S. al-Rahman : 19-22)

Kaum Syiah mengatakan dua lautan itu mengisyaratkan kepada Ali bin Abi Thalib dan Fathimah, sedangkan mutiara dan marjan mengisyaratkan kepada Hasan dan Husein. Al-Suyuthi telah mencela tafsir ini dengan mengatakan sebagai penafsiran orang-orang bodoh.[23]
2.        Penafsiran Q.S. al-Baqarah : 255, berbunyi :
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Artinya : Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya (Q.S. al-Baqarah : 255)

            Ada sebagian orang mulhid (tidak beragama) menafsirkan ayat di atas dengan memotong-motong dan menggabungkan yang tidak semestinya kata-kata dalam ayat tersebut, yakni “man dzalla” maksudnya dari perkataan “dzalla”, sedangkan “dzii” isyarat kepada jiwa, “Yasyfa” dari syifa merupakan jawab dari “man”, sedangkan “’u” amar dari “al-wa’i” (pelihara), sehingga maknanya adalah : “Barangsiapa yang mencela nafsu, maka dia sembuh.” Syeikh al-Islam Sirajuddin al-Balqaini pernah ditanya mengenai seseorang yang menafsirkan firman Allah di atas dengan penafsiran sebagaimana telah kami kemukakan di atas, beliau menjawab :
“Sesungguhnya orang itu adalah mulhid. Allah Taala berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang ilhad (ingkar) ayat-ayat kami, tidak tersembunyi mereka pada kami”[24]

E.       Contoh tafsir isyari yang benar memenuhi kriteria tafsir yang benar menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

1.        Penafsiran Q.S. al-Maidah : 3, berbunyi sebagai berikut :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (Q.S. al-Maidah : 3)

Salah satu pendapat ahli tafsir mengenai makna ayat dia atas adalah aturan-aturan, kewajiban, halal dan haram sudah sempurna dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diturunkan dan penjelasan-penjelasan yang pernah ada. Karena itu, setelah hari ini (hari ‘arafah pada haji wida’), tidak ada tambahan dan pengurangan lagi dengan nasakh. Penafsiran ini berasal diriwayat dari Ibnu Abbas dan al-Saddy. Telah dipilih penafsiran ini oleh al-Jabaiy, al-Balkhiy dan lainnya.[25]
Sayyidina Umar memahami ayat ini sebagai isyarat bahwa Rasulullah SAW tidak lama lagi akan meninggalkan dunia yang fana ini. Isyarat ini merupakan pemahaman Sayyidina Umar dari dhahir makna ayat bahwa agama Islam telah sempurna. Karena apabila agama telah sempurna, maka tugas Rasulullah SAW di dunia sudah selesai dan tentu Baginda SAW tidak lama lagi akan diangkat di sisi-Nya meninggalkan dunia ini. Berdasarkan riwayat yang ada, salah satu dari kalangan sahabat nabi yang mampu menyelami isyarat ini di balik makna dhahir ayat ini adalah Umar r.a. Ibnu Abi Syaibah telah mentakhrij dari ‘Untarah sebagai berikut :
أن عمر رضي الله تعالى عنه لما نزلت الآية بكى فقال له النبي صلّى الله عليه وسلّم: ما يبكيك؟ قال: أبكاني أنا كنا في زيادة من ديننا فأما إذا كمل فإنه لم يكمل شيء قط إلا نقص فقال عليه الصلاة والسلام: صدقت
Artinya : Manakala diturunkan ayat tersebut (Q.S. al-Maidah : 3 di atas) Umar r.a. menangis, lalu Rasulullah SAW bertanya kepada Umar : “Apa yang menyebabkan kamu menangis hai Umar ? Umar menjawab : “Yang membuatku menangis adalah kalau kita selama ini selalu bertambah-tambah dalam agama kita. Namun sekarang apabila sudah sempurna, maka tidak sempurna sesuatupun sama sekali kecuali ia akan berkurang”.  Nabi SAW pun bersabda : “Kamu benar”(H.R. Ibnu Abi Syaibah) [26]

2.        Penafsiran Q.S. al-Maidah : 22, berbunyi :

فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui (Q.S. al-Maidah : 22)

Sahal al-Tastari, seorang ulama sufi yang terkenal karena zuhudnya mengatakan, maksud sekutu Allah dalam ayat di atas bukan cuma sekutu-sekutu Allah berupa patung-patung seperti sembahan kaum jahiliyah sebagaimana makna dhahirnya, tetapi dalam arti luas mencakup juga semua musuh-musuh Allah. Dalam hal ini musuh Allah yang terbesar adalah nafsu amarah yang mengarah manusia kepada jalan yang tidak terpetunjuk kepada jalan Allah.[27] Penafsiran al-Tastari diatas telah dimasukkan oleh Dr. al-Zahabi sebagai katagori tafsir isyari.[28]

(bersambung ke bag. 2)


[1] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. I, Hal. 7 dan 10
[2] Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juzu’ I, Hal. 2
[3] Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 156-161
[4] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 178-179
[5] Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul Syarah Labbul Ushul,  Usaha Keluarga, Semarang, Hal 140 dan Al-Banany, Hasyiah Albanany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juzu’ II, Hal. 356
[6] Najmuddin, al-‘Aqaid al-Nasafiyah, (dicetak dalam Syarh al-‘Aqaid al-Nasafiyah, karya Sa’ad al-Taftazany), Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, Kairo, Hal. 22
[7] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII, Hal. 388
[8] Hasan al-‘Ithar, Hasyiah ‘ala Syarh al-Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 398
[9] Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, Cet. Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 66
[10] .Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 184
[11]. Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 185
[12] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Cet. Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 295
[13] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Cet. Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 292
[14] Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 170-171
[15] Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 170-171
[16] Dr al-Zahabi, Ilmu Tafsir, Darul Muarrif, Kairo, Hal. 72-73.
[17] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 184
[18] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 37
[19] Al-Zabidy, Ittihaf Saadah al-Muttaqin bi Syarh Ihya Ulumuddin, Darul Fikri, Juz. I, Hal. 255
[20] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 184
[21] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 292
[22] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 38
[23] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 180
[24] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 184
[25] Al-Alusy, Ruh al-Ma’aani, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 233
[26] Al-Alusy, Ruh al-Ma’aani, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 233
[27] Lihat Sahal al-Tastari, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Dar al-Haram lil-Turatsi, Kairo, Hal. 90
[28] Dr al-Zahabi, Ilmu Tafsir, Darul Muarrif, Kairo, Hal. 71.

1 komentar: