Jumat, 14 November 2025

Apakah terlarang tidur di dalam masjid?

 

Baru-baru ini, Indonesia dan Aceh serta Sumatera Utara khususnya dikejutkan dengan berita yang sangat memilukan dan menyayat hati. Betapa tidak, seorang musafir muda berasal dari Aceh ditemukan tidak bernyawa setelah diduga dianiaya lima pria secara brutal hanya karena beristirahat di sebuah masjid di Sibolga Sumatera Utara, karena kelelahan melakukan perjalanan panjang. Sebagian warga menyelutuk “Kasihan kali, dia cuma tidur. Mungkin capek jalan jauh. Tapi malah dipukuli ramai-ramai”. Peristiwa ini menggugah kita merenung kembali apakah fungsi masjid sebagai rumah Allah yang ramah dan pusat aktifitas keislaman pada hari ini sudah mulai sirna?. Ataukah masjid pada zaman now hanya dipahami sebagai tempat sakral, tempat ritual belaka dan tidak boleh ada aktifitas sosial di dalamnya sehingga tidak ada ruang lagi untuk tidur untuk melepas kelelahan dari perjalanan jauh?. Sebegitu angkerkah masjid, sehingga masjid sebagai fungsi sosial dianggap sebagai suatu yang tabu dengan alasan masjid merupakan tempat suci dan sakral?.

Tidur di masjid pada zaman Rasulullah SAW

Dari beberapa riwayat yang dapat ditelusuri, kita dapat menyimpulkan bahwa masjid pada zaman Nabi SAW tidak hanya sebatas untuk ibadah ritual semata, akan tetapi juga merupakan tempat melepaskan lelah seperti tidur, tempat latihan perang dan lain-lain. Ini dapat dilihat dalam riwayat berikut:

1.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau mengatakan,

‌كُنْتُ ‌غُلَامًا ‌شَابًّا عَزَبًا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَكُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ،

Dahulu aku adalah seorang pemuda yang belum menikah pada masa Nabi SAW dan aku tidur di masjid. (H.R. Bukhari)

 

2.  ’Aisyah r.a menceritakan bahwa ada seorang budak wanita hitam milik salah satu suku arab lalu mereka merdekakan. Ketika wanita ini mendatangi Nabi SAW, dia masuk islam, beliau menceritakan,

 فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ أَوْ حِفْشٌ

Wanita ini memiliki tenda kecil atau gubuk kecil yang berada di dalam masjid. (H.R. Bukhari).

 

3.  Ahlusshufah (para Sahabat Nabi yang fakir tidak mempunya rumah) pada masa Nabi SAW tidur di dalam masjid. Imam al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Sa’id bin al-Musayyab pernah ditanyai hukum tidur di dalam masjid. Beliau menjawab:

فَأَيْنَ كَانَ أَهْلُ الصُّفَّةِ؟ يَعْنِي يَنَامُونَ فِيهِ

Maka di mana lagi tidur ahlusshuffah, yakni mereka tidur di dalam masjid. (H.R. al-Baihaqi)

 

4.  Selain itu, terdapat pula kisah Tsumamah bin Utsal, seorang tokoh dari Bani Hanifah, yang pernah bermalam di masjid sebelum masuk Islam. Sehingga Imam al-Nawawi mengatakan,

  وَكُلُّ هَذَا فِي زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَإِذَا بَاتَ الْمُشْرِكُ فِي الْمَسْجِدِ فَكَذَا الْمُسْلِمُ 

 Dan semua ini (terjadi) pada zaman Rasulullah saw. Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Um: ‘Jika seorang musyrik boleh bermalam di masjid, maka demikian pula (bolehnya) seorang muslim. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/173-174)

 

Pendapat para ulama tentang hukum tidur di dalam masjid

Imam al-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya berpendapat boleh tidur di dalam masjid dan tidak makruh. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Musayyab, ‘Itha’ dan al-Hasan. Ibnu Abbas juga berpendapat yang sama, namun beliau mensyaratkan tidak menjadikan sebagai tempat tidur yang tetap. Riwayat lain dari Ibnu Abbas berpendapat boleh tidur di dalam masjid jika tidur itu karena menungggu waktu shalat. Ahmad dan Ishaq mengatakan, jika tidur karena kelelahan dari perjalanan, maka itu dibolehkan, tidak dijadikan sebagai tempat tidur tetap. Imam Malik berpendapat boleh bagi musafir, tidak untuk penduduk setempat. Namun demikian, ada juga ulama yakni al-Auza’i yang memakruhkan tidur di dalam masjid. Alhasil kebanyakan ulama berpendapat boleh tidur di dalam masjid dengan syarat tidak menjadi sebagai tempat tidur tetap. Hanya al-Auza’i yang berpendapat makruh secara mutlak. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab mengatakan,

يجوز النوم في المسجد ولا كراهة فيه عندنا، نص عليه الشافعي رحمه الله في الأم واتفق عليه الأصحاب، قال ابن المنذر في الإشراف: رخص في النوم في المسجد ابن المسيب وعطاء والحسن والشافعي، وقال ابن عباس: لا تتخذوه مرقدا، وروي عنه: إن كنت تنام للصلاة فلا بأس، وقال الأوزاعي: يكره النوم في المسجد، وقال مالك: لا بأس بذلك للغرباء، ولا أرى ذلك للحاضر، وقال أحمد وإسحاق: إن كان مسافرا أو شبهه فلا بأس، وإن اتخذه مقيلا ومبيتا فلا،

Boleh tidur di masjid dan tidak makruh menurut mazhab kita. Imam al-Syafi‘i rahimahullah telah menegaskan hal ini dalam kitab al-Umm, dan para ulama Syafi‘iyyah sepakat atas pendapat tersebut. Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Isyraf berkata: “Ibnu al-Musayyab, ‘Atha’, al-Hasan, dan al-Syafi‘i memberikan keringanan tidur di masjid.” Sedangkan Ibnu ‘Abbas berkata: “Janganlah kamu menjadikannya sebagai tempat tidur (tetap).” Dalam riwayat lain darinya disebutkan: “Jika kamu tidur di masjid karena hendak menunaikan shalat, maka tidak mengapa.” Al-Auza‘i berpendapat bahwa tidur di masjid hukumnya makruh. Imam Malik berkata: “Tidak mengapa bagi orang asing (musafir) tidur di masjid, tetapi aku tidak menyukai hal itu bagi orang yang tinggal (penduduk setempat).” Imam Ahmad dan Ishaq berkata: “Jika seseorang sedang dalam perjalanan atau dalam keadaan serupa, maka tidak apa-apa; tetapi jika menjadikannya tempat istirahat tetap atau tempat bermalam secara terus-menerus, maka tidak boleh.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/173-174)


Hadits-hadits di atas secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa tidur di dalam masjid sudah merupakan fenomena umum pada zaman Rasulullah SAW dan itu menjadi hujjah kebolehan tidur di dalam masjid. Namun demikian, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan agar tidur di masjid tidak menjadi haram. Ketentuan itu sebagai berikut:

1.  Tidak dalam keadaan junub. Orang yang sedang hadats besar seperti junub, haid, atau nifas, tidak diperkenankan berdiam diri di masjid. Maka tidur di masjid dalam keadaan demikian hukumnya tidak diperbolehkan. 

2.  Tidak mengganggu jamaah lain. Jika seseorang tidur di tempat yang menghalangi jalan masuk, shaf shalat, atau menyebabkan bau tidak sedap, maka hukumnya berubah menjadi tidak boleh karena menimbulkan gangguan.

3.  Mempersempit ruang orang yang melakukan shalat

Penjelasan ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Syarwaniy dalam kitabnya, beliau berkata:  

لَا بَأْسَ بِالنَّوْمِ فِي الْمَسْجِدِ لِغَيْرِ الْجُنُبِ وَلَوْ لِغَيْرِ أَعْزَبَ نَعَمْ إنْ ضَيَّقَ عَلَى الْمُصَلِّينَ أَوْ شَوَّشَ عَلَيْهِمْ حَرُمَ النَّوْمُ فِيهِ  

Tidak mengapa tidur di dalam masjid bagi selain orang yang junub, sekalipun bagi selain orang yang belum menikah. Namun jika (tidur itu) mempersempit orang-orang yang shalat atau mengganggu mereka, maka haram tidur di dalamnya. (Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj; I/271)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar