Kamis, 04 Desember 2025

Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dengan ruh dan jasad

 

Isra’ dan Mi’raj adalah sebuah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Masjidil Aqsha naik ke langit tujuh. Peristiwa ini selalu diperingati oleh ummat Islam. Di Indonesia, peringatan Isra’ dan Mi’raj biasanya diisi dengan ceramah-ceramah agama berkaitan dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri. Perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang dinamakan dengan Isra’ diabadikan dalam firman Allah Ta’ala berbunyi:

ﺳﺒﺤﺎﻥ اﻟﺬﻱ ﺃﺳﺮﻯ ﺑﻌﺒﺪﻩ ﻟﻴﻼ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﺠﺪ اﻟﺤﺮاﻡ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺴﺠﺪ اﻷﻗﺼﻰ اﻟﺬﻱ ﺑﺎﺭﻛﻨﺎ ﺣﻮﻟﻪ ﻟﻨﺮﻳﻪ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺗﻨﺎ ﺇﻧﻪ ﻫﻮ اﻟﺴﻤﻴﻊ اﻟﺒﺼﻴﺮ

Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra,: 1)

 

Perjalanan Isra’ ini berdasarkan dalil sharih al-Qur’an dan hadits serta ijmak ulama. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya, dihukum kafir sebagaimana dijelaskan Ibrahim al-Bajuri berikut ini:

والإسراء من المسجد الحرام الى مسجد الاقصى ثابت بالكتاب والسنة وإجماع المسلمين. فمن انكره كفر

Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha ditetapkan berdasarkan al-Kitab, al-Sunnah dan Ijmak ummat Islam. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya, hukumnya kafir. (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)

 

Al-Hafizh Abu al-Khathab ‘Umar bin Dihyah dalam kitabnya, al-Tanwiir fi Maulid al-Siraj al-Munir sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir mengatakan:

وقد تواترت الروايات في حديث الاسراءعن عمر بن الخطاب وعلي و ابن المسعود وأبي ذر ومالك بن صعصعة وأبي هريرة وأبي سعيد وابن عباس وشداد بن اوس وأبي بن كعب وعبد الرحمن بن قرط وأبي حبة و ابي ليلى الانصاريين وعبد الله بن عمرو وجابر وحذيفة وبريدة وأبي أيوب وأبي امامة وسمرة بن جندب وأبي حمراء وصهيب الرومي وام الهانئ وعائشة وأسماء ابنتي ابي بكر الصديق رضي الله عنهم أجمعين منهم من ساقه بطوله ومنهم من اختصره على ما وقع في المسانيد وان لم تكن رواية بعضهم على شرط الصحة فحديث الاسراء اجمع عليه المسلمون واعرض عنه الزنادقة والملحدون يريدون ليطفؤا نورالله بأفواههم والله متم نوره ولو كره الكافرون

Riwayat-riwayat tentang hadits isra’ datang secara mutawatir dari Umar bin Khathab, Ali, Ibnu Mas’ud, Abi Zar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Abi Sa’id, Ibnu Abbas, Syadad bin Aus, Abi bin Ka’ab, Abdurrahman bin Qurth, Abi Hubbah al-Anshari, Abi Lailaa al-Anshari, Abdullah bin ‘Amr, Jabir, Huzaifah, Buraidah, Abi Aiyub, Abi Umamah, Samrah bin Jundub, Abi Humra’, Shuhaib al-Rumiy, Ummi Haani’, Aisyah binti Abu Bakar  al-Siddiq dan Asmaa binti Abu Bakar al-Siddiq semoga Allah meridhai semua mereka. Sebagian mereka meriwayatkan dengan panjang lebar dan sebagian mereka meringkasnya sebagaimana terdapat dalam sanad-sanad mereka. Meskipun riwayat sebagian mereka tidak memenuhi syarat sah, akan tetapi hadits isra’ ini telah terjadi ijmak kaum muslimin. Hanya orang-orang zindiq dan mulhid yang berpaling darinya karena mereka menginginkan memadam cahaya Allah dengan mulut mereka. Akan tetapi Allah menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya. (Tafsir Ibnu Katsir: V/42)

Mi’raj adalah naik Nabi SAW dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh. Berbeda dengan Isra’, peristiwa Mi’raj diketahui dengan didasarkan kepada hadits masyhur, tidak sampai derajat mutawatir. Karenanya, pengingkaran Mi’raj tidak mengakibatkan kafir orang yang mengingkarinya, akan tetapi hanya dihukum fasiq saja. Ini sesuai dengan penjelasan Ibrahim al-Bajuri berikut:

والمعراج من المسجد الاقصى الى السموات السبع ثابت بالاحاديث المشهورة ومنها الى الجنة ثم الى المستوى او العرش او طرف العالم من فوق العرش على خلاف في ذلك ثابت بالخبر الواحد فمن انكره لا يكفر لكن يفسق والتحقيق انه لم يصل الى العرش كما نصوا عليه في موارد القصة

Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh dibuktikan dengan hadits-hadits masyhur. Adapun dari langit tujuh ke surga, kemudian ke mustawaa atau ‘arasy ataupun ujung alam di atas ‘arasy sesuai  tentang itu, hal tersebut dibuktikan dengan kabar ahad. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya tidak menjadi kafir, akan tetapi fasiq. Menurut yang tahqiq, sesungguhnya Mi’raj  tidak sampai kepada ‘arasy sebagaimana nash para ulama dalam riwayat-riwayat kisahnya. (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)

Berdasarkan penjelasan ini, Mi’raj Nabi SAW dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh adalah berdasarkan hadits masyhur. Sedangkan dari langit tujuh ke surga, kemudian ke Mustawaa atau ‘arasy ataupun ujung alam di atas ‘arasy sesuai dengan khilafiyah yang terjadi antara para ulama adalah berdasarkan hadits ahad. Hadits masyhur dan ahad ini kualitasnya masih dhanni. Karenanya, apabila ada orang yang mengingkarinya, maka tidak mengakibatkan seseorang menjadi kafir sebagaimana dijelaskan Ibrahim al-Bajuri di atas.

Lalu apakah Isra’ dan Mi’raj ini terjadi dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja?. Ummat Islam berbeda pendapat dalam menyikapinya dalam tiga golongan. Golongan pertama mengatakan, Isra’ dan Mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad sekaligus. Pendapat ini merupakan pendapat yang haq dan ijmak ummat qurun kedua dan setelah mereka. Sebagian ahli qurun pertama berpendapat terjadi Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan mimpi. Sementara yang lain mengatakan hanya dengan ruh saja. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa khilafiyah ini terjadi sebelum terjadi ijmak pada qurun kedua dari ummat Nabi Muhammad SAW. Setelah terjadi ijmak kaum muslimin, maka khilafiyah ini tidak dianggap ada lagi. Karena itu, pendapat yang benar dan yang seharusnya menjadi pegangan ummat Islam adalah Isra’ dan Mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad. Ibrahim al-Bajuri menjelaskan:

والحق انه كان يقظة بالروح والجسد كماأجمع عليه اهل القرن الثاني ومن بعده من الأمة خلافا لبعض القرن الاول القائل بأنه كان مناما ولبعضه القائل بأنه كان بالروح فقط لكن يقظة

Yang haq adalah Nabi SAW melakukan Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan jaga dengan ruh dan jasad sebagaimana ijmak ahli qurun kedua dan ummat setelah mereka. Pendapat ini berbeda dengan sebagian ahli qurun pertama yang mengatakan Isra’ dan Mi’raj terjadi dalam keadaan mimpi dan sebagian yang lain yang mengatakan dengan ruh saja akan tetapi dalam keadaan jaga.

 

Kemudian Ibrahim al-Bajuri menjelaskan perbedaan antara Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan mimpi dan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh saja. Menurut beliau, dalam keadaan mimpi itu artinya Nabi SAW dalam keadaan tertidur. Sedangkan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh saja berarti Nabi SAW tidak tertidur sama sekali, akan tetapi ruh melakukan perjalanan, sedangkan jasad tetap berada di tempatnya, akan tetapi pada saat seperti ini keadaan jasad seperti  orang dalam kebingungan (al-ghaafil). (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)

Membagi harta warisan sama rata, tidak sesuai dengan hukum waris

 

Dalam pembagian warisan, Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pembagiannya secara terinci dan komprehensif dan manusia wajib mengikuti aturan tersebut. Tidak ada aturan yang lebih adil lagi daripada aturan Allah. Aturan waris ini adalah aturan yang adil dan paling maslahat untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. al Ahzab : 36)

 

Al-Qur’an telah menetapkan bagian-bagian yang didapatkan ahli waris dari harta kerabatnya secara rinci sesuai dengan porsi masing-masing. Kemudian Allah berfirman:

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ ۝ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌࣖ ۝

Itu adalah batas-batas (ketentuan) Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Mereka) kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar batas-batas ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. (Dia) kekal di dalamnya. Baginya azab yang menghinakan. (Q.S. an-Nisa’:13-14)

 

Berdasarkan ayat ini dipahami bahwa:

1.  Ayat ini menjelaskan kepada kita pada dasarnya ada kewajiban membagi harta warisan sesuai dengan pembagian-pembagian yang telah dirincikan dalam al-Qur’an. Karena itu merupakan hududullah (ketentuan Allah), melanggarnya berarti maksiat kepada Allah Ta’ala.

2.  Termasuk melanggarnya membagi rata warisan kepada ahli waris tanpa merujuk lagi kepada ketetapan bagian warisan yang ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah.  Nabi SAW bersabda:

من اقتطع شبراً من الأرض ظلماً طوقه الله إياه يوم القيامة من سبع أرضين

Siapa saja yang merampas sejengkal tanah milik orang lain, Allah akan mengalungkan kepadanya tujuh lapis tanah. (H.R. Muslim)

 

Rasulullah SAW bersabda berkaitan dengan hak waris :

أَلْحِقُوْاْ الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا

Serahkanlah bagian kepada para pemiliknya. (H.R Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim berbunyi:

اقسموا المال بين أهل الفرائض على كتاب الله

Bagikanlah harta (waris) antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah (H.R. Muslim)

 

Membagi harta warisan sama rata berdasarkan kesepakatan ahli waris

Hal yang sangat penting untuk dipahami bahwa harta warisan merupakan hak bagi setiap orang yang secara sah menjadi ahli waris dari orang yang meninggal dunia. Pemahaman harta warisan merupakan hak dapat dipahami banyak ayat kewarisan, antara lain:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An Nisaa’ : 7)

Karena ini menjadi hak, maka pemilik hak dengan keridhaannya dapat mengurangi haknya dari yang seharusnya. Yang tidak boleh menuntut melebihi dari ukuran yang menjadi haknya. Dengan demikian, membagi harta warisan sama rata berdasarkan kesepakatan ahli waris dapat dibenarkan dengan syarat sebagai berikut:

1.    Semua ahli waris yang dapat mengurangi haknya karena kosekwensi pembagian sama rata adalah orang yang baligh dan berakal. Karena hanya yang baligh dan berakal mempunyai kapasitas sebagai pemberi izin pengurangan hak

2.    Semua ahli waris yang dapat mengurangi haknya karena kosekwensi pembagian sama rata merupakan orang yang cakap dalam bermuamalah atau tidak dalam pengampuan (mahjur ‘alaihi). Karena orang yang berada dalam pengampuan tidak dibenarkan melakukan kegiatan apapun yang mengakibatkan pemindahan hak milik

3.    Pembagian itu dilakukan dengan keridhaan dari semua ahli waris yang dapat mengurangi haknya karena kosekwensi pembagian sama rata. Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan:

وإن وقعت على خلاف الشرع بغير تراض بل بقهر أو حكم حاكم فباطلة إفرازا أو تعديلا أو ردا لأنها مقهور عليها فلا رضا والقهر الشرعي كالحسي وهذَا كما لو وقعت بتراض منهما مع جهلهما أو أحدهما بالحق الذي له

Dan jika terjadi pembagian harta tidak sesuai dengan syara’ tanpa keridhaan pihak-pihak, akan tetapi terjadi dengan paksaan atau dengan keputusan hakim, maka hukumnya batal, baik pembagian itu dalam bentuk ifraz, ta’dil atau radd. Karena hal tersebut terjadi karena dipaksakan. Jadi tidak ada keridhaan. Pemaksaan pada syara’ sama hukumnya dengan pemaksaan pada hissi. Pemaksaan pada syara’ ini sebagaimana jika terjadi pembagian dengan saling ridha, tetapi keduanya atau salah satunya tidak mengetahui apa yang menjadi haknya.(Bughyatul Mustarsyaidin: 281)

 

Terrkait syarat nomor 3 di atas, konsekuensinya tidak boleh membagi waris sama rata kecuali setelah semua pihak mengetahui berapa masing-masing bagiannya dan mereka ridha jika jatahnya diambil yang lain. Contohnya, jika harta warisan yang ditinggalkan sebanyak 100 juta, sedangkan ahli warisnya ada 4 orang anak, terdiri dari 1 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Jika diterapkan hukum waris yang sesuai syariat, maka anak laki-laki mendapat 40 juta, dan anak perempuan masing-masing 20 juta. Adapun jika dibagi sama rata, maka semua anak mendapatkan 25 juta. Maka anak laki-laki tersebut harus mengetahui bahwa jatah warisnya 40 juta, lalu jika dibagi sama rata ia hanya dapat 25 juta, dan ada selisih 15 juta. Harus dipastikan si anak laki-laki tersebut ridha untuk merelakan 15 juta dari jatah warisnya diperuntukan kepada ahli waris lainnya agar bisa sama rata.

4.    Tetap meyakini bahwa aturan pembagian waris yang ditetapkan syariat adalah yang terbaik dan paling sempurna. Karena mengimani firman Allah Ta’ala berbunyi:

اَلَيْسَ اللّٰهُ بِاَحْكَمِ الْحٰكِمِيْنَ

Bukankan Allah Hakim yang paling adil? (Q.S. al-Tin: 8)