Rabu, 13 September 2023

Memahami sudut pandang takdir mubram dan mu’allaq

 

Pembahasan tentang takdir adalah salah satu tema yang tergolong rumit sebab dalil-dalil yang ada sepintas saling bertentangan satu sama lain. Sebagian dalil al-Qur’an dan hadits menjelaskan bahwa semua kejadian di dunia ini sudah tercatat di Lauh Mahfudz dan tidak mungkin berubah. Sebagian dalil lain menegaskan bahwa doa manusia dapat mengubah takdir, demikian juga silaturahim dapat memperpanjang umur dari waktu yang telah ditentukan. Sebagian dalil lainnya memerintahkan kita untuk melakukan aneka perbuatan baik seperti dan menyambung silaturrahim sehingga bisa meraih kehidupan bahagia di dunia maupun akhirat, ini semua mengisyaratkan bahwa ikhtiar manusia punya andil besar dalam menentukan jalan takdir yang akan ia tempuh. Sebenarnya bagaimanakah takdir itu? Menjawab kerumitan ini, para ulama membagi takdir atau qadha dalam dua katagori, yaitu : Pertama, takdir atau qadha mubram yaitu, takdir yang tidak berganti dan berubah. Kedua, takdir atau qadha mu’allaq, yaitu takdir yang perubahannya digantungkan kepada wujud sebuah perbuatan. Apabila perbuatan tersebut wujud, maka wujudlah perubahannya dan apabila tidak wujud perbuatan tersebut, maka tidak juga perubahannya. Mulla al-Qarri seorang ulama besar dari kalangan Hanafiyah mengutip perkataan al-Mudhhirudin al-Zaidaniy yang juga dari kalangan Hanafiyah mengatakan,

اعْلَمْ أَنَّ لِلَّهِ تَعَالَى فِي خَلْقِهِ قَضَاءَيْنِ مُبْرَمًا وَمُعَلَّقًا بِفِعْلٍ، كَمَا قَالَ إِنْ فَعَلَ الشَّيْءَ الْفُلَانِيَّ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهُ فَلَا يَكُونُ كَذَا وَكَذَا مِنْ قَبِيلِ مَا يَتُوقُ إِلَيْهِ الْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَأَمَّا الْقَضَاءُ الْمُبْرَمُ فَهُوَ عِبَارَةٌ عَمَّا قَدَّرَهُ سُبْحَانَهُ فِي الْأَزَلِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعَلِّقَهُ بِفِعْلٍ؟ فَهُوَ فِي الْوُقُوعِ نَافِذٌ غَايَةَ النَّفَاذِ بِحَيْثُ لَا يَتَغَيَّرُ بِحَالٍ، وَلَا يَتَوَقَّفُ عَلَى الْمَقْضِي عَلَيْهِ وَلَا الْمُقْتَضِي لَهُ، لِأَنَّهُ مِنْ عِلْمِهِ بِمَا كَانَ وَمَا يَكُونُ وَخِلَافُ مَعْلُومِهِ مُسْتَحِيلٌ قَطْعًا، وَهَذَا مِنْ قِبَلِ مَا لَا يَتَطَرَّقُ إِلَيْهِ الْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ. قَالَ تَعَالَى لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا مَرَدَّ لِقَضَائِهِ وَلَا مَرَدَّ لِحُكْمِهِ . فَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَلَا يُرَدُّ, مِنَ الْقَبِيلِ الثَّانِي

Ketahuilah, sesungguhnya bagi Allah Ta’ala dalam penciptaannya ada dua takdir, yaitu takdir mubram dan takdir mu’allaq (digantung) dengan sebuah perbuatan, misalnya Allah mengatakan, jika seseorang melakukan perbuatan tertentu, maka dia akan seperti ini dan ini dan jika tidak melakukannya, maka tidak ada ini dan ini. Karena itu, maka takdir mu’allaq ini termasuk dalam katagori yang datang padanya penghapusan dan penetapan sebagaimana firman Allah Ta;ala dalam kitab-Nya yang muhkan, “Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya”. Adapun takdir mubram adalah ungkapan dari apa yang telah ditakdirkan Allah SWT pada azali tanpa digantungnya dengan suatu perbuatanpun. Ini dalam hal terealisasi takdirnya, maka akan terjadi dengan sebenar-benarnya tanpa dapat berubah dengan sebab suatu halpun dan tidak bergantung kepada suatu yang tidak mendukung takdir itu atau yang mendukungnya. Karena hal itu sudah ada dalam ilmu Allah Ta’ala tentang apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Menyalahi ilmu Allah Ta’ala dipastikan mustahil adanya. Ini termasuk termasuk dalam katagori takdir yang tidak datang padanya penghapusan dan penetapan. Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya”. Nabi SAW bersabda, “Tidak ada penolakan atas ketetapan Allah dan hukum-Nya”. Maka sabda Nabi SAW, “Apabila Aku telah menetapkan sesuatu ketetapan, maka tidak dapat ditolak” adalah termasuk katagori kedua. (Mirqaah al-Mafatiih Syarah Misykaah al-Mashaabiih : IX/3677)

 

Pada halaman lain, Mulla al-Qarri mengatakan,

وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْقَضَاءَ الْمُعَلَّقَ يَتَغَيَّرُ، وَأَمَّا الْقَضَاءُ ‌الْمُبْرَمُ فَلَا يُبَدَّلُ وَلَا يُغَيَّرُ

Kesimpulannya, sesungguhnya qadha mu’allaq dapat berubah, sedangkan qadha mubram tidak berganti dan berubah. (Mirqaah al-Mafatiih Syarah Misykaah al-Mashaabiih : IV/1528)

 

Namun penjelasan ini masih tersisa pertanyaan-pertanyaan. Al-Qur’an, hadits dan dalil-dalil rasional telah memastikan bahwa Allah Maha Mengetahui. Sifat ilmu Allah dapat menjangkau apa pun tanpa batas, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Tidak ada satupun kejadian, bahkan yang paling kecil sekalipun semisal kejadian di inti atom, yang tidak diketahui-Nya. Allah berfirman :

 وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ 

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun di dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (Q.S. al-An’am: 59)

 

Berdasarkan ini, seluruh takdir (qadla’) adalah mubram tanpa kecuali. Maka tidak mungkin adanya mengalami perubahan sama sekali, sebab adanya perubahan di level ini sama saja dengan adanya hal-hal yang tidak diketahui Allah. Ketidaktahuan Allah ini mustahil adanya.Jika takdir Allah menjangkau apapun tanpa batas, lalu kenapa ada pembagian takdir kepada yang tidak berubah (mubram) dan berubah (mu’allaq)?

Sebenarnya, semua pertanyaan-pertanyaan ini dapat teruraikan apabila kita melihat takdir atau qadla’ dari tiga sudut pandang yang berbeda. Tiga sudut pandang dimaksud adalah sudut pandang ilmu Allah, sudut pandang pengetahuan malaikat, dan sudut pandang pengetahuan manusia. Uraiannya lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1.  Takdir pada sudut pandang ilmu Allah

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelum ini, dapat dipastikan bahwa Allah Maha Mengetahui. Sifat ilmu Allah dapat menjangkau apa pun tanpa batas, baik hal yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Tidak ada satu pun kejadian, bahkan yang paling kecil sekalipun semisal kejadian di inti atom, yang tidak diketahui Allah. sebagaimana firman Allah Ta’ala Q.S. al-An’am: 59 di atas.

Pada sudut pandang ilmu Allah ini, seluruh takdir  atau qadla’ adalah mubram tanpa kecuali. Seluruhnya telah diketahui sebelumnya dan tidak akan berubah dari apa yang ada dalam ilmu Allah. Sisi inilah yang tidak mungkin mengalami perubahan sama sekali, sebab adanya perubahan di level ini sama saja dengan adanya hal-hal yang tidak diketahui Allah. Ketidaktahuan Allah ini dipastikan mustahil adanya. Syeikh Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

وانقسام القضاء إلى مبرم ومعلق ظاهر بحسب اللوح المحفوظ وأما بحسب العلم فجميع الأشياء مبرمة لأنه إن علم الله حصول المعلق عليه حصل المعلق ولا بد وإن علم الله عدم حصوله لم يحصل

Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu muncul dari sudut pandang yang terbaca pada Lauh Mahfuzh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya takdir yang disangkutkan kepada suatu perbuatan (takdir muallaq), maka hasillah muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak, ketika Allah mengetahui ketiadaan wujud muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. (Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, karangan Ibrahim al-Bajuri serta ta’liqnya oleh Syeikh Ali Jum’ah : 254).

 

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:

 فَالْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ بِالنِّسْبَةِ لِمَا فِي عِلْمِ الْمَلَكِ وَمَا فِي أُمِّ الْكِتَابِ هُوَ الَّذِي فِي عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى فَلَا مَحْوَ فِيهِ أَلْبَتَّةَ وَيُقَالُ لَهُ الْقَضَاءُ الْمُبْرَمُ وَيُقَالُ لِلْأَوَّلِ الْقَضَاءُ الْمُعَلَّقُ

Penghapusan dan penetapan takdir itu adalah pada sudut pandang apa yang diketahui para malaikat dan apa yang tercatat di Ummul KItab (Lauh Mahfudz). Adapun dalam pengetahuan Allah, maka tak ada penghapusan sama sekali. Pengetahuan Allah ini disebut takdir mubram, dan adapun yang pertama itu disebut takdir mu’allaq. (Fath al-Bâri, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani : X/416)

 

2.  Takdir pada sudut pandang pengetahuan Malaikat

Di antara tugas malaikat yang kita ketahui adalah membagi-bagi rezeki, ada yang bertugas mencabut nyawa, ada yang bertugas mencatat amal baik dan amal buruk dan demikian juga malaikat lainnya. Pada sudut pandang pengetahuan malaikat inilah, takdir setiap makhluk yang tercatat di Lauh Mahfudz, ada yang sudah mubram dan ada yang masih mu’allaq. Mereka bisa melihat apakah rezeki Si Fulan sudah merupakan mubram  yang tak bisa diganggu gugat ataukah masih tergantung pada beberapa kondisi yang di pilih Fulan tersebut (mu’allaq), akan tetapi mereka tidak dapat akses apa yang ada dalam ilmu Allah Ta’ala. Misalnya apabila Fulan bekerja keras, maka takdirnya adalah kaya, sedangkan apabila memilih bermalasan maka takdirnya menjadi orang miskin. Demikian juga dengan hidayah, penyakit, umur atau apapun yang terjadi pada Fulan tersebut sebagaimana dijelaskan Ibrahim al-Bajuri dan Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam kutipan di atas.

3.  Takdir pada sudut pandang pengetahuan Manusia.

Bila malaikat bisa melihat sisi takdir yang mubram dan mu’allaq yang tercatat pada lauh mahfuh, manusia sepenuhnya hanya dapat mengetahui sisi takdir mu’allaq saja apabila sudah tiba waktu kejadiannya. Dalam konteks ini, Ibnu Hajar al-Asqalaniy menjelaskan: 

 وَأَنَّ الَّذِي سَبَقَ فِي عِلْمِ اللَّهِ لَا يَتَغَيَّرُ وَلَا يَتَبَدَّلُ وَأَنَّ الَّذِي يَجُوزُ عَلَيْهِ التَّغْيِيرُ وَالتَّبْدِيلُ مَا يَبْدُو لِلنَّاسِ مِنْ عَمَلِ الْعَامِلِ وَلَا يَبْعُدُ أَنْ يَتَعَلَّقَ ذَلِكَ بِمَا فِي عِلْمِ الْحَفَظَةِ وَالْمُوَكَّلِينَ بِالْآدَمِيِّ فَيَقَعُ فِيهِ الْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ كَالزِّيَادَةِ فِي الْعُمُرِ وَالنَّقْصِ وَأَمَّا مَا فِي عِلْمِ اللَّهِ فَلَا مَحْوَ فِيهِ وَلَا إِثْبَاتَ

Sesungguhnya yang telah diketahui Allah, itu sama sekali tidak akan berubah dan berganti. Yang bisa berubah dan berganti adalah sesuatu yang dhahir (tampak) bagi manusia, yaitu berupa perbuatannya dan tentunya berkaitan dengan itu yang tampak kepada para malaikat penjaga (Hafadhah) dan yang ditugasi berhubungan dengan manusia (al-Muwakkilîn). Maka dalam hal inilah terjadi penghapusan dan penetapan takdir, semisal tentang bertambahnya umur atau berkurangnya. Adapun dalam ilmu Allah, maka tidak ada penghapusan atau penetapan.(Fath al-Bâri, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani : XI/488)

 

Manusia hanya bisa mengetahui adanya takdir mubram yang menimpanya hanya ketika suatu hal sudah terjadi. Misalnya, hal-hal yang berhubungan dengan kelahirannya, apa-apa yang sudah atau belum dicapai pada usianya sekarang ini dan segala hal yang telah terjadi di masa lalu dan tidak mungkin diubah. Manusia bisa tahu umur seseorang telah mubram hanya ketika orang itu sudah positif meninggal dunia. Apabila orang itu masih hidup, maka usianya masih sepenuhnya terlihat mu’allaq sehingga ia dituntut untuk menjaga diri dan berobat bila sakit. Ia dilarang menenggak racun atau melakukan hal yang mencelakakan jiwanya yang membuat usianya menjadi pendek. Demikian juga, ia dituntut untuk hidup sehat dan menjaga diri sehingga usianya bisa semakin panjang. Hal yang sama berlaku pada segala hal lainnya.

Dengan memahami ketiga sudut pandang ini, maka segala kebingungan tentang takdir akan mudah terjawab. Seorang muslim dituntut untuk beriman bahwa segala hal sudah diketahui Allah sejak dulu dan pasti terjadi sesuai pengetahuan-Nya, tetapi dia tak boleh menjadikan itu sebagai alasan untuk berdiam diri atau menjadikan takdir sebagai alasan sebab ia tidak tahu apa takdirnya. Yang wajib dilakukan oleh manusia adalah berusaha saja menyambut masa depannya. Dalam konteks inilah Nabi bersabda :

 اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

Berusahalah, semua akan dimudahkan. (H.R. Bukhari  dan Muslim).


Doa dan silaturrahim, apakah dapat memanjangkan umur ?

Di dalam al-Qur’an, Allah berfirman :

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Dan apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaatpun (Q.S. al-A’raf : 34)

 

Sementara itu, ada riwayat dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, Aku mendengar Rausulullah SAW bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa ingin dibentangkan pintu rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya,  hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi. (H.R. Bukhari).

Dalam mengkompromi kedua dalil ini yang dhahirnya saling bertentangan, Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan salah satu jalan kompromi dengan gambaran sebagai berikut :

ثَانِيهمَا أَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى حَقِيقَتِهَا وَذَلِكَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْمِ الْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِالْعُمُرِ وَأَمَّا الْأَوَّلُ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ الْآيَةُ فَبِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَمَّا الْأَوَّلُ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ الْآيَةُ فَبِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى كَأَنْ يُقَالَ لِلْمَلَكِ مَثَلًا إِنَّ عُمُرَ فُلَانٍ مِائَةٌ مَثَلًا إِنْ وَصَلَ رَحِمَهُ وَسِتُّونَ إِنْ قَطَعَهَا وَقَدْ سَبَقَ فِي عِلْمِ اللَّهِ أَنَّهُ يَصِلُ أَوْ يَقْطَعُ فَالَّذِي فِي عِلْمِ اللَّهِ لَا يَتَقَدَّمُ وَلَا يَتَأَخَّرُ وَالَّذِي فِي عِلْمِ الْمَلَكِ هُوَ الَّذِي يُمْكِنُ فِيهِ الزِّيَادَةُ وَالنَّقْصُ وَإِلَيْهِ الْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ فَالْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ بِالنِّسْبَةِ لِمَا فِي عِلْمِ الْمَلَكِ وَمَا فِي أُمِّ الْكِتَابِ هُوَ الَّذِي فِي عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى فَلَا مَحْوَ فِيهِ أَلْبَتَّةَ وَيُقَالُ لَهُ الْقَضَاءُ الْمُبْرَمُ وَيُقَالُ لِلْأَوَّلِ الْقَضَاءُ الْمُعَلَّقُ

Adapun jalan kompromi kedua, penambahan umur secara hakikat. Itu dari sudut pandang pengetahuan malaikat yang ditugasi terkait umur seseorang. Sedangkan yang pertama yang ditunjuk kepadanya oleh ayat al-Qur’an adalah dari sisi pandang ilmu Allah Ta’ala. Semisal dikatakan kepada Malaikat bahwa umur si Fulan adalah seratus tahun jika ia bersilaturahim, dan ia sampai umur enam puluh tahun jika memutus silaturahim. Dan Allah telah lebih dulu tahu si Fulan tadi orang yang bersilaturahim atau memutus silaturahim. Maka, dalam ilmu Allah ketentuan Fulan tersebut tidak bisa dimajukan dan tidak bisa ditunda. Sedangkan dalam catatan ilmu Malaikat masih bisa ditambah atau dikurangi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah : “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” Jadi, yang bisa dihapus dan ditetapkan adalah ketentuan yang ada dalam pengetahuan Malaikat. Sementara dalam catatan Allah tidak bisa diubah sama sekali, yang disebut dengan qadha’ mubram. sedangkan yang pertama disebut dengan qadha’ mu’allaq.(Fath al-Bâri, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani : X/416)

 

Demikian juga, kita disyariatkan untuk berdoa, karena bisa jadi doa merupakan perbuatan yang disangkutnya takdir Allah (takdir muallaq) kepada kita. Ibrahim al-Bajuri mengatakan,

والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة. والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق. أما الثانى فلا استحالة في رفع ما علق رفعه منه على الدعاء ولا في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء

Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Balapun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa saling berlomba hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa yang penghadirannya digantungkan pada doa. (Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, karangan Ibrahim al-Bajuri serta ta’liqnya oleh Syeikh Ali Jum’ah : 254).

Sebagaimana silaturahim, doa juga bisa jadi merupakan tempat bersangkutnya takdir umur seseorang. Misalnya, dalam catatan yang diketahui malaikat bahwa umur si Fulan adalah seratus tahun jika ia berdoa, dan ia sampai umur enam puluh tahun jika tidak berdoa. Dan Allah telah lebih dulu tahu si Fulan tadi orang yang berdoa atau tidak berdoa. Maka, dalam ilmu Allah ketentuan Fulan tersebut tidak bisa dimajukan dan tidak bisa ditunda. Sedangkan dalam catatan ilmu Malaikat masih bisa ditambah atau dikurangi. Karena malaikat tidak mengatahui apa yang ghaib masih dalam ilmu Allah Ta’ala.

Kemudian Ibrahim al-Bajuri melanjutkan,

وأما الأول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن الله تعالى ينزل لطفه بالداعى كما إذا قضى عليه قضاء مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا الله تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة كالرمل وتنزل عليه

Adapun perihal pertama (qadha mubram), doa meskipun tidak dapat menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi hancur berkeping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya. (Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, karangan Ibrahim al-Bajuri serta ta’liqnya oleh Syeikh Ali Jum’ah : 254).

 

Diakhir tulisan ini, catatan yang sangat penting menjadi pedoman adalah, jika kita berkeyakinan bahwa manusia tidak dapat berbuat apa-apa karena semua telah ditetapkan oleh Allah, maka kita terjebak dalam aliran Jabariyah. Dan jika sampai berkeyakinan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya dan Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat manusia, maka kita terjebak pada aliran Qadariyah. Aliran yang benar dalam Islam, yakni Ahlissunah wal Jamaah, berkeyakinan bahwa Allah memang telah menetapkan ketentuan dan takdir, akan tetapi Allah memberi pertolongan kepada hamba-Nya berupa ikhtiar, berusaha dan berdoa. Semua yang terjadi dan yang akan terjadi merupakan taqdir Allah Ta’ala, termasuk sakit yang kita derita. Tetapi meminum obat juga bagian dari takdir sebagai bentuk ikhtiyar dalam penyembuhan penyakit, karena bisa saja Allah telah mentakdirkan dia untuk berobat dan bisa saja Allah telah mentakdirkan obat tersebut sebagai penyembuh sakitnya.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

 

 

1 komentar: