Senin, 02 Januari 2017

Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i di Aceh

A.    Akidah Ahlussunnah wal Jama’ah

Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan nama akidah yang disemat kepada kelompok yang haq, yang mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat Nabi SAW dan para salaful saleh. Kelompok ini merupakan kelompok terbesar di kalangan umat Islam. Rumusan mengenai akidah Ahlussunnah wal Jama’ah ini dibahas dalam ilmu akidah. Ilmu akidah disebut juga dengan ushuluddin, yaitu pokok-pokok agama seperti kepercayaan yang menyangkut dengan ketuhanan (ilahiyyat), kepercayaan yang menyangkut dengan kenabian (nubuwwat) dan kepercayaan yang menyangkut dengan hal-hal yang ghaib seperti mengenai hari akhirat, surga, neraka dan lain-lain.

Perkataan “Ahlusunnah wal Jama’ah” tersusun dari tiga kata, yaitu :

1.      Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan

2.      Al-Sunnah, yang berarti jalan dan prilaku. Secara istilah, berarti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

3.      Al-Jama’ah, yang berarti kelompok mayoritas

Dalam Ushuluddin, istilah Ahlusunnah wal Jama’ah berarti aliran yang dianut oleh kelompok mayoritas umat Islam dengan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi :

تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة فقالوا من هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي

Artinya : Umatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk dalam neraka kecuali satu golongan. Mereka mengatakan, “Siapakah yang satu golongan itu, Ya Rasulullah?”, Rasulullah SAW bersabda : “yang satu golongan itu adalah orang yang berpedoman sebagaimana pedomanku dan para sahabatku.” (H.R. Turmidzi).

 

            Zainuddin al-Iraqi menjelaskan, hadits di atas telah diriwayat oleh Turmidzi dengan kualiatas hasan dan dalam riwayat Abu Daud dari hadits Mu’awiyah dan Ibnu Majah dari hadits Anas dan Auf bin Malik : “Yang satu itu adalah al-jama’ah” dengan sanadnya bernilai jaid (baik).[1]

            Dalam perkembangan sejarah perjalanan pemahaman umat terhadap agamanya dalam bidang akidah, kelompok Ahlusunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Subki, terbagi dalam tiga golongan, yaitu :

1.    Ahli Hadits, pegangan mereka adalah dalil al-sam’iyah, yakni al-Kitab, al-Sunnah dan ijmak

2.      Ahli al-Nadhar al-Aqliyah, kelompok ini sepakat menggunakan akal dalam hal-hal dimana al-sam’iyah membutuhkan al-nadhar al-aqliyah padanya dan menggunakan dalil al-sam’iyah pada hal-hal dimana akal hanya mampu menetapkan jawaz (berkemungkinan) saja serta sepakat menggunakan al-aqliyah dan al-sam’iyah dalam masalah lainnya. Imam dari golongan ini adalah Imam al-Asy’ari dan al-Maturidy

3.      Ahli Wajdan dan Kasyaf, mereka ini adalah para ahli sufi. Pegangan mereka ini adalah al-nadhar dan hadits pada al-bidayah (awal perjalanan rohaninya) dan kasyaf dan ilham pada al-nihayah (puncak perjalanan rohaninya)[2]

      Tokoh ahli hadits antara lain Ahmad bin Hanbal. Sedangkan tokoh ahli wajdan dan kasyaf antara lain Junaid al-Baghadi dan al-Ghazali.

B.     Mazhab Syafi’i

Kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli dzahaba. Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Addapun pengertian mazhab menurut istilah adalah sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Lebih lengkapnya mazhab adalah hasil ijtihad seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah yang belum ditegaskan oleh nash. Karena itu hasil ijtihad merupakan produk dhanni, bukan qath’i. Jadi, tidak benar kalau disebutkan shalat lima waktu wajib menurut mazhab Syafi’i, karena ketetapan wajib shalat lima waktu merupakan qath’i dari nash al-quran dan sunnah. Produk mazhab memastikan terjadinya khilafiyah yang tidak dapat dihindari. Karena itu slogan kembali kepada al-quran dan hadits untuk menyatukan pendapat umat Islam merupakan slogan kosong yang tidak mungkin terjadi. Karena pemahaman nash yang tidak qath’i dalalahnya pasti berujung kepada khilafiyah.
Berdasarkan keterangan di atas, maka Mazhab Syafi'i adalah hasil ijtihad fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain. Kitab-kitab karya Imam Syafi’i antara lain, al-Um, Risalah, Muhktashar al-Muzani, al-Imla, Ikhtilaful Hadits, Musnad Syafi’i dan lain-lain.
Yang dapat dianggap sebagai mazhab Syafi’i
1.      Qaul jadid (pada dasarnya yang menjadi mazhab adalah qaul jadid)
2.      Qaul qadim (para ulama Syafi’iyah telah menetapkan lebih 20 qaul qadim sebagai mazhab Syafi’i, karena mengamalkan wasiat Imam Syafi’i : “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”)
3.      Wujuh-wujuh dari ashabul wujuh. Yakni pendapat-pendapat dari ulama mazhab yang memahami dari nash Imam Syafi’i atau qawaidnya dengan syarat tidak bertentangan dengan nash Imam Syafi’i sendiri. (Ini dapat dianggap sebagai mazhab Syafi’i, karena pemahamannya berdasarkan nash dan qawaid Imam Syafi’i). Berdasarkan ini tertolak pendapat yang mengatakan mazhab Syafi’iyah bukan mazhab Syafi’i)
4.      Pemahaman ulama mazhab langsung dari al-qur’an dan hadits dengan menggunakan manhaj Imam Syafi’i, dengan syarat tidak bertentangan dengan nash Imam Syafi’i sendiri. . (Ini dapat dianggap sebagai mazhab Syafi’i, karena pemahamannya berdasarkan qawaid Imam Syafi’i)
5.    Sharih kandungan hadits apabila diduga kuat hadist tersebut tidak sampai kepada Imam Syafi’i atau beliau tidak mengetahui sahnya. (Ini karena mengamalkan wasiat Imam Syafi’i : “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”). Namun perlu di tegaskan bahwa mempraktekkan point yang kelima ini dibutuhkan seorang ulama meski tidak sampai tingkatan seorang mujtahid, setidaknya mempunyai kemampuan di bawah sedikit seorang mujtahid. Mengomentari perkataan Imam Syafi’i di atas, dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
“Perkataan Imam Syafi’i ini bukanlah maknanya bahwa setiap orang yang melihat hadits shahih dapat mengatakan “Ini mazhab Syafi’i”, lalu mengamalkan dhahirnya. Tetapi ini hanyalah diposisikan pada orang-orang mencapai martabat ijtihad dalam mazhab sesuai dengan sifat-sifatnya yang terdahulu atau mendekati martabat ijtihad. Persyaratannya adalah kuat dugaannya bahwa Syafi’i Rhm tidak pernah menemukan hadits ini atau tidak mengetahui sahnya. Hal ini hanya dapat terpenuhi sesudah meneliti semua kitab-kitab Syafi’i dan lainnya yaitu kitab-kitab pengikut-pengikutnya yang mengambil ilmu dari beliau dan kitab-kitab lainnya yang serupa dengan keduanya. Persyaratan ini merupakan persyaratan yang sukar dan sedikit orang-orang mempunyai sifat seperti ini. Para ulama mensyaratkan hal-hal yang telah kami sebutkan, karena Syafi’i Rhm banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau melihat dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya.[3]

Salah satu contoh hadits shahih tidak diamalkan oleh Imam Syafi’i adalah hadits yang disebut dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi :
أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ
Artinya : Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya (H.R.Bukhari).[4]

Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh. Al-Subki menjawab pertanyaan Abu Walid yang mengatakan bahwa hadits “Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya” adalah shahih, dengan  mengatakan :
“Ditolak perkataan Abu Walid tersebut dengan penjelasan bahwa Syafi’i meninggalkan hadits tersebut, padahal hadits itu shahih, karena hadits itu mansukh di sisinya dan beliau sendiri telah menjelaskannya.[5]

C.    Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i di Aceh
Tidak diragukan lagi keberadaan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i  dalam bidang fiqh di Aceh sudah dimulai sejak sejarah Islam di Aceh dikenal. Keberadaan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i  dalam bidang fiqh di Aceh juga didukung oleh para sulthan di zamannya. Berikut bukti-bukti pernyataan di atas :
1.    Penulisan kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh ulama Aceh merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah. Kitab Mir’at ath-Thullab Syaikh as-Sinkili maupun Sabil al-Muhtadin karya Syaikh Arsyad al-Banjari (beliau ini meskipun bukan putra Aceh,, akan tetapi kitab beliau banyak dijadikan pedoman dalam ibadah di Aceh) banyak merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah seperti Fath al-Wahhab, Tuhfat al-Muhtaj, Mughniy al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, Minhaj ath-Thullab dan sebagainya. Kitab Shirath al-Mustaqim karya  Syaikh Nuruddin ar-Raniri juga banyak dikutip di dalamnya pendapat-pendapat ulama-ulama mazhab Syafi’i yang termaktub dalam kitab-kitab di atas.
2.     Para qadhi-penghulu di era kesultanan hingga zaman kolonial menggunakan kitab fiqh Syafi’iyyah sebagai rujukan utama.
3.    Dayah-dayah Aceh sampai sekarang dapat dikatakan hampir 100 % bermazhab Syafi’i
Karena keberadaan mazhab Syafi’i yang sudah begitu melekat di Indonesia dan Aceh termasuk di dalamnya, maka Departemen Agama membatasi 13 kitab dengan surat instruksi pada tahun 1953 untuk dijadikan di Pengadilan Agama, yaitu:
1.      Bughyat al-Musrtarsyidin oleh Husain Al Ba’alawi 
2.      Al-Faraid oleh asy-Syamsuri
3.      Fath al-Mu’in oleh al-Malibari
4.      Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah oleh al-Juzairi
5.      Fath al-Wahab oleh Zakariya al-Anshari
6.      Hasyiyah Kifayat al-Akhyar oleh al-Bajuri
7.      Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini
8.      Qawa’id asy-Syar’iyyah li al-Jazair al-Indonesiyyah al-Musamma Irsyad dzawi al-Arham Wajibat al-Qudhati wa al-Ahkam oleh Sayyid Shadaqah San’an,
9.      Qawa’id Asy’ariyyah oleh Sayyid Utsman Bin Yahya
10.  Qalyubi al-Mahalliy wa Syarhihi
11.  Syarqawi ‘ala at-Tahrir oleh asy-Syarqawi
12.  Tarqib al-Mustaqq
13.  Tuhfat al-Muhtaj oleh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami (909-972 H).  

Ketetapan departemen Agama ini tidak berlaku lagi setelah munculnya intruksi Presiden RI pada tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam
Masuknya paham pembaharuan Islam di Aceh
Masuknya paham pembaharuan Islam di Aceh terjadi Setelah paham reformis datang dari Mesir dan Arab Saudi, shalat dua puluh rakaat ditiadakan di Masjid Raya Baiturrahman dan digantikan menjadi delapan rakaat tambah tiga witir. Menurut Almarhun H. Soufyan Hamzah (Imam Besar), shalat delapan rakaat, tambah witir tiga rakaat dimulai tahun 1936. Penduduk di sekeliling masjid umumnya pedagang dari Sumatera Barat, yang kebetulan mereka adalah orang-orang yang berpahamam reformis.[6] Selain itu munculnya PERSATUAN Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang lahir pada 12 Rabiul Awal 1358 H/5 Mei 1935 M, merupakan satu organisasi besar dan kuat di Aceh pada era 1950-an. PUSA diprakarsai dan didirikan oleh para ulama modernis, seperti Tgk Abdurrahman Meunasah Meucap, Ayah Hamid Samalanga, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Tgk Muhammad Daud Beureu-éh, dan lain-lain. Tujuan utama pembentukan organisasi ini antara lain dimaksudkan untuk memajukan dunia pendidikan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah di Aceh.[7]
Catatan :
Kegiatan PUSA ini dalam bidang pembaharuan Islam, khususnya dalam bidang ibadah, pengaruhnya sedikit sekali. Hal ini dimungkinkan karena ulama-ulama PUSA banyak konsentrasi masalah politik ketika itu. Apalagi banyak ulama-ulama PUSA terlibat gerakan DI/TII pada tahun lima puluhan. Karena itu tidak mengherankan kalau sampai sekarang mayoritas masyarakat Aceh masih setia dangan mazhab Syafi’i. Dua ulama besar Aceh, yakni Abu Hasan Krueng Kalee dan Abuya Muda Waly mempunyai andil besar dalam mempertahankan mazhab Syafi’i di Aceh, baik sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i di Aceh pada Masa Otonomi Khusus
Qanun Aceh No 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam dalam  BAB V tentang AQIDAH Pasal 11, berbunyi :
 (1) Setiap orang beragama Islam yang berada di Aceh wajib beraqidah Islamiyah sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah dalam jiwa dan perilaku.
(2) Aqidah Islamiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Aqidah Ahlussunah wal Jama’ah (Sunni).
Selanjutnya dalam BAB VI tentang SYARIAH pada Bagian Kesatu tentang Ibadah Pasal 14, berbunyi :
 (1) Penyelenggaraan ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan tuntunan syariah.
 (2) Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur ayat (1) diamalkan dengan memprioritaskan tata cara pengamalan ibadah menurut mazhab Syafi‟i.
 (3) Penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara mazhab Syafi‟i dibolehkan selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan ketentraman dikalangan umat Islam.
(4) Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi, Maliki atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi‟i.
(5) Dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi keagamaan yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadist serta diakui secara sah oleh Negara tetap dibenarkan/dilindungi.
 (6) Terhadap permasalahan kontemporer yang ditemukan dalam mazhab yang empat, dapat dilakukan kajiaan lebih lanjut oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait yang berwenang.
(7) Apabila terjadi khilafiah dalam penyelenggaraan ibadah maka dilakukan muzakarah atau pengkajian komprehensif oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait dengan mengedepankan semangat ukhuwah islamiah, toleransi (tasamuh) dan keterbukaan.




[1] Zainuddin al-Iraqi, Tarij Ihya Ulumuddin, dicetak dibawah Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 225
[2] Al-Zabidy, Ittihaf  Saddul Muttaqin bi Syarh Ihya Ulumuddin, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 6-7
[3] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 105
[4] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 33.
[5].Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 91-92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar