Sabtu, 29 November 2025

Tingginya mahar dalam pernikahan

 

Di Aceh, fenomena tingginya mahar menjadi perbincangan yang tak kunjung usai. Banyak yang menganggap hal ini sebagai bentuk tradisi turun-temurun, tetapi ada juga yang menilai tingginya mahar lebih kepada faktor gengsi sosial yang berkembang di masyarakat. Di Aceh kata mahar ini disebut dengan istilah “Jeulame” secara khusus aplikasikan dalam bentuk emas. Di beberapa daerah di Provinsi Aceh, kisaran mahar mulai dari lima belas mayam sampai dua puluh lima mayam emas murni. Bahkan kadang-kadang dalam keluarga tertentu sering terdengar mahar pernikahan anak gadisnya bisa mencapai empat puluh mayam mas murni. Namun demikian, ada di beberapa daerah maharnya tidak dengan angka di atas, tetapi hanya kisaran tiga sampai tujuh mayam mas. Jika dikonversi dengan rupiah sekarang satu mayam berkisar tujuh juta rupiah, seandainya mahar yang harus diberikan adalah sepuluh mayam emas murni, maka jumlah uang yang harus dipersiapkan calon suami adalah seratus lima juta rupiah. Dijumlahkan saja jika mahar yang harus dikeluarkan sebanyak 15 mayam. Jumlah yang cukup pantastis memang, apalagi bagi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan lebih. Sehingga tidak heran kalau mahar sering dihujani kritik opini publik. Seloroh para pemuda di Aceh, "hana peng hana inong" (tidak ada uang, tidak ada istri) seolah menyiratkan kritik sinis bahwa hanya lelaki yang mapan secara finansial yang dapat menikah. Semakin tingginya harga emas menjadi sebab utama sulitnya seorang laki-laki melamar seorang perempuan. Cinta terkadang harus bernasib kandas di tengah jalan dikarenakan calon suami tidak mampu menyediakan setumpuk emas demi menjaga gengsi sosial keluarga calon isteri.

Memperhatikan fenomena ini, penulis mencoba mengkajinya dari sisi hukum Islam. Mahar dalam Islam adalah pemberian dari calon suami kepada calon istri sebagai tanda kasih sayang, penghormatan, dan keseriusan untuk menikahi. Mahar adalah hak mutlak istri yang wajib diberikan dalam bentuk sesuatu yang berharga dan bisa berupa uang, barang seperti emas, atau jasa yang bernilai dan disepakati bersama kedua belah pihak. Tidak ada batasan jumlah atau jenis mahar tertentu. Bahkan Nabi SAW pernah memerintahkan pemberian mahar, meskipun hanya cincin dari besi dengan sabdanya:

التمس ولو خاتما من حديد

Carilah (untuk mahar) meskipun cincin terbuat dari besi (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Al-Qur’an menjelaskan bahwa mahar merupakan hak penuh isteri dan tidak ada kewenangan wali mengendalikannya, Karena itu,ia bebas mengelolanya menurut kemauannya sendiri. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala berbunyi:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (Q.S. al-Nisa’:4)

Al-Khaazin dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan:

وفي الآية دليل على إباحة هبة المرأة صداقها وأنها تملكه ولا حق للولي فيه.

Dalam ayat ini dalil kebolehan seorang perempuan menghibah maharnya dan mahar tersebut merupakan miliknya serta wali tidak mempunyai hak apapun (Tafsir al-Khaazin:I/340)

 

Jika, mahar merupakan hak dari pihak isteri, maka wali secara otomatis tidak memiliki kewenangan untuk menentukan besaran mahar. Dengan bahasa lain, wali tidak boleh melakukan intervensi dalam menentukan berapa mahar yang harus diserahkan calon suami kepada calon isterinya. Namun persoalannya akan menjadi lain, apabila calon isteri meminta pertimbangan kepada walinya dalam hal menentukan besar mahar yang pantas ia minta. Imam al-Mawardi salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i menjelaskan:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ أَقَلَّ الْمَهْرِ وَأَكْثَرَهُ غَيْرُ مُقَدَّرٍ ، فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِمَا تَرَاضَى عَلَيْهِ الزَّوْجَانِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ

Tidak terdapat ketentuan pada kadar minimal dan maksimal pada mahar, yang menjadi pertimbangan dalam kadarnya adalah kerelaan dan kesepakatan suami istri (al-Hawi al-Kabir, karya al-Mawardi: IX/400)

 

Tingginya mahar dalam pernikahan

Di atas sudah dijelaskan bahwa mahar  merupakan sesuatu yang berharga dan bisa berupa uang, barang seperti emas, atau jasa yang bernilai dan disepakati bersama kedua belah pihak calon suami dan calon isteri serta tidak ada batas minimal dan batas maksimalnya. Namun demikian penentuan mahar dengan ukuran yang tinggi yang menyulitkan orang menjangkaunya merupakan suatu tindakan yang tidak mengikuti sunnah dan anjuran Nabi SAW. Meskipun diakui secara fiqh itu masih dalam katagori sah. Karena itu merupakan hak calon isteri dalam menentukan nilai maharnya. Namun demikian, bila keberkahan sebuah pernikahan merupakan sebuah keinginan dan cita-cita, maka mengikuti sunnah Nabi SAW suatu yang seharusnya dilakukan. Nabi SAW bersabda:

ﺇِﻥَّ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺍﻟﻨَّﻜَـﺎﺡِ ﺑَﺮَﻛَﺔً ﺃَﻳْﺴَﺮُﻩُ مؤوﻧَﺔً

Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah biayanya (H.R. Ahmad)

 

Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda:

ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ

Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (H.R. Abu Daud)

 

Dalam menafsirkan hadits ini, al-Manawi mengatakan,

(‌خير ‌النكاح أيسره) أي أقله مؤونة وأسهله إجابة للخطبة بمعنى أن ذلك يكون مما أذن فيه وعلامة الإذن التيسير ويستدل بذلك على يمن المرأة وعدم شؤمها لأن النكاح مندوب إليه جملة ويجب في حالة فينبغي الدخول فيه بيسر وخفة مؤونة لأنه ألفة بين الزوجين فيقصد منه الخفة فإذا تيسر عمت بركته ومن يسره خفة صداقها وترك المغالاة فيه وكذا جميع متعلقات النكاح من وليمة ونحوها

Hadits Nabi “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah” artinya yang paling sedikit biayanya dan yang paling mudah dalam menerima pinangan. Dengan makna pernikahan merupakan sesuatu yang diizin. Sedangkan tanda izin adalah memudahkannya. Dan itu dibuktikan dengan dengan kemurahan perempuan dan tidak mempersulitnya. Karena secara umum pernikahan itu dianjurkan  dan bisa juga wajib suatu ketika. Karena itu, sepantasnyalah memasukinya dengan mudah dan dengan ringan biaya. Karena pernikahan merupakan hubungan harmonis antara suami dan isteri, maka qashadnya adalah dengan ringan. Apabila ada kemudahan, maka banyaklah berkahnya. Termasuk dalam kemudahan adalah ringan dan tidak mahal maharnya. Demikian juga semua yang berhubungan dengan pernikahan, resepsinya dan lainnya. (Faidh al-qadir: III/482)

 

Semakin besar dan tinggi beban perkawinan dan semakin mempermahal mahar, maka semakin berkuranglah perkawinan. Dan jika semakin berkurang perkawinan, maka potensi perbuatan zina semakin tinggi. Maka mempermudah urusan nikah dan saling tolong menolong dalam hal pernikahan adalah suatu yang seharusnya dilakukan. Karena mempermudah urusan nikah termasuk upaya menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat. Dan juga mahar yang terlalu tinggi berisiko mengubah pandangan terhadap pernikahan itu sendiri, dari ikatan suci yang mengutamakan ketakwaan menjadi transaksi jual beli dan gengsi keluarga. Padahal, tujuan pernikahan bukanlah untuk mendapatkan harta dan status sosial belaka, melainkan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Kamis, 20 November 2025

Cara Rasulullah SAW mengenang jasa pahlawan

 

Puluhan tahun setelah mantan presiden Soeharto lengser, warisan kontroversialnya kembali mencuat ke permukaan dan memicu perdebatan sengit saat pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Prabowo Subianto menobatnya sebagai pahlawan nasional.  Bagi sebagian orang, dia adalah "Bapak Pembangunan" yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dan sebagai penyelamat bangsa dari pengaruh komunisme. Namun bagi kalangan lainnya, rezimnya ditandai dengan pelanggaran hak azazi manusia (HAM), korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menguatnya peran militer dalam ranah sipil dan pemasungan terhadap perbedaan pendapat. Karenanya, penobatannya sebagai pahlawan Nasional merupakan sebuah kebijakan yang keliru dan merugikan masa depan bangsa ini.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap kelayakan mantan presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional, penulis ingin mengajak pembaca menelusuri kembali rekam jejak Nabi Muhammad SAW dalam menyikapi jasa seorang yang kontroversial, yang mempunyai dua sisi yang berbeda, ada sisi baik dan ada juga sisi gelapnya. Dikisahkan Mut’im bin ‘Adiy adalah seorang pembesar Quraisy yang menolong Nabi SAW dan keluarga-keluarga beliau dari embargo di Makkah. Ketika itu, Bani Hasyim dan Bani Muthalib (Nabi SAW dan kerabat beliau) diboikot dan dikucilkan, tidak boleh ada transaksi ekonomi, dilarang dipasok makanan dan tidak boleh ada hubungan pernikahan dengan mereka. Akhirnya Mut’im bin ‘Adiy menyelamatkan Bani Hasyim dengan merobek surat kesepakatan boikot yang digantungkan di Ka’bah. Jasa Mut’im bin ‘Adiy yang lain kepada Nabi SAW adalah ketika Nabi SAW berencana pulang kembali dari Thaif ke Makkah, namun kafir Quraisy dengan tegas menolak menerima kembali Nabi SAW dan para sahabat beliau. Di sini Mut’im bin ‘Adiy muncul lagi memberikan perlindungan kepada Nabi SAW untuk kembali ke Makkah. Tatkala terjadi perang Badar dan kaum muslimin meraih kemenangan. Saat itu Nabi SAW teringat dengan kebaikan Mut’im bin ‘Adiy setelah bertahun-tahun lalu dan Nabi SAW belum bisa membalas jasa Mut’im bin ‘Adiy karena sudah meninggal dunia. Kemudian beliau bersabda di hadapan kaum muslimin dan orang-orang Quraisy,

لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ

Andai saja Mut’im bin ‘Adiy masih hidup, lalu ia berbicara sesuatu (memberikan kebijakan) tentang orang-orang jahat (musuh-musuh Allah) ini untuk mengampuni atau mengasihani mereka, maka akan aku bebaskan mereka untuknya. (H.R. Bukhari)

 

Inilah kisah dari seorang nonmuslim yang menolong Rasulullah SAW dalam berdakwah. Rasulullah tidak melupakan jasa orang lain dan sangat menghargainya, meskipun jasa tersebut berasal dari orang kafir. Inilah bentuk nilai kemanusiaan yang ditunjukkan Rasulullah yang sesuai dengan ajaran Islam. Kekufuran Mut’im bin ‘Adiy merupakan sisi gelap Mut’im bin ‘Adiy, namun ada sisi kebaikan padanya yaitu pernah menolong Rasulullah SAW pada saat beliau sangat membutuhkan pertolongan.  Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu. (Q.S. Al-Baqarah: 237)

 

Apalagi ungkapan rasa terima kasih kepada manusia ini juga merupakan cerminan dari rasa syukur kepada Allah Ta’ala sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi:

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia. (H.R. al-Thabraniy dan Ahmad)

 

Inti dari hadits ini adalah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah SWT. Hal ini karena manusia adalah perantara nikmat dari Allah, dan dengan berterima kasih kepada manusia, kita sebenarnya sudah mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah melalui orang lain. Ada dua makna utama dari hadis ini: yang pertama, syukur kepada manusia merupakan cerminan dan bagian dari kesempurnaan syukur kepada Allah dan yang kedua, tanpa rasa terima kasih kepada manusia, maka rasa syukur kepada Allah tidak akan sempurna atau bahkan tidak diterima.

Melupakan jasa orang lain hanya karena ada secuil kesalahan yang dilakukan seseorang merupakan perilaku kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Karena itu, Rasulullah SAW memberikan label kufur kepada orang-orang yang mudah melupakan kebaikan. Sebagaimana para istri yang apabila mudah melupakan banyak kebaikan suaminya hanya karena satu atau dua kesalahan yang diperbuat suaminya. Nabi SAW bersabda:

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أكْثَرُ أهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ قيلَ: أيَكْفُرْنَ باللهِ ؟ قالَ يَكْفُرْنَ العَشِيرَ ويَكْفُرْنَ الإحْسَانَ، لو أحْسَنْتَ إلى إحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شيئًا، قالَتْ: ما رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Aku pernah diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita, karena mereka sering berbuat kufur.” Beliau ditanya, “Apakah mereka berbuat kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari suami dan kebaikan suami mereka. Bilamana engkau (suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka (istri) sepanjang masa, kemudian ia melihat satu kesalahan saja darimu, ia akan mengatakan, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu. (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Jka tangan terlalu pendek untuk membalas, maka panjangkanlah lisan dengan memuji dan mendoakannya. Jika tidak mampu membalas sebagaimana layaknya, maka memujinya merupakan ungkapan terima kasih dan jika tidak mampu juga, maka berdoalah untuknya dengan  kebaikan. Nabi SAW bersabda:

مَنْ أُعْطِىَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Barangsiapa yang diberikan sebuah hadiah, lalu ia mendapati kecukupan, maka hendaknya ia membalasnya. Jika ia tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya), maka pujilah ia. Barangsiapa yang memujinya, maka sungguh ia telah bersyukur kepadanya. Barangsiapa menyembunyikannya, sungguh ia telah kufur. (H.R. Abu Daud)

 

Berdoa bukan suatu yang berat untuk diucapkan. Hanya beberapa kata seperti “Jazakallah khairan” saja sudah memenuhi anjuran Nabi SAW untuk berdoa kepada pahlawan kita. Ini sesuai dengan Sabda Nabi SAW berikut ini:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, lalu ia mengatakan kepada pelakunya, “Jazakallah khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh ia telah benar-benar meninggikan pujian. (H.R. Turmidzi)

 

Alhasil, mari kita memberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawan yang telah berjasa dalam kehidupan kita, baik jasa pribadi, dalam bernegara atau berbangsa. Jangan melupakannya hanya karena ada satu atau dua kesalahan lain yang menimpanya. Akhirnya, semoga kita dapat meneladani rekam jejak Nabi Muhammad SAW dalam perilaku dan bersikap di dunia fana ini dan jangan larut hanya menyibuk diri dengan menghitung-hitung dosa orang lain. Amiin!.

 

Jumat, 14 November 2025

Apakah terlarang tidur di dalam masjid?

 

Baru-baru ini, Indonesia dan Aceh serta Sumatera Utara khususnya dikejutkan dengan berita yang sangat memilukan dan menyayat hati. Betapa tidak, seorang musafir muda berasal dari Aceh ditemukan tidak bernyawa setelah diduga dianiaya lima pria secara brutal hanya karena beristirahat di sebuah masjid di Sibolga Sumatera Utara, karena kelelahan melakukan perjalanan panjang. Sebagian warga menyelutuk “Kasihan kali, dia cuma tidur. Mungkin capek jalan jauh. Tapi malah dipukuli ramai-ramai”. Peristiwa ini menggugah kita merenung kembali apakah fungsi masjid sebagai rumah Allah yang ramah dan pusat aktifitas keislaman pada hari ini sudah mulai sirna?. Ataukah masjid pada zaman now hanya dipahami sebagai tempat sakral, tempat ritual belaka dan tidak boleh ada aktifitas sosial di dalamnya sehingga tidak ada ruang lagi untuk tidur untuk melepas kelelahan dari perjalanan jauh?. Sebegitu angkerkah masjid, sehingga masjid sebagai fungsi sosial dianggap sebagai suatu yang tabu dengan alasan masjid merupakan tempat suci dan sakral?.

Tidur di masjid pada zaman Rasulullah SAW

Dari beberapa riwayat yang dapat ditelusuri, kita dapat menyimpulkan bahwa masjid pada zaman Nabi SAW tidak hanya sebatas untuk ibadah ritual semata, akan tetapi juga merupakan tempat melepaskan lelah seperti tidur, tempat latihan perang dan lain-lain. Ini dapat dilihat dalam riwayat berikut:

1.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau mengatakan,

‌كُنْتُ ‌غُلَامًا ‌شَابًّا عَزَبًا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَكُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ،

Dahulu aku adalah seorang pemuda yang belum menikah pada masa Nabi SAW dan aku tidur di masjid. (H.R. Bukhari)

 

2.  ’Aisyah r.a menceritakan bahwa ada seorang budak wanita hitam milik salah satu suku arab lalu mereka merdekakan. Ketika wanita ini mendatangi Nabi SAW, dia masuk islam, beliau menceritakan,

 فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ أَوْ حِفْشٌ

Wanita ini memiliki tenda kecil atau gubuk kecil yang berada di dalam masjid. (H.R. Bukhari).

 

3.  Ahlusshufah (para Sahabat Nabi yang fakir tidak mempunya rumah) pada masa Nabi SAW tidur di dalam masjid. Imam al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Sa’id bin al-Musayyab pernah ditanyai hukum tidur di dalam masjid. Beliau menjawab:

فَأَيْنَ كَانَ أَهْلُ الصُّفَّةِ؟ يَعْنِي يَنَامُونَ فِيهِ

Maka di mana lagi tidur ahlusshuffah, yakni mereka tidur di dalam masjid. (H.R. al-Baihaqi)

 

4.  Selain itu, terdapat pula kisah Tsumamah bin Utsal, seorang tokoh dari Bani Hanifah, yang pernah bermalam di masjid sebelum masuk Islam. Sehingga Imam al-Nawawi mengatakan,

  وَكُلُّ هَذَا فِي زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَإِذَا بَاتَ الْمُشْرِكُ فِي الْمَسْجِدِ فَكَذَا الْمُسْلِمُ 

 Dan semua ini (terjadi) pada zaman Rasulullah saw. Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Um: ‘Jika seorang musyrik boleh bermalam di masjid, maka demikian pula (bolehnya) seorang muslim. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/173-174)

 

Pendapat para ulama tentang hukum tidur di dalam masjid

Imam al-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya berpendapat boleh tidur di dalam masjid dan tidak makruh. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Musayyab, ‘Itha’ dan al-Hasan. Ibnu Abbas juga berpendapat yang sama, namun beliau mensyaratkan tidak menjadikan sebagai tempat tidur yang tetap. Riwayat lain dari Ibnu Abbas berpendapat boleh tidur di dalam masjid jika tidur itu karena menungggu waktu shalat. Ahmad dan Ishaq mengatakan, jika tidur karena kelelahan dari perjalanan, maka itu dibolehkan, tidak dijadikan sebagai tempat tidur tetap. Imam Malik berpendapat boleh bagi musafir, tidak untuk penduduk setempat. Namun demikian, ada juga ulama yakni al-Auza’i yang memakruhkan tidur di dalam masjid. Alhasil kebanyakan ulama berpendapat boleh tidur di dalam masjid dengan syarat tidak menjadi sebagai tempat tidur tetap. Hanya al-Auza’i yang berpendapat makruh secara mutlak. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab mengatakan,

يجوز النوم في المسجد ولا كراهة فيه عندنا، نص عليه الشافعي رحمه الله في الأم واتفق عليه الأصحاب، قال ابن المنذر في الإشراف: رخص في النوم في المسجد ابن المسيب وعطاء والحسن والشافعي، وقال ابن عباس: لا تتخذوه مرقدا، وروي عنه: إن كنت تنام للصلاة فلا بأس، وقال الأوزاعي: يكره النوم في المسجد، وقال مالك: لا بأس بذلك للغرباء، ولا أرى ذلك للحاضر، وقال أحمد وإسحاق: إن كان مسافرا أو شبهه فلا بأس، وإن اتخذه مقيلا ومبيتا فلا،

Boleh tidur di masjid dan tidak makruh menurut mazhab kita. Imam al-Syafi‘i rahimahullah telah menegaskan hal ini dalam kitab al-Umm, dan para ulama Syafi‘iyyah sepakat atas pendapat tersebut. Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Isyraf berkata: “Ibnu al-Musayyab, ‘Atha’, al-Hasan, dan al-Syafi‘i memberikan keringanan tidur di masjid.” Sedangkan Ibnu ‘Abbas berkata: “Janganlah kamu menjadikannya sebagai tempat tidur (tetap).” Dalam riwayat lain darinya disebutkan: “Jika kamu tidur di masjid karena hendak menunaikan shalat, maka tidak mengapa.” Al-Auza‘i berpendapat bahwa tidur di masjid hukumnya makruh. Imam Malik berkata: “Tidak mengapa bagi orang asing (musafir) tidur di masjid, tetapi aku tidak menyukai hal itu bagi orang yang tinggal (penduduk setempat).” Imam Ahmad dan Ishaq berkata: “Jika seseorang sedang dalam perjalanan atau dalam keadaan serupa, maka tidak apa-apa; tetapi jika menjadikannya tempat istirahat tetap atau tempat bermalam secara terus-menerus, maka tidak boleh.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/173-174)


Hadits-hadits di atas secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa tidur di dalam masjid sudah merupakan fenomena umum pada zaman Rasulullah SAW dan itu menjadi hujjah kebolehan tidur di dalam masjid. Namun demikian, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan agar tidur di masjid tidak menjadi haram. Ketentuan itu sebagai berikut:

1.  Tidak dalam keadaan junub. Orang yang sedang hadats besar seperti junub, haid, atau nifas, tidak diperkenankan berdiam diri di masjid. Maka tidur di masjid dalam keadaan demikian hukumnya tidak diperbolehkan. 

2.  Tidak mengganggu jamaah lain. Jika seseorang tidur di tempat yang menghalangi jalan masuk, shaf shalat, atau menyebabkan bau tidak sedap, maka hukumnya berubah menjadi tidak boleh karena menimbulkan gangguan.

3.  Mempersempit ruang orang yang melakukan shalat

Penjelasan ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Syarwaniy dalam kitabnya, beliau berkata:  

لَا بَأْسَ بِالنَّوْمِ فِي الْمَسْجِدِ لِغَيْرِ الْجُنُبِ وَلَوْ لِغَيْرِ أَعْزَبَ نَعَمْ إنْ ضَيَّقَ عَلَى الْمُصَلِّينَ أَوْ شَوَّشَ عَلَيْهِمْ حَرُمَ النَّوْمُ فِيهِ  

Tidak mengapa tidur di dalam masjid bagi selain orang yang junub, sekalipun bagi selain orang yang belum menikah. Namun jika (tidur itu) mempersempit orang-orang yang shalat atau mengganggu mereka, maka haram tidur di dalamnya. (Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj; I/271)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Kamis, 06 November 2025

Move on, berdamai dengan masa lalu

 

 

Move on adalah proses melepaskan diri dari masa lalu untuk melanjutkan hidup, bukan hanya sekadar melupakan. Ini melibatkan penerimaan terhadap kenyataan, pemprosesan emosi seperti kesedihan atau kekecewaan, belajar dari pengalaman, dan fokus pada masa kini serta masa depan untuk membangun kembali diri sendiri. Seseorang itu bisa gampang atau susah untuk move on sangat tergantung bagaimana dia menempatkan dan memperlakukan masa lalu. Masa lalu sebagai sesuatu yang paling jauh dari diri kita, tidak mungkin bisa diraih lagi. Waktu tidak pernah berhenti hingga akhir masa. Kita tidak usah terlalu larut dengan masa lalu,  terutama masa lalu yang tidak menyenangkan. Cukuplah masa lalu dikenang sebagai sebuah perjalanan hidup dan menjadi pelajaran hidup untuk menjalani kehidupan lebih baik di masa yang akan datang. Orang yang susah move on, dia tak bisa menempatkan dan memperlakukan masa lalu pada tempatnya. Dia selalu mengingat-ingat masa lalu sebagai sesuatu yang sangat menyiksa dan harus dilampiaskan. Orang yang seperti ini, sama halnya dengan mengejar fatamorgana. Tidak akan ada habis-habisnya dan tidak akan ada ujungnya. Jika susah move on ini terus bersarang di dalam diri manusia, maka bisa memicu benih-benih dendam. Karena itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah move on dan berdamai dengan masa lalu, tanpa perasaan dendam.

Dendam berawal dari sifat pemarah. Sifat marah itu apabila terus dipelihara dan tidak segera diobati dengan memaafkan. Maka akan menjadi dendam terhadap orang yang menyakitinya. Imam al-Ghazali mengatakan,

اعْلَمْ أَنَّ الْغَضَبَ إِذَا لَزِمَ كَظْمُهُ لِعَجْزٍ عَنِ التَّشَفِّي فِي الْحَالِ رَجَعَ إِلَى الْبَاطِنِ وَاحْتَقَنَ فِيهِ فَصَارَ حِقْدًا

Ketahuilah marah itu apabila terus ditahan karena tidak mampu menyembuhnya seketika itu, maka ia akan kembali dan terkurung di dalam batin, kemudian menjadi dendam (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).

 

Dendam adalah perasaan ingin membalas karena sakit hati yang timbul sebab permusuhan dan selalu mencari kesempatan untuk melampiaskan sakit hatinya, agar lawannya mendapat celaka, barulah dia merasa puas. Setiap manusia pasti pernah disakiti, baik oleh ucapan, tindakan, maupun perlakuan tidak adil. Perasaan kecewa, marah, dan terluka pun menjadi hal yang wajar. Namun, ketika luka itu tidak disembuhkan dan malah dipelihara dalam hati, maka muncullah satu penyakit yang sangat berbahaya yakni dendam. Dendam adalah keinginan kuat dalam hati untuk membalas perlakuan buruk atau menyakiti orang yang telah mendzalimi kita. Ia adalah emosi yang tidak sekadar kecewa, tapi juga mengandung niat untuk mencelakai balik, bahkan meski waktunya sudah lama berlalu. Dendam bukan hanya rasa benci biasa. Ia seperti bara api yang terus menyala dalam dada. Dan seperti api, dendam tidak hanya membakar orang lain, tapi lebih dulu membakar orang yang menyimpannya. Ketika seseorang menyimpan dendam, fokus hidupnya berubah. Ia tidak lagi mencari makna, tidak lagi berusaha tumbuh, tetapi hanya terpaku pada balas dendam. Hidup pun terasa berat, penuh kecurigaan dan tidak pernah tenang. Kebahagiaan menjadi hal yang mustahil didapat jika hati terus dipenuhi amarah masa lalu. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَاۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan mau berdamai, maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang dhalim. (Q.S. Asy-Syuraa: 40)

 

Rasulullah SAW pernah menyarankan untuk kita tetap sabar dan memaafkan orang yang membalas kebaikan kita dengan kejahatan sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini:

أنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رسول الله، إنّ لي قَرَابةً أصِلُهم وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ! فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

Seseorang berkata pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saya mempunyai keluarga yang saya hubungi tetapi mereka memutuskan hubungan dengan saya. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka membalas kebaikanku dengan berbuat jahat. Saya berusaha sabar dalam hal ini, tapi mereka selalu berbuat kebodohan kepadaku.” Lalu Rasulullah bersabda:“Apabila keadaanmu benar seperti apa yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menaburkan abu panas kepada mulut mereka dan engkau selalu mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala atas mereka selama engkau tetap berbuat yang demikian.” (H.R. Muslim)

 

Akibat dendam

Imam al-Ghazali menjelaskan kepada kita bahwa dendam itu akan berpotensi mengakibatkan delapan penyakit yang diharamkan, yaitu:

Pertama; sifat dengki. Pada orang yang dendam muncul rasa ingin menghilangkan nikmat yang ada pada orang yang dia dendam. Paling tidak, dia merasa senang apabila hilang nikmat tersebut.

Kedua; berupaya untuk menyembunyikan rasa dengki dalam batinnya dan merasa gembira dengan bahaya yang menimpa orang yang didendamnya.

Ketiga; memutus silaturrahim dengan orang yang di dendam. Tidak ada tegur sapa dan tidak ada saling bicara

Keempat: berpaling muka karena ingin menghinanya

Kelima: mengumpatnya dengan umpatan yang dusta dan berusaha membuka aibnya

Keenam: meniru tingkah lakunya dengan tujuan menghina dan mengolok-oloknya

Ketujuh: menyakiti dengan memukul atau lainnya yang dapat menyakiti fisiknya

Kedelapan: menghambat haknya berupa pembayaran hutang, silaturrahim dan menolak kedhaliman. (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).

Mengobati rasa marah

Di atas sudah dijelaskan bahwa dendam berawal dari sifat pemarah. Karena itu, menghilangkan sifat pemarah merupakan solusi untuk menghilangkan sifat dendam dalam hati. Imam Al-Ghazali menyebutkan enam pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka menghilngkan marah;

Pertama, mengingat kembali al-Qur’an dan hadits perihal keutamaan menahan marah. Keinginan pada keutamaan ganjaran menahan marah, memaafkan kesalahan orang lain, menerima kekurangan orang lain diharapkan dapat mencegahnya untuk melampiaskan kemarahannya. Kedua, menakuti diri dengan murka Allah dengan mengatakan dalam hati, “Kuasa Allah padaku lebih besar daripada kuasaku pada orang tersebut. Kalau kulampiaskan kemarahanku padanya, aku khawatir Allah menimpakan murka-Nya padaku. Sedangkan aku lebih membutuhkan ampunan-Nya

Ketiga, mengingatkan diri pada dampak permusuhan dan konflik berkepanjangan di dunia sekiranya dirinya tidak takut pada akhirat.

Keempat, merenungkan keburukan rupanya saat marah. Manusia yang melampiaskan kemarahannya akan berubah menjadi bentuk lain, yaitu anjing liar dan binatang buas lainnya. Sedangkan manusia yang dapat mengelola kemarahannya menjadi manusia mulia seperti para nabi, para wali, ulama, dan orang bijak lainnya. ia boleh memilih untuk menjadi binatang buas atau makhluk mulia seperti para nabi dan manusia suci lainnya.

Kelima, menakuti dirinya dengan kemarahan yang menjadi sebab yang mendatangkan siksa Allah. Sementara setan terus melakukan propaganda dan bujukan bahwa kalau tidak marah, orang-orang akan mengecilkan dan menghinakannya.

Keenam, mengingatkan diri bahwa murka Allah yang berlaku atas sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya, bukan kehendak dirinya. Bagaimana ia dapat mengatakan, “Kehendakku lebih utama daripada kehendak Allah.” Sedangkan murka Allah lebih besar daripada murkanya. (Ihya ‘Ulumuddin: III/173-174).