Minggu, 08 Januari 2012

Membaca al-Qur’an, shalawat dan zikir dengan suara keras pada jenazah

Pada dasarnya membaca al-Qur’an, shalawat dan zikir dengan suara keras pada saat mengiring jenazah merupakan perbuatan yang makruh dilakukan. Larangan ini karena mengikuti atsar para Sahabat Nabi SAW dan para salaful shalih, dimana mereka diam pada ketika mengantar jenazah, tidak mengeraskan suara dengan membaca al-Qur’an, zikir dan lainnya. Imam Nawawi dalam al-Azkar mengatakan :

“Ketahuilah, yang benar dan yang pendapat terpilih adalah apa yang dilakukan oleh para salaf razhiallahu ‘anhum, yakni diam pada ketika mengantar jenazah. Karena itu, mereka tidak mengeraskan suaranya dengan membaca al-Qur’an, zikir dan lainnya. Hikmahnya zhahir, yaitu menetapkan goresan pikiran dan mengkonsentrasikan pikiranya kepada yang berhubungan dengan jenazah. Ini dituntut pada ketika itu.[1]


Atsar Sahabat itu tersebut berdasarkan riwayat dari Qiis Ibnu ‘Ubadah ;

كان اصحاب رسول الله صلعم يكرهون رفع الصوت عند الجنائز وعند القتال و عند الذكر

Artinya : Sahabat Rasulullah SAW memakruhkan mengeraskan suara di sisi jenazah, ketika berperang dan ketika zikir.(H.R. Ibnu Munzir dan al-Baihaqi)[2]

Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalany, sesudah mentakhrijkan hadits ini mengatakan, hadits mauquf ini shahih, telah dikeluarkan oleh Abu Daud dan al-Hakim. Al-Baihaqi meriwayatnya dengan sanad yang kuat dari al-Aswad bin Syaiban[3]


Dikalangan Syafi’iyah, disamping Imam al-Nawawi, Qalyubi juga berpendapat sama dengannya. Qalyubi mengatakan :

“Makruh mengeraskan suara pada jenazah, baik itu dengan membaca al-Qur’an, zikir ataupun shalawat kepada Nabi SAW.”[4]


Berdasarkan keterangan di atas, sebagaimana telah dijelaskan pada awal tulisan ini, maka hukum mengeraskan suara pada jenazah, baik dengan membaca al-Qur’an, zikir, shalawat dan lainnya, hukumnya adalah makruh. Namun pemandangan yang terjadi sekarang, umumnya di Indonesia pada saat mengiring mayat justru yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam adalah membaca al-Qur’an, zikir dan shalawat dengan mengeraskan suaranya, sedangkan itu terjadi dihadapan para ulama dan orang-orang shaleh dan mereka sendiri hanya diam dan tidak pernah melarangnya. Kenapa ? ada apa ?

Jawab :

Kasus ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada masa sekarang, tetapi ini sudah pernah terjadi pada masa ulama-ulama besar seperti zaman Amin al-Kurdi, Ibnu Ziyad, al-Nawawi al-Bantany dan lain-lain. Berikut ini jawaban dari para ulama yang baru disebut tadi mengenai persoalan ini, yaitu :

1. Syeikh Nawawi al-Jawi al-Bantany dalam mengomentari pendapat Qalyubi di atas, mengutip pernyataan al-Mudabaghi yang mengatakan :

Ini dengan i’tibar yang terjadi pada zaman awal. Adapun sekarang, tidak mengapa demikian, karena itu merupakan syi’ar bagi mayat dan meninggalkannya merupakan perbuatan tercela.”[5]


2. Ibnu Ziyad mengatakan :

Telah menjadi kebiasaan di negeri kami, Zabiid menjiharkan zikir di hadapan jenazah dengan disaksikan oleh para ulama, fuqaha dan orang-orang shaleh. Sementara itu, telah menjadi umum terjadi berdasarkan apa yang kami persaksikan bahwa umumnya kelompok-kelompok manusia menyibukkan dirinya dengan pembicaraan duniawi dan kadang-kadang hal itu mengarah kepada mengumpat atau lainnya dalam bentuk kalam yang diharamkan. Karena itu, pendapat yang aku pilih, sesungguhnya menyibukkan pendengaran mereka dengan mendengar zikir yang mengakibatkan mereka meninggalkan atau mengurangi berbicara yang bersifat duniawi atau yang diharamkan itu lebih baik daripada membiarkan mereka berbicara pembicaraan yang bersifat duniawi. Ini untuk mengambil yang seringan-ringan dari dua mafasid (kerusakan), sebagaimana berlaku pada qaidah syar’iyah. Baik itu zikir, tahlil dan lainnya.”[6]


Fatwa Ibnu Ziyad ini juga telah dikutip oleh Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’Alawi dalam kitab beliau, Bughyatul Mustarsyidin[7]


3. Amin al-Kurdy mengatakan :

Makruh mengeraskan suara, berbicara tentang urusan duniawi dan meninggikan suara kecuali dengan membaca al-Qur’an, zikir dan shalawat kepada Nabi SAW, maka tidak mengapa pada zaman sekarang, karena hal itu merupakan syi’ar bagi jenazah. Karena itu meninggalkannya justru menjadi memutuskan syi’ar itu. Adapun perkataan Qalyubi bahwa hal itu makruh juga, itu hanya i’tibar terjadi pada masa yang pertama (masa salaful shaleh), sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ramli.”[8]


Berdasarkan keterangan tiga orang ulama besar dari kalangan Syafi’iyah di atas, dapat dipahami bahwa larangan mengeraskan suara membaca al-Qur’an, zikir dan membaca shalawat kepada Nabi SAW yang didasarkan kepada atsar sahabat Nabi SAW dan fatwa ulama-ulama terdahulu tidak berarti larangan tersebut juga berlaku pada zaman sekarang. Hal ini karena larangan tersebut muncul dalam konteks dituntut pada waktu menghadiri jenazah untuk bertafakur dan mengingat Allah SWT. Namun pada zaman sekarang yang terjadi justru orang-orang banyak bergosip, mengumpat dan membicarakan masalah-masalah duniawi, bahkan pembicaraan-pembicaraan haram pada saat hadir di hadapan jenazah. Oleh karena itu, larangan tersebut tidak dapat diberlakukan pada zaman ini, bahkan pada zaman sekarang, dianjurkan supaya mengeraskan suara dengan membaca al-Qur’an, zikir dan membaca shalawat kepada Nabi SAW agar orang-orang menjadi sibuk dengan mendengar bacaan al-Qur’an, zikir dan shalawat itu dan karena itu, tidak sempat atau mengurangi membicarakan hal-hal yang diharamkan pada ketika hadir di hadapan jenazah, sebagaimana telah dijelaskan oleh tiga orang ulama di atas.

Fatwa ini juga didukung oleh sebuah hadits dari Ibnu Umar, beliau berkata :

لم نكن نسمع من رسول الله صلعم وهو يمشي خلف الجنازة الا قول لا اله الا الله مبديا وراجعا

Artinya : Kami tidak pernah mendengar dari Rasulullah SAW pada waktu beliau berjalan di belakang jenazah kecuali perkataan La ilaha illallah, baik pada waktu pergi maupun waktu pulang [9]


Pendalilannya, Rasulullah SAW membaca zikir, yakni bacaan tahlil secara jihar. Kalau tidak secara jihar, maka tidak mungkin Ibnu Umar dan sahabat lainnya dapat mendengar zikir tersebut dari beliau.



[1] Imam al-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Singapura, Hal. 145

[2] Ibnu ‘Allan, Futuhaat al-Rabbaniyah ‘ala al-Azkar, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 183-184

[3] Ibnu ‘Allan, Futuhaat al-Rabbaniyah ‘ala al-Azkar, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 184

[4] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 347

[5] Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, Hal. 177

[6] Ibnu ‘Allan, Futuhaat al-Rabbaniyah al-Azkar, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 183.

[7] Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’Alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 93

[8] Amin al-Kurdy, Tanwir al-Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 213

[9] Al-Zahaby, Mizan I’tidal, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 572

3 komentar:

  1. Assalamualaikum p.ustad, saya mau bertanya..dulu di thun2 prtama prnikahan kami,kami sering bertengkar dan kadang sampai menyebut kata pisah skrang kami sdh 5 th suami ragu2 kalau ingat itu..apa yg harus kami lakukan memperbarui nikah,atau berpisah sementara intropeksi diri tw brjalan apa adany skrg ini.mohon jawabannya,trimakasih.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum p.ustad, saya mau bertanya..dulu di thun2 prtama prnikahan kami,kami sering bertengkar dan kadang sampai menyebut kata pisah skrang kami sdh 5 th suami ragu2 kalau ingat itu..apa yg harus kami lakukan memperbarui nikah,atau berpisah sementara intropeksi diri tw brjalan apa adany skrg ini.mohon jawabannya,trimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. nikah tidak putus karena keragu2an. namun demikian, untuk menghilang rasa was2 , boleh saja melakukan nikah baru (tajdid nikah). kami pernah membahas persoalan tajdid nikah ini . kunjungi ; http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2012/01/tajdid-nikah.html
      wassalam

      Hapus