Jumat, 05 Agustus 2016

Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag.2)

4.       Nash Imam Syafi’i mencela ilmu kalam
Sebagian kecil umat Islam yang anti ilmu kalam sering mengutip nash-nash Imam Syafi’i untuk mendukung pendapatnya sesatnya ilmu kalam. Lalu mereka berteriak, “Coba lihat ini perkataan Imam Syafi’i, kenapa pengikut mazhab Imam Syafi’i masih juga masih mengagung-agungkan ilmu kalam dalam berdalil dalam bidang akidah ?. Sedangkan Imam Syafi’i ikutan mereka mencela ilmu kalam”. Perkataan Imam Syafi’i yang sering mereka kutip ini antara lain :
a.    Al-Rabi’ berkata :
رأيت الشافعي وهو نازل من الدرجة وقوم في المجلس يتكلمون في شيء من الكلام فصاح وقال: إما أن تجاورونا بخير وإما أن تقوموا عنا
Aku melihat Syafi'i turun dari tangga sementara sebagian orang di majelis sedang berbicara tentang sedikit ilmu kalam, maka Syafi'i pun berteriak seraya berkata : "Hendaknya mereka berdekatan dengan kita dengan kebaikan atau hendaknya mereka pergi meninggalkan kita.[1]

b.    Abu Tsur dan Husain mengatakan, aku mendengar Syafi’i berkata :
حكمى في أهل الكلام أن يضربوا بالجريد ويحملوا على الإبل، ويطاف بهم في العشائر والقبائل، وينادى عليهم: هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على الكلام.
Hukumanku bagi para ahli kalam agar mereka dipukul dengan pelepah kurma lalu di diangkut di atas unta lalu di arak di kampung-kampung dan kabilah-kabilah, lalu diserukan atas mereka : "Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Qur'an dan Hadits lalu menuju ilmu kalam.[2]

c.    Yunus bin Abd al-A’la berkata :
أتيت الشافعي بعد ما كلم حفص الفرد فقال: غبت عنا يا أبا موسى، لقد اطلعت من أهل الكلام  على شيء والله ما توهمته قط، ولأن يُبْتَلَى المرءُ بجميع ما نهى الله عنه خلا الشرك بالله، خير من أن يبتليه الله بالكلام
Aku mendatangi Syafi’i setelah beliau berbincang tentang ilmu kalam dengan Hafash al-Fard, beliau mengatakan, menjauhlah dari kami hai Abu Musa, sungguh aku telah mengetahui sesuatu dari ahli kalam, Demi Allah, itu hanya waham kamu saja dan sungguh ditimpa seseorang dengan semua larangan Allah selain syirik kepada Allah itu lebih baik dari pada ditimpa dengan ilmu kalam.[3]

d.   Ibn Abd al-Hakam mengatakan :

كَانَ الشّافعيّ بعد أنّ ناظر حفصَا الفَرْد يكره الكلام.ويقول ما شيء أبغض إليّ من الكلام وأهله.
Sesudah berdialoq dengan Hafash al-Fard, Syafi’i membenci ilmu kalam dan beliau berkata : “Tidak ada sesuatupun yang sangat aku benci melebihi dari ilmu kalam dan ahlinya. [4]

Sebenarnya berdasarkan perkataaan Imam Syafi’i di atas, apakah Imam Syafi’i benar-benar mencela ilmu kalam secara mutlaq atau tidak demikian adanya, akan tetapi yang beliau cela adalah ilmu kalam tertentu yang berkembang pada zaman beliau? Al-Baihaqi seorang ulama besar dalam ilmu hadits yang meriwayatkan perkataan-perkataan Imam Syafi’i tersebut  sebagaimana dikutip di atas mengatakan, yang dicela oleh Imam Syafi’i ini adalah ilmu kalam yang digunakan oleh Hafash al-Fard dan yang sepaham dengannya dari ahli bid’ah. Inilah maksud perkataan Syafi’i dalam mencela ilmu kalam dan ahlinya. Cuma kadang periwayatan perkataan Imam Syafi’i tersebut diriwayat secara mutlaq, kadang-kadang  perawinya meriwayat secara berkaid, sehingga periwayatan yang berkaid ini menjadi dalil dalam memaknai riwayat secara mutlaq.[5]
Diantara riwayat perkataan Imam Syafi’i mencela ilmu kalam yang disebut secara berkaid adalah sebagai berikut :
a.    Ibnu al-Jaruud berkata :
دخل حفص الفرد على الشافعي فكلمه، ثم خرج إلينا الشافعي فقال لنا: لأن يلقى اللهَ العبدُ بذنوب مثل جبال تِهَامَة خير له من أن يلقاه باعتقاد حرف مما عليه هذا الرجل وأصحابه. وكان يقول بخلق القرآن.
Al-Fard menemui Syafi’i serta membicarakan ilmu kalam dengannya. Kemudian Syafi’i keluar menemui kami seraya berkata : “Pertemuan seorang hamba Allah dengan Allah dengan dosa sebanding gunung Tihamah lebih baik dari pertemuan dengan Allah dengan i’tiqad satu huruf dari laki-laki ini dan teman-temannya, laki-laki ini mengatakan al-Qur’an makhluq.”[6]

b.    Al-Rabi’ berkata :
حضرت الشافعي وحدَّثني أبو شعيب إلا أني أعلم أنه حضر عبد الله بن عبد الحكم ويوسف بن عمرو بن يزيد وحفص الفرد وكان الشافعي يسميه المنفرد، فسأل حفص عبد الله بن عبد الحكم فقال: ما تقول في القرءان، فأبى أن يجيبه فسأل يوسف بن عمرو،فلم يجبه وكلاهما أشار إلى الشافعي، فسأل الشافعي فاحتجَّ الشافعي، فطالت المناظرة وغلب الشافعي بالحجة عليه بأن القرءان كلام الله غير مخلوق، وكفَّر حفصاً الفرد، قال الربيع: فلقيت حفصاً الفرد في المسجد بعدُ فقال: أراد الشافعي قتلي
Aku menghadiri Imam Syafi’i, dan Abu Syu’aib bercerita kepadaku, hanya saja aku mengetahui bahwasanya telah hadir Abdullah bin Abdul Hakam, Yusuf bin Amr bin Yazid dan Hafsh al-Fard. Syafi’i menamakannya al-Munfarid (yang suka nyeleneh). Lalu Hafsh bertanya kepada Abdullah bin Abdul Hakam: “Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?” Abdullah tidak mau menjawabnya. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf bin Amr. Yusuf juga tidak menjawabnya. Lalu keduanya mengisyaratkan kepada Syafi’i. Lalu Hafsh bertanya kepada Syafi’i, lalu Syafi’i mematahkan hujjahnya. Kemudian terjadilah  perdebatan panjang. Akhirnya Syafi’i memenangkan hujjah atas Hafsh bahwa al-Qur’an itu firman Allah dan bukan makhluq, dan ia mengkafirkan Hafsh.” Al-Rabi’ berkata: “Lalu aku bertemu Hafsh sesudah itu di Masjid. Ia berkata: “Syafi’i hendak membunuhku.”[7]

Dua riwayat ini mengajarkan kita, sebenarnya perkara yang ditentang dan ditolak oleh  Imam Syafi'i ialah ilmu kalam golongan yang menyeleweng dari pada ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah seperti golongan al-Mu'tazilah yang berpendapat al-Qur’an adalah makhluq, jadi bukan ilmu kalam secara mutlaq.
Al-Hafiz  Ibn 'Asakir  dalam kitabnya, Tabyin Kadzibil-Muftari menyebut perkataan Syafi’i dengan redaksi berikut :
لأن يلقى الله عزّ وجلّ العبدُ بكل ذنب ما خلا الشرك خير له من أن يلقاه بشىء من هذه الأهواء
Bahwa pertemuan seorang hamba dengan Allah azza wa-jalla dengan setiap dosa yang selain dosa syirik itu lebih baik baginya daripada dia bertemu Allah dengan sesuatu yang muncul daripada hawa nafsu (al-ahwa’).[8]

Kemudian Al-Hafiz Ibn 'Asakir menjelaskan pendirian yang sebenarnya dari Imam Syafi'i terhadap ilmu kalam, yakni perkara yang ditentang dan ditolak oleh Imam  Syafi'i adalah ilmu kalam golongan al-Ahwa’ yaitu ilmu kalam golongan yang menyeleweng dari pada ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah.  Adapun ilmu kalam golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, maka itu tidak ditentang dan ditolak beliau. Karena itu, Al-Hafiz Ibn 'Asakir setelah mengutip perkataan-perkataan Imam Syafi’i di atas mengatakan :
والكلامُ المذموم كلام أصحاب الأهوية وما يزخرفه أرباب البدع الـمُرْدية فأما الكلام الموافق للكتاب والسنة الموضح لحقائق الأصول عند ظهور الفتنة فهو محمود عند العلماء ومن يعلمه وقد كان الشافعي يحسنه ويفهمه وقد تكلم مع غير واحد ممن ابتدع وأقام الجحة عليه حتى انقطع
Dan perbahasan kalam yang dicela ialah perbahasan kalam golongan Ahwiyyah (pengikut hawa nafsu yang juga digelari sebagai Ahlul-Ahwa’) dan sesuatu yang dianggap baik oleh ahli bid’ah yang menyeleweng. Adapun perbahasan kalam yang selaras dengan al-Kitab (al-Quran) dan al-Sunnah yang menjelaskan hakikat-hakikat usul ketika munculnya fitnah maka ini suatu hal yang terpuji di menurut para ulama dan siapa yang mengetahuinya. Sesungguhnya Imam Syafi’i menguasai dengan baik dan memahami bahasan kalam ini, dan beliau juga membahas atau berbicara dengan ilmu kalam dengan beberapa orang daripada golongan yang telah melakukan bid’ah dan beliau telah dapat mengalahkan hujah atas ahli bid’ah tersebut sehingga putus.[9]

Al-Baihaqi, setelah menyebur beberapa riwayat yang menerangkan kemampuan Imam Syafi’i menguasai ilmu kalam dengan baik sehingga beliau mampu menolak hujjah ahli bid’ah seperti Hafash al-Fard sebagaimana riwayat Ibn al-Jaruud dan al-Rabi’ di atas,  menjelaskan kepada kita bahwa tidak mungkin Imam Syafi’i menolak ilmu kalam secara mutlaq, padahal beliau sendiri menguasai ilmu tersebut untuk menolak ahli bid’ah yang muncul pada zamannya. Dalam Manaqib al-Syafi’i, al-Baihaqi mengatakan :
كيف يكون كلام أهل السنة والجماعة مذموماً عنده وقد تكلم فيه، وناظر من ناظره فيه، وكشف عن تمويه من ألقى إلى سمع بعض أصحابه من أهل الأهواء شيئاً مما هم فيه؟
Bagaimana mungkin ilmu kalam ahlussunnah wal Jama’ah tercela menurut Imam Syafi’i, sedangkan beliau sendiri membahas ilmu kalam dan berdialoq dengan lawan dialoqnya  tentang ilmu kalam serta membongkar kepalsuan mereka kepada orang yang pernah mendapati mendengar sebagian sahabatnya dari ahli al-ahwa tentang pendapat mereka.[10]





[1] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 459
[2] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 462
[3] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 453-454
[4] Al-Zahabi, Tarikh al-Islam, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 146
[5] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 454
[6] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 454
[7] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 455
[8] Ibn 'Asakir, Tabyin Kadzibil-Muftari, Hal 337
[9] Ibn 'Asakir, Tabyin Kadzibil-Muftari, Hal 339
[10] Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. I, Hal. 454-455

17 komentar:

  1. Bapa yg saya hormati, kiranya bapa berkenaan menjawab pertanyaan yg mengganjal pikiran saya saat ini.
    Dahulu saya belum mengetahui bahwa darah dan madzi itu najis, saat saya terluka, kadang saya sering menghisap darahnya, lalu saya juga sempat melakukan oral sex, dab kedua2nya merupakan dzat najis (saat saya sudah mengetahui). Bagaimana jika najis yg ada di mulut saya itu masih ada, misal najisnya itu mengendap menjadi plak, atau saya juga dulu di behel, dan najisnya menempel bersama lem di gigi (berhubung lem dari behel itu sekarang masih tersisa di gihi meski kawatnya sudah dilepas). Lalu saya juga mengingat bagaimana jika najis dari keduanya mengendap bersama makanan pada gigu berlubang sehingga sulit dijangkau air. Saya berfikir bahwa insyaa Allah najisnya sudah tidak ada karena saya juga setiap hari menggosok gigi dan otomatis akan berkumur2 dg air, tapi yg mengganjal pikiran saya, bagaimana jika najisnya mengendap bersama lem, atau mengendap bersama makanan dalam gigi berlubang yg sulit dijangkau karena membersihkan najisnya tidak bersih. Bagaimana ya pa? Tapi semua yg saya pikirkan ini hanya perkiraan, saya tidak tau apakah najisnya ada atau tidak, apakah dulu najisnya bersih saat berkumu atau tidak. Apakah Allah akan memaafkan jika memang masih ada?

    BalasHapus
    Balasan
    1. qawaidd fiqh mengatakan : tiak dapat dihukum najis sesuatu kecuali sesudah tahqiq (ada dalil yang menunjukannya) ada najis itu.
      karena itu, apa yg ada dlm pikiran sdr itu hanya waham belaka, yg tidak dapat menjadi alasan menetapkan adanya najis ddi mulut sdr.
      banyak2 lah beribadah kepada Allah, dan sering berdoa dijauhkan sifat was2. ingat was-was itu ddatang dari syaitan yg terkutuk
      wassalam

      Hapus
  2. Assalamualaikum pa izin bertanya.
    1. Apakah najis bisa menyebar dalam hal :
    A. Jika rambut saya lembab, lalu bagian kanan drambut saya bersentuhan dg najis, apakah rambut bagian kiri yg tidak bersentuhan dg najis akan menjadi najis karena satu bagian dg rambut kanan yg terkena najis? Berhubung seluruh rambut lembab, tapi yg terkena najis hanya rambut bagian kanan
    B. Jika saya menjemur baju, lalu bajunya sudah lembab, ketika saya pegang sudah tidak ada basah di tangan, namun bajunya lembab, jika bersentuhan dg najis kering, apakah bajunya menjadi najis?
    C. Jika di wc yg basah, lalu di ujung wc ada najis, apakah di bagian lain yg tidak ada najisnya akan menjadi najis?
    *apakah najis bisa menyebar pak? Ya seperti kasus2 diatas? Ketika 1 benda/kain yg basah lalu ujungnya terkena sedikit najis, apakah spontan semuanya benda/kain itu menjadi najis?

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. klau lembab tentu tiddak ada cara najis tersebut menjalar ke bagian benda lain. maka dpt dipastikan kasus seperti itu najisnya tidak manjalar. ini berbeda kalau jatuh najis dalam air tergenang seperti air dalam baskom. tentu bisa menjalar, karena air itu bisa bercampur.

      2. baju yang lembab apabila kena najis, meski najis itu kering, maka baju itu jadi bernajis, karena sesuatu yang lembab apabila bersentuhan dgn najis, meski kering, maka najis itu pasti melengket dgn benda yg lembab.

      3. karena wc benda keras, kalau sekedar basah wc, maka najis di satu bagian wc tidk menjalar ke bagian lain.

      Hapus
    2. Apakah hal itu sama (pada point 3) jika tangan saya basah bagian siku sampai jari, lalu bagian sikunya tekena najis, apakah ini bisa disamakan dg pointb3 trsbt pak?

      Hapus
    3. Lalu pak saya waswas mengenai, begini, beberapa minggu lalu saya mencuci baju, setelah usai saya memeras airnya dari baju2 itu, kemudian saya simpan di baskom hingga menggunung baju2 saya. Saya biarkan dulu baju itu disimpan dibelakang rumah tempat penjemuran karena saya sholat dzuhur dulu, setelah usai, saya kembali, lalu saya lihat dibagian paling atas bajunya ada tahi burung, apakah hal ini sama dg point diatas pak? Apakah najisnya tidak menjalar? Karena tahi burung itu hanya mengenai baju yg paling atas saja, sedang baju paling atas tidak tergenang air sama sekali, hanya ada sisa air dipaling bawah baskom saja. Apakah najisnya tidak menjalar pak? Mohon jawabannya pak karena saya pusing memikirkan itu.

      Hapus
    4. Waktu itu saya mencuci kembali baju yg hanya dikenai kotoran burung itu, dan sisanya saya jemur saja karena saya tidak tau apakah najisnya menjalar atau tidak. Ini bagaimana ustad apakah baju saya itu suci ataukah bernajis?

      Hapus
    5. najis nya tidak menjalar, karena air dlm baskom tidak tergenang.
      sarran kami coba pelajari link di bawah ini. mudah2an was2 sdr dpt hilang.
      http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2016/06/hukum-fiqh-apabila-bertentangan-antara.html

      inggat was2 itu datang dari setan.

      Hapus
    6. Oh iya pak saya akan mempelajari itu. Maaf pa saya banyak bertanya dikarenakan kedangkalan ilmu saya pa. Terimakasih bapa telah menjawab pertanyaan2 saya.

      Hapus
    7. banyak bertanya kan bagus, kan kita hharus saling menasehati. bertanya salah satu cara membanyak ilmu
      wassalam

      Hapus
    8. Lalu pak boleh saya bertanya lagi.
      1. Apabila tangan saya berminyak (minyak goreng maksud saya) lalu menyentuh najis, ketika dibersihkan dengan air apakah harus hilang juga dzat minyaknya? Apakah harus sampai kesat kulit saya? Atau cukup dengan dibasuh dan digosok2 tapi masih terasa lengket minyak, apakah itu sudah suci pak?
      2. Yang kedua jika najis bercampur minyak goreng lalu mengenai tangan saya apakah ini harus dibasuh hingga kulitnya terasa kesat pak? Atau tidak mengapa masih tersisa licinnya juga saat sudah membasuh dan menggosok2? Berhubung untuk menghilangkan licin minyak harus menggunakan sabun
      3. Pak kadang saya bingung, saya pernah membaca bahwa alkohol itu najis, tapi saya pikir di sabun mandi, pasta gigi, dan alat2 mandi atau kecantikan lainnya, ketika saya baca kadang komposisinya terdapat kata alkohol, apakah berarti sabun dipasaran juga mengandung najis pak? Tapi ketika saya bertanya kepada kaka saya, dia hanya menjawab "biarkan saja itu urusan mereka yg membuat, kita tidak tau" ini bagaimana ya pak? Tapi saya juga tidak tau persis alkohol seperti apa yg terdapat dalam kadungannya
      4. Jika saya mencuci baju yg teradapat najis, lalu saya cuci dg sabun, kemudian saya guyur memakai air dari bak, berkali-kali, apakah ini sudah suci pak? Kadang sering terdapat sisa2 busa sedikit dalam basuhan airnya meski telah diguyur berulang2 kali

      Terimakasih pak atas ilmu2 yang telah bapa beri, alhamdulillah sangat membantu saya dalam aktifitas sehari2

      Hapus
  3. Lalu pa saya bingung, saya bingung membedakan apakah ini nanah atau bukan, di wajah saya sering ada benjolan seperti jerawat, tapi jarang sekali yg mengeluarkan nanah, ketika saya pegang rasanya sakit, lalu ketika saya pencet mengeluarkan warna putih seperti gigih beras pa dan sedikit keras tidak lembek seperti nanah, apakah ini najis?

    BalasHapus
  4. Lalu pa misalkan handuk saya terkena sedikit najis itu apakah dimaafkan? Waktu itu saya tidak tau apakah benda itu najis atau bukan, jadi saya simpan handuknya di pintu. Lalu selang beberapa saat anggota tubuh saya yg lembab mengenai handuk itu yg lembab juga, tp saya tidak tau apakah anggota badan saya mengenai handuk yg terkena najisnya atau bukan, karena berhubung belum dicuci dan saya lupa tepat disebelah mana nanah itu mengenai handuknya. Bagaimana ya pa?

    BalasHapus
  5. Bgaimna hukum ambil ruh, cok roh, org yg sudah meninggal, tgku? Sbgimn yg sering msyrkat aceh lkukan bila anggota kluarga.a meninggal dunia

    BalasHapus
    Balasan
    1. kami tidak mngerti apa yg di maksud dgn ambil ruh itu? mohon di jelaskan

      Hapus