Move on adalah proses melepaskan diri dari masa lalu untuk
melanjutkan hidup, bukan hanya sekadar melupakan. Ini melibatkan penerimaan
terhadap kenyataan, pemprosesan emosi seperti kesedihan atau kekecewaan, belajar
dari pengalaman, dan fokus pada masa kini serta masa depan untuk membangun
kembali diri sendiri. Seseorang itu bisa gampang atau susah untuk move on sangat
tergantung bagaimana dia menempatkan dan memperlakukan masa lalu. Masa lalu
sebagai sesuatu yang paling jauh dari diri kita, tidak mungkin bisa diraih
lagi. Waktu tidak pernah berhenti hingga akhir masa. Kita tidak usah terlalu
larut dengan masa lalu, terutama masa
lalu yang tidak menyenangkan. Cukuplah masa lalu dikenang sebagai sebuah
perjalanan hidup dan menjadi pelajaran hidup untuk menjalani kehidupan lebih
baik di masa yang akan datang. Orang yang susah move on, dia tak bisa
menempatkan dan memperlakukan masa lalu pada tempatnya. Dia selalu
mengingat-ingat masa lalu sebagai sesuatu yang sangat menyiksa dan harus dilampiaskan.
Orang yang seperti ini, sama halnya dengan mengejar fatamorgana. Tidak akan ada
habis-habisnya dan tidak akan ada ujungnya. Jika susah move on ini terus
bersarang di dalam diri manusia, maka bisa memicu benih-benih dendam. Karena
itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah move on dan berdamai dengan
masa lalu, tanpa perasaan dendam.
Dendam berawal dari sifat pemarah. Sifat marah itu apabila terus
dipelihara dan tidak segera diobati dengan memaafkan. Maka akan menjadi dendam
terhadap orang yang menyakitinya. Imam al-Ghazali mengatakan,
اعْلَمْ أَنَّ الْغَضَبَ إِذَا
لَزِمَ كَظْمُهُ لِعَجْزٍ عَنِ التَّشَفِّي فِي الْحَالِ رَجَعَ إِلَى الْبَاطِنِ
وَاحْتَقَنَ فِيهِ فَصَارَ حِقْدًا
Ketahuilah marah itu apabila terus ditahan karena tidak mampu
menyembuhnya seketika itu, maka ia akan kembali dan terkurung di dalam batin,
kemudian menjadi dendam (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).
Dendam adalah perasaan ingin membalas karena sakit hati yang timbul
sebab permusuhan dan selalu mencari kesempatan untuk melampiaskan sakit
hatinya, agar lawannya mendapat celaka, barulah dia merasa puas. Setiap manusia
pasti pernah disakiti, baik oleh ucapan, tindakan, maupun perlakuan tidak adil.
Perasaan kecewa, marah, dan terluka pun menjadi hal yang wajar. Namun, ketika
luka itu tidak disembuhkan dan malah dipelihara dalam hati, maka muncullah satu
penyakit yang sangat berbahaya yakni dendam. Dendam adalah keinginan kuat dalam
hati untuk membalas perlakuan buruk atau menyakiti orang yang telah mendzalimi
kita. Ia adalah emosi yang tidak sekadar kecewa, tapi juga mengandung niat
untuk mencelakai balik, bahkan meski waktunya sudah lama berlalu. Dendam bukan
hanya rasa benci biasa. Ia seperti bara api yang terus menyala dalam dada. Dan
seperti api, dendam tidak hanya membakar orang lain, tapi lebih dulu membakar
orang yang menyimpannya. Ketika seseorang menyimpan dendam, fokus hidupnya
berubah. Ia tidak lagi mencari makna, tidak lagi berusaha tumbuh, tetapi hanya
terpaku pada balas dendam. Hidup pun terasa berat, penuh kecurigaan dan tidak
pernah tenang. Kebahagiaan menjadi hal yang mustahil didapat jika hati terus
dipenuhi amarah masa lalu. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
وَجَزٰۤؤُا
سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَاۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى
اللّٰهِۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ
Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan
tetapi, siapa yang memaafkan dan mau berdamai, maka pahalanya dari Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang dhalim. (Q.S. Asy-Syuraa: 40)
Rasulullah SAW pernah menyarankan untuk kita tetap sabar dan
memaafkan orang yang membalas kebaikan kita dengan kejahatan sebagaimana kisah yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini:
أنَّ رَجُلًا،
قَالَ: يَا رسول الله، إنّ لي قَرَابةً أصِلُهم وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ
إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ! فَقَالَ:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ، وَلاَ يَزَالُ
مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
Seseorang berkata pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saya
mempunyai keluarga yang saya hubungi tetapi mereka memutuskan hubungan dengan
saya. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka membalas kebaikanku dengan
berbuat jahat. Saya berusaha sabar dalam hal ini, tapi mereka selalu berbuat
kebodohan kepadaku.” Lalu Rasulullah bersabda:“Apabila keadaanmu benar seperti
apa yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menaburkan abu panas kepada
mulut mereka dan engkau selalu mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala atas mereka
selama engkau tetap berbuat yang demikian.” (H.R. Muslim)
Akibat dendam
Imam al-Ghazali menjelaskan kepada kita bahwa dendam itu akan berpotensi
mengakibatkan delapan penyakit yang diharamkan, yaitu:
Pertama; sifat dengki. Pada orang yang dendam muncul rasa ingin
menghilangkan nikmat yang ada pada orang yang dia dendam. Paling tidak, dia
merasa senang apabila hilang nikmat tersebut.
Kedua; berupaya untuk menyembunyikan rasa dengki dalam batinnya dan
merasa gembira dengan bahaya yang menimpa orang yang didendamnya.
Ketiga; memutus silaturrahim dengan orang yang di dendam. Tidak ada
tegur sapa dan tidak ada saling bicara
Keempat: berpaling muka karena ingin menghinanya
Kelima: mengumpatnya dengan umpatan yang dusta dan berusaha membuka
aibnya
Keenam: meniru tingkah lakunya dengan tujuan menghina dan
mengolok-oloknya
Ketujuh: menyakiti dengan memukul atau lainnya yang dapat menyakiti
fisiknya
Kedelapan: menghambat haknya berupa pembayaran hutang, silaturrahim
dan menolak kedhaliman. (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).
Mengobati rasa marah
Di atas sudah dijelaskan bahwa dendam berawal dari sifat pemarah.
Karena itu, menghilangkan sifat pemarah merupakan solusi untuk menghilangkan
sifat dendam dalam hati. Imam Al-Ghazali menyebutkan enam pendekatan yang dapat
ditempuh dalam rangka menghilngkan marah;
Pertama, mengingat kembali al-Qur’an dan hadits perihal keutamaan
menahan marah. Keinginan pada keutamaan ganjaran menahan marah, memaafkan
kesalahan orang lain, menerima kekurangan orang lain diharapkan dapat
mencegahnya untuk melampiaskan kemarahannya. Kedua, menakuti diri dengan murka
Allah dengan mengatakan dalam hati, “Kuasa Allah padaku lebih besar daripada
kuasaku pada orang tersebut. Kalau kulampiaskan kemarahanku padanya, aku
khawatir Allah menimpakan murka-Nya padaku. Sedangkan aku lebih membutuhkan
ampunan-Nya
Ketiga, mengingatkan diri pada dampak permusuhan dan konflik
berkepanjangan di dunia sekiranya dirinya tidak takut pada akhirat.
Keempat, merenungkan keburukan rupanya saat marah. Manusia yang
melampiaskan kemarahannya akan berubah menjadi bentuk lain, yaitu anjing liar
dan binatang buas lainnya. Sedangkan manusia yang dapat mengelola kemarahannya
menjadi manusia mulia seperti para nabi, para wali, ulama, dan orang bijak
lainnya. ia boleh memilih untuk menjadi binatang buas atau makhluk mulia
seperti para nabi dan manusia suci lainnya.
Kelima, menakuti dirinya dengan kemarahan yang menjadi sebab yang
mendatangkan siksa Allah. Sementara setan terus melakukan propaganda dan
bujukan bahwa kalau tidak marah, orang-orang akan mengecilkan dan
menghinakannya.
Keenam, mengingatkan diri bahwa murka Allah yang berlaku atas
sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya, bukan kehendak dirinya. Bagaimana ia
dapat mengatakan, “Kehendakku lebih utama daripada kehendak Allah.” Sedangkan
murka Allah lebih besar daripada murkanya. (Ihya ‘Ulumuddin: III/173-174).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar