Senin, 26 Desember 2016

Apakah kalau tidak beramal, tidak boleh amar ma’ruf (Penafsiran Q.S. al-Baqarah : 44 menurut al-Subki)

Ada sebagian kita yang tidak mau melaksanakan amar ma’ruf, karena beralasan dirinya sendiri tidak mengamalkannya. Ayat al-Qur’an yang sering dijadikan agumentasinya adalah Q.S. al-Baqarah : 44, yang berbunyi sebagai berikut :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Artinya :Apakah kalian memerintah manusia dengan kebajikan, sementara kalian melupakan diri kalian sendiri. Padahal kalian membaca al-Kitab. Apakah kalian tidak berpikir. (Q.S. al-Baqarah : 44)

              Lalu bagaimana penafsirannya yang benar?.
                          Imam al-Subki menjelaskan kepada kita, apabila terjadi pelarangan dari dua perbuatan atau satu perbuatan yang dikaidkan atas perbuatan yang lain, maka terdapat beberapa pembagian, yakni :
1.      Masing-masing perbuatan itu mubah, tidak tercela. Yang tercela hanyalah  mengumpulkan keduanya. Masing-masing keduanya merupakan bagian dari ‘illah (alasan) tercela. Contohnya perkataan manusia :
لا تأكل السمك وتشرب اللبن
Jangan kamu makan ikan dan minum susu.

2.      Salah satunya terpuji dan yang lain tercela. Akan tetapi tercelanya yang tercela lebih besar disaat bersama yang terpuji, dibandingkan tercela tersendiri tanpa bersama yang terpuji. Contohnya Q.S. al-Baqarah : 44 di atas. Kebanyakan yang kedua ini apabila bentuknya dimulai dengan yang terpuji, kemudian baru disebut yang tercela sebagaimana ayat di atas.
Penjelasannya, sebab datang ayat dalam uslub ini adalah qashad mendahulukan sebab (amar ma’ruf) atas musabbab (mengamalkan untuk diri sendiri), karena perintah kebajikan kepada manusia sepatutnya merupakan sebab memerintahkan diri sendiri untuk mengamalkannya. Karena itu, apabila seseorang yang melakukan amar ma’ruf, tetapi dia tidak mengamalkannya, maka itu sangatlah keji dan itu lebih keji dari pada datang sebuah perintah seperti : “Kerjakanlah dan jangan kamu lupakan dirimu sendiri”.
Mendekati uslub ini antara lain hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim berbunyi :
اذا كان يوم صوم احدكم فلا يرفث ولا يفسق
Apabila salah seorang kamu dalam keadaan berpuasa, maka jangan berkata kejji dan melakukan perbuatan pasiq.(H.R. al-Bukhari dan Muslim)

Berkata keji dan melakukan perbuatan fasiq dilarang, baik atas orang berpuasa ataupun yang tidak berpuasa, namun berkata keji dan melakukan perbuatan fasiq lebih keji apabila dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa. Karena puasa merupakan sebab yang kuat menjauhkan perkataan keji dan perbuatan fasiq.
Sebelum menafsirkan Q.S. al-Baqarah : 44 sebagaimana penafsiran di atas, Imam al-Subki meletakkan pondasi penafsiran kepada kita sebagai berikut :
a.    Amar ma’ruf merupakan kebajikan dan wajib dikerjakan, baik seseorang itu mengamalkan atau tidak mengamalkannya.
b.      apabila seseorang tidak mengamalkannya serta juga tidak melakukan amar ma’ruf, maka atasnya dua dosa, yakni dosa meninggalkan amar ma’ruf dan dosa tidak mengamalkan kewajiban.

Kesimpulan
            Amar ma’ruf tetap terpuji (wajib), meski datangnya bersamaan dengan meninggalkan pengamalannya untuk diri sendiri. Namun dosa meninggalkan pengamalannya akan lebih besar disaat bersamaan dengan amar ma’ruf.

(Lihat Fatawa al-Subki, Cet. Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 19-20)
             




3 komentar:

  1. السلام عليكم
    Tgk. Alizar Usman yang loen muliakan, loen merupakan pengembang web design. loen ingin membantu mendesain tampilan http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/ agar lebih menarik. Loen cukop galak dengan web droen dan nyoe neu bie izin jeut loen meurumpok Tgk.

    BalasHapus