Sesungguhnya aqidah Islamiyah dibangun
atas dalil-dalil ‘aqliyah yang bersifat yakin dan benar dan hukum-hukum syariah
dibangun di atas aqidah ini. Keimanan merupakan kolaborasi antara akal sehat
yang berdasar dari kemampuan akal untuk menganalisis sesuatu yang terjadi. Sehingga
Ibnu al-Arabi (ulama besar dari
kalangan mazhab Maliki, bukan Ibnu ‘Arabi ulama sufi pengarang kitab Futuhaat
al-Makkiyah) mengatakan,
ان من لم يعلم الله تعالى كيف يعلم ان
الخبر خبره فثبت ان طريقه النظر
Sesungguhnya orang-orang yang belum mengenal Allah Ta’ala bagaimana
mungkin mengetahui suatu khabar adalah khabar dari Allah Ta’ala. Karena itu,
tetaplah bahwa jalan mengenal Allah adalah nadhar (‘aqliyah). (Hasyiah al-Dusuqi
‘ala Umm al-Baraahin: 60)
Berdasarkan pemahaman ini, maka kajian
tentang ketidakbolehan taqlid dalam bidang aqidah menjadi sangat penting. Para
ulama tempo dulu sudah banyak menoreh tintanya membahas panjang lebar dengan
argumentasinya masing-masing dalam mensikapi masalah taqlid dalam bidang
aqidah.
Pengertian taqlid dalam bidang akidah
Taqlid dalam masalah aqidah adalah mengikuti orang lain pada
apa yang diyakini tanpa mengetahui dalil yang digunakan. Imam al-Hudhudy
mendevinisikan taqlid dalam bidang aqidah sebagai berikut:
والتقليد ان تتبع غيرك في قوله او اعتقاده دون ان تعرف دليله
Taqlid adalah mengikuti selainmu
pada perkataannya atau i’tiqadnya tanpa kamu mengenal dalilnya.
Selanjut Imam al-Hudhudiy
menjelaskan apabila kamu mengetahui dalilnya, maka kamu termasuk ‘arif (yang
mengenal), bukan muqallid (orang yang bertaqlid). (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala
al-Hudhudy: 41-42).
Berikut ini beberapa catatan
berkenaan devinisi taqlid di atas yang berkaitan dengan akidah, yang dipahami dari penjelasan Imam
al-Syarqawi:
1.
Devinisi ini tidak mencakup mengikuti perkataan Nabi SAW pada hukum
furu’iyah. Demikian juga tidak mencakup mengikuti dalil sama’i pada ‘aqaid-‘aqaid
dimana dalilnya adalah sama’i (naqli), yaitu ‘aqaid yang tidak tergantung
dalalah mu’jizat atas kebenaran seorang Rasul seperti sifat sama’, bashar,
kalam dan lawazim-lawazimnya. Demikian juga ‘aqaid lainnya yang dalilnya adalah
sama’i seperti hasyar dan nasyar di padang mahsyar kelak. Kedua katagori ini
tidak termasuk taqlid. Karena tidak diragukan bahwa perkataan, perbuatan dan
taqrir Nabi SAW merupakan dalil itu sendiri.(catatan: yang dimaksud perkataan
Nabi SAW di sini mencakup ayat al-Qur’an, karena meskipun pada hakikatnya ayat
al-Qur’an diyakini sebagai kalam Allah, akan tetapi muncul dari ucapan nabi
SAW).
2.
‘Aqaid-‘aqaid dimana dalilnya adalah dalil ‘aqli, yaitu sifat-sifat yang
tergantung dalalah mu’jizat atas kebenaran seorang Rasul seperti sifat qudrah
dan iradah Allah Ta’ala, jika mengikuti perkataan Nabi SAW pada masalah ini
setelah membenarkan bahwa seseorang tersebut benar adanya sebagai seorang
Rasul, maka mengikuti tersebut tidak dinamakan taqlid. Karena tidak ada Rasul
kecuali seseorang yang muncul mu’jizat pada tangannnya. Sementara itu, tidak
mungkin ada mu’jizat kecuali datang dari Tuhan yang bersifat dengan sifat
seperti qudrah dan iradah. Maka membenarkan risalah seorang Rasul, itu berarti muncul
setelah membenarkan sifat-sifat seperti iradah dan qudrah. Karena itu, dalam
kasus ini yang menjadi pegangan dalam menetapkan sifat-sifat Allah seperti
iradah dan qudrah adalah dalil ‘aqli. Adapun perkataan, perbuatan dan taqrir
Nabi SAW hanya penguatnya saja.
3.
Adapun orang yang belum membenarkan perkataan Nabi SAW dalam kasus
sebagaimana pada point ke-2 di atas,
sedangkan perkataan Nabi SAW baginya hanya seperti perkataan seorang manusia
biasa, maka mengikuti perkataan Nabi SAW baginya adalah taqlid.
4.
Taqlid pada dalil sama dengan taqlid pada madlul (yang ditunjuki oleh
dalil, yaitu sifat-sifat Allah Ta’ala dan lainnya), sebagaimana dalil wahdaniat
Allah Ta’ala, yakni seandainya ada tuhan selain Allah, tentunya tuhan lebih
dari satu, maka dapat dipastikan langit dan bumi ini akan hancur binasa. Jika seseorang
tidak mengerti bahwa langit dan bumi ini akan hancur binasa, tapi dia hanya
mengikuti perkataan orang lain dalam berdalil, maka statusnya adalah muqallid.
Contoh lain, dalil bagi alam ini ada pencipta, yakni alam ini baharu dan setiap
yang baharu pasti ada penciptanya. Jika seseorang tidak mengetahui bahwa alam ini
baharu, tapi dia hanya mengikuti perkataan orang lain dalam berdalil, maka
statusnya adalah muqallid. Maka taqlid pada dalil tercela sebagaimana taqlid pada
madlul.
5.
Dihukum tercela taqlid pada dalil, tidak berarti mengambil atau
mengikuti metode pendalilian dari ulama-ulama, kemudian setuju dengan metode
tersebut dihukum sebagai taqlid sebagaimana dalam kasus ru’yatul hilal dimana
berkumpul sekelompok manusia dalam rangka berusaha melihat hilal. Ada satu
orang yang sudah duluan melihat hilal, lalu dia memberi petunjuk kepada orang
lain dengan memperlihatkan tanda-tandanya seperti putih-putih di sekeliling
hilal. Maka dalam kasus ini;
a.
Barangsiapa yang hanya melihat tanda-tandanya dan tidak melihat hilal,
tetapi dia hanya mengikuti saja perkataan orang yang telah melihat sebelumnya,
maka dia muqallid.
b.
Barangsiapa yang tidak melihat tanda-tandanya sama sekali dan juga tidak
melihat hilal, maka dia muqallid.
c.
Adapun orang yang terus menerus mencari tahu dengan petunjuk orang yang
sudah duluan melihat hilal, sehingga nampak hilal padanya dengan bantuan
melihat tanda-tandanya, maka dia adalah ‘arif, bukan muqallid, meskipun untuk
sampai kepada ‘arif dia harus dengan cara taqlid terlebih dahulu. Sehingga dia sah
mengatakan, “Saya sudah melihat hilal”, bukan mengatakan, “Seperti itu mereka
katakan”. (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala al-Hudhudy: 42).
Hukum taqlid dalam bidang aqidah
Para ulama berbeda
pendapat dalam menyikapi taqlid pada bidang aqidah. Imam al-Sanusi dalam Umm
al-Barahin menjelaskan, tidak memadai taqlid dalam bidang aqidah. Imam
al-Sanusi menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ahli ilmu seperti Imam
al-Asy’ari, Qadhi Abu Bakar al-Baqilaaniy dan Imam al-Haramain. Bahkan menurut
hikayah Ibnu al-Qushaar, ini juga merupakan pendapat Imam Malik. Namun pendapat
ini terbelah lagi kepada beberapa pendapat. Sebagian mereka berpendapat
muqallid ini tetap dihukum mukmin, namun berbuat maksiat dengan sebab
meninggalkan nadhar yang shahih. Sebagian yang lain berpendapat muqallid pada
bidang aqidah adalah mukmin dan tidak berlaku maksiat kecuali dia adalah ahli
nadhar. Sebagian yang lain lagi mengatakan, muqallid bukan mukmin sama sekali.
(Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 54-55).
Syeikh al-Dusuqi dalam mengomentari penjelasan Imam
al-Sanusi dalam Umm al-Barahin di atas menyimpulkan ada tiga pendapat terkait
taqlid, yaitu:
1. Ma’rifah (mengenal tidak dengan cara taqlid) pada ‘aqidah adalah wajib
atas setiap orang, dengan makna kewajiban hukum furu’ (kewajiban yang
konsekwensinya hanya berdosa), bukan kewajiban ushul (konsekwinsinya bisa
mengakibatkan seseorang menjadi kafir). Apabila seseorang bertaqlid dalam
bidang ‘aqidah, baik seseorang itu ahli nadhar atau bukan, maka dia mukmin yang
berbuat maksiat.
2. Jika seseorang merupakan ahli nadhar, maka hukum ma’rifah pada aqidah
tanpa taqlid atasnya adalah wajib dengan makna kewajiban furu’. Sehingga
apabila bertaqlid, orang ini dihukum sebagai mukmin berbuat maksiat. Adapun
apabila bukan ahli nadhar, maka atasnya tidak ada kewajiban ma’rifah aqidah
tanpa taqlid
3. Kewajiban ma’rifah pada ‘aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban ushul.
Sehingga seseorang yang taqlid dalam bidang aqidah dapat dihukum kafir.
Kemudian al-Dusuqi menjelaskan, Imam al-Sanusi dalam kitab
beliau, al-Kubraa menguatkan pendapat pertama, yaitu ma’rifah tanpa taqlid pada
aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban furu’, baik seseroang itu ahli
nadhar atau bukan. Namun menurut al-Dusuqi pendapat ini tidak dapat diterima.
Yang benar adalah pendapat kedua, yaitu kewajiban ma’rifah pada aqidah tanpa
taqlid hanya berlaku atas seseorang yang ahli nadhar. Selanjutnya al-Dusuqi
menjelaskan, pendapat pertama di atas dibangun atas dasar jawaz (boleh) taklif
bii maa laa yutha’ (boleh taklif dengan sesuatu yang tidak disanggupi) atau
dibangun atas dasar bahwa setiap mukallaf dapat dipastikan mampu dengan dalil
ijmali. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 54).
Masih menurut keterangan Imam al-Sanusi, selain jumhur ahli
ilmu berpendapat bahwa nadhar bukanlah syarat sah iman, bahkan tidak wajib sama
sekali, tetapi hanya merupakan syarat kamal (kesempurnaan) saja. Pendapat ini
telah dipilih oleh Syeikh al-‘Arif al-Wali Ibnu Abi Jamrah, al-Imam al-Qusyairiy,
Ibnu Rusyd, Imam al-Ghazali dan satu jamaah ulama. Kemudian Imam al-Sanusi
menjelaskan bahwa pendapat yang benar yang sesuai dengan petunjuk al-Kitab dan
al-Sunnah adalah wajib nadhar yang shahih, namun terjadi perbedaan pendapat
apakah nadhar itu merupakan syarat sah imam atau bukan. Pendapat yang rajih
adalah nadhar merupakan syarat sah iman. Pendapat yang menyatakan bahwa Allah
dapat di kenal dengan cara taqlid, oleh Ibnu al-‘Arabi telah menisbahkannya
kepada mubtadi’ (ahli bid’ah). (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 57).
Tarjih Imam al-Sanusi dalam kitab Umm al-Barahiih ini
mempunyai makna kewajiban nadhar merupakan kewajiban ushul, bukan furu’. Kosekwensinya tanpa nadhar, maka iman seseorang tidak sah.
Ini berbeda dengan tarjih beliau dalam kitab al-Kubraa sebagaimana telah
dijelaskan di atas, dimana dalam kitab tersebut beliau mentarjihkan pendapat
ma’rifah tanpa taqlid pada aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban furu’,
baik seseroang itu ahli nadhar atau bukan.
Dalil-dalil kewajiban nadhar dan larangan taqlid
1. Firman Allah Ta’ala:
وَاِذَا قِيْلَ
لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا
عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطٰنُ يَدْعُوْهُمْ اِلٰى عَذَابِ
السَّعِيْرِ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan
Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami
dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti
bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang
menyala-nyala (neraka)? (Q.S. Luqman: 21)
2.
Firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggungjawabannya. (Q.S. al-Isra’:21)
3.
Firman Allah Ta’ala:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ
وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ
النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ
الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ وَّتَصْرِيْفِ
الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ
لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan
siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi
manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia
menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir (Q.S. al-Baqarah: 164)
4.
Firman Allah
berbunyi :
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa
al-Qur’an itu adalah haq.(Q.S. al-Fusshilat : 53)
Wallahua’lam bisshawab