Sabtu, 06 Desember 2025

Menyikapi Musibah (Antara Bertahan atau Menyerah)

 

Bencana banjir bandang dan longsor terjadi di sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Peristiwa yang menimbulkan banyak korban jiwa dan kerusakan yang meluas di tiga provinsi sungguh menimbulkan penderitaan yang nyata. Harta benda, pemukiman, ternak, lahan kebun pertanian, pekarangan hingga infrastruktur porak poranda bahkan hilang tak tersisa. Inna lillah wa Inna ilaihi raji’un, Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali. Allah Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ *أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn (Sesungguhnya kami milik Allâh dan kepada-Nyalah kami kembali)’. Mereka itulah yang memperoleh shalawat dan rahmat dari tuhan mereka, dan mereka itu­lah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Baqarah: 156-157)

 

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Baqarah: 155)

Hidup adalah panggung ujian, tempat di mana manusia menari di antara takdir yang telah tergariskan. Ada saatnya kebahagiaan menyapa, menghadirkan tawa dan kehangatan yang meresap hingga ke dasar hati. Namun, ada pula saat di mana langit terasa begitu kelam, langkah terasa berat, dan harapan seakan menjadi kabut yang enggan sirna. Di sanalah, manusia berdiri di persimpangan, antara bertahan atau menyerah, antara meratap atau mencari makna, antara tenggelam dalam kepedihan atau menemukan kekuatan untuk bangkit. Di antara solusi- solusi yang ada, Islam menghadirkan dua kunci utama yang mampu menenangkan jiwa dan menguatkan hati: sabar dan syukur. Sabar bukanlah tanda kelemahan, bukan pula bentuk kepasrahan tanpa daya. Sabar adalah seni ketahanan jiwa, kekuatan untuk tetap teguh di tengah badai, ketenangan yang lahir dari keyakinan bahwa di balik kepedihan, ada hikmah, di balik ujian, ada kemuliaan; dan di balik air mata, ada cahaya yang menanti di ujung jalan. Allah Ta’ala berfirman:

وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan bersabarlah! Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal: 46)

 

Imam al-Ghazali menyatakan:

فَمَا مِنْ نِعْمَةٍ مِنْ هَذِهِ النَّعَمِ الدُّنْيَوِيَّةِ إِلَّا وَيَجُوزُ أَنْ تَصِيرُ بَلاءً وَلَكِنْ بِالإِضَافَةِ إِلَيْهِ فَكَذَلِكَ مَا مِنْ بَلاءِ إِلَّا وَيَجُوْزُ أَنْ يَصِيرُ نِعْمَةً وَلَكِنْ بِالإِضَافَةِ إِلَى حَالَةٍ

Tidak ada dari setiap nikmat duniawi kecuali memiliki kemungkinan untuk menjadi malapetaka, jika dikaitkan dengan keadaan orang tertentu. Begitu pula tidak ada setiap malapetaka duniawi kecuali memiliki kemungkinan untuk menjadi kenikmatan, jika dikaitkan dengan kondisi tertentu. (Ihya ‘Ulumuddin: IV/128)

 

AllahTa’ala berfirman:

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُۗ اِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ

Seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi. Akan tetapi, Dia menurunkan apa yang Dia kehendaki dengan ukuran (tertentu). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (Q.S.al-Syuraa; 27)

 

Bila suatu bencana menimpa, itu memang tidak menyenangkan, akan tetapi apabila dilihat dari sisi lain, maka di balik bencana tersebut kadang justru ada hikmah yang menguntungkan. Misalnya karena bencana menggugahkan jadi teringat bertaubat dari dosa-dosa dan karena bencana menghambat berbuat yang tidak seharusnya diperbuat. Jadi, untuk semua kondisi yang bukan termasuk bala secara mutlak, kita dihadapkan pada dua sikap sekaligus, yaitu sabar di satu sisi dan syukur di sisi yang lain. Bersabar karena dihadapkan kepada musibah yang tidak menyenangkan. Bersyukur karena ada hikmah yang menguntungkan di balik musibah. Maksudnya, menggunakan sikap sabar dalam menyikapi sisi yang menyengsarakan, dan menggunakan sikap syukur dalam menyikapi sisi yang menguntungkan

Namun demikian, bagi sesama muslim apabila melihat saudaranya tertimpa musibah ada beberapa hal yang hendaknya dilakukan sebagai respon empatinya, yaitu sebagai berikut:

1.  Menghibur dan mengajak bersabar ketika seseorang tertimpa musibah dan perasaan sedih. Rasulullah saw bersabda:

ما مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّي أخاهُ بِمُصِيْبَتِهِ إِلاَّ كَساهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ حُلَلِ الكَرَامَةِ يَوْمَ القِيامَةِ 

Tidaklah seorang mukmin bertakziyah saudaranya yang ditimpa musibah kecuali Allah ‘Azza wa Jalla akan mengenakannya pakaian kemuliaan pada hari Kiamat. (Ibnu Majah).  

 

 Al-Munawi dalam Faidh al-Qadir menjelaskan bahwa takziah bermakna mengajak bersabar sangat dianjurkan dan tidak hanya berlaku pada musibah kematian, tetapi juga dalam berbagai bentuk musibah seperti kehilangan harta, kesehatan, maupun keluarga, beliau mengatakan: 

 أن التعزية سنة مؤكدة وأنها لا تختص بالموت فإنه أطلق المصيبة وهي لا تختص به إلا أن يقال إنها إذا أطلقت إنما تنصرف إليه لكونه أعظم المصائب

Sesungguhnya takziyah sangat dianjurkan dan tidak tertentu pada musibah kematian, tetapi mencakup semua musibah. Hanya saja takziyah secara umum mengarah kepada musibah kematian, karena merupakan musibah paling besar. (Faidhul Qadir: V/495) 

 

2.  Menolong mereka yang ditimpa musibah. Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk saling tolong menolong kepada orang yang sedang kesusahan. Dalam riwayat Abu Hurairah, beliau bersabda:

 مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

 Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. (H.R. Muslim) 

3.  Mendoakan agar mereka segera mendapatkan kemudahan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan. Dalam Shahih Bukhari dari ‘Aisyah r.a menceritakan:

أَنَّه صلعم كَانَ يُعَوِّذُ بَعْضَ أَهْلِهِ، يَمْسَحُ بِيَدِهِ اليُمْنَى وَيَقُولُ: اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ البَاسَ، واشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا  

Sesungguhnya Nabi ketika menjenguk sebagian keluarganya yang sakit, Nabi mengusapkan tangan kanan dan berdoa: Wahai Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit, sembuhkanlah ia karena engkau adalah zat yang maha memberi kesembuhan. Tidak ada yang dapat memberikan kesembuhan, kecuali engkau dengan kesembuhan yang tidak menyisakan rasa sakit. (H.R. Bukhari) 

 

4.  Mendoakan keselamatan dirinya dari musibah serupa. Rasulullah SAW menganjurkan membaca doa berikut ketika melihat orang lain terkena musibah:  

مَنْ رَأَى مُبْتَلًى، فَقَالَ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ، وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا، لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ البَلَاءُ 

Siapa saja yang melihat orang yang terkena musibah, maka hendaklah berkata:  “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari musibah yang diberikan kepadamu dan melebihkan kepadaku dari kebanyakan orang yang Dia ciptakan”, maka orang tersebut tidak terkena musibah tersebut. (H.R. Turmidzi)

 

 

5.  tidak merasa senang atas musibah yang menimpa orang lain, bahkan jika orang tersebut adalah musuhnya. Rasulullah SAW mengingatkan agar tidak berbahagia di atas penderitaan orang lain. Rasulullah SAW  bersabda:  

لا تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لِأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ

Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas musibah yang menimpa saudaramu, karena Allah mungkin akan mengasihinya dan menimpakan ujian kepadamu. (H.R Turmidzi)  

 


Kamis, 04 Desember 2025

Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dengan ruh dan jasad

 

Isra’ dan Mi’raj adalah sebuah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Masjidil Aqsha naik ke langit tujuh. Peristiwa ini selalu diperingati oleh ummat Islam. Di Indonesia, peringatan Isra’ dan Mi’raj biasanya diisi dengan ceramah-ceramah agama berkaitan dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri. Perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang dinamakan dengan Isra’ diabadikan dalam firman Allah Ta’ala berbunyi:

ﺳﺒﺤﺎﻥ اﻟﺬﻱ ﺃﺳﺮﻯ ﺑﻌﺒﺪﻩ ﻟﻴﻼ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﺠﺪ اﻟﺤﺮاﻡ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﺴﺠﺪ اﻷﻗﺼﻰ اﻟﺬﻱ ﺑﺎﺭﻛﻨﺎ ﺣﻮﻟﻪ ﻟﻨﺮﻳﻪ ﻣﻦ ﺁﻳﺎﺗﻨﺎ ﺇﻧﻪ ﻫﻮ اﻟﺴﻤﻴﻊ اﻟﺒﺼﻴﺮ

Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra,: 1)

 

Perjalanan Isra’ ini berdasarkan dalil sharih al-Qur’an dan hadits serta ijmak ulama. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya, dihukum kafir sebagaimana dijelaskan Ibrahim al-Bajuri berikut ini:

والإسراء من المسجد الحرام الى مسجد الاقصى ثابت بالكتاب والسنة وإجماع المسلمين. فمن انكره كفر

Isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha ditetapkan berdasarkan al-Kitab, al-Sunnah dan Ijmak ummat Islam. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya, hukumnya kafir. (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)

 

Al-Hafizh Abu al-Khathab ‘Umar bin Dihyah dalam kitabnya, al-Tanwiir fi Maulid al-Siraj al-Munir sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir mengatakan:

وقد تواترت الروايات في حديث الاسراءعن عمر بن الخطاب وعلي و ابن المسعود وأبي ذر ومالك بن صعصعة وأبي هريرة وأبي سعيد وابن عباس وشداد بن اوس وأبي بن كعب وعبد الرحمن بن قرط وأبي حبة و ابي ليلى الانصاريين وعبد الله بن عمرو وجابر وحذيفة وبريدة وأبي أيوب وأبي امامة وسمرة بن جندب وأبي حمراء وصهيب الرومي وام الهانئ وعائشة وأسماء ابنتي ابي بكر الصديق رضي الله عنهم أجمعين منهم من ساقه بطوله ومنهم من اختصره على ما وقع في المسانيد وان لم تكن رواية بعضهم على شرط الصحة فحديث الاسراء اجمع عليه المسلمون واعرض عنه الزنادقة والملحدون يريدون ليطفؤا نورالله بأفواههم والله متم نوره ولو كره الكافرون

Riwayat-riwayat tentang hadits isra’ datang secara mutawatir dari Umar bin Khathab, Ali, Ibnu Mas’ud, Abi Zar, Malik bin Sha’sha’ah, Abu Hurairah, Abi Sa’id, Ibnu Abbas, Syadad bin Aus, Abi bin Ka’ab, Abdurrahman bin Qurth, Abi Hubbah al-Anshari, Abi Lailaa al-Anshari, Abdullah bin ‘Amr, Jabir, Huzaifah, Buraidah, Abi Aiyub, Abi Umamah, Samrah bin Jundub, Abi Humra’, Shuhaib al-Rumiy, Ummi Haani’, Aisyah binti Abu Bakar  al-Siddiq dan Asmaa binti Abu Bakar al-Siddiq semoga Allah meridhai semua mereka. Sebagian mereka meriwayatkan dengan panjang lebar dan sebagian mereka meringkasnya sebagaimana terdapat dalam sanad-sanad mereka. Meskipun riwayat sebagian mereka tidak memenuhi syarat sah, akan tetapi hadits isra’ ini telah terjadi ijmak kaum muslimin. Hanya orang-orang zindiq dan mulhid yang berpaling darinya karena mereka menginginkan memadam cahaya Allah dengan mulut mereka. Akan tetapi Allah menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir membencinya. (Tafsir Ibnu Katsir: V/42)

Mi’raj adalah naik Nabi SAW dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh. Berbeda dengan Isra’, peristiwa Mi’raj diketahui dengan didasarkan kepada hadits masyhur, tidak sampai derajat mutawatir. Karenanya, pengingkaran Mi’raj tidak mengakibatkan kafir orang yang mengingkarinya, akan tetapi hanya dihukum fasiq saja. Ini sesuai dengan penjelasan Ibrahim al-Bajuri berikut:

والمعراج من المسجد الاقصى الى السموات السبع ثابت بالاحاديث المشهورة ومنها الى الجنة ثم الى المستوى او العرش او طرف العالم من فوق العرش على خلاف في ذلك ثابت بالخبر الواحد فمن انكره لا يكفر لكن يفسق والتحقيق انه لم يصل الى العرش كما نصوا عليه في موارد القصة

Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh dibuktikan dengan hadits-hadits masyhur. Adapun dari langit tujuh ke surga, kemudian ke mustawaa atau ‘arasy ataupun ujung alam di atas ‘arasy sesuai  tentang itu, hal tersebut dibuktikan dengan kabar ahad. Karena itu, siapa saja yang mengingkarinya tidak menjadi kafir, akan tetapi fasiq. Menurut yang tahqiq, sesungguhnya Mi’raj  tidak sampai kepada ‘arasy sebagaimana nash para ulama dalam riwayat-riwayat kisahnya. (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)

Berdasarkan penjelasan ini, Mi’raj Nabi SAW dari Masjidil Aqsha ke langit tujuh adalah berdasarkan hadits masyhur. Sedangkan dari langit tujuh ke surga, kemudian ke Mustawaa atau ‘arasy ataupun ujung alam di atas ‘arasy sesuai dengan khilafiyah yang terjadi antara para ulama adalah berdasarkan hadits ahad. Hadits masyhur dan ahad ini kualitasnya masih dhanni. Karenanya, apabila ada orang yang mengingkarinya, maka tidak mengakibatkan seseorang menjadi kafir sebagaimana dijelaskan Ibrahim al-Bajuri di atas.

Lalu apakah Isra’ dan Mi’raj ini terjadi dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja?. Ummat Islam berbeda pendapat dalam menyikapinya dalam tiga golongan. Golongan pertama mengatakan, Isra’ dan Mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad sekaligus. Pendapat ini merupakan pendapat yang haq dan ijmak ummat qurun kedua dan setelah mereka. Sebagian ahli qurun pertama berpendapat terjadi Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan mimpi. Sementara yang lain mengatakan hanya dengan ruh saja. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa khilafiyah ini terjadi sebelum terjadi ijmak pada qurun kedua dari ummat Nabi Muhammad SAW. Setelah terjadi ijmak kaum muslimin, maka khilafiyah ini tidak dianggap ada lagi. Karena itu, pendapat yang benar dan yang seharusnya menjadi pegangan ummat Islam adalah Isra’ dan Mi’raj terjadi dengan ruh dan jasad. Ibrahim al-Bajuri menjelaskan:

والحق انه كان يقظة بالروح والجسد كماأجمع عليه اهل القرن الثاني ومن بعده من الأمة خلافا لبعض القرن الاول القائل بأنه كان مناما ولبعضه القائل بأنه كان بالروح فقط لكن يقظة

Yang haq adalah Nabi SAW melakukan Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan jaga dengan ruh dan jasad sebagaimana ijmak ahli qurun kedua dan ummat setelah mereka. Pendapat ini berbeda dengan sebagian ahli qurun pertama yang mengatakan Isra’ dan Mi’raj terjadi dalam keadaan mimpi dan sebagian yang lain yang mengatakan dengan ruh saja akan tetapi dalam keadaan jaga.

 

Kemudian Ibrahim al-Bajuri menjelaskan perbedaan antara Isra’ dan Mi’raj dalam keadaan mimpi dan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh saja. Menurut beliau, dalam keadaan mimpi itu artinya Nabi SAW dalam keadaan tertidur. Sedangkan Isra’ dan Mi’raj dengan ruh saja berarti Nabi SAW tidak tertidur sama sekali, akan tetapi ruh melakukan perjalanan, sedangkan jasad tetap berada di tempatnya, akan tetapi pada saat seperti ini keadaan jasad seperti  orang dalam kebingungan (al-ghaafil). (Tuhfatul Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid: 233)

Membagi harta warisan sama rata, tidak sesuai dengan hukum waris

 

Dalam pembagian warisan, Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pembagiannya secara terinci dan komprehensif dan manusia wajib mengikuti aturan tersebut. Tidak ada aturan yang lebih adil lagi daripada aturan Allah. Aturan waris ini adalah aturan yang adil dan paling maslahat untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. al Ahzab : 36)

 

Al-Qur’an telah menetapkan bagian-bagian yang didapatkan ahli waris dari harta kerabatnya secara rinci sesuai dengan porsi masing-masing. Kemudian Allah berfirman:

تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِۗ وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ يُدْخِلْهُ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ وَذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ ۝ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهٗ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَاۖ وَلَهٗ عَذَابٌ مُّهِيْنٌࣖ ۝

Itu adalah batas-batas (ketentuan) Allah. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Mereka) kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar batas-batas ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. (Dia) kekal di dalamnya. Baginya azab yang menghinakan. (Q.S. an-Nisa’:13-14)

 

Berdasarkan ayat ini dipahami bahwa:

1.  Ayat ini menjelaskan kepada kita pada dasarnya ada kewajiban membagi harta warisan sesuai dengan pembagian-pembagian yang telah dirincikan dalam al-Qur’an. Karena itu merupakan hududullah (ketentuan Allah), melanggarnya berarti maksiat kepada Allah Ta’ala.

2.  Termasuk melanggarnya membagi rata warisan kepada ahli waris tanpa merujuk lagi kepada ketetapan bagian warisan yang ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah.  Nabi SAW bersabda:

من اقتطع شبراً من الأرض ظلماً طوقه الله إياه يوم القيامة من سبع أرضين

Siapa saja yang merampas sejengkal tanah milik orang lain, Allah akan mengalungkan kepadanya tujuh lapis tanah. (H.R. Muslim)

 

Rasulullah SAW bersabda berkaitan dengan hak waris :

أَلْحِقُوْاْ الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا

Serahkanlah bagian kepada para pemiliknya. (H.R Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim berbunyi:

اقسموا المال بين أهل الفرائض على كتاب الله

Bagikanlah harta (waris) antara ahli-ahli waris menurut kitab Allah (H.R. Muslim)

 

Membagi harta warisan sama rata berdasarkan kesepakatan ahli waris

Hal yang sangat penting untuk dipahami bahwa harta warisan merupakan hak bagi setiap orang yang secara sah menjadi ahli waris dari orang yang meninggal dunia. Pemahaman harta warisan merupakan hak dapat dipahami banyak ayat kewarisan, antara lain:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An Nisaa’ : 7)

Karena ini menjadi hak, maka pemilik hak dengan keridhaannya dapat mengurangi haknya dari yang seharusnya. Yang tidak boleh menuntut melebihi dari ukuran yang menjadi haknya. Dengan demikian, membagi harta warisan sama rata berdasarkan kesepakatan ahli waris dapat dibenarkan dengan syarat sebagai berikut:

1.    Semua ahli waris yang dapat mengurangi haknya karena kosekwensi pembagian sama rata adalah orang yang baligh dan berakal. Karena hanya yang baligh dan berakal mempunyai kapasitas sebagai pemberi izin pengurangan hak

2.    Semua ahli waris yang dapat mengurangi haknya karena kosekwensi pembagian sama rata merupakan orang yang cakap dalam bermuamalah atau tidak dalam pengampuan (mahjur ‘alaihi). Karena orang yang berada dalam pengampuan tidak dibenarkan melakukan kegiatan apapun yang mengakibatkan pemindahan hak milik

3.    Pembagian itu dilakukan dengan keridhaan dari semua ahli waris yang dapat mengurangi haknya karena kosekwensi pembagian sama rata. Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dijelaskan:

وإن وقعت على خلاف الشرع بغير تراض بل بقهر أو حكم حاكم فباطلة إفرازا أو تعديلا أو ردا لأنها مقهور عليها فلا رضا والقهر الشرعي كالحسي وهذَا كما لو وقعت بتراض منهما مع جهلهما أو أحدهما بالحق الذي له

Dan jika terjadi pembagian harta tidak sesuai dengan syara’ tanpa keridhaan pihak-pihak, akan tetapi terjadi dengan paksaan atau dengan keputusan hakim, maka hukumnya batal, baik pembagian itu dalam bentuk ifraz, ta’dil atau radd. Karena hal tersebut terjadi karena dipaksakan. Jadi tidak ada keridhaan. Pemaksaan pada syara’ sama hukumnya dengan pemaksaan pada hissi. Pemaksaan pada syara’ ini sebagaimana jika terjadi pembagian dengan saling ridha, tetapi keduanya atau salah satunya tidak mengetahui apa yang menjadi haknya.(Bughyatul Mustarsyaidin: 281)

 

Terrkait syarat nomor 3 di atas, konsekuensinya tidak boleh membagi waris sama rata kecuali setelah semua pihak mengetahui berapa masing-masing bagiannya dan mereka ridha jika jatahnya diambil yang lain. Contohnya, jika harta warisan yang ditinggalkan sebanyak 100 juta, sedangkan ahli warisnya ada 4 orang anak, terdiri dari 1 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Jika diterapkan hukum waris yang sesuai syariat, maka anak laki-laki mendapat 40 juta, dan anak perempuan masing-masing 20 juta. Adapun jika dibagi sama rata, maka semua anak mendapatkan 25 juta. Maka anak laki-laki tersebut harus mengetahui bahwa jatah warisnya 40 juta, lalu jika dibagi sama rata ia hanya dapat 25 juta, dan ada selisih 15 juta. Harus dipastikan si anak laki-laki tersebut ridha untuk merelakan 15 juta dari jatah warisnya diperuntukan kepada ahli waris lainnya agar bisa sama rata.

4.    Tetap meyakini bahwa aturan pembagian waris yang ditetapkan syariat adalah yang terbaik dan paling sempurna. Karena mengimani firman Allah Ta’ala berbunyi:

اَلَيْسَ اللّٰهُ بِاَحْكَمِ الْحٰكِمِيْنَ

Bukankan Allah Hakim yang paling adil? (Q.S. al-Tin: 8)

 

 

Sabtu, 29 November 2025

Tingginya mahar dalam pernikahan

 

Di Aceh, fenomena tingginya mahar menjadi perbincangan yang tak kunjung usai. Banyak yang menganggap hal ini sebagai bentuk tradisi turun-temurun, tetapi ada juga yang menilai tingginya mahar lebih kepada faktor gengsi sosial yang berkembang di masyarakat. Di Aceh kata mahar ini disebut dengan istilah “Jeulame” secara khusus aplikasikan dalam bentuk emas. Di beberapa daerah di Provinsi Aceh, kisaran mahar mulai dari lima belas mayam sampai dua puluh lima mayam emas murni. Bahkan kadang-kadang dalam keluarga tertentu sering terdengar mahar pernikahan anak gadisnya bisa mencapai empat puluh mayam mas murni. Namun demikian, ada di beberapa daerah maharnya tidak dengan angka di atas, tetapi hanya kisaran tiga sampai tujuh mayam mas. Jika dikonversi dengan rupiah sekarang satu mayam berkisar tujuh juta rupiah, seandainya mahar yang harus diberikan adalah sepuluh mayam emas murni, maka jumlah uang yang harus dipersiapkan calon suami adalah seratus lima juta rupiah. Dijumlahkan saja jika mahar yang harus dikeluarkan sebanyak 15 mayam. Jumlah yang cukup pantastis memang, apalagi bagi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan lebih. Sehingga tidak heran kalau mahar sering dihujani kritik opini publik. Seloroh para pemuda di Aceh, "hana peng hana inong" (tidak ada uang, tidak ada istri) seolah menyiratkan kritik sinis bahwa hanya lelaki yang mapan secara finansial yang dapat menikah. Semakin tingginya harga emas menjadi sebab utama sulitnya seorang laki-laki melamar seorang perempuan. Cinta terkadang harus bernasib kandas di tengah jalan dikarenakan calon suami tidak mampu menyediakan setumpuk emas demi menjaga gengsi sosial keluarga calon isteri.

Memperhatikan fenomena ini, penulis mencoba mengkajinya dari sisi hukum Islam. Mahar dalam Islam adalah pemberian dari calon suami kepada calon istri sebagai tanda kasih sayang, penghormatan, dan keseriusan untuk menikahi. Mahar adalah hak mutlak istri yang wajib diberikan dalam bentuk sesuatu yang berharga dan bisa berupa uang, barang seperti emas, atau jasa yang bernilai dan disepakati bersama kedua belah pihak. Tidak ada batasan jumlah atau jenis mahar tertentu. Bahkan Nabi SAW pernah memerintahkan pemberian mahar, meskipun hanya cincin dari besi dengan sabdanya:

التمس ولو خاتما من حديد

Carilah (untuk mahar) meskipun cincin terbuat dari besi (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Al-Qur’an menjelaskan bahwa mahar merupakan hak penuh isteri dan tidak ada kewenangan wali mengendalikannya, Karena itu,ia bebas mengelolanya menurut kemauannya sendiri. Ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala berbunyi:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. (Q.S. al-Nisa’:4)

Al-Khaazin dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan:

وفي الآية دليل على إباحة هبة المرأة صداقها وأنها تملكه ولا حق للولي فيه.

Dalam ayat ini dalil kebolehan seorang perempuan menghibah maharnya dan mahar tersebut merupakan miliknya serta wali tidak mempunyai hak apapun (Tafsir al-Khaazin:I/340)

 

Jika, mahar merupakan hak dari pihak isteri, maka wali secara otomatis tidak memiliki kewenangan untuk menentukan besaran mahar. Dengan bahasa lain, wali tidak boleh melakukan intervensi dalam menentukan berapa mahar yang harus diserahkan calon suami kepada calon isterinya. Namun persoalannya akan menjadi lain, apabila calon isteri meminta pertimbangan kepada walinya dalam hal menentukan besar mahar yang pantas ia minta. Imam al-Mawardi salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i menjelaskan:

فَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ أَقَلَّ الْمَهْرِ وَأَكْثَرَهُ غَيْرُ مُقَدَّرٍ ، فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِمَا تَرَاضَى عَلَيْهِ الزَّوْجَانِ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ

Tidak terdapat ketentuan pada kadar minimal dan maksimal pada mahar, yang menjadi pertimbangan dalam kadarnya adalah kerelaan dan kesepakatan suami istri (al-Hawi al-Kabir, karya al-Mawardi: IX/400)

 

Tingginya mahar dalam pernikahan

Di atas sudah dijelaskan bahwa mahar  merupakan sesuatu yang berharga dan bisa berupa uang, barang seperti emas, atau jasa yang bernilai dan disepakati bersama kedua belah pihak calon suami dan calon isteri serta tidak ada batas minimal dan batas maksimalnya. Namun demikian penentuan mahar dengan ukuran yang tinggi yang menyulitkan orang menjangkaunya merupakan suatu tindakan yang tidak mengikuti sunnah dan anjuran Nabi SAW. Meskipun diakui secara fiqh itu masih dalam katagori sah. Karena itu merupakan hak calon isteri dalam menentukan nilai maharnya. Namun demikian, bila keberkahan sebuah pernikahan merupakan sebuah keinginan dan cita-cita, maka mengikuti sunnah Nabi SAW suatu yang seharusnya dilakukan. Nabi SAW bersabda:

ﺇِﻥَّ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺍﻟﻨَّﻜَـﺎﺡِ ﺑَﺮَﻛَﺔً ﺃَﻳْﺴَﺮُﻩُ مؤوﻧَﺔً

Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah biayanya (H.R. Ahmad)

 

Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda:

ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ

Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (H.R. Abu Daud)

 

Dalam menafsirkan hadits ini, al-Manawi mengatakan,

(‌خير ‌النكاح أيسره) أي أقله مؤونة وأسهله إجابة للخطبة بمعنى أن ذلك يكون مما أذن فيه وعلامة الإذن التيسير ويستدل بذلك على يمن المرأة وعدم شؤمها لأن النكاح مندوب إليه جملة ويجب في حالة فينبغي الدخول فيه بيسر وخفة مؤونة لأنه ألفة بين الزوجين فيقصد منه الخفة فإذا تيسر عمت بركته ومن يسره خفة صداقها وترك المغالاة فيه وكذا جميع متعلقات النكاح من وليمة ونحوها

Hadits Nabi “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah” artinya yang paling sedikit biayanya dan yang paling mudah dalam menerima pinangan. Dengan makna pernikahan merupakan sesuatu yang diizin. Sedangkan tanda izin adalah memudahkannya. Dan itu dibuktikan dengan dengan kemurahan perempuan dan tidak mempersulitnya. Karena secara umum pernikahan itu dianjurkan  dan bisa juga wajib suatu ketika. Karena itu, sepantasnyalah memasukinya dengan mudah dan dengan ringan biaya. Karena pernikahan merupakan hubungan harmonis antara suami dan isteri, maka qashadnya adalah dengan ringan. Apabila ada kemudahan, maka banyaklah berkahnya. Termasuk dalam kemudahan adalah ringan dan tidak mahal maharnya. Demikian juga semua yang berhubungan dengan pernikahan, resepsinya dan lainnya. (Faidh al-qadir: III/482)

 

Semakin besar dan tinggi beban perkawinan dan semakin mempermahal mahar, maka semakin berkuranglah perkawinan. Dan jika semakin berkurang perkawinan, maka potensi perbuatan zina semakin tinggi. Maka mempermudah urusan nikah dan saling tolong menolong dalam hal pernikahan adalah suatu yang seharusnya dilakukan. Karena mempermudah urusan nikah termasuk upaya menjauhkan manusia dari perbuatan maksiat. Dan juga mahar yang terlalu tinggi berisiko mengubah pandangan terhadap pernikahan itu sendiri, dari ikatan suci yang mengutamakan ketakwaan menjadi transaksi jual beli dan gengsi keluarga. Padahal, tujuan pernikahan bukanlah untuk mendapatkan harta dan status sosial belaka, melainkan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Kamis, 20 November 2025

Cara Rasulullah SAW mengenang jasa pahlawan

 

Puluhan tahun setelah mantan presiden Soeharto lengser, warisan kontroversialnya kembali mencuat ke permukaan dan memicu perdebatan sengit saat pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Prabowo Subianto menobatnya sebagai pahlawan nasional.  Bagi sebagian orang, dia adalah "Bapak Pembangunan" yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dan sebagai penyelamat bangsa dari pengaruh komunisme. Namun bagi kalangan lainnya, rezimnya ditandai dengan pelanggaran hak azazi manusia (HAM), korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menguatnya peran militer dalam ranah sipil dan pemasungan terhadap perbedaan pendapat. Karenanya, penobatannya sebagai pahlawan Nasional merupakan sebuah kebijakan yang keliru dan merugikan masa depan bangsa ini.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap kelayakan mantan presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional, penulis ingin mengajak pembaca menelusuri kembali rekam jejak Nabi Muhammad SAW dalam menyikapi jasa seorang yang kontroversial, yang mempunyai dua sisi yang berbeda, ada sisi baik dan ada juga sisi gelapnya. Dikisahkan Mut’im bin ‘Adiy adalah seorang pembesar Quraisy yang menolong Nabi SAW dan keluarga-keluarga beliau dari embargo di Makkah. Ketika itu, Bani Hasyim dan Bani Muthalib (Nabi SAW dan kerabat beliau) diboikot dan dikucilkan, tidak boleh ada transaksi ekonomi, dilarang dipasok makanan dan tidak boleh ada hubungan pernikahan dengan mereka. Akhirnya Mut’im bin ‘Adiy menyelamatkan Bani Hasyim dengan merobek surat kesepakatan boikot yang digantungkan di Ka’bah. Jasa Mut’im bin ‘Adiy yang lain kepada Nabi SAW adalah ketika Nabi SAW berencana pulang kembali dari Thaif ke Makkah, namun kafir Quraisy dengan tegas menolak menerima kembali Nabi SAW dan para sahabat beliau. Di sini Mut’im bin ‘Adiy muncul lagi memberikan perlindungan kepada Nabi SAW untuk kembali ke Makkah. Tatkala terjadi perang Badar dan kaum muslimin meraih kemenangan. Saat itu Nabi SAW teringat dengan kebaikan Mut’im bin ‘Adiy setelah bertahun-tahun lalu dan Nabi SAW belum bisa membalas jasa Mut’im bin ‘Adiy karena sudah meninggal dunia. Kemudian beliau bersabda di hadapan kaum muslimin dan orang-orang Quraisy,

لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ

Andai saja Mut’im bin ‘Adiy masih hidup, lalu ia berbicara sesuatu (memberikan kebijakan) tentang orang-orang jahat (musuh-musuh Allah) ini untuk mengampuni atau mengasihani mereka, maka akan aku bebaskan mereka untuknya. (H.R. Bukhari)

 

Inilah kisah dari seorang nonmuslim yang menolong Rasulullah SAW dalam berdakwah. Rasulullah tidak melupakan jasa orang lain dan sangat menghargainya, meskipun jasa tersebut berasal dari orang kafir. Inilah bentuk nilai kemanusiaan yang ditunjukkan Rasulullah yang sesuai dengan ajaran Islam. Kekufuran Mut’im bin ‘Adiy merupakan sisi gelap Mut’im bin ‘Adiy, namun ada sisi kebaikan padanya yaitu pernah menolong Rasulullah SAW pada saat beliau sangat membutuhkan pertolongan.  Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu. (Q.S. Al-Baqarah: 237)

 

Apalagi ungkapan rasa terima kasih kepada manusia ini juga merupakan cerminan dari rasa syukur kepada Allah Ta’ala sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi:

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia. (H.R. al-Thabraniy dan Ahmad)

 

Inti dari hadits ini adalah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah SWT. Hal ini karena manusia adalah perantara nikmat dari Allah, dan dengan berterima kasih kepada manusia, kita sebenarnya sudah mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah melalui orang lain. Ada dua makna utama dari hadis ini: yang pertama, syukur kepada manusia merupakan cerminan dan bagian dari kesempurnaan syukur kepada Allah dan yang kedua, tanpa rasa terima kasih kepada manusia, maka rasa syukur kepada Allah tidak akan sempurna atau bahkan tidak diterima.

Melupakan jasa orang lain hanya karena ada secuil kesalahan yang dilakukan seseorang merupakan perilaku kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Karena itu, Rasulullah SAW memberikan label kufur kepada orang-orang yang mudah melupakan kebaikan. Sebagaimana para istri yang apabila mudah melupakan banyak kebaikan suaminya hanya karena satu atau dua kesalahan yang diperbuat suaminya. Nabi SAW bersabda:

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أكْثَرُ أهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ قيلَ: أيَكْفُرْنَ باللهِ ؟ قالَ يَكْفُرْنَ العَشِيرَ ويَكْفُرْنَ الإحْسَانَ، لو أحْسَنْتَ إلى إحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شيئًا، قالَتْ: ما رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Aku pernah diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita, karena mereka sering berbuat kufur.” Beliau ditanya, “Apakah mereka berbuat kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari suami dan kebaikan suami mereka. Bilamana engkau (suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka (istri) sepanjang masa, kemudian ia melihat satu kesalahan saja darimu, ia akan mengatakan, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu. (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Jka tangan terlalu pendek untuk membalas, maka panjangkanlah lisan dengan memuji dan mendoakannya. Jika tidak mampu membalas sebagaimana layaknya, maka memujinya merupakan ungkapan terima kasih dan jika tidak mampu juga, maka berdoalah untuknya dengan  kebaikan. Nabi SAW bersabda:

مَنْ أُعْطِىَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Barangsiapa yang diberikan sebuah hadiah, lalu ia mendapati kecukupan, maka hendaknya ia membalasnya. Jika ia tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya), maka pujilah ia. Barangsiapa yang memujinya, maka sungguh ia telah bersyukur kepadanya. Barangsiapa menyembunyikannya, sungguh ia telah kufur. (H.R. Abu Daud)

 

Berdoa bukan suatu yang berat untuk diucapkan. Hanya beberapa kata seperti “Jazakallah khairan” saja sudah memenuhi anjuran Nabi SAW untuk berdoa kepada pahlawan kita. Ini sesuai dengan Sabda Nabi SAW berikut ini:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, lalu ia mengatakan kepada pelakunya, “Jazakallah khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh ia telah benar-benar meninggikan pujian. (H.R. Turmidzi)

 

Alhasil, mari kita memberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawan yang telah berjasa dalam kehidupan kita, baik jasa pribadi, dalam bernegara atau berbangsa. Jangan melupakannya hanya karena ada satu atau dua kesalahan lain yang menimpanya. Akhirnya, semoga kita dapat meneladani rekam jejak Nabi Muhammad SAW dalam perilaku dan bersikap di dunia fana ini dan jangan larut hanya menyibuk diri dengan menghitung-hitung dosa orang lain. Amiin!.