Kamis, 06 November 2025

Move on, berdamai dengan masa lalu

 

 

Move on adalah proses melepaskan diri dari masa lalu untuk melanjutkan hidup, bukan hanya sekadar melupakan. Ini melibatkan penerimaan terhadap kenyataan, pemprosesan emosi seperti kesedihan atau kekecewaan, belajar dari pengalaman, dan fokus pada masa kini serta masa depan untuk membangun kembali diri sendiri. Seseorang itu bisa gampang atau susah untuk move on sangat tergantung bagaimana dia menempatkan dan memperlakukan masa lalu. Masa lalu sebagai sesuatu yang paling jauh dari diri kita, tidak mungkin bisa diraih lagi. Waktu tidak pernah berhenti hingga akhir masa. Kita tidak usah terlalu larut dengan masa lalu,  terutama masa lalu yang tidak menyenangkan. Cukuplah masa lalu dikenang sebagai sebuah perjalanan hidup dan menjadi pelajaran hidup untuk menjalani kehidupan lebih baik di masa yang akan datang. Orang yang susah move on, dia tak bisa menempatkan dan memperlakukan masa lalu pada tempatnya. Dia selalu mengingat-ingat masa lalu sebagai sesuatu yang sangat menyiksa dan harus dilampiaskan. Orang yang seperti ini, sama halnya dengan mengejar fatamorgana. Tidak akan ada habis-habisnya dan tidak akan ada ujungnya. Jika susah move on ini terus bersarang di dalam diri manusia, maka bisa memicu benih-benih dendam. Karena itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah move on dan berdamai dengan masa lalu, tanpa perasaan dendam.

Dendam berawal dari sifat pemarah. Sifat marah itu apabila terus dipelihara dan tidak segera diobati dengan memaafkan. Maka akan menjadi dendam terhadap orang yang menyakitinya. Imam al-Ghazali mengatakan,

اعْلَمْ أَنَّ الْغَضَبَ إِذَا لَزِمَ كَظْمُهُ لِعَجْزٍ عَنِ التَّشَفِّي فِي الْحَالِ رَجَعَ إِلَى الْبَاطِنِ وَاحْتَقَنَ فِيهِ فَصَارَ حِقْدًا

Ketahuilah marah itu apabila terus ditahan karena tidak mampu menyembuhnya seketika itu, maka ia akan kembali dan terkurung di dalam batin, kemudian menjadi dendam (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).

 

Dendam adalah perasaan ingin membalas karena sakit hati yang timbul sebab permusuhan dan selalu mencari kesempatan untuk melampiaskan sakit hatinya, agar lawannya mendapat celaka, barulah dia merasa puas. Setiap manusia pasti pernah disakiti, baik oleh ucapan, tindakan, maupun perlakuan tidak adil. Perasaan kecewa, marah, dan terluka pun menjadi hal yang wajar. Namun, ketika luka itu tidak disembuhkan dan malah dipelihara dalam hati, maka muncullah satu penyakit yang sangat berbahaya yakni dendam. Dendam adalah keinginan kuat dalam hati untuk membalas perlakuan buruk atau menyakiti orang yang telah mendzalimi kita. Ia adalah emosi yang tidak sekadar kecewa, tapi juga mengandung niat untuk mencelakai balik, bahkan meski waktunya sudah lama berlalu. Dendam bukan hanya rasa benci biasa. Ia seperti bara api yang terus menyala dalam dada. Dan seperti api, dendam tidak hanya membakar orang lain, tapi lebih dulu membakar orang yang menyimpannya. Ketika seseorang menyimpan dendam, fokus hidupnya berubah. Ia tidak lagi mencari makna, tidak lagi berusaha tumbuh, tetapi hanya terpaku pada balas dendam. Hidup pun terasa berat, penuh kecurigaan dan tidak pernah tenang. Kebahagiaan menjadi hal yang mustahil didapat jika hati terus dipenuhi amarah masa lalu. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَاۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan mau berdamai, maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang dhalim. (Q.S. Asy-Syuraa: 40)

 

Rasulullah SAW pernah menyarankan untuk kita tetap sabar dan memaafkan orang yang membalas kebaikan kita dengan kejahatan sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini:

أنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رسول الله، إنّ لي قَرَابةً أصِلُهم وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ! فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

Seseorang berkata pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saya mempunyai keluarga yang saya hubungi tetapi mereka memutuskan hubungan dengan saya. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka membalas kebaikanku dengan berbuat jahat. Saya berusaha sabar dalam hal ini, tapi mereka selalu berbuat kebodohan kepadaku.” Lalu Rasulullah bersabda:“Apabila keadaanmu benar seperti apa yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menaburkan abu panas kepada mulut mereka dan engkau selalu mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala atas mereka selama engkau tetap berbuat yang demikian.” (H.R. Muslim)

 

Akibat dendam

Imam al-Ghazali menjelaskan kepada kita bahwa dendam itu akan berpotensi mengakibatkan delapan penyakit yang diharamkan, yaitu:

Pertama; sifat dengki. Pada orang yang dendam muncul rasa ingin menghilangkan nikmat yang ada pada orang yang dia dendam. Paling tidak, dia merasa senang apabila hilang nikmat tersebut.

Kedua; berupaya untuk menyembunyikan rasa dengki dalam batinnya dan merasa gembira dengan bahaya yang menimpa orang yang didendamnya.

Ketiga; memutus silaturrahim dengan orang yang di dendam. Tidak ada tegur sapa dan tidak ada saling bicara

Keempat: berpaling muka karena ingin menghinanya

Kelima: mengumpatnya dengan umpatan yang dusta dan berusaha membuka aibnya

Keenam: meniru tingkah lakunya dengan tujuan menghina dan mengolok-oloknya

Ketujuh: menyakiti dengan memukul atau lainnya yang dapat menyakiti fisiknya

Kedelapan: menghambat haknya berupa pembayaran hutang, silaturrahim dan menolak kedhaliman. (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).

Mengobati rasa marah

Di atas sudah dijelaskan bahwa dendam berawal dari sifat pemarah. Karena itu, menghilangkan sifat pemarah merupakan solusi untuk menghilangkan sifat dendam dalam hati. Imam Al-Ghazali menyebutkan enam pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka menghilngkan marah;

Pertama, mengingat kembali al-Qur’an dan hadits perihal keutamaan menahan marah. Keinginan pada keutamaan ganjaran menahan marah, memaafkan kesalahan orang lain, menerima kekurangan orang lain diharapkan dapat mencegahnya untuk melampiaskan kemarahannya. Kedua, menakuti diri dengan murka Allah dengan mengatakan dalam hati, “Kuasa Allah padaku lebih besar daripada kuasaku pada orang tersebut. Kalau kulampiaskan kemarahanku padanya, aku khawatir Allah menimpakan murka-Nya padaku. Sedangkan aku lebih membutuhkan ampunan-Nya

Ketiga, mengingatkan diri pada dampak permusuhan dan konflik berkepanjangan di dunia sekiranya dirinya tidak takut pada akhirat.

Keempat, merenungkan keburukan rupanya saat marah. Manusia yang melampiaskan kemarahannya akan berubah menjadi bentuk lain, yaitu anjing liar dan binatang buas lainnya. Sedangkan manusia yang dapat mengelola kemarahannya menjadi manusia mulia seperti para nabi, para wali, ulama, dan orang bijak lainnya. ia boleh memilih untuk menjadi binatang buas atau makhluk mulia seperti para nabi dan manusia suci lainnya.

Kelima, menakuti dirinya dengan kemarahan yang menjadi sebab yang mendatangkan siksa Allah. Sementara setan terus melakukan propaganda dan bujukan bahwa kalau tidak marah, orang-orang akan mengecilkan dan menghinakannya.

Keenam, mengingatkan diri bahwa murka Allah yang berlaku atas sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya, bukan kehendak dirinya. Bagaimana ia dapat mengatakan, “Kehendakku lebih utama daripada kehendak Allah.” Sedangkan murka Allah lebih besar daripada murkanya. (Ihya ‘Ulumuddin: III/173-174).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar