Isra’ dan Mi’raj adalah sebuah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad
SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Masjidil Aqsha naik ke
langit tujuh. Peristiwa ini selalu diperingati oleh ummat Islam. Di Indonesia,
peringatan Isra’ dan Mi’raj biasanya diisi dengan ceramah-ceramah agama
berkaitan dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri. Perjalanan Nabi
Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang dinamakan dengan Isra’
diabadikan dalam firman Allah Ta’ala berbunyi:
ﺳﺒﺤﺎﻥ اﻟﺬﻱ ﺃﺳﺮﻯ ﺑﻌﺒﺪﻩ ﻟﻴﻼ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﺠﺪ اﻟﺤﺮاﻡ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺴﺠﺪ اﻷﻗﺼﻰ اﻟﺬﻱ ﺑﺎﺭﻛﻨﺎ
ﺣﻮﻟﻪ ﻟﻨﺮﻳﻪ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺗﻨﺎ ﺇﻧﻪ ﻫﻮ اﻟﺴﻤﻴﻊ اﻟﺒﺼﻴﺮ
Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra,: 1)
Perjalanan Isra’ ini berdasarkan dalil sharih al-Qur’an dan hadits
serta ijmak ulama. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya, dihukum kafir
sebagaimana dijelaskan Ibrahim al-Bajuri berikut ini:
والإسراء من المسجد الحرام الى مسجد الاقصى ثابت بالكتاب والسنة
وإجماع المسلمين. فمن انكره كفر
Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha ditetapkan berdasarkan
al-Kitab, al-Sunnah dan Ijmak ummat Islam. Karena itu, siapa saja yang
mengingkarinya, hukumnya kafir. (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)
Al-Hafizh Abu al-Khathab ‘Umar bin Dihyah dalam kitabnya,
al-Tanwiir fi Maulid al-Siraj al-Munir sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir
mengatakan:
وقد تواترت الروايات في حديث الاسراءعن عمر بن الخطاب وعلي و ابن
المسعود وأبي ذر ومالك بن صعصعة وأبي هريرة وأبي سعيد وابن عباس وشداد بن اوس وأبي
بن كعب وعبد الرحمن بن قرط وأبي حبة و ابي ليلى الانصاريين وعبد الله بن عمرو
وجابر وحذيفة وبريدة وأبي أيوب وأبي امامة وسمرة بن جندب وأبي حمراء وصهيب الرومي
وام الهانئ وعائشة وأسماء ابنتي ابي بكر الصديق رضي الله عنهم أجمعين منهم من ساقه
بطوله ومنهم من اختصره على ما وقع في المسانيد وان لم تكن رواية بعضهم على شرط
الصحة فحديث الاسراء اجمع عليه المسلمون واعرض عنه الزنادقة والملحدون يريدون
ليطفؤا نورالله بأفواههم والله متم نوره ولو كره الكافرون
Riwayat-riwayat tentang hadits isra’ datang secara mutawatir dari
Umar bin Khathab, Ali, Ibnu Mas’ud, Abi Zar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu
Hurairah, Abi Sa’id, Ibnu Abbas, Syadad bin Aus, Abi bin Ka’ab, Abdurrahman bin
Qurth, Abi Hubbah al-Anshari, Abi Lailaa al-Anshari, Abdullah bin ‘Amr, Jabir,
Huzaifah, Buraidah, Abi Aiyub, Abi Umamah, Samrah bin Jundub, Abi Humra’,
Shuhaib al-Rumiy, Ummi Haani’, Aisyah binti Abu Bakar al-Siddiq dan Asmaa binti Abu Bakar al-Siddiq
semoga Allah meridhai semua mereka. Sebagian mereka meriwayatkan dengan panjang
lebar dan sebagian mereka meringkasnya sebagaimana terdapat dalam sanad-sanad
mereka. Meskipun riwayat sebagian mereka tidak memenuhi syarat sah, akan tetapi
hadits isra’ ini telah terjadi ijmak kaum muslimin. Hanya orang-orang zindiq
dan mulhid yang berpaling darinya karena mereka menginginkan memadam cahaya
Allah dengan mulut mereka. Akan tetapi Allah menyempurnakan cahaya-Nya walaupun
orang-orang kafir membencinya. (Tafsir Ibnu Katsir: V/42)
Mi’raj adalah naik Nabi SAW dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh.
Berbeda dengan Isra’, peristiwa Mi’raj diketahui dengan didasarkan kepada
hadits masyhur, tidak sampai derajat mutawatir. Karenanya, pengingkaran Mi’raj
tidak mengakibatkan kafir orang yang mengingkarinya, akan tetapi hanya dihukum
fasiq saja. Ini sesuai dengan penjelasan Ibrahim al-Bajuri berikut:
والمعراج من المسجد الاقصى الى السموات السبع ثابت بالاحاديث المشهورة
ومنها الى الجنة ثم الى المستوى او العرش او طرف العالم من فوق العرش على خلاف في
ذلك ثابت بالخبر الواحد فمن انكره لا يكفر لكن يفسق والتحقيق انه لم يصل الى العرش
كما نصوا عليه في موارد القصة
Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh dibuktikan dengan
hadits-hadits masyhur. Adapun dari langit tujuh ke surga, kemudian ke mustawaa
atau ‘arasy ataupun ujung alam di atas ‘arasy sesuai tentang itu, hal tersebut dibuktikan dengan
kabar ahad. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya tidak menjadi kafir,
akan tetapi fasiq. Menurut yang tahqiq, sesungguhnya Mi’raj tidak sampai kepada ‘arasy sebagaimana nash
para ulama dalam riwayat-riwayat kisahnya. (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah
al-Tauhid: 233)
Berdasarkan penjelasan ini, Mi’raj Nabi SAW dari Masjidil Aqsha ke
langit tujuh adalah berdasarkan hadits masyhur. Sedangkan dari langit tujuh ke
surga, kemudian ke Mustawaa atau ‘arasy ataupun ujung alam di atas ‘arasy
sesuai dengan khilafiyah yang terjadi antara para ulama adalah berdasarkan
hadits ahad. Hadits masyhur dan ahad ini kualitasnya masih dhanni. Karenanya,
apabila ada orang yang mengingkarinya, maka tidak mengakibatkan seseorang
menjadi kafir sebagaimana dijelaskan Ibrahim al-Bajuri di atas.
Lalu apakah Isra’ dan Mi’raj ini terjadi dengan ruh dan jasad atau
dengan ruh saja?. Ummat Islam berbeda pendapat dalam menyikapinya dalam tiga
golongan. Golongan pertama mengatakan, Isra’ dan Mi’raj terjadi dengan ruh dan
jasad sekaligus. Pendapat ini merupakan pendapat yang haq dan ijmak ummat qurun
kedua dan setelah mereka. Sebagian ahli qurun pertama berpendapat terjadi Isra’
dan Mi’raj dalam keadaan mimpi. Sementara yang lain mengatakan hanya dengan ruh
saja. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa khilafiyah ini
terjadi sebelum terjadi ijmak pada qurun kedua dari ummat Nabi Muhammad SAW.
Setelah terjadi ijmak kaum muslimin, maka khilafiyah ini tidak dianggap ada
lagi. Karena itu, pendapat yang benar dan yang seharusnya menjadi pegangan ummat
Islam adalah Isra’ dan Mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad. Ibrahim al-Bajuri
menjelaskan:
والحق انه كان يقظة بالروح والجسد كماأجمع عليه اهل القرن الثاني ومن
بعده من الأمة خلافا لبعض القرن الاول القائل بأنه كان مناما ولبعضه القائل بأنه
كان بالروح فقط لكن يقظة
Yang haq adalah Nabi SAW melakukan Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan
jaga dengan ruh dan jasad sebagaimana ijmak ahli qurun kedua dan ummat setelah
mereka. Pendapat ini berbeda dengan sebagian ahli qurun pertama yang mengatakan
Isra’ dan Mi’raj terjadi dalam keadaan mimpi dan sebagian yang lain yang
mengatakan dengan ruh saja akan tetapi dalam keadaan jaga.
Kemudian Ibrahim al-Bajuri menjelaskan perbedaan antara Isra’ dan
Mi’raj dalam keadaan mimpi dan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh saja. Menurut
beliau, dalam keadaan mimpi itu artinya Nabi SAW dalam keadaan tertidur.
Sedangkan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh saja berarti Nabi SAW tidak tertidur sama
sekali, akan tetapi ruh melakukan perjalanan, sedangkan jasad tetap berada di
tempatnya, akan tetapi pada saat seperti ini keadaan jasad seperti orang dalam kebingungan (al-ghaafil).
(Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar