Jumat, 12 Mei 2023

Menolak ajakan mesraan karena suami bau badan

 

Apabila ada kasus isteri menolak ajakan suami bermesraan atau bersetubuh karena suami mempunyai bau badan, maka tindakan penolakan isteri tersebut tidak dapat dianggap nusyuz dengan catatan bau badan tersebut secara normal susah ditoleran, sementara suami tidak membiasakan diri membersihkan penyebab bau badannya. Kesimpulan ini sesuai dengan nash ulama berikut ini :

1.  Dalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa karangan Ibnu Hajar al-Haitamiy disebutkan :

 وَسُئِلَ عَمَّا إذَا امْتَنَعَتْ الزَّوْجَةُ مِنْ تَمْكِينِ الزَّوْجِ لِتَشَعُّثِهِ وَكَثْرَةِ أَوْسَاخِهِ هَلْ تَكُونُ نَاشِزَةً؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ لَا تَكُونُ نَاشِزَةٌ بِذَلِكَ وَمِثْلُهُ كُلُّ مَا تُجْبَرُ الْمَرْأَةُ عَلَى إزَالَتِهِ أَخْذًا مِمَّا فِي الْبَيَانِ عَنْ النَّصِّ أَنَّ كُلَّ مَا يَتَأَذَّى بِهِ الْإِنْسَانُ يَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ إزَالَتُهُ.

Imam al-Haitamy ditanyai perihal seorang isteri yang menolak melayani suaminya karena kotor dan banyak dakinya, apakah tindakan tersebut termasuk nusyuz? Beliau menjawab : “Tidak termasuk nusyuz dengan sebab demikian. Sama hukumnya dengan hal itu, setiap keadaan dimana seorang isteri terpaksa menghilangkannya (karena tidak tahan). Karena memahami dari nash yang terdapat dalam kitab al-Bayan bahwa setiap yang dapat menyakiti manusia, wajib atas suami menghilangkannya (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 208)


2.  Fatwa Ibnu Hajar al-Haitamy di atas telah kutip juga oleh al-Syarwani dalam Hasyiah beliau dengan penjelasan beliau sebagai berikut :

أَيْ حَيْثُ تَأَذَّتْ بِذَلِكَ تَأَذِّيًا لَا يُحْتَمَلُ عَادَةً وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ جَوَابُ السُّؤَالِ عَنْ رَجُلٍ ظَهَرَ بِبَدَنِهِ الْمُبَارَكُ الْمَعْرُوفُ وَهُوَ أَنَّهُ إنْ أَخْبَرَ طَبِيبَانِ أَنَّهُ مِمَّا يُعْدِي أَوْ تَأَذَّتْ بِهِ تَأَذِّيًا لَا يُحْتَمَلُ عَادَةً لِمُلَازِمَتِهِ مَعَ ذَلِكَ عَلَى عَدَمِ تَنْظِيفِ مَا بِبَدَنِهِ فَلَا تَصِيرُ نَاشِزَةً بِامْتِنَاعِهَا وَإِنْ لَمْ يُخْبِرَا بِذَلِكَ وَلَازَمَ عَلَى النَّظَافَةِ بِحَيْثُ لَمْ يَبْقَ بِبَدَنِهِ مِنْ الْعُفُونَاتِ مَا تَتَأَذَّى بِهِ عَادَةً وَجَبَ عَلَيْهَا تَمْكِينُهُ وَلَا عِبْرَةَ بِمُجَرَّدِ نَفْرَتِهَا وَمِثْلُ ذَلِكَ فِي هَذَا التَّفْصِيلِ الْقُرُوحُ السَّيَّالَةُ وَنَحْوُهَا مِنْ كُلِّ مَا لَا يُثْبِتُ الْخِيَارَ وَلَا يُعْمَلُ بِقَوْلِهَا فِي ذَلِكَ بَلْ بِشَهَادَةِ مَنْ يُعْرَفُ حَالُهُ لِكَثْرَتِهِ عِشْرَةً لَهُ اهـ ع ش

Maksudnya sekiranya dengan sebab demikian (bau), si isteri dapat tersakiti yang tidak dapat ditahan pada kebiasaan. Ini dipahami dari jawaban pertanyaan perihal seorang suami yang muncul pada tubuhnya mubarak yang ma’ruf, yakni seandainya dua orang tabib memberikan keterangan bahwa suami ada penyakit yang menular atau terdapat suatu yang dapat menyakiti seseorang yang tidak dapat ditoleran pada kebiasaan karena selalu menyertainya, disamping itu tidak mau membersihkan badannya. Maka seorang isteri tidak menjadi nusyuz dengan sebab menolaknya. Sebaliknya, seandainya tidak ada keterangan dari dua orang tabib, sedangkan suami sering mebersihkannya sehingga tidak tersisa pada tubuhnya bau busuk yang dapat menyakiti si isteri pada kebiasaan, maka wajib atas isteri melayani suaminya. Tidak dii’tibar perasaan menjijikan dari si isteri semata.  Tafshil ini juga berlaku pada bisul busuk yang basah dan seumpamanya yakni setiap yang tidak berlaku hak khiyar padanya. Dan tidak diamalkan dengan semata pengakuan si isteri tentang hal tersebut, akan tetapi diharuskan dengan kesaksian orang yang mengerti perihal suami karena sering bergaul dengannya. Demikian ‘Ali Syibra al-Malasiy. (Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal. 325)

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar