Senin, 17 Maret 2025

Ramadhan, bulan meningkatkan ketaqwaan kita

 

Allah Ta’ala dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah, ayat 183, berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa.(Q.S. al-Baqarah:183)

 

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memanggil orang-orang beriman menjelaskan kewajiban berpuasa. Ini bermakna bahwa pensyariatan puasa ini ditujukan hanya kepada orang-orang yang beriman. Karena hanya orang-orang yang beriman saja yang mau melaksanakan ibadah puasa ini dengan tulus dan sebenar-benarnya. Disamping itu ayat ini juga menjelaskan bahwa tujuan ibadah puasa adalah agar tumbuh sikap taqwa bagi orang yang menjalaninya. Lalu siapa orang bertaqwa tersebut?. Al-Qur’an Surat al-Baqarah, ayat 4-5 menjelaskan kepada kita ciri-ciri orang bertaqwa:

(yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat.(Q.S. al-Baqarah: 4-5)

 

Merujuk petunjuk firman Allah Ta’ala di atas, ada 5 ciri utama orang bertaqwa. Ciri pertama: beriman kepada hal-hal yang ghaib. Maksudnya adalah percaya pada hal-hal yang masih samar tetapi sudah ada dalil yang menunjukkannya, baik dalil naqli Al-Qur'an dan hadits, maupun dari dalil aqli dari akal sehat manusia. Termasuk beriman kepada ghaib adalah beriman kepada Allah, kepercayaan kepada alam kubur, percaya adanya malaikat Allah, adanya surga, neraka dan lain-lain. Meningkatkan keimanan terhadap Allah dapat dilakukan dengan memperdalam pemahaman terhadap petunjuk Al-Qur'an dan al-Sunnah selama Ramadhan ini.  Selain itu, bisa juga dilakukan melalui berpikir dengan akal sehat atas eksistensi Allah sebagai Tuhan. Ciri kedua: mendirikan shalat. Maksudnya, melaksanakan shalat dengan memenuhi haknya, baik yang bersifat lahiriah, seperti memenuhi berbagai syarat, rukun, dan adabnya maupun yang bersifat batiniah, seperti kekhusukan, kerendahan diri di hadapan Allah, dan keikhlasan beribadah hanya karenanya. Melakukan peningkatan ketakwaan dalam mendirikan shalat secara benar dalam bulan Ramadhan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu mengupdate kembali ilmu pengetahuan seputar shalat dari sumber-sumber terpercaya dan belajar melakukan shalat dengan memperhatikan sisi lahir dan batin. Melatih diri melakukan shalat secara tenang, pelan-pelan atau tidak terburu-buru, meresapi setiap bacaan dan gerakan shalat, dan semisalnya.  Ciri ketiga: membelanjakan rezeki yang telah Allah berikan pada pembelanjaan yang sesuai dengan syariat. Ini dapat dilakukan dengan memulainya dari hal-hal kecil seperti memastikan pembelanjaan harta hanya pada sesuatu yang halal, tidak pada sesuatu yang haram. Baik harta yang dibelanjakan itu sedikit atau banyak. Baik belanja harian, bulanan, atau belanja kebutuhan tertentu. Ciri keempat: beriman kepada kitab-kitab Allah yang pernah diturunkan kepada Rasul-Nya. Targetnya dapat dimulai dengan memperbanyak membaca al-Qur’an serta mengkajinya melalui berguru kepada ulama terpercaya tanpa menunda mengamalkannya. Ciri kelima: meyakini akan datang hari akhirat kelak sebagai hari pertanggungjawaban segala amal yang kita lakukan di dunia ini. Targetnya memperbanyak ibadah dan amal shaleh sebagai bekal di hari akhirat kelak.

Bila lima target peningkatan ketakwaan ini dapat dilakukan di bulan Ramadhan secara nyata, maka bisa dikatakan sebagai orang yang berhasil melewatinya dengan keberhasilan dan kesuksesan yang nyata. Yaitu meningkatnya ketakwaan dalam lima ciri utama orang bertakwa. Bila demikian, maka firman Allah: "la'allakum tattaqun", agar kalian bertakwa, semakin dekat kita raih pada bulan Ramadhan ini. Wallahu a'lam.




Rabu, 05 Maret 2025

Benarkah harus imsak ?

 

Sebelum masuk waktu mulai puasa, sebelum fajar, sebagai persiapan berpuasa kita dianjurkan makan dan minum. Makan dan minum ini dinamakan sahur sebelum berpuasa. Anjuran ini sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi :

فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ ‌أَكْلَةُ ‌السُّحُورِ

Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur (H.R. Muslim dan lainnya)

 

Dan Sabda Nabi SAW :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang bersahur (H.R. al-Thabraniy)

 

Namun ketika bulan Ramadhan tiba, sekitar 10 menit menjelang adzan subuh berkumandang menjadi sebuah fenomena umum di daerah-daerah Indonesia (termasuk Aceh) sayup suara orang mengumumkan waktu imsak bersahutan. Saat imsak, masyarakat kita mulai menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, padahal belum masuk waktu mulai berpuasa  Pertanyaannya, apakah tradisi waktu imsak ini ada tuntunannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita simak firman Allah Ta’ala sebagai landasan penetapan waktu puasa, yaitu Q.S. al-Baqarah: 187:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. (QS Al-Baqarah: 187).

 

Berdasarkan firman Allah Ta’ala ini, dipahami bahwa puasa itu dimulai dengan terbit fajar sampai masuk waktu malam, yaitu magrib. Artinya kewajiban menahan makan dan minum serta menahan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya dimulai saat terbit fajar sampai waktu magrib tiba. Dengan demikian, kita masih dimungkinkan makan sahur asalkan belum terbit fajar.

Sesuai dengan yang dipahami dari firman Allah di atas dan penjelasan al-Kaasaaniy al-Hanafi bahwa perkataan sahur berasal dari akar kata “sahar”, sedangkan waktu sahar adalah sesudah pertengahan malam. (al-Kaasaaniy al-Hanafi, Badai’ al-Shanai’fi tartib al-Syarai’ :II/69), maka waktu sahur dimulai sesudah melewati pertengahan malam dan berakhir dengan terbit fajar. Berdasarkan ini, maka orang yang makan sebelum pertengahan malam dengan niat sahur tidak sah menjadi sahur. Karena itu, Imam al-Nawawi mengatakan,

وَقْتُ ‌السَّحُورِ بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ

Waktu sahur adalah antara pertengahan malam dan terbit fajar. (Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab:VI/360)

 

Abubakar Syathaa dalam I’anah al-Thalibin mengatakan,

والحاصل أن ‌السحور يدخل وقته بنصف الليل، فالأكل قبله ليس بسحور، فلا يحصل به السنة،

Alhasil, sesungguhnya sahur masuk waktunya dengan masuk pertengahan malam. Karena itu, makan sebelumnya bukanlah sahur dan tidak mendapat sunnah karenanya.( Abubakar Syathaa, I’anah al-Thalibin: II/277)

Meskipun waktu bersahur sebagaimana dikemukakan di atas antara pertengahan malam dan terbit fajar, akan tetapi waktu utama bersahur adalah di akhir malam. Hal ini dikarena makan sahur di akhir malam lebih meringankan orang berpuasa menahan lapar dan haus pada waktu siangnya. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda :

عَجَّلُوا الإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ

Segerakanlah berbuka dan akhirkan bersahur (H.R. al-Thabraniy)

Di sisi Abdurrazaq dan lainnya dengan isnad shahih dari ‘Amr bin Maimun al-Audiy berkata :

قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُورًا

Para sahabat Muhammad SAW memerintahkan manusia menyegerakan berbuka dan memperlambatkan sahur. ( Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri: IV/199)

Ini sesuai dengan praktek Nabi SAW beserta sahabatnya sebagaimana hadits berikut:

تَسَحَّرْنَا ‌مَعَ ‌رَسُولِ ‌اللهِ ‌صَلَّى ‌اللهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ، ‌ثُمَّ ‌قُمْنَا ‌إِلَى ‌الصَّلَاةِ قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً

Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian kami mendirikan shalat. Aku (perawi) bertanya : “berapa ukuran antara keduanya”. Zaid bin Tsabit menjawab : “ukuran lima puluh ayat. (H.R. Muslim)

Hukum tradisi imsak

Waktu sahur Nabi SAW dalam hadits riwayat Muslim di atas dalam jarak tempo membaca 50 ayat al-Quran tidaklah dipahami secara sempit sebagai batasan waktu tertentu, akan tetapi substansi  dari waktu sahur Nabi SAW tersebut adalah sikap kehati-hatian dalam menjaga sahur agar tidak sampai masuk dalam waktu fajar (waktu mulai puasa). Sikap kehati-hatian ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi:

دع ما يريبك الى ما لا ما يريبك

Tinggalkan yang meragukan dirimu kepada yang tidak meragukan (H.R. Ahmad, al-Turmizi dan lainnya)

 

Karena itu, Imam Syafi’i mengatakan:

وأستحب التأني بالسحور ما لم يكن في وقت مقارب يخاف أن يكون الفجر طلع فإني أحب قطعه في ذلك الوقت

Aku senang memperlambat dalam bersahur, selagi tidak sampai pada waktu yang mendekati (fajar) yang dikhawatirkan terbit fajar (jika terjadi hal demikian) aku senang menghentikan sahur pada saat sebelum subuh.(al-Umm: II/105)

 

Pernyataan yang lebih tegas dapat diperhatikan dalam ucapan Imam al-Mawardi di dalam kitab Iqna’:

وزمان الصّيام من طُلُوع الْفجْر الثَّانِي إِلَى غرُوب الشَّمْس لَكِن عَلَيْهِ تَقْدِيم الامساك يَسِيرا قبل طُلُوع الْفجْر وَتَأْخِير (الْفطر) يَسِيرا بعد غرُوب الشَّمْس ليصير مُسْتَوْفيا لامساكمَا بَينهمَا

 Waktu berpuasa adalah dari terbitnya fajar kedua sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi (akan lebih baik bila) orang yang berpuasa melakukan imsak (menghentikan makan dan minum) sedikit lebih awal sebelum terbitnya fajar dan menunda berbuka sejenak setelah tenggelamnya matahari agar ia menyempurnakan imsak di antara keduanya. (Al-Iqnaa’: 74)

 

Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (Lahir: 1307 H/1890 M) seorang ulama al-Azhar  memperkirakan waktu membaca 50 ayat tersebut adalah sekitar 10 menit sebagaimana tersebut dalam fataawa Dar al-Ifta’ al-Misriyah:

وأن المستحب أن يكون بينه وبين الطلوع قدر قراءة خمسين آية ويقدر ذلك زمنا بعشر دقائق تقريبا  

Dan imsak yang dianjurkan hendaknya antara imsak dan terbit fajar ada jeda perkiraan membaca 50 ayat, perkiraan waktunya kurang lebih selama 10 menit.( fataawa Dar al-Ifta’ al-Misriyah I/101)

 

Berdasarkan pemahaman di atas, dapat ditegaskan bahwa tradisi masyarakat Indonesia melakukan praktek imsak sekitar 10 menit sebelum terbit fajar menjelang masuk waktu puasa merupakan sikap kehati-hatian (ihtiyath) yang dianjurkan dalam agama dan bahkan pernah dipraktek oleh Nabi SAW sesuai dengan hadits riwayat Muslim di atas.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Jumat, 21 Februari 2025

Hukum Taqlid dalam Bidang Aqidah

 

Sesungguhnya aqidah Islamiyah dibangun atas dalil-dalil ‘aqliyah yang bersifat yakin dan benar dan hukum-hukum syariah dibangun di atas aqidah ini. Keimanan merupakan kolaborasi antara akal sehat yang berdasar dari kemampuan akal untuk menganalisis sesuatu yang terjadi. Sehingga Ibnu al-Arabi (ulama besar dari kalangan mazhab Maliki, bukan Ibnu ‘Arabi ulama sufi pengarang kitab Futuhaat al-Makkiyah) mengatakan,

ان من لم يعلم الله تعالى كيف يعلم ان الخبر خبره فثبت ان طريقه النظر

Sesungguhnya orang-orang yang belum mengenal Allah Ta’ala bagaimana mungkin mengetahui suatu khabar adalah khabar dari Allah Ta’ala. Karena itu, tetaplah bahwa jalan mengenal Allah adalah nadhar (‘aqliyah). (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahin: 60)

 

Berdasarkan pemahaman ini, maka kajian tentang ketidakbolehan taqlid dalam bidang aqidah menjadi sangat penting. Para ulama tempo dulu sudah banyak menoreh tintanya membahas panjang lebar dengan argumentasinya masing-masing dalam mensikapi masalah taqlid dalam bidang aqidah.

Pengertian taqlid dalam bidang akidah

Taqlid dalam masalah aqidah adalah mengikuti orang lain pada apa yang diyakini tanpa mengetahui dalil yang digunakan. Imam al-Hudhudy mendevinisikan taqlid dalam bidang aqidah sebagai berikut:

والتقليد ان تتبع غيرك في قوله او اعتقاده دون ان تعرف دليله

Taqlid adalah mengikuti selainmu pada perkataannya atau i’tiqadnya tanpa kamu mengenal dalilnya.

 

Selanjut Imam al-Hudhudiy menjelaskan apabila kamu mengetahui dalilnya, maka kamu termasuk ‘arif (yang mengenal), bukan muqallid (orang yang bertaqlid). (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala al-Hudhudy: 41-42).

Berikut ini beberapa catatan berkenaan devinisi taqlid di atas yang berkaitan dengan akidah,  yang dipahami dari penjelasan Imam al-Syarqawi:

1.   Devinisi ini tidak mencakup mengikuti perkataan Nabi SAW pada hukum furu’iyah. Demikian juga tidak mencakup mengikuti dalil sama’i pada ‘aqaid-‘aqaid dimana dalilnya adalah sama’i (naqli), yaitu ‘aqaid yang tidak tergantung dalalah mu’jizat atas kebenaran seorang Rasul seperti sifat sama’, bashar, kalam dan lawazim-lawazimnya. Demikian juga ‘aqaid lainnya yang dalilnya adalah sama’i seperti hasyar dan nasyar di padang mahsyar kelak. Kedua katagori ini tidak termasuk taqlid. Karena tidak diragukan bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW merupakan dalil itu sendiri.(catatan: yang dimaksud perkataan Nabi SAW di sini mencakup ayat al-Qur’an, karena meskipun pada hakikatnya ayat al-Qur’an diyakini sebagai kalam Allah, akan tetapi muncul dari ucapan nabi SAW).

2.   ‘Aqaid-‘aqaid dimana dalilnya adalah dalil ‘aqli, yaitu sifat-sifat yang tergantung dalalah mu’jizat atas kebenaran seorang Rasul seperti sifat qudrah dan iradah Allah Ta’ala, jika mengikuti perkataan Nabi SAW pada masalah ini setelah membenarkan bahwa seseorang tersebut benar adanya sebagai seorang Rasul, maka mengikuti tersebut tidak dinamakan taqlid. Karena tidak ada Rasul kecuali seseorang yang muncul mu’jizat pada tangannnya. Sementara itu, tidak mungkin ada mu’jizat kecuali datang dari Tuhan yang bersifat dengan sifat seperti qudrah dan iradah. Maka membenarkan risalah seorang Rasul, itu berarti muncul setelah membenarkan sifat-sifat seperti iradah dan qudrah. Karena itu, dalam kasus ini yang menjadi pegangan dalam menetapkan sifat-sifat Allah seperti iradah dan qudrah adalah dalil ‘aqli. Adapun perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW hanya penguatnya saja.

3.   Adapun orang yang belum membenarkan perkataan Nabi SAW dalam kasus sebagaimana  pada point ke-2 di atas, sedangkan perkataan Nabi SAW baginya hanya seperti perkataan seorang manusia biasa, maka mengikuti perkataan Nabi SAW baginya adalah taqlid.

4.   Taqlid pada dalil sama dengan taqlid pada madlul (yang ditunjuki oleh dalil, yaitu sifat-sifat Allah Ta’ala dan lainnya), sebagaimana dalil wahdaniat Allah Ta’ala, yakni seandainya ada tuhan selain Allah, tentunya tuhan lebih dari satu, maka dapat dipastikan langit dan bumi ini akan hancur binasa. Jika seseorang tidak mengerti bahwa langit dan bumi ini akan hancur binasa, tapi dia hanya mengikuti perkataan orang lain dalam berdalil, maka statusnya adalah muqallid. Contoh lain, dalil bagi alam ini ada pencipta, yakni alam ini baharu dan setiap yang baharu pasti ada penciptanya. Jika seseorang tidak mengetahui bahwa alam ini baharu, tapi dia hanya mengikuti perkataan orang lain dalam berdalil, maka statusnya adalah muqallid. Maka taqlid pada dalil tercela sebagaimana taqlid pada madlul.

5.   Dihukum tercela taqlid pada dalil, tidak berarti mengambil atau mengikuti metode pendalilian dari ulama-ulama, kemudian setuju dengan metode tersebut dihukum sebagai taqlid sebagaimana dalam kasus ru’yatul hilal dimana berkumpul sekelompok manusia dalam rangka berusaha melihat hilal. Ada satu orang yang sudah duluan melihat hilal, lalu dia memberi petunjuk kepada orang lain dengan memperlihatkan tanda-tandanya seperti putih-putih di sekeliling hilal. Maka dalam kasus ini;

a.   Barangsiapa yang hanya melihat tanda-tandanya dan tidak melihat hilal, tetapi dia hanya mengikuti saja perkataan orang yang telah melihat sebelumnya, maka dia muqallid.

b.   Barangsiapa yang tidak melihat tanda-tandanya sama sekali dan juga tidak melihat hilal, maka dia muqallid.

c.   Adapun orang yang terus menerus mencari tahu dengan petunjuk orang yang sudah duluan melihat hilal, sehingga nampak hilal padanya dengan bantuan melihat tanda-tandanya, maka dia adalah ‘arif, bukan muqallid, meskipun untuk sampai kepada ‘arif dia harus dengan cara taqlid terlebih dahulu. Sehingga dia sah mengatakan, “Saya sudah melihat hilal”, bukan mengatakan, “Seperti itu mereka katakan”. (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala al-Hudhudy: 42).

Hukum taqlid dalam bidang aqidah

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi taqlid pada bidang aqidah. Imam al-Sanusi dalam Umm al-Barahin menjelaskan, tidak memadai taqlid dalam bidang aqidah. Imam al-Sanusi menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ahli ilmu seperti Imam al-Asy’ari, Qadhi Abu Bakar al-Baqilaaniy dan Imam al-Haramain. Bahkan menurut hikayah Ibnu al-Qushaar, ini juga merupakan pendapat Imam Malik. Namun pendapat ini terbelah lagi kepada beberapa pendapat. Sebagian mereka berpendapat muqallid ini tetap dihukum mukmin, namun berbuat maksiat dengan sebab meninggalkan nadhar yang shahih. Sebagian yang lain berpendapat muqallid pada bidang aqidah adalah mukmin dan tidak berlaku maksiat kecuali dia adalah ahli nadhar. Sebagian yang lain lagi mengatakan, muqallid bukan mukmin sama sekali. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 54-55).

Syeikh al-Dusuqi dalam mengomentari penjelasan Imam al-Sanusi dalam Umm al-Barahin di atas menyimpulkan ada tiga pendapat terkait taqlid, yaitu:

1.   Ma’rifah (mengenal tidak dengan cara taqlid) pada ‘aqidah adalah wajib atas setiap orang, dengan makna kewajiban hukum furu’ (kewajiban yang konsekwensinya hanya berdosa), bukan kewajiban ushul (konsekwinsinya bisa mengakibatkan seseorang menjadi kafir). Apabila seseorang bertaqlid dalam bidang ‘aqidah, baik seseorang itu ahli nadhar atau bukan, maka dia mukmin yang berbuat maksiat.

2.   Jika seseorang merupakan ahli nadhar, maka hukum ma’rifah pada aqidah tanpa taqlid atasnya adalah wajib dengan makna kewajiban furu’. Sehingga apabila bertaqlid, orang ini dihukum sebagai mukmin berbuat maksiat. Adapun apabila bukan ahli nadhar, maka atasnya tidak ada kewajiban ma’rifah aqidah tanpa taqlid

3.   Kewajiban ma’rifah pada ‘aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban ushul. Sehingga seseorang yang taqlid dalam bidang aqidah dapat dihukum kafir.

Kemudian al-Dusuqi menjelaskan, Imam al-Sanusi dalam kitab beliau, al-Kubraa menguatkan pendapat pertama, yaitu ma’rifah tanpa taqlid pada aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban furu’, baik seseroang itu ahli nadhar atau bukan. Namun menurut al-Dusuqi pendapat ini tidak dapat diterima. Yang benar adalah pendapat kedua, yaitu kewajiban ma’rifah pada aqidah tanpa taqlid hanya berlaku atas seseorang yang ahli nadhar. Selanjutnya al-Dusuqi menjelaskan, pendapat pertama di atas dibangun atas dasar jawaz (boleh) taklif bii maa laa yutha’ (boleh taklif dengan sesuatu yang tidak disanggupi) atau dibangun atas dasar bahwa setiap mukallaf dapat dipastikan mampu dengan dalil ijmali. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 54).

Masih menurut keterangan Imam al-Sanusi, selain jumhur ahli ilmu berpendapat bahwa nadhar bukanlah syarat sah iman, bahkan tidak wajib sama sekali, tetapi hanya merupakan syarat kamal (kesempurnaan) saja. Pendapat ini telah dipilih oleh Syeikh al-‘Arif al-Wali Ibnu Abi Jamrah, al-Imam al-Qusyairiy, Ibnu Rusyd, Imam al-Ghazali dan satu jamaah ulama. Kemudian Imam al-Sanusi menjelaskan bahwa pendapat yang benar yang sesuai dengan petunjuk al-Kitab dan al-Sunnah adalah wajib nadhar yang shahih, namun terjadi perbedaan pendapat apakah nadhar itu merupakan syarat sah imam atau bukan. Pendapat yang rajih adalah nadhar merupakan syarat sah iman. Pendapat yang menyatakan bahwa Allah dapat di kenal dengan cara taqlid, oleh Ibnu al-‘Arabi telah menisbahkannya kepada mubtadi’ (ahli bid’ah). (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin: 57).

Tarjih Imam al-Sanusi dalam kitab Umm al-Barahiih ini mempunyai makna kewajiban nadhar merupakan kewajiban ushul, bukan furu’. Kosekwensinya  tanpa nadhar, maka iman seseorang tidak sah. Ini berbeda dengan tarjih beliau dalam kitab al-Kubraa sebagaimana telah dijelaskan di atas, dimana dalam kitab tersebut beliau mentarjihkan pendapat ma’rifah tanpa taqlid pada aqidah adalah wajib dengan makna kewajiban furu’, baik seseroang itu ahli nadhar atau bukan.

Dalil-dalil kewajiban nadhar dan larangan taqlid

1.   Firman Allah Ta’ala:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ اَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطٰنُ يَدْعُوْهُمْ اِلٰى عَذَابِ السَّعِيْرِ

Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Q.S. Luqman: 21)

2.   Firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Q.S. al-Isra’:21)

 

3.   Firman Allah Ta’ala:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (Q.S. al-Baqarah: 164)

 

4.   Firman Allah berbunyi :

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah haq.(Q.S. al-Fusshilat : 53)

 

Wallahua’lam bisshawab

Minggu, 12 Januari 2025

Peran Akal dalam Akidah Islam

 

Akal memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Keimanan merupakan kolaborasi antara akal sehat yang berdasar dari kemampuan akal untuk menganalisis sesuatu yang terjadi. Oleh karena itu keimanan tidaklah hanya didasarkan pada taqlid buta yang hanya mengandalkan kebersihan ruhani saja. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan ajaran Islam dalam permasalahan apapun. Untuk memahami kesimpulan ini mari kita simak kajian para ulama kita yang telah menempatkan akal menurut porsinya yang benar.

Dalam kitab Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulam, salah satu kitab manthiq yang diajarkan di dayah-dayah Aceh dan pesantren-pesantren di nusantara pada umumnya, Muhammad bin ‘Ali al-Shabbaan ketika menjelaskan tentang dalil burhan, beliau mengatakan,

اعلم ان البرهان الذي كلتا مقدمتيه او احداهما نقلية نظرية اريد الاستدلال عليها لا بد من انتهاء مقدمتيه او مقدمته نقلية الى عقلية لان العقلية اصل لنقلية

Ketahuilah sesungguhnya dalil burhan yang terdiri dari dua muqadimah nadhriah atau salah satunya, yang akan dijadikan sebagai dalil, maka muqaddimahnya yang naqliah diharuskan berujung kepada ‘aqliah. Karena ‘aqliah adalah asal bagi naqliah.(Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulam, Hal. 148)

 

Lebih lanjut,al-Shabbaan memberikan kita contoh, misalnya ketika seorang yang berzina dihukum hudud (rajam atau cambuk seratus kali) dengan menggunakan dalil ayat al-Qur’an atau hadits Nabi SAW, ini tentu berujung perlunya didahului keyakinan kebenaran apa yg diucapkan oleh Nabi SAW. Buktinya, Nabi SAW itu benar-benar merupakan seorang utusan Allah SWT, yang dibuktikan dengan muncul mu’jizat sebagai tanda bahwa beliau benar-benar seorang utusan Allah. Adapun kemunculan mu’jizat itu sendiri sangat tergantung kepada keyakinan adanya sifat wujud Allah Ta’ala, qidam, baqa, mukhalafah lil hawadits, qiyam binafsihi, wahdaniat, qudrah, iradah, ilmu dan hayah Allah Ta’ala. Karena tanpa sifat-sifat ini, maka kemunculan mu’jizat merupakan suatu kemustahilan, sedangkan penetapan sifat-sifat ini haruslah ditetapkan berdasarkan dalil ‘aqliah. (Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulam, Hal. 148)

Alhasil, penetapan hukum hudud bagi penzina berdasarkan dalil naqliah di atas akan berujung kepada dalil ‘aqliah, tidak mungkin hanya mengandalkan dalil naqliah semata. Karena itu dapat dipahami muncul qaidah “Dalil ‘aqliah adalah asal bagi dalil naqliah.” Apabila ini kita terima, maka kepercayaan terhadap adanya wujud Allah dan sifat-sifat yang tersebut diatas, tentu tidak mungkin kita tetapkan kembali berdasarkan dalil naqliah. Karena akan berujung kepada daur. Dalam ilmu kalam, daur adalah suatu pendalilian yang yang berujung kepada ketergantungan kepada dalil lainnya, sedangkan dalil lain ini juga tergantung kepada dalil pertama. Pendalilian seperti ini disepakati mustahil dan tidak menghasilkan pengetahuan yang bersifat keyakinan.

Sebagai ilustrasi sederhana dapat digambarkan ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai utusan seorang raja. Tentu pengakuan ini dapat diyakini apabila kita mempunyai dalil bahwa dia benar-benar seorang utusan raja tersebut dan dalil tersebut tidak boleh berdasarkan pengakuannya saja. Karena keyakinan atas pengakuannya tersebut tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Lalu sekarang, bagaimana mungkin kepercayaan kita kepadanya ditetapkan berdasarkan pengakuannya, sedangkan pengakuannya itu tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Ini tentu akan berujung daur, sedangkan daur itu mustahil dalam pendalilian. Alhasil kepercayaan kita kepadanya harus berdasarkan dalil lain, bukan hanya sekedar pengakuannya saja.

Sesuai dengan penjelasan di atas, Imam al-Asy’ari dan pengikutnya sebagaimana dikutip oleh al-‘Ainiy berpendapat,

وَإِنَّمَا قيدنَا الدَّلِيل بالعقلي لِأَنَّهُ لَا يجوز الِاسْتِدْلَال فِي إِثْبَات أصُول الدّين بِالدَّلِيلِ السمعي لِأَن ثُبُوت الدَّلِيل السمعي مَوْقُوف على ثُبُوت وجود الصَّانِع والنبوة فَلَو أثبت وجود الصَّانِع والنبوة بِهِ لزم الدّور

Sesungguhnya kita mengkaidkan dalil dengan ‘aqli, karena tidak boleh berargumentasi dalam penetapan ushul agama dengan dalil sam’i (dalil naqli). Karena penetapan dalil sam’i bergantung kepada keyakinan wujud pencipta (Allah) dan kenabian. Karena itu, apabila ditetapkan wujud pencipta dan kenabian dengan dalil sam’i, maka konsekwensinya adalah daur. (Badruddin al-‘Ainiy, ‘Umdah al-Qaari Syarah Shahih al-Bukhari, I/107).

 

Sebenarnya penting menjadi catatan, tidak semua pokok-pokok agama (masalah akidah) diharuskan penetapannya dengan dalil ‘aqliyah. Karena tidak semua masalah akidah dapat dipahami dengan akal dalam menetapkan keyakinan wujud atau tidak wujudnya, seperti wujud surga dan neraka, masalah pemberian pahala bagi yang taat dan dapat siksaan atas perbuatan maksiat, adanya shirath, dan lain-lain. Namun demikian, dalil-dalil naqli tersebut harus berada dalam ruang lingkup jawaz pada akal (sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada menurut akal/tidak mustahil). Karena dalil naqli (nash syara’) tidak mungkin bertentangan dengan akal yang bersifat qath’i.

Di atas sudah dijelaskan bahwa keyakinan kebenaran al-Qur’an atau hadits Nabi SAW bergantung kepada keyakinan kita pada kebenaran apa yg diucapkan oleh Nabi SAW. Sedangkan kebenaran ucapan Nabi SAW dibuktikan dengan muncul mu’jizat sebagai tanda bahwa beliau adalah benar-benar seorang utusan Allah. Adapun kemunculan mu’jizat itu sendiri sangat tergantung kepada ketetapan keyakinan adanya sifat wujud Allah Ta’ala, qidam, baqa, mukhalafah lil hawadits, qiyam binafsihi, wahdaniat, qudrah, iradah, ilmu dan hayah Allah Ta’ala. Dengan demikian hanya sifat-sifat ini yang diharuskan penetapannya dengan dalil ‘aqliah. Karena keyakinan kebenaran dalil naqli (al-Qur’am dan hadits) bergantung kepada keyakinan wujud sifat-sifat ini. Karena itu, tidak mungkin wujud sifat-sifat ini dibuktikan kembali dengan dalil naqli pula, karena lazim daur sebagaimana dijelaskan di atas.

Lebih jelasnya, berikut ini pembagian ushul agama dari aspek dalilnya menurut al-Baaqilaaniy:

أن جميع أحكام الدين المعلومة لا تنفك من ثلاثة أضرب فضرب منها، لا يصح أن يعلم إلا بالعقل دون السمع. وضرب آخر، لا يصح أن يعلم عقلاً، بل لا يصح العلم به إلا من جهة السمع.

والضرب الثالث منها، يصح أن يعلم عقلاً وسمعاً. فأما ما لا يصح أن يعلم إلا بالعقل دون السمع فنحو حدوث العالم وإثبات محدثه ووحدانيته، وما هو عليه من صفاته ونبوة رسله، وكل ما يتصل بهذه الجملة مما لا يتم العلم بالتوحيد والنبوة إلا به والدليل على ذلك أن السمع إنما هو كلام الله وقول من يعلم أنه رسول له وإجماع من خبر أنه لا يخطئ في قوله، ولن يصح أن يعرف أن القول قول لله، ولمن هو رسول له، وصدق من خبر الرسول صلى الله عليه وسلم عن صوابه وصدقه إلا بعد معرفة الله تعالى، لأن العلم بأن القول قول له والرسول رسول له فرع للعلم به سبحانه، لأنه علم بكلامه وإرساله وصفة من صفاته، ومحال أن يعرف هذه الصفة لله من لا يعرف الله، كما أنه محال أن يعرف أن الكلام والرسول كلام ورسول لزيد من لا يعرف زيداً، فوجب أن يكون العلم بالله وبنبوة رسله معلوماً عقلاً قبل العلم بصحة السمع.

Sesungguhnya semua hukum agama yang diketahui tidak terlepas dari tiga pembagian. Pembagian pertama, tidak sah diketahui kecuali dengan akal, tidak dengan sama’ (dalil naqli). Pembagian yang lain (yang kedua) tidak sah diketahui dengan dengan akal, akan tetapi hanya sah diketahui dengan jalan sama’ saja (dalil naqli). Pembagian ketiga, sah diketahui dengan akal dan sama’. Adapun yang tidak sah diketahui kecuali dengan akal, tidak dengan sama’, contohnya baharu alam, penetapan yang memperbaharui alam (Allah), wahdaniat-Nya, sifat-sifat-Nya dan kenabian utusan-Nya dan setiap yang berhubungan dengan katagori ini yang tidak sempurna pengetahuan tauhid dan kenabian kecuali dengannya. Dalilnya, sesungguhnya sama’ (dalil naqli) adalah kalam Allah dan perkataan orang yang diketahui sebagai rasul-Nya serta ijmak orang-orang yang dikabarkan tidak akan terjadi kesalahan pada perkataannya. Sementara itu, tidak sah dikenali bahwa suatu perkataan adalah perkataan Allah atau perkataan utusan-Nya dan tidak sah pula benar orang-orang yang dikabari Rasulullah SAW tentang kebenarannya kecuali sesudah mengenal Allah Ta’ala. Karena mengetahui bahwa suatu perkataan merupakan perkataan Allah dan seorang rasul benar merupakan rasul Allah adalah furu’ dari mengetahui Allah SWT. Hal ini dikarenakan hal tersebut merupakan pengetahuan tentang kalam Allah dan pengutusan-Nya serta satu sifat dari sifat-Nya. Mustahil dikenal sifat ini sebagai sifat Allah oleh orang yang tidak mengenal Allah sebagaimana halnya mustahil mengenal suatu kalam dan seorang utusan merupakan kalam dan utusan si Zaid oleh orang yang tidak mengenal si Zaid. Karena itu, sesungguhnya wajib mengenal Allah dan kenabian utusannya adalah maklum pada akal sebelum mengetahui sah suatu sama’ (dalil naqli). (al-Baaqilaaniy, al-Taqriib wal Irsyad, I/228)

 

Kemudian al-Baaqilaaniy melanjutkan penjelasan pembagian kedua, beliau mengatakan,

وأما ما يعلم بالسمع من حيث لا مسرح للعقل فيه, فنحو العلم بكون فعل المكلف حسنًا وقبيحًا وحلالًا وحرامًا وطاعة وعصيانًا وقربة وواجبًا وندبًا, وعقدًا ماضيًا نافذًا وتمليكًا صحيحًا وكونه  أداء وقضاء ومجزئًا وغير مجزئ, وتحريم كل محرم من فعله على مراتبه

Adapun yang diketahui dengan sama’ (dalil naqli) di mana tidak ada peran petunjuk akal padanya, ini seperti mengetahui keadaan perbuatan mukallaf baik dan buruk, halal dan haram, taat dan maksiat, qurbah, wajib dan mandub, akad yang sudah berlangsung dan berlaku, tamliik yang shahih, keadaan suatu akad ada’ dan qadha, memadai dan tidak memadai, pengharaman setiap perbuatan yang haram sesuai martabatnya.

 

Dalam penjelasan pembagian ketiga, beliau mengatakan,

وأما ما يصح أن يعلم بالعقل تارة وبالسمع أخرى, فهو كل حكم وقضية عقل لا يخل الجهل بها بالعلم بالتوحيد والنبوة, نحو العلم بجواز رؤية الله تعالى بالأبصار وجواز الغفران للمذنبين, والعلم بصحة التعبد بالعمل بخبر الواحد والقياس في الأحكام, وأمثال ذلك مما إذا جهله المكلف صح مع جهله به أن يعرف الله تعالى ونبوة رسله صلى الله عليهم وسلم.

Adapun yang sah diketahui dengan akal dan pada kali  lain juga sah diketahui dengan sama’, ini setiap hukum dan norma akal di mana apabila tidak ada pengetahuan tentangnya tidak akan mencederai pengetahuan tentang tauhid dan kenabian. Ini seperti mengetahui memungkinkan melihat Allah Ta’ala dengan mata kepala, memungkinkan pemaafan orang yang berbuat dosa, mengetahui sah ta’abbud dengan beramal khabar ahad dan qiyas pada hukum dan lain-lain yang sama dengannya yaitu contoh-contoh di mana seorang mukallaf apabila tidak ada pengetahuan tentangnya masih dihukum sah mengenal Allah dan kenabian utusan-Nya SAW dengan keadaannya tanpa pengetahuan tersebut. (al-Baaqilaaniy, al-Taqriib wal Irsyad, I/231)

 

Penting menjadi catatan dalam pembagian ketiga ini, akal hanya dapat menetapkan sebatas jawaz (sesuatu yang sah ada dan tidak ada) saja. Adapun yang menentukan ada atau tidak ada pada kenyataannya hanyalah penetapan syara’. Zakariya al-Anshari menyebut contohnya, secara hukum akal, Allah boleh saja memberikan pahala kepada pelaku maksiat dan menyiksa pelaku taat. Karena mereka adalah milik Allah. Karena itu, Allah bebas memperlakukan mereka sekehendak-Nya. Akan tetapi perlakuan seperti ini tidak terjadi pada kenyataannya, karena syara’  (al-Qur’an dan hadits) sudah menerangkan adanya pengkhususan pahala bagi pelaku taat dan siksaan atas pelaku maksiat. Namun demikian, khusus masalah dosa pelaku maksiat, syara’ menerangkan Allah bisa jadi memaafkannya kecuali dosa syirik sebagaimana firman Allah Ta’ala berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Nisa’: 48)

 

Contoh yang dikemukakan Zakariya al-Anshari di atas terdapat dalam karya beliau, kitab Ghayatul Wushul berikut ini:

(وله) تعالى (إثابة العاصي وتعذيب المطيع وإيلام الدواب والأطفال) لأنهم ملكه يتصرف فيهم كيف يشاء لكن لا يقع منه ذلك لإخباره بإثابة المطيع وتعذيب العاصي كما مرّ ولم يرد إيلام الأخيرين في غير قود والأصل عدمه

Memungkinkan bagi Allah Ta’ala memberikan pahala bagi pelaku maksiat dan menyiksa atas pelaku taat, menyakiti hewan-hewan dan anak-anak. Karena mereka merupakan milik Allah dimana Allah bebas memperlakukannya bagaimana yang dikehendaki-Nya. Tetapi ini tidak terjadi pada kenyataan karena ada khabar  pemberian pahala bagi pelaku taat dan menyiksa atas pelaku maksiat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Tidak datang khabar terkait menyakiti dua yang akhir (menyakiti hewan dan anak-anak) selain dalam kasus qishas. Sedangkan yang menjadi asal adalah tidak ada.(Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul: 163)

Alhasil, sebagaimana penjelasan di atas, akal mempunyai peran yang sangat tinggi dalam bidang akidah. Karena dengan akal, kita memilih mana agama yang hak dan mana agama yang batil. Dengan perantaraan akal, kita memantapkan keyakinan akidah yang benar. Imam Ibnu al-‘Arabi (ulama besar dari kalangan mazhab Maliki, bukan Ibnu ‘Arabi ulama sufi pengarang kitab Futuhaat al-Makkiyah) sebagaimana dikutip oleh Imam al-Sanusi dalam kitab Umm al-Baraahin, mengatakan,

اعلموا علمكم الله ان هذا العلم المكلف به لا يحصل ضرورة ولا الهاما ولا يصح التقليد فيه ولا يجوز ان يكون الخبر طريقا اليه وانما الطريق اليه النظر

Ketahuilah -semoga Allah memberi ilmu kepada kalian semua- sesungguhnya ilmu ini (ilmu tauhid) yang dibebankan kepada mukallaf, tidak akan berhasil dengan dharuri dan tidak juga dengan cara ilham serta tidak sah taqlid padanya. Tidak boleh hanya khabar (al-Qur’an dan hadits) sebagai jalannya, sesungguhnya yang menjadi jalan kepadanya adalah nadhar (‘aqliyah).

 

Dalam mengomentari perkataan di atas, Al-Dusuqi menjelaskan bahwa al-Qur’an dan hadits tidak dapat menjadi jalan kepada ilmu tauhid, maksudnya selain pengetahuan tentang sifat sama’, bashar, kalam Allah Ta’ala dan lawazim-lawazimnya, yaitu sam’un, bashirun dan mutakallimun. Adapun sifat yang enam ini, pendaliliannya harus melalui al-Qur’an atau hadits. Dalam mempertahankan pendapat ini, Ibnu al-Arabi mengatakan,

ان من لم يعلم الله تعالى كيف يعلم ان الخبر خبره فثبت ان طريقه النظر

Sesungguhnya orang-orang yang belum mengenal Allah Ta’ala bagaimana mungkin mengetahui suatu khabar adalah khabar dari Allah Ta’ala. Karena itu, tetaplah bahwa jalan mengenal Allah adalah nadhar (‘aqliyah). (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahin: 58 dan 60)

 

Pendalilian seperti ini lebih jelasnya telah dikemukakan oleh al-Baaqilaaniy dalam kitab beliau, al-Taqriib wal Irsyad sebagaimana telah dikutip di atas.

Apakah mungkin dalil naqli bertentangan dengan dalil ‘aqli

Terkadang muncul di benak kita, bagaimana seandainya terjadi pertentangan antara dalil naqli dan dalil ‘aqli. Imam al-Ghazali memberikan jawaban, itu tidak memungkinkan terjadi, karena dalil ‘aqli mustahil mansukh atau didustakan. Selanjutnya beliau mengatakan,

فَإِنْ وَرَدَ دَلِيلٌ سَمْعِيٌّ عَلَى خِلَافِ الْعَقْلِ فَإِمَّا أَنْ لَا يَكُونَ مُتَوَاتِرًا فَيُعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ صَحِيحٍ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَوَاتِرًا، فَيَكُونَ مُؤَوَّلًا، وَلَا يَكُونَ مُتَعَارِضًا.وَأَمَّا نَصٌّ مُتَوَاتِرٌ لَا يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ، وَالتَّأْوِيلَ، وَهُوَ عَلَى خِلَافِ دَلِيلِ الْعَقْلِ فَذَلِكَ مُحَالٌ؛ لِأَنَّ دَلِيلَ الْعَقْلِ لَا يَقْبَلُ النَّسْخَ، وَالْبُطْلَانَ، مِثَالُ ذَلِكَ الْمُؤَوَّلُ فِي الْعَقْلِيَّاتِ قَوْله تَعَالَى خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ إذْ خَرَجَ بِدَلِيلِ الْعَقْلِ ذَاتُ الْقَدِيمِ وَصِفَاتُهُ، وَقَوْلُهُ: وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ دَلَّ الْعَقْلُ عَلَى عُمُومِهِ، وَلَا يُعَارِضُهُ قَوْله تَعَالَى قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ  إذْ مَعْنَاهُ مَا لَا يَعْلَمُ لَهُ أَصْلًا أَيْ: يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ، وَلَا يُعَارِضُهُ قَوْله تَعَالَى حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ إذْ مَعْنَاهُ أَنَّهُ يَعْلَمُ الْمُجَاهَدَةَ كَائِنَةً، وَحَاصِلَةً، وَفِي الْأَزَلِ لَا يُوصَفُ عِلْمُهُ بِتَعَلُّقِهِ بِحُصُولِ الْمُجَاهَدَةِ قَبْلَ حُصُولِهَا

Apabila datang dalil sam’i (dalil naqli) bertentangan dengan akal, adakalanya bukan mutawatir, maka dapat dipastikan yang tidak mutawatir tersebut adalah tidak shahih dan adakalanya bukan mutawatir, maka dalil sam’i tersebut harus ditakwil dan karena itu tidak akan terjadi pertentangan. Adapun nash mutawatir yang tidak ada kemungkinan salah dan takwil serta bertentangan dengan dalil akal, maka ini mustahil. Karena akal tidak memungkinkan nasakh dan dusta.

Imam al-Ghazali memberikan contoh yang ditakwil dalam bidang ‘aqliyah antara lain firman Allah Ta’ala:

خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

Allah pencipta setiap sesuatu (Q.S. al-An’am: 102)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah menciptakan semuanya, namun dalil akal mengecualikan  zat Allah yang qadim dan sifatnya. Karena secara akal tidak mungkin Allah menciptakan dirinya sendiri.

Contoh lain firman Allah Ta’ala:

وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-Baqarah: 29)

Akal memastikan ilmu Allah dalam ayat ini tetap berlaku keumumannya. Ilmu Allah meliputi semua yang ada serta yang tidak ada, meliputi juga yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi. Ini tidak bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:

قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ

Katakanlah kepada mereka "Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak pula di bumi? (Q.S. Yunus: 18)

 

Karena ayat 18 Surat Yunus ini bermakna sesuatu yang tidak diketahui ada asalnya dengan makna Allah Ta’ala mengetahui bahwa sesuatu tersebut tidak ada asal sama sekali. Alhasil, ayat ini tidak bermakna bahwa ada sesuatu yang tidak diketahui Allah Ta’ala, tapi justru ilmu Allah Ta’ala meliputi sesuatu yang tidak ada asalnya sama sekali. (al-Ghazali, al-Mustashfaa: 252)

Al-Tahsiin al-‘Aqli versus al-Tahsiin al-Syar’i

Pengertian al-tahsiin al-‘aqli adalah

هو كون أفعاله تعالى موقوفة على الأغراض وهي جلب المصالح ودرء المفاسد

Yaitu perbuatan Allah Ta’ala dikaidkan dengan suatu tujuan, yaitu meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan.(Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahin: 217).

 

Keyakinan bahwa perbuatan Allah Ta’ala bergantung pada meraih kemaslataan dan menghindari kemudharatan mengandung arti bahwa perbuatan Allah Ta’ala wajib menyesuaikan dengan maslahah (baik) dan menghindari mudharat (buruk). Berdasarkan ini, maka apa yang dianggap baik dan buruk dalam agama dapat dikenali akal, tanpa membutuhkan wahyu dan nabi yang menjelaskannya (menurut sebagian kaum filsafat) atau utusan Allah (nabi) hanya sekedar sebagai penguat saja (menurut Mu’tazilah). Alhasil menurut versi Muktazilah, akal bukan hanya bisa menentukan suatu perkara dikatakan baik atau buruk. Tetapi juga bisa melahirkan hukum taklifi baik berupa hukum wajib atau haram. Lebih ringkasnya, kata Muktazilah, jika suatu hal sudah baik menurut akal, maka otomatis hal tersebut berhukum wajib. Sebaliknya jika akal mengatakan kalau suatu tersebut buruk maka hukumnya haram dikerjakan. Berangkat dari pemahaman semacam ini mereka kemudian menetapkan konsep wujubus-shalah wal aslah (Allah wajib berbuat baik dan lebih baik). Menurut Muktazilah kehadiran nash syariat itu hanya untuk menyempurnakan dan mengkokohkan nalar akal. Jadi akal adalah supir, dan nash syariat adalah penumpang. Berbanding terbalik dengan paham Ahlusunah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa akal hanya sarana untuk memahami nash syariat.

Karena itu, Imam al-Sanusi salah seorang ulama besar dan menjadi rujukan dalam bidang aqidah Ahlussunah wal Jama’ah telah menempatkan al-tahsiin al-‘aqli ini sebagai salah satu sumber kekufuran dan bid’ah dalam aqidah. Beliau menjelaskan sebagian ahli filsafat menjadikan al-tahsiin al-‘aqli sebagai dasar mereka menafikan kenabian (nubuwah). Nabi  tidak diperlukan lagi muncul di dunia ini, karena kemaslahatan dan kebaikan serta kejahatan dapat dikenali dengan akal. Semua tindakan Allah Ta’ala bergantung kepada apa yang dipahami oleh akal sebagai kebaikan dan kejahatan. Artinya Allah Ta’ala tidak ada pilihan menurut iradah-Nya yang mutlaq. Al-tahsiin al-‘aqli ini juga telah dijadikan dasar oleh golongan Mu’tazilah, sehingga mereka berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala wajib melakukan sesuatu yang baik (al-shalah) dan yang lebih baik (al-ashlah). Namun golongan Mu’tazilah tidak sampai menafikan kenabian. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahin: 217-219).

Zakariya al-Anshari menjelaskan kepada kita:

 (وعندنا) أيها الأشاعرة (أن الحسن والقبح) لشيء (بمعنى ترتب) المدح و (الذم حالاً) والثواب (والعقاب مآلاً) كحسن الطاعة وقبح المعصية. (شرعيان) أي لا يحكم بهما إلا الشرع المبعوث به الرسل. أي لا يدرك إلا به ولا يؤخذ إلا منه

Menurut kita wahai kaum al-Asy’ariyah sesungguhnya baik dan buruk sesuatu, dengan makna mendapatkan predikat terpuji dan tercela pada masa sekarang (dunia) serta pahala dan siksaan untuk kemudian hari (akhirat) seperti baik ta’at dan buruk maksiat, semuanya adalah syar’i. Artinya tidak dihukum baik atau buruk kecuali oleh syara’ yang diutus Rasul dengannya. Maknanya tidak didapati dan tidak dapat dipahami suatu hukum kecuali melalui syara’. (Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul: 7)

Karena itu, tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini kecuali apa yang dipuji atau yang dicela syara’. Maka menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, sesuatu yang baik adalah apa saja yang dipuji oleh syara’ dan sesuatu yang buruk adalah apa saja yang dicela oleh syara’ sebagaimana dikemukakan Imam al-Syarqawi berikut ini:

فالحسن عندنا ما حسنه الشرع والقبح ما قبحه الشرع وان لم يعرف ان فيه مصلحة او مفسدة عند الله تعالى

Karena itu, menurut kita yang terpuji adalah apa yang dipuji syara’ dan yang tercela apa yang dicela syara’, meskipun padanya tidak diketahui ada maslahah atau mafsadah di sisi Allah Ta’ala. (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala Hudhudiy: 39)

 

Namun demikian, ini tidak berarti kita menafikan akal dalam memahami mana yang terpuji dan tercela di dunia ini sama sekali. Terpuji dengan makna bersesuaian dengan tabi’at manusia seperti manis adalah baik dan tercela dengan makna ditolak oleh tabiat seperti pahit adalah buruk, ini tetap dapat dipahami melalui akal. Dan juga terpuji dengan makna sifat sempurna seperti ilmu adalah sifat sempurna dan tercela dengan makna sifat kekurangan seperti bodoh adalah kekurangan, ini  juga dapat dipahami oleh akal. (Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul: 7)

Al-Baaqilaniy juga menegaskan hal yang sama, yakni:

وجميع أحكام الأمارات والعلل الشرعية شرعية ثابتة بالسمع دون قضية العقل لأن العقل لا يوجب حكماً من أحكام العبادات والعقود

Semua hukum dhahir dan ‘illah syari’yah adalah syar’i yang ditetapkan berdasarkan sama’ (naqli), tidak dengan hukum akal, karena akal tidak dapat mewajibkan sebuah hukum ibadah dan akad. (al-Baaqillani, al-Taqrib wa al-Irasyad: I/227)

 

Meskipun dalil ‘aqli cukup berperan dalam pendalilian dalam bidang akidah di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana tergambar di awal tulisan, namun dalam hal penetapan  taklif yang berdampak dosa dan pahala di hari akhirat kelak, termasuk kewajiban mengenal Allah Ta’ala tetap merujuk kepada penetapan syara’, yakni melalui wahyu atau penetapan Nabi SAW. Kesimpulan ini terlihat dari penjelasan tiga tokoh al-Asy’ariyah di atas. Kesimpulan ini juga pernah dikemukakan oleh tokoh Ahlussunah wal Jama’ah dari Timur Tengah masa kini, Dr Sa’id Fudah berikut ini:

فأهل السنة يستدلون على العقائد بالدليل العقلي ومرادهم بذالك اثبات حقيقتها ومطابقتها للواقع لا اثبات التكليف بها بالعقل فاثبات التكليف بها يكون بالشرع كما قلنا

Maka Ahlussunnah melakukan pendalilian terhadap aqaid dengan dalil ‘aqli. Maksud mereka yang demikian adalah menetapkan hakikatnya dan kecocokannya dengan yang sebenarnya, bukan menetapkan taklif dengan akal. Karena itu, penetapan taklif aqaid tetap harus dengan syara’ sebagaimana telah kami jelaskan.(Sa’id Fudah, Buhuts fi Ilmi al-Kalam: 31)

Bahkan dalam hal kewajiban mengenal Allah Ta’ala dimana akal pikiran lebih mudah dan gamblang menangkapnya, namun tetap merujuk kepada ketetapan syara’ sebagaimana dijelaskan dalam Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’ berikut ini:

ثُمَّ إنَّ هَذِهِ الْمَعْرِفَةَ وَاجِبَةٌ بِطَرِيقِ الشَّرْعِ فَقَوْلُهُ أَوَّلُ الْوَاجِبَاتِ أَيْ شَرْعًا وَنَقَلَ عَنْ الْمَاتُرِيدِيَّةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ بِالْعَقْلِ.

Kemudian, sesuangguhnya ma’rifah ini (mengenal Allah Ta’ala) wajib dengan jalan ketetapan syara’. Maka perkataan pengarang: awwal al-waajibaati, artinya menurut syara’. Dinaqal dari al-Maturudiyah, sesungguhnya mengenal Allah Ta’ala wajib dengan ketetapan akal. (Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’: II/514)

 

Namun demikian, khusus mengenai kewajiban mengenal Allah Ta’ala, golongan al-Maturidiyah (termasuk golongan Ahlusunnah wal Jamaah sebagaimana halnya golongan al-Asy’ariyah) berbeda pendapat dengan al-Asy’ariyah. Golongan al-Maturudiyah berpendapat kewajiban mengenal Allah Ta’ala dapat diketahui dengan akal, dengan makna seandainya syara’ tidak datang menjelaskannya, sungguh akal mampu memahaminya, karena lebih mudah dan lebih gamblang memahaminya, akan tetapi bukan karena berpedoman kepada keyakinan al-tahsiin al-‘aqli sebagaimana keyakinan Mu’tazilah.(Hasyiah al-Bajuri ‘ala Jauharah al-Tauhid: 71). Jadi menurut al-Maturidiyah yang menetapkan kewajiban mengenal Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala, akal hanya sebagai alat mengenali dan memahaminya. Ini berbeda dengan golongan Mu’tazilah yang berpendapat akal dapat menetapkan kewajibannya karena mendasarkan kepada keyakinan al-tahsiin al-‘aqli. Dalam Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’ dijelaskan:

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْلِ الْمُعْتَزِلَةِ أَنَّهُمْ يَجْعَلُونَ الْعَقْلَ مُوجِبًا وَعِنْدَ الْمَاتُرِيدِيَّةِ الْمُوجِبُ هُوَ اللَّهُ تَعَالَى وَالْعَقْلُ مُعَرِّفٌ لِإِيجَابِهِ وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمُعْتَزِلَةَ يَبْنُونَ كَلَامَهُمْ عَلَى التَّحْسِينِ وَالتَّقْبِيحِ الْعَقْلِيِّ فَيَجْعَلُونَ ذَاتَ الْعَقْلِ تَسْتَقِلُّ بِهِ الْأَحْكَامُ وَإِنَّمَا جَاءَ الشَّرْعُ مُذَكِّرًا وَمُقَوِّيًا لِلْعَقْلِ فَهُوَ تَابِعٌ لِلْعَقْلِ

Perbedaan antara pendapat al-Maturidiyah dan Mu’tazilah adalah sesungguhnya Mu’tazilah menjadikan akal yang menetapkan kewajiban mengenal Allah, sedangkan menurut al-Maturidiyah yang menetapkannya hanyalah Allah Ta’ala. Akal hanya memperkenalkan kewajibannya tersebut. Alhasil, sesungguhnya Mu’tazilah menjadikan dasar kalam mereka atas al-tahsiin dan al-taqbiih al-‘aqli. Karena itu, mereka menjadikan akal punya peran mandiri dalam menetapkan hukum, sedangkan syara’ hanya sebagai pengingat dan penguat akal. Maka syara’ adalah yang mengikuti akal. (Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’: II/514)

 

Dalam Hasyiah al-Bajuri ‘ala Kifayah al-‘Awam, Ibrahim al-Bajuri menegaskan:

وذهبت الماتريدية الى انها تثبت بالشرع الا وجوب معرفه تعالى فانه بالعقل لكن لا للتحسين العقلي كما تقول المعتزلة بل لوضوحه فهو مبين له كالرسول كما قاله النسفي في بحر الكلام

Al-Maturudiyah berpendapat semua hukum itu ditetapkan dengan syara’ kecuali kewajiban mengenal Allah Ta’ala. Sesungguhnya kewajiban mengenal Allah Ta’ala ditetapkan dengan akal, akan tetapi bukan karena al-tahsiin al-‘aqli sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi karena terangnya, maka akal menjelaskannya sebagaimana penjelasan seorang Rasul. Ini sebagaimana penjelasan al-Nasafi dalam kitab Bahr al-Kalam. (Hasyiah al-Bajuri ‘ala Kifayah al-‘Awam: 13)

 Wallahua’lam bisshawab