Sesungguhnya Hari ‘Asyura (10 Muharram) merupakan hari
bersejarah dan diagungkan dalam Islam. Hari ‘Asyura ini bersejarah karena pada
hari ini Nabi Musa a.s. dan kaumnya terlepas dari kejaran Fir’aun laknatillah. Karena
itu, menjadi tradisi bagi orang-orang Quraisy dan Yahudi pada masa Nabi
Muhammad SAW melakukan puasa untuk dan mengenang dan sekaligus bersyukur
terlepas dari musuh mereka. Nabi Muhammad SAW yang merupakan nabi terakhir
melestarikan tradisi ini dengan melaksanakan puasa pada hari ini dan memerintah
ummatnya melakukan hal serupa. Nabi SAW bersabda :
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ ، فَلَمَّا
قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ
تَرَكَ يوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
”Di zaman
Jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah SAW juga melakukan puasa tersebut.
Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang
lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau
meninggalkan puasa ’Asyura. (Lalu beliau mengatakan:) Barangsiapa yang mau,
silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (tidak
berpuasa). (H.R. Bukhari)[1]
Dari Ibnu Abbas r.a., beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ
صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ
أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ
فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah SAW mendapati orang-orang Yahudi melakukan
puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, ”Hari
yang kalian bepuasa ini hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut
menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah
hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan
kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur,
maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah SAW lantas berkata,” Kami
seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”.
Lalu setelah itu Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk
berpuasa.”(H.R. Muslim)[2]
Dua
hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari ‘Asyura di masa Jahiliyah,
dan sebelum hijrahpun Nabi SAW telah melakukan puasa pada hari ini. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong
umatnya untuk berpuasa. Karena ibadah puasa ‘Asyura dilakukan juga oleh Yahudi,
maka Rasulullah menganjurkan puasa pada hari kesembilan Muharram (Tasu’a) untuk
menyelisih ibadah Yahudi. Ibnu Abbas beliau berkata :
حِينَ صَامَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ
وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ،
حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”Rasulullah
SAW melaksanakan dan memerintah berpuasa pada Hari ’Asyuraa, ketika itu para
sahabat berkata : ”Ya Rasulullah sesungguhnya hari Asyura itu merupakan hari
yang dihormati oleh Yahudi dan Nashrani.”
Rasulullah SAW menjawab : ”Apabila datang tahun depan, insya Allah kami
berpuasa pada hari kesembilannya. Ibnu Abbas mengatakan : ”Tidak sempat datang
tahun depan itu, karena Rasulullah SAW duluan wafat.” (H.R. Muslim)[3]
Lalu
bagaimana dengan tradisi masyarakat kita yang merayakan 10 Muharram (‘Asyura)
dengan berbagai amalan seperti memberikan makanan kepada fakir miskin, mandi,
berdoa dan lain-lain, - yaitu amalan amalan yang dianjurkan pada setiap waktu
tanpa dikaidkan dengan waktu tertentu - dengan niat bersyukur kepada Allah Ta’ala
dan mengenang sejarah terlepas Nabi Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun
? jawabannya selama amalan-amalan itu
tidak ada unsur maksiat dan tidak dilarang agama, maka itu menjadi amalan
shalihah, karena amalan tersebut termasuk dalam keumuman anjuran bersyukur dan
mengambil i’tibar dengan peristiwa-peristiwa masa-masa lalu, apalagi ini
merupakan peristiwa sejarah sangat penting dalam perjalanan syari’at Allah
Ta’ala. Menurut hemat kami, amalan-amalan yang dianjur pada setiap waktu seperti
memberikan makanan kepada fakir miskin, mandi, berdoa dan lain-lain apabila
dilakukan pada 10 Muharram, maka dapat diqiyaskan kepada ibadah puasa yang
dianjurkan dilakukan pada 10 Muharram dengan jalan kesamaannya (‘illah-nya)
sama-sama merupakan amalan dalam rangka mengungkap rasa syukur dan mengenang
sejarah terlepas Nabi Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Sehingga
memperingati 10 Muharram ini sama dengan memperingati hari-hari besar Islam
lainnya seperti Maulid Nabi SAW, Isra’ Mi’raj, Nuzul Qur’an yang dianjurkan
dalam agama meskipun tidak ada contoh secara detil dari Nabi SAW dan para
Sahabat. Namun karena ada dalil dan didukung oleh qawaid agama secara umum,
maka termasuk dalam katagori bid’ah hasanah.
Dalam I’anah
al-Thalibin, disebutkan sebagian ulama menghitung ada dua belas amalan yang dilaksanakan
pada hari 10 Muharram (‘Asyura), diantaranya :
1.
Shalat
2.
Puasa
3.
Silaturrahmi
4.
Bersedekah
5.
Mandi
6.
Memakai celak
7.
Ziarah orang ‘alim
8.
Mengunjungi orang sakit
9.
Mengusap kepala anak yatim
10.
Memberikan kemudahan pada keluarga
11.
Memotong kuku
12.
Membaca Surat al-Ikhlas 1000 kali
Namun
sebelumnya, pengarang I’anah al-Thalibin mengutip perkataan al-Alamah al-Ajhuri
yang dikutip dalam kitab al-Nufahaat al-Nabawiyah fil-Fadhail al-‘Asyuriyah,
karya Syeikh al-‘Adawy bahwa hadits memakai celak (pada hari ‘Asyura) adalah
mungkar menurut al-Hakim dan Ibnu Hajar mengatakan maudhu’. Selanjutnya al-‘Alamah
al-Ajhuri mengatakan :
“Saya pernah menanyakan sebagian para imam hadits
dan fiqh mengenai hadits memakai celak, memasak biji-bijian, memakai pakaian
baru dan mendhahirkan kegembiraan, maka imam-imam tersebut mengatakan : “tidak
datang padanya hadits shahih dari Nabi SAW dan tidak juga dari sahabat dan
tidak juga datang dari salah seorang imam-imam kaum muslimin yang menganggap hal-hal
itu adalah baik dan demikian juga apa yang dikatakan sesungguhnya barangsiapa
yang memakai celak pada hari itu, maka dia tidak jatuh dalam kesusahan pada
tahun itu dan barangsiapa yang mandi pada hari itu, maka dia tidak sakit pada
tahun itu juga.”
Selanjutnya
pengarang I’anah al-Thalibin mengatakan alhasil hadits mengenai melakukan sepuluh perkara pada Hari
‘Asyura, tidak shahih padanya kecuali hadits puasa dan memberikan kemudahan
pada keluarga[4]. Dalam Nihayatul Zain, Nawawi al-Jawi
mengatakan :
“Sungguh telah datang hadits mengenai puasa dan memberikan
kemudahan pada keluarga (pada hari Asyura). Adapun selain keduanya tidak ada
haditsnya.”[5]
Lalu kalau ada
yang bertanya, bolehkah kita amalkan amalan-amalan yang tidak didukung hadits
shahih di atas pada hari ‘Asyura untuk mengungkap rasa gembira atas terlepas Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun
sebagaimana Nabi SAW berpuasa pada hari ini dengan maksud yang sama, sementara
amalan-amalan tersebut tidak didukung oleh hadits shahih ? Jawabannya : Selama amalan-amalan tersebut tidak
diniatkan sebagai amalan yang hanya disunnahkan pada hari Asyura, bahkan amalan
tersebut juga diqashad sebagai sunnah pada hari-hari lain, namun akan mempunyai
keistimewaan tersendiri apabila dilakukan pada Hari Asyura dengan qashad mengamalkan
amalan-amalan tersebut sebagai rasa syukur dan ungkapan rasa gembira atas terlepas
Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun. Misalnya shalat, kalau seseorang
melakukan shalat sunnah mutlaq pada hari Asyura sebagai rasa syukur dan
ungkapan rasa gembira atas terlepas Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun,
maka shalat ini tentu mempunyai nilai lebih dibanding shalat sunnah mutlaq yang
dilakukan pada hari biasa. Namun kalau seseorang melakukankan shalat dengan
qashad sebagai shalat yang khusus disunnahkan karena Hari Asyura, maka ini
tentu bid’ah yang tercela, karena tidak ada hadits Nabi SAW dan para sahabat
yang menunjukkan sunnah shalat ini. Seperti ini juga dijelaskan untuk
amalan-amalan yang lain. Juga menjadi bid’ah tercela kalau dii’tiqad hanya dua
belas perkara di atas yang menjadi amalan yang baik dilakukan pada hari Asyura.
Jadi, semua amalan yang baik pada pandangan syari’at dan sunnah dilakukan kapan
saja tanpa dibatasi waktunya serta sesuai dengan konteks ungkapan rasa syukur
dan gembira atas terlepas Musa a.s. dan kaumnya dari kejaran Fir’aun, maka itu
menjadi amalan yang baik dilakukan hari ‘Asyura.
Adapun tradisi
memperingati ‘Asyura karena berhubungan dengan terbunuh Saidina Husain, maka
ini dua kelompok. Kelompok pertama : kelompok yang berduka cita atas terbunuh
Saiyidina Husain, lalu mereka melakukan perbuatan seperti meratap, menyakiti
tubuh, merobek-robek pakaian sebagai ungkapan rasa duka cita.
Perbuatan-perbuatan ini termasuk bid’ah yang tercela, karena perbuatan ini
menyerupai dengan perbuatan mungkar yang dilakukan kelompok Syi’ah. Dan lagi
sebagaimana dimaklumi, syari’at kita mengharamkan berduka cita yang diungkap
dengan meratap seperti menyakiti tubuh, merobek-merobek pakaian dan lain-lain.
Kelompok kedua : kelompok yang bergembira dengan terbunuh Saiyidina Husain.
Kelompok ini merayakan ‘Asyura dengan menjadikan ‘Asyura sebagai hari hari
raya. Mereka mendhahirkan perasaan gembira atas terbunuh Saiyidina Husain
dengan melakukan permainan-permainan dan lain-lain. Kelompok ini juga termasuk
dalam kelompok pembuat bid’ah yang tercela, bahkan termasuk dosa yang sangat
besar, karena mereka telah bergembira dengan terbunuhnya seorang mukmin,
apalagi ini bergembira dengan terbunuhnya cucu Rasulullah SAW yang semestinya
wajib kita beri penghormatan yang lebih kepada beliau.[6]
Syukron ustadz....Sangat bijak.
BalasHapus