Sabtu, 09 Oktober 2021

Menyimak Pandangan Ulama Mengenai Ahli Fatarah

 

I.     Pengertian fatarah

Menurut kamus al-Munawir, secara bahasa ahli bermakna famili, kerabat, keluarga, penghuni, yang bertanggung jawab, pengikut. Sedangkan makna fatarah antara lain tenang, reda, masa dan periode.  Adapun makna ahli fatarah dalam istilah menurut Ibnu Hajar al-Haitami adalah orang-orang yang tidak diutus seorang Rasul kepada mereka.[1]  Dalam Kitab al-Hawi lil fatawa karangan al-Suyuthi dijelaskan bahwa ahli fatarah adalah umat-umat yang zaman hidupnya berada antara dua zaman para Rasul yang tidak diutus kepada mereka risalah rasul pertama dan mereka juga tidak mendapati rasul yang kedua. Misalnya orang-orang Arab yang tidak diutus kepada mereka Nabi Isa as dan mereka juga tidak terhubung dengan Nabi SAW. Fatarah dengan makna ini mencakup zaman di antara semua para Rasul. Namun pada saat membahas patarah, para fuqaha mendefinisi sebagai fatarah hanya antara zaman Nabi Isa as dan Nabi SAW.[2] Senada dengan al-Suyuthi, Hasan al-‘Ithar menyebutkan ahli fatarah adalah setiap orang yang zaman hidupnya berada antara dua orang rasul, dimana rasul pertama tidak diutus kepada mereka dan sedangkan mereka juga tidak mendapati rasul kedua.[3]

Adapun fatarah antara Isa dan diutus Nabi SAW adalah sekitar 600 tahun.[4] Hal ini sesuai dengan hadits riwayat al-Bukhari berbunyi :

عن سلمان الفارسي قال : فترة بين عيسى ومحمد عليهما الصلاة والسلام ستمائة سنة .

“Dari Salman al-Farisi, beliau mengatakan, fatarah antara Isa dan Muhammad semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan atas keduanya adalah 600 tahun.”  (H.R. al-Bukhari)[5]

 

Ibnu Hajar al-Asqalany telah menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ahli ma’rifah bi al-akhbar.[6]

II.  Padangan para ulama status ahli fatarah antara Nabi Isa As dan Nabi Kita Muhammad SAW.

Para ulama setelah sepakat terjadi fatarah dalam bidang furu’ syariat, mereka  berbeda pendapat dalam mengomentari status ahli fatarah dalam bidang aqaid.[7] Menurut Muhammad al-Dusuqi terjadi perbedaan pendapat ulama dalam dua kelompok pendapat, yakni :

1.       fatarah hanya dalam furu’ syariat, tidak ada fatarah dalam akidah

2.       fatarah dalam akidah dan furu’ syariat.

 

Al-Dusuqi menjelaskan kepada kita terjadi perbedaan pendapat, apakah apakah memadai taklif  ‘aqaid dengan sampai dakwah siapa  saja dari seorang nabi atau diharuskan sampai dakwah seorang nabi dizamannya. Pendapat memadai taklif  ‘aqaid dengan sampai dakwah siapa  saja dari seorang nabi berargumentasi tidak ada fatarah dalam aqaid, berbeda dengan furu’, karena aqaid disepakati di antara para rasul. Sedangkan pendapat diharuskan sampai dakwah seorang nabi dizamannya, melihat dalam bidang ‘aqaid berlaku fatarah juga sama halnya dengan furu’.[8] Dhahirnya al-Dusuqi lebih cenderung kepada pendapat pertama, sebagaimana ucapan beliau :

ومن هذا يعلم انه لا يصح بنجاة احد من الجاهلية الذين لا معرفة عندهم بالعقائد لكونه من اهل الفترة

“Dari ini dapat dimaklumi bahwa tidak shahih pendapat terlepas seseorang yang hidup pada zaman Jahiliyah yang tidak mengenal aqidah di sisi mereka karena mereka termasuk ahli fatarah.” [9]

 

Namun Ibnu Hajar al-Haitamy membantah pendapat ini. Dalam al-Fatawa al-Haditsiyah beliau mengatakan, dakwaan yang mengatakan setiap orang yang tidak beriman setelah diutus Nabi Adam atau Nuh (berdasarkan awal nabi adalah Adam atau Nuh), maka mereka dalam neraka, pendapat ini menyalahi dhahir ayat al-Qur’an. Karena itu, tidak boleh menjadi pegangan.[10]

Dalam menjelaskan status ahli fatarah ini, al-Banany menjelaskan satu jama’ah dari ulama berpendapat  ahli fatarah meskipun tidak sampai dakwah seorang nabi yang diutus kepada mereka, akan tetapi telah sampai kepada mereka dakwah para nabi yang tidak diutus kepada mereka seperti  Saiyidina Musa, Harun, Sulaiman, Daud dan lain-lain. Karena itu, barangsiapa di antara mereka yang mempunyai pemikiran dan nadhar, sedangkan mereka tidak mengi’tiqad agama yang benar, maka dihukum kafir. Dan barangsiapa di antara mereka pernah mendengar satu ayat dakwah kepada Allah dan mereka meninggalkan berargumentasi dengan akalnya untuk menyatakan shahih dakwah tersebut, sedangkan mereka termasuk ahli argumentasi dan nadhar , niscaya mereka termasuk yang berpaling dari dakwah maka mereka adalah kafir. Selanjutnya al-Banany menjelaskan bahwa ini merupakan pendapat yang dipegang Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim, al-Nawawi mengatakan :

أَنَّ مَنْ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْعَرَبُ مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلَيْسَ هَذَا مُؤَاخَذَةٌ قَبْلَ بُلُوغِ الدَّعْوَةِ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ كَانَتْ قَدْ بَلَغَتْهُمْ دَعْوَةُ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ تَعَالَى وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang mati pada zaman fatarah dimana mereka dalam keadaan penyembah berhala sebagaimana halnya orang-orang Arab pada saat itu, maka mereka adalah ahli neraka. Ini bukanlah memberi azab sebelum sampai dakwah, karena telah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim dan nabi lainnya dari para nabi-nabi semoga Allah memberikan rahmat dan kesejahteraan bagi mereka.”

Kemudian al-Banany menyebut pendapat kedua (tidak diazab ahli fatarah) yang merupakan pendapat jumhur pengikut Asy’ari, Ushuliyun dan fuqaha Syafi’yah. Mereka ini berargumentasi antara lain :

1.       hadits-hadits shahih yang menyatakan ada jama’ah ahli fatarah mendapat azab neraka merupakan hadits ahad tidak dapat dipertentangkan dengan dalil-dalil qath’i yang memastikan ahli fatarah tidak di azab dalam neraka

2.       boleh jadi orang-orang yang diazab berdasarkan hadits shahih tersebut karena ada suatu kekhususan yang menyebabkan demikian dalam ilmu Allah SWT, sebagaimana halnya dikatakan pada kasus budak beserta bayinya yang dibunuh Nabi Khizir a.s.

3.       dalil-dalil qath’i memastikan tidak ada azab sehingga ada hujjah. Karena itu, dapat dimaklumi bahwa ahli fatarah tidak di azab dalam neraka.[11]

 

Dhahirnya pendapat pertama yang dikemukan oleh al-Banani di atas merupakan pendapat kalangan al-Maturidiyah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-‘Abidin (seorang ulama mutaakhirin mazhab Hanafi), beliau mengatakan :

أَمَّا الْمَاتُرِيدِيَّةُ، فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ مُضِيِّ مُدَّةٍ يُمْكِنُهُ فِيهَا التَّأَمُّلُ وَلَمْ يَعْتَقِدْ إيمَانًا وَلَا كُفْرًا فَلَا عِقَابَ عَلَيْهِ، بِخِلَافِ مَا إذَا اعْتَقَدَ كُفْرًا أَوْ مَاتَ بَعْدَ الْمُدَّةِ غَيْرَ مُعْتَقِدٍ شَيْئًا

“Adapun kalangan al-Maturidiyah, seandainya seseorang meninggal dunia sebelum berlalu satu masa yang memungkinkan diirinya berpikir, sedangkan dia tidak beri’tiqad iman dan tidak juga kufur, maka tidak ada siksaan atasnya. Ini berbeda apabila seseorang sempat mengi’tiqad kufur atau meninggal dunia sesudah berlalu masa berpikir, akan tetapi dia tidak mengi’tiqad apapun.”[12]

 

Dr Mustafa al-Zuhaily juga telah mengutip Pendapat al-Maturidiyah ini dalam kitabnya, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, beliau mengatakan, al-Maturidiyah mengecualikan kewajiban beriman dan i’tiqad keesaan Allah Ta’ala. Sesungguhnya ahli fatarah apabila tidak mengi’tiqad yang demikian sebagaimana yang diwajib oleh akal mereka, maka mereka diazab dan dihisab atas kesyirikan dan kekufuran mereka,  karena iman merupakan  kebaikan bagi diri seseorang yang tidak dapat menerima gugurnya dengan satu alasan apapun. Ini juga merupakan pendapat kebanyakan ulama Hanafiyah yang mewajibkan iman dan mengharamkan kufur atas setiap orang yang berakal, baik sampai dakwah kepada mereka maupun tidak sampai. Karena akal secara mandiri dapat memahami sebagian hukum Allah Ta’ala. Yang sangat utama dari hukum-hukum Allah itu adalah iman dengan Allah Ta’ala. Dan pernah diriwayat dari Abu Hanifah, beliau mengatakan, tidak ada uzur seseorang dalam hal kebodohan dengan khaliqnya, karena dia dapat menganalisa dalil-dalil keesaan Allah.[13]

Sementara itu, ada penjelasan ulama mengenai ahli fatarah ini dengan menggunakan tafshil, diantaranya al-Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi. Beliau membagikan ahli fatarah menjadi tiga kelompok, yakni :

1.       yang mempunya akidah tauhid dengan mata hatinya. Kemudian sebagian mereka ini tidak masuk dalam syari’atnya seperti Qus bin Sa’idah dan Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Sebagian yang lain masuk dalam syari’at yang haq yang lurus, seperti Tubba’ dan kaumnya

2.       yang melakukan pergantian dan mengubah agama, berakidah musyrik, tidak bertauhid dan mengada-adakan syariat untuk diri sendiri, maka mereka membuat hukum halal dan haram. Mereka ini mayoritas seperti ‘Amr bin Luhay, seorang yang pertama sekali meciptakan ajaran menyembah berhala bagi orang Arab, menciptakan hukum-hukum. Maka Amr bin Luhay membuat syari’at membelah telinga unta bahiirah (unta yang sudah melahirkan lima kali, diberi tanda dengan membelah telinganya untuk dipersembahkan kepada berhala), membuat syariat saaibah (unta yang ditandai dengan belah telinga untuk dipersembahkan kepada berhala karena sembuh dari penyakit), membuat syariat al-waashilah (anak kambing jantan yang dipersembahkan kepada berhala) dan membuat syariat al-haami (binatang yang membuntingi anaknya, maka binatang tersebut tidak boleh lagi dinaiki dan dibebani muatan. Satu kelompok orang Arab lain menambah lagi ajaran yakni menyembah jin dan malaikat, membakar bayi mereka, membuat rumah-rumah kemudian rumah-rumah tersebut di persiapkan pelayannya dan hijab untuk menyayangi Ka’bah seperti Laata, ‘Uzza dan Manaah.

3.       Mereka ini tidak musyrik, tidak bertauhid, tidak masuk dalam syari’at seorang nabi, tidak mengadakan syariat dan agama baru, akan tetapi umurnya kekal dalam kelalaian semua ini.

 

Kemudian al-Suyuthi menjelaskan, kepada kelompok yang kedua inilah dipertempatkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa mereka diazab dalam neraka, karena mereka kufur tanpa ‘uzur. Adapun pembagian ketiga, mereka inilah hakikat ahli fatarah dan mereka ini tidak di azab dalam neraka. Sedangkan kelompok pertama, terkait dengan Qus dan Zaid, Rasulullah pernah bersabda :

انه يبعث امة وحده

“Sesungguhnya dia itu di bangkitkan sebagai umat tersendiri”

 

Adapun Tubba’ dan orang-orang yang sama dengannya, mereka ini seperti hukum ahli agama yang masuk dalam agamanya selama mereka tidak mendapati Islam yang memansukhkan setiap agama.[14]

 

 



[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 113

[2] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 209

[3] Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Jam’ al-Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 89

[4] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 206

[5] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 71, No 3948

[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 40

[7] Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62

[8] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah Thaha Putra, Semarang, Hal 53

[9] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah Thaha Putra, Semarang, Hal 53

[10] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 113

[11] Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62-63

[12] Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Ibnu ‘Abidin ‘ala Dur al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 185

[13] Mushtafa al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (al-Madkhal-al-Mashadir-al-Hukm al-Syar’i), Dar al-Khair, Hal. 459-460.

[14]   Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar