Menggauli istri secara patut dan baik menjadi salah satu kewajiban
yang harus ditaati suami. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam
al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 19, berbunyi :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Dan bergaullah
dengan isterimu secara patut (Q.S. an-Nisa’ : 19)
Kewajiban nafkah atas suami merupakan konsekwensi dari kehalalan
menggauli isterinya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW berbunyi :
فاتقوا الله في
النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ، ولكم عليهن ألا
يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه ، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ، ولهن عليكم
رزقهن وكسوتهن بالمعروف
Hendaklah
kalian bertakwa kepada Allah terhadap isteri kalian, karena kalian mengambil
mereka dengan perlindungan Allah dan
menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Dan kalian memiliki hak
yang menjadi kewajiban mereka untuk tidak mempersilahkan seorangpun di
ranjangnya orang yang kalian benci. Jika mereka lakukan hal itu, maka pukullah
mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan mereka memiliki hak yang menjadi
kewajiban kalian berupa nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf. (H.R.
Muslim,)
Adapun jenis nafkah yang menjadi kewajiban suami menafkahinya
mencakup tempat tinggal yang layak, makanan pokok, pakaian dan kebutuhan lain
sesuai kepatutannya sebagaimana dijelaskan para ulama dalam kitab-kitab fiqh.
Kewajiban nafkah ini dapat saja hilang apabila seorang isteri bersikap nusyuz
kepada suaminya. Para ulama mendevinisikan nusyuz sebagai berikut :
الْخُرُوجُ عَنْ طَاعَةِ الزَّوْجِ
Keluar dari ketaatan kepada
suami.(Hasyiah Jamal ‘ala al-Bujairumi IV/280)
Ketaatan ini merupakan konsekwensi dari kewajiban mahar, pembagian
malam apabila mempunyai isteri lebih dari satu orang, nafkah dan lainnya yang
dibebankan atas suami. Karena itu dalam Fathul Mu’in disebutkan :
(يجب)
المد الآتي وما عطف عليه (لزوجة) أو أمة ومريضة (مكنت) من الاستمتاع بها ومن نقلها
إلى حيث شاء عند أمن الطريق والمقصد ولو بركوب بحر غلبت فيه السلامة
Wajib memberi satu mud dan nafkah yang lain untuk istri, budak
wanita, dan istri yang sakit ketika memasrahkan dirinya sehingga memungkinkan
bagi suami untuk menikmatinya dan tidak keberatan untuk pindah domisili ke
tempat yang diinginkan suami ketika memang dirasa aman untuk bepergian ke
tempat tersebut sekalipun menggunakan jalur laut.(Fathul Mu’in 535)
Syekh Wahbah Zuhaily menjelaskan perihal istri yang dipenjara
menjadi dua katagori. Apabila istri tersebut dipenjara lantaran perbuatannya
ulama sepakat suami tidak wajib untuk memberi nafkah. Hal ini sebagaimana dalam
Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu juz 10 halaman 111 berikut,
اتفق فقهاء المذاهب الأربعة على أنه إذا حبست
الزوجة، سقطت نفقتها؛ لأن فوات حق الاحتباس للزوج كان بسبب منها. أما إن حبست
ظلماً أو خطفت بواسطة رجل، فتسقط نفقتها أيضاً عند الحنفية والحنابلة، لفوات حق
الاحتباس بسبب لا دخل للزوج فيه. وقال المالكية: لا تسقط نفقتها بالحبس ظلماً
وبخطفها من رجل؛ لأن فوات حق الاحتباس ليس من جهتها، ولا دخل لها فيه.
Ulama empat
mazhab sepakat mengenai istri yang dipenjara (lantaran perbuatannya) dapat
menggugurkan nafkah. Hal ini, karena istri tidak dapat melayani suami lantaran
perbuatannya. Apabila istri dipenjara bukan lantaran perbuatannya atau diculik
dengan perantaraan seseorang maka menurut mazhab Hanafi dan Hambali nafkahnya
gugur karena hilang hak melayani suami bukan karena suami, sedangkan menurut
mazhab Maliki nafkahnya tidak gugur karena tidak bisa melayani suami bukan atas
kehendaknya sendiri.( al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu X/111)
Adapun apabila istri dipenjara bukan lantaran perbuatannya, maka
dalam kutipan di atas dijelaskan, terjadi perbedaan ulama dalam menyikapinya.
Menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah tetap nafkahnya gugur. Sedangkan menurut
ulama Malikiyah tidak gugur nafkahnya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, apabila
kita perhatikan nash dari ulama Syafi’iyah di bawah ini dapat dipahami tidak
gugur nafkahnya juga. Karena hilang hak suami sebab ‘uzur tidak dapat
menghilangkan hak nafkah bagi isteri. Dalam al-Iqna’ disebutkan :
)وَ) يَسْقُطُ بِهِ أَيْضًا حَيْثُ لَا
عُذْرَ (نَفَقَتُهَا) وَتَوَابِعُهَا كَالسُّكْنَى وَآلَاتِ التَّنْظِيفِ
وَنَحْوِهَا، فَإِنْ كَانَ بِهَا عُذْرٌ كَأَنْ كَانَتْ مَرِيضَةً أَوْ مُضْنَاةً
لَا تَحْتَمِلُ الْجِمَاعَ أَوْ بِفَرْجِهَا قَرْحٌ أَوْ كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً
أَوْ كَانَ الزَّوْجُ عَبْلًا أَيْ كَبِيرَ الْآلَةِ يَضُرُّهَا وَطْؤُهُ فَلَا
تَسْقُطُ نَفَقَتُهَا لِعُذْرِهَا
Dengan
sebabnya, gugur juga nafkah dan yang berhubungan dengannya seperti tempat
tinggal, alat pembersih dan lainnya apabila tidak ada ‘uzur. Adapun jika si
isteri ‘uzur seperti sakit, sakit menahun yang tidak memungkinkan bersetubuh,
dalam kemaluannya bernanah, atau berdarah penyakit, ataupun suami mempunyai
kemaluan yang besar yang memudharatkan si isteri apabila disetubuhinya, maka
tidak gugur nafkah karena isteri ‘uzur. (Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Iqna’
III/478)
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar