Jumat, 21 Februari 2025

Hukum Taqlid dalam Bidang Aqidah

 

Sesungguhnya aqidah Islamiyah dibangun atas dalil-dalil ‘aqliyah yang bersifat yakin dan benar dan hukum-hukum syariah dibangun di atas aqidah ini. Keimanan merupakan kolaborasi antara akal sehat yang berdasar dari kemampuan akal untuk menganalisis sesuatu yang terjadi. Sehingga Ibnu al-Arabi (ulama besar dari kalangan mazhab Maliki, bukan Ibnu ‘Arabi ulama sufi pengarang kitab Futuhaat al-Makkiyah) mengatakan,

ان من لم يعلم الله تعالى كيف يعلم ان الخبر خبره فثبت ان طريقه النظر

Sesungguhnya orang-orang yang belum mengenal Allah Ta’ala bagaimana mungkin mengetahui suatu khabar adalah khabar dari Allah Ta’ala. Karena itu, tetaplah bahwa jalan mengenal Allah adalah nadhar (‘aqliyah). (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahin: 60)

 

Berdasarkan pemahaman ini, maka kajian tentang ketidakbolehan taqlid dalam bidang aqidah menjadi sangat penting. Para ulama tempo dulu sudah banyak menoreh tintanya membahas panjang lebar dengan argumentasinya masing-masing dalam mensikapi masalah taqlid dalam bidang aqidah.

Pengertian taqlid dalam bidang akidah

Taqlid dalam masalah aqidah adalah mengikuti orang lain pada apa yang diyakini tanpa mengetahui dalil yang digunakan. Imam al-Hudhudy mendevinisikan taqlid dalam bidang aqidah sebagai berikut:

والتقليد ان تتبع غيرك في قوله او اعتقاده دون ان تعرف دليله

Taqlid adalah mengikuti selainmu pada perkataannya atau i’tiqadnya tanpa kamu mengenal dalilnya.

 

Selanjut Imam al-Hudhudiy menjelaskan apabila kamu mengetahui dalilnya, maka kamu termasuk ‘arif (yang mengenal), bukan muqallid (orang yang bertaqlid). (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala al-Hudhudy: 41-42).

Berikut ini beberapa catatan berkenaan devinisi taqlid di atas yang berkaitan dengan akidah,  yang dipahami dari penjelasan Imam al-Syarqawi:

1.   Devinisi ini tidak mencakup mengikuti perkataan Nabi SAW pada hukum furu’iyah. Demikian juga tidak mencakup mengikuti dalil sama’i pada ‘aqaid-‘aqaid dimana dalilnya adalah sama’i (naqli), yaitu ‘aqaid yang tidak tergantung dalalah mu’jizat atas kebenaran seorang Rasul seperti sifat sama’, bashar, kalam dan lawazim-lawazimnya. Demikian juga ‘aqaid lainnya yang dalilnya adalah sama’i seperti hasyar dan nasyar di padang mahsyar kelak. Kedua katagori ini tidak termasuk taqlid. Karena tidak diragukan bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW merupakan dalil itu sendiri.(catatan: yang dimaksud perkataan Nabi SAW di sini mencakup ayat al-Qur’an, karena meskipun pada hakikatnya ayat al-Qur’an diyakini sebagai kalam Allah, akan tetapi muncul dari ucapan nabi SAW).

2.   ‘Aqaid-‘aqaid dimana dalilnya adalah dalil ‘aqli, yaitu sifat-sifat yang tergantung dalalah mu’jizat atas kebenaran seorang Rasul seperti sifat qudrah dan iradah Allah Ta’ala, jika mengikuti perkataan Nabi SAW pada masalah ini setelah membenarkan bahwa seseorang tersebut benar adanya sebagai seorang Rasul, maka mengikuti tersebut tidak dinamakan taqlid. Karena tidak ada Rasul kecuali seseorang yang muncul mu’jizat pada tangannnya. Sementara itu, tidak mungkin ada mu’jizat kecuali datang dari Tuhan yang bersifat dengan sifat seperti qudrah dan iradah. Maka membenarkan risalah seorang Rasul, itu berarti muncul setelah membenarkan sifat-sifat seperti iradah dan qudrah. Karena itu, dalam kasus ini yang menjadi pegangan dalam menetapkan sifat-sifat Allah seperti iradah dan qudrah adalah dalil ‘aqli. Adapun perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW hanya penguatnya saja.

3.   Adapun orang yang belum membenarkan perkataan Nabi SAW dalam kasus sebagaimana  pada point ke-2 di atas, sedangkan perkataan Nabi SAW baginya hanya seperti perkataan seorang manusia biasa, maka mengikuti perkataan Nabi SAW baginya adalah taqlid.

4.   Taqlid pada dalil sama dengan taqlid pada madlul (yang ditunjuki oleh dalil, yaitu sifat-sifat Allah Ta’ala dan lainnya), sebagaimana dalil wahdaniat Allah Ta’ala, yakni seandainya ada tuhan selain Allah, tentunya tuhan lebih dari satu, maka dapat dipastikan langit dan bumi ini akan hancur binasa. Jika seseorang tidak mengerti bahwa langit dan bumi ini akan hancur binasa, tapi dia hanya mengikuti perkataan orang lain dalam berdalil, maka statusnya adalah muqallid. Contoh lain, dalil bagi alam ini ada pencipta, yakni alam ini baharu dan setiap yang baharu pasti ada penciptanya. Jika seseorang tidak mengetahui bahwa alam ini baharu, tapi dia hanya mengikuti perkataan orang lain dalam berdalil, maka statusnya adalah muqallid. Maka taqlid pada dalil tercela sebagaimana taqlid pada madlul.

5.   Dihukum tercela taqlid pada dalil, tidak berarti mengambil atau mengikuti metode pendalilian dari ulama-ulama, kemudian setuju dengan metode tersebut dihukum sebagai taqlid sebagaimana dalam kasus ru’yatul hilal dimana berkumpul sekelompok manusia dalam rangka berusaha melihat hilal. Ada satu orang yang sudah duluan melihat hilal, lalu dia memberi petunjuk kepada orang lain dengan memperlihatkan tanda-tandanya seperti putih-putih di sekeliling hilal. Maka dalam kasus ini;

a.   Barangsiapa yang hanya melihat tanda-tandanya dan tidak melihat hilal, tetapi dia hanya mengikuti saja perkataan orang yang telah melihat sebelumnya, maka dia muqallid.

b.   Barangsiapa yang tidak melihat tanda-tandanya sama sekali dan juga tidak melihat hilal, maka dia muqallid.

c.   Adapun orang yang terus menerus mencari tahu dengan petunjuk orang yang sudah duluan melihat hilal, sehingga nampak hilal padanya dengan bantuan melihat tanda-tandanya, maka dia adalah ‘arif, bukan muqallid, meskipun untuk sampai kepada ‘arif dia harus dengan cara taqlid terlebih dahulu. Sehingga dia sah mengatakan, “Saya sudah melihat hilal”, bukan mengatakan, “Seperti itu mereka katakan”. (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala al-Hudhudy: 42).

Hukum taqlid dalam bidang aqidah

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi taqlid pada bidang aqidah. Imam al-Sanusi dalam Umm al-Barahin menjelaskan, tidak memadai taqlid dalam bidang aqidah. Imam al-Sanusi menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ahli ilmu seperti Imam al-Asy’ari, Qadhi Abu Bakar al-Baqilaaniy dan Imam al-Haramain. Bahkan menurut hikayah Ibnu al-Qushaar, ini juga merupakan pendapat Imam Malik. Namun pendapat ini terbelah lagi kepada beberapa pendapat. Sebagian mereka berpendapat muqallid ini tetap dihukum mukmin, namun berbuat maksiat dengan sebab meninggalkan nadhar yang shahih. Sebagian yang lain berpendapat muqallid pada bidang aqidah adalah mukmin dan tidak berlaku maksiat kecuali dia adalah ahli nadhar. Sebagian yang lain lagi mengatakan, muqallid bukan mukmin sama sekali. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 54-55).

Syeikh al-Dusuqi dalam mengomentari penjelasan Imam al-Sanusi dalam Umm al-Barahin di atas menyimpulkan ada tiga pendapat terkait taqlid, yaitu:

1.   Ma’rifah (mengenal tidak dengan cara taqlid) pada ‘aqidah adalah wajib atas setiap orang, dengan makna kewajiban hukum furu’ (kewajiban yang konsekwensinya hanya berdosa), bukan kewajiban ushul (konsekwinsinya bisa mengakibatkan seseorang menjadi kafir). Apabila seseorang bertaqlid dalam bidang ‘aqidah, baik seseorang itu ahli nadhar atau bukan, maka dia mukmin yang berbuat maksiat.

2.   Jika seseorang merupakan ahli nadhar, maka hukum ma’rifah pada aqidah tanpa taqlid atasnya adalah wajib dengan makna kewajiban furu’. Sehingga apabila bertaqlid, orang ini dihukum sebagai mukmin berbuat maksiat. Adapun apabila bukan ahli nadhar, maka atasnya tidak ada kewajiban ma’rifah aqidah tanpa taqlid

3.   Kewajiban ma’rifah pada ‘aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban ushul. Sehingga seseorang yang taqlid dalam bidang aqidah dapat dihukum kafir.

Kemudian al-Dusuqi menjelaskan, Imam al-Sanusi dalam kitab beliau, al-Kubraa menguatkan pendapat pertama, yaitu ma’rifah tanpa taqlid pada aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban furu’, baik seseroang itu ahli nadhar atau bukan. Namun menurut al-Dusuqi pendapat ini tidak dapat diterima. Yang benar adalah pendapat kedua, yaitu kewajiban ma’rifah pada aqidah tanpa taqlid hanya berlaku atas seseorang yang ahli nadhar. Selanjutnya al-Dusuqi menjelaskan, pendapat pertama di atas dibangun atas dasar jawaz (boleh) taklif bii maa laa yutha’ (boleh taklif dengan sesuatu yang tidak disanggupi) atau dibangun atas dasar bahwa setiap mukallaf dapat dipastikan mampu dengan dalil ijmali. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 54).

Masih menurut keterangan Imam al-Sanusi, selain jumhur ahli ilmu berpendapat bahwa nadhar bukanlah syarat sah iman, bahkan tidak wajib sama sekali, tetapi hanya merupakan syarat kamal (kesempurnaan) saja. Pendapat ini telah dipilih oleh Syeikh al-‘Arif al-Wali Ibnu Abi Jamrah, al-Imam al-Qusyairiy, Ibnu Rusyd, Imam al-Ghazali dan satu jamaah ulama. Kemudian Imam al-Sanusi menjelaskan bahwa pendapat yang benar yang sesuai dengan petunjuk al-Kitab dan al-Sunnah adalah wajib nadhar yang shahih, namun terjadi perbedaan pendapat apakah nadhar itu merupakan syarat sah imam atau bukan. Pendapat yang rajih adalah nadhar merupakan syarat sah iman. Pendapat yang menyatakan bahwa Allah dapat di kenal dengan cara taqlid, oleh Ibnu al-‘Arabi telah menisbahkannya kepada mubtadi’ (ahli bid’ah). (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 57).

Tarjih Imam al-Sanusi dalam kitab Umm al-Barahiih ini mempunyai makna kewajiban nadhar merupakan kewajiban ushul, bukan furu’. Kosekwensinya  tanpa nadhar, maka iman seseorang tidak sah. Ini berbeda dengan tarjih beliau dalam kitab al-Kubraa sebagaimana telah dijelaskan di atas, dimana dalam kitab tersebut beliau mentarjihkan pendapat ma’rifah tanpa taqlid pada aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban furu’, baik seseroang itu ahli nadhar atau bukan.

Dalil-dalil kewajiban nadhar dan larangan taqlid

1.   Firman Allah Ta’ala:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطٰنُ يَدْعُوْهُمْ اِلٰى عَذَابِ السَّعِيْرِ

Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Q.S. Luqman: 21)

2.   Firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Q.S. al-Isra’:21)

 

3.   Firman Allah Ta’ala:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (Q.S. al-Baqarah: 164)

 

4.   Firman Allah berbunyi :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah haq.(Q.S. al-Fusshilat : 53)

 

Wallahua’lam bisshawab