Sabtu, 25 Oktober 2025

Hukum menyegerakan pembagian warisan

 

Sebelum membagi harta warisan ada beberapa hal yang harus diperhatikan ahli waris sebagaimana dalam Matan al-Zubad disebutkan:

يبدأ من تركه ميت بحق........... كالرهن والزكاة بالعين اعتلق

فمؤن التجهيز بالمعروف………فدينه ثم الوصايا توفى

من ثلث باقي الارث والنصيب .. فرض مقدر أو التعصيب

Dari harta peninggalan simati, dimulai dengan hak yang berhubungan dengan ‘ain harta seperti hak gadai dan zakat. Kemudian biaya tajhiz mayat secara ma’ruf. Kemudian yang tersangkut hutang dan kemudian wasiat  yang diambil dari sepertiga dari sisa harta warisan. Adapun bagian harta warisan ada yang merupakan ukuran yang sudah ditentukan dan ada juga merupakan ‘ashabah. (Matan al-Zubad, Ibnu Ruslan: 237-238)

Al-Qur’an telah menetapkan bagian-bagian yang didapatkan ahli waris dari harta kerabatnya secara rinci sesuai dengan porsi masing-masing. Kemudian Allah berfirman:

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ ۝ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌࣖ ۝

Itu adalah batas-batas (ketentuan) Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Mereka) kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar batas-batas ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. (Dia) kekal di dalamnya. Baginya azab yang menghinakan. (Q.S. an-Nisa’:13-14)

1.  Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa pada dasarnya ada kewajiban membagi harta warisan sesuai dengan pembagian-pembagian yang telah dirincikan dalam al-Qur’an. Karena itu merupakan hududullah (ketentuan Allah). Melanggarnya berarti maksiat kepada Allah Ta’ala.

2.    Termasuk melanggarnya adalah menunda pembagiannya. Menunda pembagian harta warisan termasuk dalam katagori kandungan hadits Nabi SAW:

من اقتطع شبراً من الأرض ظلماً طوقه الله إياه يوم القيامة من سبع أرضين

Siapa saja yang merampas sejengkal tanah milik orang lain, Allah akan mengalungkan kepadanya tujuh lapis tanah. (HR. Muslim)

 

Rasulullah SAW bersabda berkaitan dengan hak waris :

أَلْحِقُوْاْ الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا

Serahkanlah bagian kepada para pemiliknya. (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam Riwayat Muslim berbunyi:

اقسموا المال بين أهل الفرائض على كتاب الله

Bagikanlah harta (waris) antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah (HR. Muslim)

Perintah secara mutlaq harus dimaknai dengan perintah yang harus segera dilaksanakan sesuai dengan qaidah ushul:

الامر عند الاطلاق يحمل على الفور

Perintah secara mutlaq di maknai dengan perintah segera

A.   Sebab-sebab penundaan pembagian warisan

1.  Belum jelas hak yang harus diterima, misalnya:

a.    Salah seorang ahli waris masih janin dalam kandungan

b.    Masalah kewarisan mafqud (orang yang hilang)

2.  Hasil musyawarah ahli waris, misalnya karena:

a.    Biasanya karena salah satu orang tua masih hidup

b.    Salah seorang anak dari si mati masih dalam pendidikan atau belum mampu mengemban mengurus harta warisan

c.     Harta warisan dikelola bersama

d.    Dan lain-lain

 

Untuk menjawab hukum penundaan dengan sebab yang kedua ini, perlu dipahami sejak awal bahwa harta warisan merupakan hak bagi setiap orang yang secara sah menjadi ahli waris dari orang yang meninggal dunia. Pemahaman harta warisan merupakan hak dapat dipahami banyak ayat kewarisan, antara lain:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An Nisaa’ : 7)

 

Karena ini menjadi hak, maka pemilik hak dapat memintanya kapan pun ia mau baik ketika ia membutuhkan ataupun tidak membutuhkan. Dan karena harta warisan merupakan hak, maka menunda pembagian warisan tanpa ada kerelaan dari semua ahli waris yang ada adalah sebuah tindakan yang tidak dibenarkan dan kedhaliman. Tidak dibenarkan karena penundaan ini menjadikan hak orang lain menjadi terganggu. Sebaliknya, apabila penundaan itu merupakan kesepakatan dengan penuh kerelaan semua ahli waris karena adanya alasan tertentu, maka tindakan penundaan tersebut dapat dibenarkan.

Pemahaman ini juga sesuai dengan Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh No.3 Tahun 2023 yang ditetapkan pada tanggal 24 Mei 2023 dijelaskan:

Point Kedua; Harta seseorang yang meninggal dunia berpindah menjadi hak milik ahli waris setelah menyelesaikan keperluan yang berhubungan tajhiz mayat, pelunasan hutang, wasiat dan hak yang mengikat dengan harta.

Point Keempat; Hukum menunda pembagian harta warisan adalah boleh, apabila mendapat persetujuan seluruh ahli waris yang berhak dan mu’tabar dalam memberikan izin serta dikelola sesuai dengan hukum syar’i

Point Kelima; Hukum menunda pembagian harta warisan adalah haram, apabila mengakibatkan terdhalimi ahli waris, berkurangnya nilai harta atau hilang dan rusaknya harta

Point Keenam; Hukum menunda pembagian harta warisan pada bagian ahli waris tertentu karena keraguan pada nasabnya dan/atau keraguan pada hidup atau tidaknya adalah wajib, sehingga ada ketetapan nasab dan/atau ahli waris dari pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah)

Point Ketujuh; Hukum menunda pembagian harta warisan pada bagian ahli waris tertentu adalah wajib, karena keraguan anak dalam kandungan, atau keraguan pada jenis kelamin, sampai jelas status keduanya

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Kamis, 23 Oktober 2025

Gila pujian penyakit membutakan hati

 

Di antara penyakit akhir zaman yang sering tidak disadari manusia adalah ingin terpandang, gila pujian dan haus popularitas. Sudah bukan rahasia lagi ramai orang-orang mengejar keterkenalan, ingin masyhur dan populer di mata manusia. Apalagi kemajuan zaman menghadirkan media sosial, hampir semua memuat cerita berbangga-bangga dengan popularitas dan kemasyhuran demimendapat pujian dari manusia. Penyakit ini hampir merata di setiap golongan manusia. Mungkin kita bisa memaklumi kalau ini muncul di kalangan artis dan selebriti, tapi ini sudah merambah ke pejabat negara, politisi, orang kaya dan profesi-profesi lainnya. Bahkan yang sangat disayangkan pengakit gila pujian ini turut merambah kalangan intelektual, pendakwah dan profesi-profesi mulia lainnya. Tidak dapat dimungkiri, manusia pasti memiliki keinginan untuk dipuji oleh orang lain atas kebaikan yang dilakukan atau keberhasilan yang telah diraih. Selain itu, manusia juga kerap memuji kebaikan atau keberhasilan orang lain. Memang pujian kadang-kadang dapat memberikan dampak yang positif bagi si penerima. Namun, sering sekali pujian itu justru menjerumus seseorang dalam keangkuhan dan tidak mengenal lagi jati dirinya. Pujian dapat diibaratkan seperti madu dan racun, karena terasa manis di mulut ketika diucapkan tetapi mengandung racun yang dapat membuat orang yang dipuji menjadi ria dan melupakan jati dirinya. Karena itu tidak heran jika Ibnu Hajar al-Haitamy memasukkan sikap suka dipuji ini sebagai dosa besar apabila pujian itu dengan suatu yang tidak dilakukannya. (al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabair: I/129).

Seorang ulama salaf, Imam al-Auza’i mengajarkan kita agar bersikap waspada  terhadap pujian orang, beliau pernah berkata: “Apabila seseorang memuji orang lain di depannya, maka hendaknya  berdoa:

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka (H.R. al-Baihaqi dalam Syu’b al-Iman).

 

Dalam sebuah hadits al-Miqdad berkata:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نحثي في وجوه المداحين التراب

Kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk menyiramkan pasir ke wajah orang-orang yang memuji.(H.R. Muslim)

 

Ibnu Abbas pernah berkata:

حب ثناء من الناس يعمي و يصم

Suka sanjungan dari manusia dapat menjadi buta dan tuli (H.R. al-Dailamiy)

 

Sebab-sebab suka dipuji

Terdapat berbagai hal yang mampu membangkitkan jiwa seseorang menjadi gila pujian. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali menyebutkan setidaknya empat hal yang dapat menyebabkan seseorang gila pujian. Keempat penyebab itu adalah:

Pertama; Merasa sempurna

Melalui narasi ini, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa merasa sempurna merupakan sebab utama yang membuat seseorang suka dipuji. Sebagaimana dimengerti, bahwasanya kesempurnaan ialah hal yang disukai oleh setiap orang, dan setiap perkara yang disenangi tentunya akan menjadi suatu yang dinikmati. Sehingga tatkala seseorang merasakan bahwa dirinya dilingkupi dengan kesempurnaan, maka ia akan merasa nyaman dan merasa pantas untuk mendapatkan pujian. Karena itu, menghadapi pujian seperti ini apabila yang memuji itu benar, maka hendaknya dicamkan dalam hati bahwa kegembiraan tersebut lantaran kesempurnaan merupakan anugerah dari Allah Ta’ala. Adapun apabila yang memuji tersebut berdusta, maka ini tentu bukan sesuatu yang harus ditanggapi dengan gembira dan seharusnya pujian tersebut merupakan sesuatu yang menyusah orang yang dipuji.

Kedua; Menguasai hati orang lain

Memang tidak bisa dinafikan bahwa pujian itu dapat menjadi cerminan atas kecondongan hati seseorang. Karena seseorang yang suka dengan orang lain, maka ia akan banyak memuji orang itu. Begitu pun sebaliknya, lazimnya manusia juga merasa bahagia tatkala ia telah menguasai hati seseorang. Sehingga, ketika seseorang dapat merebut perhatian orang lain, maka hatinya akan merasakan sebuah kepuasan. Rasa senang atas pujian ini pun akan semakin membesar tatkala pujian itu meluncur dari orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan. Begitu juga akan melemah apabila pujian yang terlontar itu berasal dari orang yang menurutnya biasa saja. Mengobatinya dengan cara memutus harapan dari manusia dan hendaknya istiqamah dalam selalu berharap mendapat posisi mulia di sisi Allah Ta’ala. Hendaknya selalu ada keyakinan bahwa senang memperoleh posisi mulia di sisi manusia, kelak akan menjauhkan posisi mulia di sisi Allah Ta’ala.

Ketiga; Terperangkap dengan pujian

Pujian akan semakin melenakan apabila pujian itu berasal dari orang yang memperhatikannya dan biasa memujinya. Terlebih ketika pujian disampaikan di depan publik. Dalam keadaan tersebut, pujian baginya akan terasa nikmat. Sedangkan apabila sedikit saja ia dicaci, maka cacian itu akan terasa sangat menyakitkan, meski sebenarnya sesuai dengan kenyataan.

Keempat; Merasa terhormat dengan pujian

Lancarnya lidah untuk memuji itu adakalanya karena kemauan sendiri, juga adakalanya karena terpaksa. Tetapi meski pujian itu terlepas dari orang yang terpaksa, pujian itu tetap enak didengar di telinga dan di hati orang yang dipuji. Adapun respons yang ditampakkan oleh orang yang dipuji biasanya ialah dengan muncul perasaan merasa terhormat. Tatkala rasa ini terasa nikmat baginya, maka ia akan terus berharap rasa ini datang lagi sebagaimana sebelumnya.

Keempat sebab di atas sangat mungkin untuk berkumpul menjadi satu, juga dapat menjadi penyebab secara terpisah. Apabila keempat sebab itu berkumpul menjadi satu, maka pujian akan semakin terasa nikmat di hati seseorang. (Ihya ‘Ulumuddin: III/287)

Akibat negatif pujian

Menurut Imam Ghazali, pujian itu bisa mendatangkan enam dampak negatif: empat kepada pemujinya, dan dua kepada yang dipuji.

Bahaya bagi yang memberi pujian

1.  Orang yang memberi pujian cenderung berlebihan dalam memuji, hingga kadang dengan berbohong, apalagi jika ada maunya.

2.  Orang yang memuji belum tentu menyenangi orang yang dipujinya. Dia hanya menunjukkan senang sesaat dan ada maksud atau harapan tertentu. Akibatnya bisa jatuh pada kemunafikan

3.  Sering terjadi, orang yang memuji tidak tahu betul tentang orang orang yang dipujinya sehingga timbul pujian pujian semu.

4.  Bisa jadi yang dipuji itu sebenarnya adalah orang zalim atau orang fasik dan ini dilarang. Sebab jika orang zhalim atau orang fasik dipuji maka yang memuji telah ikut mendorongnya untuk meneruskan kezhaliman dan kefasikannya.

Bahaya bagi yang menerima pujian

1.  Bisa mendatangkan ujub dan sombong bagi yang dipuji. Ujub dan sombong adalah dua penyakit hati yang berbahaya. Pemicu penyakit ujub dan sombong ini salah satunya pujian yang tidak disikapi secara baik. Seseorang yang memiliki dua jenis penyakit ini maka pada gilirannya akan sulit menerima kebenaran dan akhirnya meremehkan orang lain.

2.  Bisa menimbulkan sikap lemah. Seseorang yang dipuji umumnya akan berbesar hati dan merasa sudah lebih dari orang lain. Akibatnya bisa melemahkan semangatnya untuk memperbaiki diri. Padahal yang dipujikan kepadanya belum tentu benar semua.

(Ihya ‘Ulumuddin: III/160)

   Wallahua’lam bisshawab


Senin, 20 Oktober 2025

Apakah suami jawab menafkahi isteri yang dalam penjara

 

Menggauli istri secara patut dan baik menjadi salah satu kewajiban yang harus ditaati suami. Hal ini sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 19, berbunyi :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

Dan bergaullah dengan isterimu secara patut (Q.S. an-Nisa’ : 19)

 

Kewajiban nafkah atas suami merupakan konsekwensi dari kehalalan menggauli isterinya sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW berbunyi :

فاتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ، ولكم عليهن ألا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه ، فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ، ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف

Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah terhadap isteri kalian, karena kalian mengambil mereka dengan  perlindungan Allah dan menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. Dan kalian memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka untuk tidak mempersilahkan seorangpun di ranjangnya orang yang kalian benci. Jika mereka lakukan hal itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kalian berupa nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf. (H.R. Muslim,)

Adapun jenis nafkah yang menjadi kewajiban suami menafkahinya mencakup tempat tinggal yang layak, makanan pokok, pakaian dan kebutuhan lain sesuai kepatutannya sebagaimana dijelaskan para ulama dalam kitab-kitab fiqh. Kewajiban nafkah ini dapat saja hilang apabila seorang isteri bersikap nusyuz kepada suaminya. Para ulama mendevinisikan nusyuz sebagai berikut :

‌الْخُرُوجُ ‌عَنْ ‌طَاعَةِ ‌الزَّوْجِ

Keluar dari ketaatan kepada suami.(Hasyiah Jamal ‘ala al-Bujairumi IV/280)

Ketaatan ini merupakan konsekwensi dari kewajiban mahar, pembagian malam apabila mempunyai isteri lebih dari satu orang, nafkah dan lainnya yang dibebankan atas suami. Karena itu dalam Fathul Mu’in disebutkan :

(يجب) المد الآتي وما عطف عليه (لزوجة) أو أمة ومريضة (مكنت) من الاستمتاع بها ومن نقلها إلى حيث شاء عند أمن الطريق والمقصد ولو بركوب بحر غلبت فيه السلامة

Wajib memberi satu mud dan nafkah yang lain untuk istri, budak wanita, dan istri yang sakit ketika memasrahkan dirinya sehingga memungkinkan bagi suami untuk menikmatinya dan tidak keberatan untuk pindah domisili ke tempat yang diinginkan suami ketika memang dirasa aman untuk bepergian ke tempat tersebut sekalipun menggunakan jalur laut.(Fathul Mu’in 535)

 

Syekh Wahbah Zuhaily menjelaskan perihal istri yang dipenjara menjadi dua katagori. Apabila istri tersebut dipenjara lantaran perbuatannya ulama sepakat suami tidak wajib untuk memberi nafkah. Hal ini sebagaimana dalam Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu juz 10 halaman 111 berikut,

اتفق فقهاء المذاهب الأربعة على أنه إذا حبست الزوجة، سقطت نفقتها؛ لأن فوات حق الاحتباس للزوج كان بسبب منها. أما إن حبست ظلماً أو خطفت بواسطة رجل، فتسقط نفقتها أيضاً عند الحنفية والحنابلة، لفوات حق الاحتباس بسبب لا دخل للزوج فيه. وقال المالكية: لا تسقط نفقتها بالحبس ظلماً وبخطفها من رجل؛ لأن فوات حق الاحتباس ليس من جهتها، ولا دخل لها فيه.

Ulama empat mazhab sepakat mengenai istri yang dipenjara (lantaran perbuatannya) dapat menggugurkan nafkah. Hal ini, karena istri tidak dapat melayani suami lantaran perbuatannya. Apabila istri dipenjara bukan lantaran perbuatannya atau diculik dengan perantaraan seseorang maka menurut mazhab Hanafi dan Hambali nafkahnya gugur karena hilang hak melayani suami bukan karena suami, sedangkan menurut mazhab Maliki nafkahnya tidak gugur karena tidak bisa melayani suami bukan atas kehendaknya sendiri.( al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu X/111)

Adapun apabila istri dipenjara bukan lantaran perbuatannya, maka dalam kutipan di atas dijelaskan, terjadi perbedaan ulama dalam menyikapinya. Menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah tetap nafkahnya gugur. Sedangkan menurut ulama Malikiyah tidak gugur nafkahnya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah, apabila kita perhatikan nash dari ulama Syafi’iyah di bawah ini dapat dipahami tidak gugur nafkahnya juga. Karena hilang hak suami sebab ‘uzur tidak dapat menghilangkan hak nafkah bagi isteri. Dalam al-Iqna’ disebutkan :

 )وَ) يَسْقُطُ بِهِ أَيْضًا حَيْثُ لَا عُذْرَ (نَفَقَتُهَا) وَتَوَابِعُهَا كَالسُّكْنَى وَآلَاتِ التَّنْظِيفِ وَنَحْوِهَا، فَإِنْ كَانَ بِهَا عُذْرٌ كَأَنْ كَانَتْ مَرِيضَةً أَوْ مُضْنَاةً لَا تَحْتَمِلُ الْجِمَاعَ أَوْ بِفَرْجِهَا قَرْحٌ أَوْ كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً أَوْ كَانَ الزَّوْجُ عَبْلًا أَيْ كَبِيرَ الْآلَةِ يَضُرُّهَا وَطْؤُهُ فَلَا تَسْقُطُ نَفَقَتُهَا لِعُذْرِهَا

Dengan sebabnya, gugur juga nafkah dan yang berhubungan dengannya seperti tempat tinggal, alat pembersih dan lainnya apabila tidak ada ‘uzur. Adapun jika si isteri ‘uzur seperti sakit, sakit menahun yang tidak memungkinkan bersetubuh, dalam kemaluannya bernanah, atau berdarah penyakit, ataupun suami mempunyai kemaluan yang besar yang memudharatkan si isteri apabila disetubuhinya, maka tidak gugur nafkah karena isteri ‘uzur. (Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Iqna’ III/478)

Wallahua’lam bisshawab

Rabu, 15 Oktober 2025

Dosa kecil sering menjadi dosa besar dengan sebab keangkuhan kita

 

Jumhur  ulama menjelaskan adanya pembagian dosa menjadi dosa besar (al-kabaa-ir) dan dosa kecil (ash-shaghaa-ir). Sekelompok ulama mengingkari adanya dosa kecil ini. Diantara mereka adalah Abu Isha al-Isfarayiiniy, Abu Bakar al-Baqilaniy, Imam al-Haramain dalam al-Irsyad dan Ibnu al-Qusyairiy dalam al-Mursyiid. Bahkan Ibnu Furak telah menghikayah pendapat tersebut dari kelompok Asy’ariyah. Namun Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, terjadi perbedaan ulama tersebut hanyalah dalam penamaan dan penyebutannya saja. Karena semua sepakat bahwa sebagian maksiat ada yang mencederai ‘adalah dan sebagian yang lain tidak mencederainya. Para ulama terdahulu lebih menyukai tidak menamai maksiat kepada Allah sebagai dosa kecil. Karena memandang kepada kebesaran Allah Ta’ala dan dasyat siksaan-NYa serta sebagai ungkapan menyanjung keperkasaan Allah Ta’ala sehingga tidak layak maksiat kepada Allah dinamai sebagai dosa kecil. Namun banyak dalil syara’ yang sharih yang tidak dapat terbantahkan bahwa maksiat atau dosa kepada Allah memang terbagi kepada dosa besar dan dosa kecil. Ibnu Hajar al-Haitamy telah menyebut beberapa ayat al-Qur’an dan hadits sebagai dalil pembagian dosa menjadi dosa besar dan dosa kecil, yaitu antara lain:

1.  Firman Allah Ta’ala berbunyi:

وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَۗ

Allah menjadikanmu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.(Q.S. al-Hujurat: 7)

 

Dalam ayat ini, Allah membagikan kemungkaran kepada Allah dalam tiga martabat, yaitu kufur, kefasikan dan maksiat. Di sini, Allah menamai sebagian dosa sebagai kefasikan, tidak pada sebagian yang lain.

2.    Firman Allah Ta’ala berbunyi:

 

اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ

(Mereka adalah) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali dosa-dosa kecil. (Q.S. al-Najm: 32)

 

3.    Sabda Nabi SAW:

‌الكبائر سبع

Dosa besar ada tujuh macam (H.R. Abu Daud dan al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, isnadnya  shahih

 

4.    Sabda Nabi SAW berbunyi:

الصلوات الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu dan shalat Jum'at ke Jum'at berikutnya, dan Ramadlan ke Ramadlan berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya apabila dia menjauhi dosa besar (H.R. Muslim)

(Lihat: al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir, karya Ibnu Hajar al-Haitami: I/7-8)


Devinisi dosa besar dan dosa kecil

Zainuddin al-Malibariy menyebut beberapa contoh dosa besar dalam kitabnya, yaitu membunuh, berzina, menuduh orang berzina tanpa saksi, makan riba, makan harta anak yatim, sumpah dusta, kesaksian dusta, mengurangi sukatan atau timbangan, memutus silaturrahim, lari dari barisan berkecamuk perang, durhaka kepada orangtua, merampas dalam ukuran seperempat dinar, meninggalkan shalat yang wajib, menunda membayar zakat secara sengaja, namimah dan lain-lain. Selanjutnya, beliau membuat kriteria dosa besar secara umum, yaitu:

كل جريمة تؤذن بقلة اكتراث مرتكبها بالدين ورقة الديانة

Setiap maksiat yang dapat menggambarkan pelakunya sedikit kepedulian kepada agama dan lemah imannya. (Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibariy dan Hasyiahnya, I’anah al-Thalibin, Juz. IV, Hal. 279-280)

 

Kriteria umum lain yang dapat membantu kita mencari tahu yang mana dosa besar adalah pengertian yang telah disebut oleh Ibnu al-Shalah dan diterima oleh Jalal al-Bulqainiy, yaitu:

الكبيرة كل ذنب عظم عظما يصح معه أن يطلق عليه اسم الكبيرة، ويوصف بكونه عظيما على الاطلاق، ولها أمارات منها إيجاب الحد، ومنها الايعاد عليه بالعذاب بالنار، ونحوها في الكتاب أو السنة، ومنها وصف فاعلها بالفسق، ومنها اللعن

Dosa besar adalah setiap dosa yang besar yang sah dinamai atasnya dengan nama dosa besar dan disifati keadaaanya besar secara mutlak. Tanda-tandanya antara lain mewajibkan hudud, ancaman dengan azab api neraka dan semisalnya dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Tanda dosa besar yang lain disifati pelakunya dengan fasiq. Termasuk tandanya juga dilaknat. (I’anah al-Thalibin, karya Abu Bakar Syatha:IV/280)

 

Al-Baariziy dalam tafsir beliau, al-Tahqiq mengatakan,

أن الكبيرة كل ذنب قرن به وعيد أو لعن بنص كتاب أو سنة، أو علم أن مفسدته كمفسدة ما قرن به وعيد أو حد أو لعن، أو أكثر من مفسدته أو أشعر بتهاون مرتكبه في دينه.

Sesungguhnya dosa besar adalah setiap dosa yang disertai ancaman atau laknat berdasarkan nash al-Kitab dan al-Sunnah atau diketahui berdasarkan mafsadahnya sama seperti mafsadah dosa yang disertai ancaman, hudud atau laknat ataupun bahkan lebih banyak mafsadahnya. Atau diketahui dengan sebab dapat menggambarkan pelakunya menganggap remeh agamanya. (I’anah al-Thalibin, karya Abu Bakar Syatha:IV/280)

 

Devinisi dan kriteria umum dosa besar di atas harus diakui masih samar-samar dan belum tuntas untuk menentukan yang mana saja yang menjadi dosa besar dan yang mana saja yang menjadi dosa kecil. Karena itu, tidak heran Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan,

واعلم أن كل ما سبق من الحدود إنما قصدوا به التقريب فقط، وإلا فهي ليست بحدود جامعة

Dan ketahuilah, sesungguhnya semua devinisi sebelumnya hanya dimaksudkan untuk mendekatkan saja. Jika tidak, devinisi-devinisi tersebut tidak ada jaami’nya. (Al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir, karya Ibnu Hajar al-Haitami: I/13)

 

Karena itu, untuk menentukan mana dosa besar dan mana dosa kecil, sebaiknya menelusurinya secara satu persatu dari berbagai kitab karya ulama. Di antara ulama yang menulis secara khusus dan detil terkait dosa besar adalah Ibnu Hajar al-Haitamiy. Beliau telah menyebut dalam kitab al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir sebanyak empat ratus enam puluh tujuh jenis dosa besar secara detil beserta dalil-dalilnya.

Dari devinisi dan penjelasan umum di atas, kita juga dapat memahami gambaran umum dan pengertian dari dosa kecil. Apabila kita merujuk kepada devinisi yang dikemukakan oleh al-Baariziy di atas, maka devinisi dosa kecil adalah setiap dosa yang tidak disertai ancaman atau laknat dalam al-Kitab dan al-Sunnah atau mafsadahnya tidak menyamai perbuatan yang disertai ancaman dan laknat ataupun perbuatan dosa tersebut tidak menggambarkan pelakunya meremehkan agamanya.


Dosa kecil dapat menjadi dosa besar

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut jumhur ulama dosa itu terbagi menjadi dua yaitu dosa besar dan dosa kecil. Namun perlu diketahui bahwa dosa kecil sebenarnya bisa menjadi besar, jika dilakukan karena sebab-sebab tertentu sebagaimana dikemukakan Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin berikut ini:

Pertama: Dosa kecil tersebut sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan terus menerus. Terdapat sebuah ungkapan berbunyi:

لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ ولاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ

Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar.

 

Karena itu, satu dosa besar yang tidak didahului sebelumnya dengan dosa dosa lainnya akan lebih memungkinkan diampuni dibandingkan dosa dosa kecil yang terus menerus dilakukan seseorang. Ini bagaikan tetesan-tetesan air yang berjatuhan terus menerus di atas batu, maka pasti batu tersebut akan berdampak bekasnya. Berbeda halnya seandai kumpulan air tersebut jatuh sekaligus atas batu, maka tentu tidak akan membekas apapun. Nabi SAW bersabda:

خير الأعمال أدومها وإن قل

Sebaik-baik amal adalah yang dilakukan terus menerus meskipun sedikit.(Muttafaqun ‘alaihi)

 

Jika amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terus menerus meskipun sedikit, maka demikian juga sedikit kejahatan yang dilakukan terus menerus akan besar pengaruhnya dalam menjadikan hati dalam kegelapan.


Kedua: Dosa bisa dianggap besar di sisi Allah jika seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut. Oleh karenanya, jika seorang hamba menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan kecil di sisi Allah, sebaliknya apabila dianggap kecil dan remeh, maka dosa itu akan menjadi besar di sisi Allah. Dari sinilah jika seseorang mengganggap besar suatu dosa, maka ia akan segera lari dari dosa dan betul-betul membencinya.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كالجَبَلٍ فوقه يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَالْمنافق يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فأطاره

Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan sebuah gunung  di atasnya dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang munafiq, ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya, maka dengan mudah mengusirnya. (H.R. Bukhari)

 

Ketiga: Senang melakukan dosa kecil, gembira dan merasa bangga melakukannya. Juga menganggap kemampuan melaksanakannya merupakan kenikmatan dan tidak menyadari bahwa dosa itu sebab celaka atas dirinya.


Keempat: Meremehkan menutupi Allah atas kejelekannya dan meremehkan kemurahan-Nya kepadanya serta penangguhan siksa-Nya kepadanya. Ia tidak menyadari penangguhan siksaan dari-Nya agar ia semakin bertambah dosanya dengan sebab penangguhan itu. Allah Ta’ala berfirman:

ويقولون في أنفسهم لولا يعذبنا الله بما نقول حسبهم جهنم يصلونها فبئس المصير

Mereka mengatakan dalam hati, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan?” Cukuplah bagi mereka (neraka) Jahanam yang akan mereka masuki. Maka, (neraka itu) seburuk-buruk tempat kembali.(Q.S. al-Mujadilah: 8)

 

Kelima: Memamerkan suatu dosa. Melakukannya secara terang-terangan sambil menceritakan kepada orang lain dengan sikap pamer setelah melakukannya atau melakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak. Ini termasuk tindakan aniaya terhadap diri sendiri karena membuka aib sendiri yang ditutupi Allah Ta’ala serta dapat menggerakkan orang lain berbuat dosa yang sama dengan sebab menyaksikan perbuatan dosa tersebut. Nabi SAW bersabda:

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup. (Muttafaquun ‘alaihi)

 

Keenam: Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain. Karena kedudukannya dihati orang awam, dosa orang alim ini akan hidup terus mengitari kehidupan manusia. Dosa orang alim tidak mengikuti kematiannya, akan tetapi berterbangan di alam fana ini dalam waktu yang lama. Berbahagialah orang apabila meninggal dunia, maka dosa-dosanya itu ikut meninggalkan dunia bersamanya. Nabi SAW bersabda,

مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يُنْقِصُ من أوزارهم شيئاً

Barangsiapa melakukan suatu amalan jahat, maka akan dicatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (H.R. Muslim)

 

Allah Ta’ala berfirman:

ونكتب ما قدموا وآثارهم

Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.(Q.S. Yasiin: 12)

 

Bekas-bekas itu adalah amalan-amalan yang menyusul setelah melakukan sebuah amalan. Amalan seperti ini kerap ada pada amalan seorang alim yang menjadi panutan manusia.

(Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazaliy: IV/32-33)

Wallahua’lam bisshawab