Sabtu, 14 Januari 2017

Ghibah lebih berat dari zina? (Kajian bersama Ibnu Hajar al-Haitami)

Pembahasan di bawah ini merupakan jawaban Ibnu Hajar al-Haitami terhadap pertanyaan berikut ini :
1.      Apakah maksud sabda Nabi SAW berbunyi :
الْغِيبَةُ أَشَدُّ مِنْ الزِّنَا
dan sabda Nabi SAW berbunyi :

الْغِيبَةِ أَشَدُّ مِنْ ثَلَاثِينَ زَنْيَةً فِي الْإِسْلَامِ
padahal diketahui bahwa ghibah itu dosa kecil, sedangkan zina dosa besar.
2.      Apakah zina termasuk dosa antara hamba dan tuhannya, sehingga taubatnya tidak memerlukan minta maaf kepada seorangpun dari manusia ataukah ia merupakan dosa yang berhubungan dengan anak Adam, sehingga taubatnya memerlukan minta maaf kepada kerabat perempuan yang dizinainnya atau suaminya apabila perempuan itu sudah bersuami ?
3.      Apa dhabith dosa yang berhubungan dengan Allah dan dosa yang berhubungan anak Adam?

Ibnu Hajar al-Haitami menjawab :

Rasulullah SAW bersabda :

الْغِيبَةُ أَشَدُّ مِنْ الزِّنَا
Ghibah (mengumpat) lebih berat dari zina

Hadits ini merupakan hadits Jabir r.a dan Abi Sa’id r.a yang diriwayat oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam al-Shamt dan Ibnu Hibban dalam kita al-Dhu’afa serta Ibn Marduwaih dalam tafsirnya. Hadits ini juga diriwayat oleh al-Thabrani dan al-Baihaqi.
Ibn Abi al-Dunya dan Abu al-Syekh dari jalur lain, kedua beliau ini meriwayat hadits ini dengan disertai penjelasannya, yakni :
إيَّاكُمْ وَالْغِيبَةَ فَإِنَّ الْغِيبَةَ أَشَدُّ مِنْ الزِّنَا إنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَزْنِي فَيَتُوبُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ وَإِنَّ صَاحِبَ الْغِيبَةِ لَا يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ
Jauhilah ghibah, karena ghibah itu lebih berat dari zina. Sesungguhnya seseorang kadang-kadang dia berzina, maka Allah ‘Azza wa Jalla menerima taubatnya. Akan tetapi pelaku ghibah tidak diampuni dosanya sehingga dimaafkan dosanya oleh orang yang dighibahnya itu.
           
            Berdasarkan hadits ini, dipahami bahwa lebih berat ghibah dari zina bukanlah secara mutlaq, akan tetapi lebih beratnya itu ditinjau dari aspek bahwa taubat pada zina memadai hanya semata-mata dengan syarat-syarat taubat seperti menyesali, berhenti melakukannya, bercita-cita tidak kembali melakukannya, tidak dalam keadaan ghargharah (sekarat), matahari belum terbit di barat. Ini berbeda dengan taubat dari ghibah. Adapun Taubat dari ghibah, selain syarat-syarat di atas juga harus ada pemaafan dari orang yang dighibah. Maka ditinjau dari sisi ini ghibah disebut lebih berat dari zina, bukan secara mutlaq. Ghibah bukanlah dosa besar secara mutlaq, ghibah menjadi dosa besar apabila ghibah seperti kepada pengemban ilmu dan al-Quran. Namun al-Qurthubi pernah mengutip adanya ijmak dosa ghibah merupakan dosa besar.
            Pemahaman bahwa taubat dari zina tidak perlu ada pemaafan dari pihak yang terkait dengannya juga telah dijelaskan dalam al-Raudhah wa Ashliha dan selainnya. Penjelasan yang sama juga telah dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitab beliau, Minhaj al-Abidin. Sebagian ulama mutaakhirin mengatakan, taubat bathin di antara Allah dan hambanya yang dapat terampuni dosanya terbagi dua, yakni : Pertama taubat dari dosa yang tidak tersangkut dengan anak Adam. Kedua taubat dari dosa yang tersangkut dengan anak Adam. Pembagian pertama seperti menyentuh perempuan bukan mahram diselain farajnya, menciuminya (dosa kecil), zina dan minum khamar (dosa besar). Ini memadai taubat dengan menyesali,, bercita-cita tidak melakukan lagi dan berhenti melakukannya apabila ketika itu sedang melakukannya.
            Adapun tidak disyaratkan pemaafan dalam taubat dari zina, ini tidak menunjukkan bahwa tidak ada sama sekali hak hak yang berhubungan dengan anak Adam secara mutlaq. Karena itu, maksud tidak ada hak anak Adam dalam kasus zina adalah hak dalam bentuk harta atau seumpamanya. Hal ini karena telah disepakati para ulama bahwa atas zina ada hukuman jinayat karena faktor kehormatan dan keturunan. Karena itu, pelaku zina dirajam karena zinanya dan hukumannya lebih berat dari hukuman pelaku dosa lainnya. Ini merupakan penunjuk yang sharih pada perbuatan zina ada hak bagi kerabat perempuan yang dizinainya, suami atau sayyidnya (pemilik  hamba sahaya). Namun para ulama mengatakan, tidak serah hak melakukan hudud zina kepada para wali perempuan yang dizinai, karena kadang-kadang para wali itu tidak akan menerapkan hudud tersebut karena takut kepada sipelaku zina atau misalnya dikuatirkan para wali tanpa pikir panjang dan terburu-buru akan membunuh pelaku zina.
            Dalam kitab Minhaj al-Abidin, Imam al-Ghazali mengatakan, dosa yang  terjadi pada hamba Allah, kadang terjadi pada harta, pada jiwa, pada kehormatan,  dalam rumah tangga dan kadang pada agama. Adapun pada harta, maka wajib mengembalikannya di saat memungkinkan. Apabila tidak mampu karena fakir, maka minta maaf dan apabila tidak mampu juga karena jauh atau sudah mati, sedangkan dia memungkinkan bersadaqah, maka bersadaqahlah. Jika itu juga tidak mampu, maka memperbanyaklah amalam kebaikan dan kembali kepada Allah dengan merendahkan diri kepada-Nya mudah-mudahan Allah meridhainya nanti di hari kiamat. Adapun dosa pada jiwa, maka serahkan hak qishas kepadanya atau walinya dan seandainya ini tidak memungkinkan, maka kembali kepada Allah menuntut keridhaan-Nya pada hari kiamat. Adapun dosa pada kehormatan, apabila kamu melakukan ghibah, mencaci maki, mendustai, maka hak kamu mendustai dirimu di hadapan orang-orang yang kamu lakukan itu dan minta maaf kepada mereka apabila ini memungkinkan. Namun apabila kamu kuatir akan menambah kemarahan dan fitnah dengan sebab mengungkitnya kembali, maka kembali kepada Allah Ta’ala untuk mendapat redha dari-Nya. Adapun dosa dalam rumah tangga, seandainya kamu berkhianat atas keluarga, anak atau lainnya, maka tidak ada tinjauan sama sekali untuk minta maaf dan mendhahirkannya, karena anak memang dilahirkan menjadi fitnah dan kemarahan. Karena itu, merendahkan diri kepada Allah supaya Allah meridhaimu dan mengamalkan banyak kebaikan sebagai penebus dosa. Namun apabila aman dari fitnah, tapi ini sangat kecil kemungkinannya, maka minta maaflah. Adapun pada agama, jika kamu ingkar agama, melakukan bid’ah atau perbuatan sesat, maka ini termasuk perkara yang sangat pelik. Karena itu, membutuhkan mendustai dirimu sendiri di hadapan orang-orang yang kamu katakan itu dan minta maaf kepada temanmu jika itu memungkinkan. Apabila itu tidak mungkin, maka berdoa kepada Allah dan menyesali perbuatan itu, mudah-mudahan Allah meridhaimu.
            Al-Zarkasyi dan lainnya diam tidak mengomentari penjelasan al-Ghazali di atas. Namun al-Azra’i menagatakan penjelasan tersebut sangat baik dan tahqiq. Ditempat lain, beliau mengatakan, mendekati haram hukumnya memberitahukan adanya hasad apabila menurut dugaannya orang yang dihasad itu tidak memaafkannya dan akan melahirkan permusuhan dan dendam serta mudharat bagi yang memberitahukannya. Kemudian al-Azhra’i melanjutkan, dibolehkan melihat kondisi orang yang dihasad, apabila dia itu baik akhlaqnya, dalam arti dapat diduga dia itu memaafkannya, maka wajib memberitahukannya supaya seseorang itu dapat keluar dari kedhaliman dengan cara yakin. Namun apabila dalam dugaannya bahwa pemberitahuannya itu mendatangkan keburukan dan permusuhan, maka haram memberitahukannya secara pasti. Adapun dalam posisi ragu-ragu, maka menurut dhahir kalam al-Nawawi tidak wajib dan tidak dianjurkan, karena jiwa yang bersih itu jarang ada. Malah barangkali itu penyebab muncul dendam dan kejahatan, meskipun dengan lidahnya telah memaafkannya.
            Hasad merupakan dosa yang dianggap mudah di sisi kebanyakan manusia dan kebanyakan manusia tidak begitu mempedulinya, namun al-Nawawi mengatakan pendapat yang terpilih, bahkan merupakan pendapat yang benar adalah tidak wajib memberitahukan kepada orang yang dihasad, bahkan tidak dianjurkan dan seandainya dikatakan makruh, maka itu juga tidak jauh. Lalu bagaimana dengan zina yang dengan semata-mata waham akan mengakibatkan si suami dan kerabatnya pasti akan membunuh sipelaku zina, tentu ini akan lebih berbahaya lagi kalau perbuatan zina itu pasti ada.

Zhabith dosa yang berhubungan dengan Allah dan dosa yang berhubungan dengan anak Adam

Setiap dosa yang tidak ada mudharat yang dihubungkan dengan sebabnya kepada anak Adam merupakan dosa yang berhubungan dengan Allah dan sebaliknya adalah dosa yang berhubungan dengan anak Adam.
            Selanjutnya al-Haitami menjelaskan kualitas hadits :
الْغِيبَةِ أَشَدُّ مِنْ ثَلَاثِينَ زَنْيَةً فِي الْإِسْلَامِ
Ghibah lebih berat dari tiga puluh penzina dalam Islam
beliau mengatakan, dhahirnya hadits ini tidak ada asal baginya.

Sumber : Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 241)



2 komentar:

  1. assalamu'alaikum Tgk..
    Bagaimanakah hukumnya kita menceritakan kesalahan2 orang lain(memaki2/tateunak)orang yang mencuri barang kita,pelacur,tidak mau berpuasa dan tidak shalat.apakah termasuk mengupat juga? tolong penjelasannya
    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. pengertian mengupat adlm membicarakan suatu sifat/prilaku orang dibelakangnya, dimana seandainya orang itu mendengar, /mengetahuinya, maka orang itu akan marah atau tidak senang. pada dasarnya hukumnya adl haram, meski yg dibicarakan itu memang benar dan sesuai dgn fakta.
      mengupat ini menjaddi tidak haram apabila mengupat tsb dgn tujuan menjadi nasehat bagi yg mendengarnya atau tujuan mulia lainnya yg di benar agama. bahkan mengupat menjadi wajib bila ddiduga itu satu satunya jln untuk membuat seseorang bertaubat.

      Hapus