Pertanyaan dari T. masykur:
assalam alaikum,, guree neutulong
peujeulas tentang masaalah ma'quulat siploh
Jawab :
‘Alaikumussalam wr.wb.
Penulisan yang benar adalah maquulaat tanpa
huruf ‘ain, bukan ma’quulaat. Kemudian sebagaimana dimaklumi bahwa alam ini
terdiri dari dua katagori besar, yaitu jauhar dan ‘aradh. Jauhar
sering didevinisikan dengan sesuatu yang berdiri sendiri tidak membutuhkan
kepada selainnya seperti seorang manusia, sebaliknya ‘aradh ia
membutuhkan selain dirinya, karena ia tidak dapat berdiri sendiri secara
mandiri, karena ia merupakan sifat yang membutuhkan zat tempat berdiri dirinya.
Contoh ‘aradh adalah warna yang berdiri pada suatu benda, tentu kita
tidak dapat membayangkan ada suatu warna yang dapat berdiri sendiri tanpa
bersifat pada suatu benda. Karena itu warna termasuk ‘aradh. Nah, dari
dua katagori inilah munculnya pembagian-pembagiannya yang biasa disebut dengan
maquulaat sepuluh. Ahmad Zaini Dahlan (seorang ulama Makkah dari kalangan
Syafi’iyah mutaakhirin) mengatakan dalam kitab beliau, al-Risalah fi
al-Maquulaat sebagai berikut :
“Ketahuilah,
bahwa ulama mutakallimun membagikan maujud yang baharu kepada jauhar dan
‘aradh, kemudian ‘aradh tersebut dibagi kepada sembilan, yaitu kam, kaif, idhafah,
mataa, aina, wazha’, milk, fi’l dan infi’al. mereka menamakan yang sembilan ini
bersama-sama dengan jauhar sebagai maquulaat sepuluh.”[1]
Berdasarkan keterangan Ahmad Zaini Dahlan di
atas, maka maquulaat sepuluh itu adalah jauhar, kam, kaif, idhafah, mataa,
aina, wazha’, milk, fi’l dan infi’al.
Berikut ini beberapa pengertian maquulaat yang
dikemukakan oleh beberapa penulis, yakni sebagai berikut :
1. Pengertian
yang dikemukakan Ahmad bin Ahmad bin Muhammad al-Sajaa’i (beliau juga pengarang kitab
Hasyiah ‘ala Syarh Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Hisyam
al-Anshary bagi kitab muqaddimahnya yang bernama Qathrunnidaa, sebuah kitab
nahu yang menjadi kitab kurikulum sebagian dayah Aceh), yakni :
“Maquulaat merupakan jamak dari maquulah, menurut
istilah hukama bermakna jenis-jenis tertinggi yang maujud menurut menurut
mereka.”[2]
2.
Pengertian yang dikemukakan Ahmad Zaini Dahlan
dalam kitabnya, al-Risalah fi al-Maquulaat, yakni :
“Maquulaat jama’ dari maquul dengan makna al-mahmul (obyek dalam sebuah
qadhiyah). Karenanya, setiap yang menjadi al-mahmul kepada sesuatu, maka mestilah
salah satu dari maquulaat sepuluh ini, karena mereka telah menjadikan
maquulaat-maquulaat ini sebagai jenis tertinggi bagi maujud yang mungkin
wujud.”[3]
Pengertian yang dikemukakan oleh
penulis-penulis lainnya adalah makna yang bersifat kulliyaat (universal)
diungkapkan dengan suatu perkataan, baik bersifat ijab (positif) maupun salab
(negatif). Ada yang mendevinisikan makna yang bersifat kulliyat yang
memungkinkan menjadi al-mahmul (obyek dalam sebuah qadhiyah)
dalam sebuah qadhiyah (sebuah kalam yang sempurna). Devenisi lain
menyebutkan, maquulaat adalah pemahaman, makna dan konsep yang maujud dalam
pemikiran manusia.
Ahmad bin Ahmad bin Muhammad al-Sajaa’i telah menyebut sepuluh maquulaat dalam bentuk
nadham,[4]
sebagai berikut :
إنَّ المَقُولاَتِ
لَدَيْهِمْ تُحْصَــــــرُ في الْعَشْرِ وَهْيَ عَرَضٌ
وَجَوْهَــــرُ
فَأَوَّلٌ
لَهُ وُجُودٌ قامَــــــــا بِالْغَيْرِ
وَالثَّانِي بنفس دَامَــــا
مَا
يَقْبَلُ الْقِسْمَةَ بالذَّاتِ فَكَمّْ
وَالْكَيْفُ غَيْرُ قابِلٍ
بِهَا أرْتَسَمْ
أيْنٌ حُصُولُ الْجِسْمِ في المَكانِ مَتَى حُصُولٌ
خُصَّ بِالأزْمَــــــانِ
وَنِسْبَةٌ تَكَرَّرَتْ إضَافَـةْ نَحْوُ
أبُوَّةٍ إخا لَطَــــــــافَهْ
وَضْعٌ
عُرُوضُ هَيْئَةٍ بِنِسْبَــــةِ لِجُزْئِهِ وَخَارِجٍ فَــــــــأَثْبِتِ
وَهَيْئَةٌ بِمَا
أحَاطَ وَانْتَقَــــلْ مِلْكٌ كَثَوْبٍ أو إهَابٍ
اشْتَــــــمَلْ
أنْ
يَفْعَل التَّأْثِيرُ أنْ
يَنْفَعِــلاَ تَأثُّرٌ
مَا دَامَ كُلٌّ
كَمَلاَ
Sesungguhnya maquulat disisi ulama terbagi
kepada sepuluh, yaitu ‘aradh dan Jauhar.
Yang pertama bermakna sesuatu yang berwujud
dengan sebab yang lain. Sedangkan yang kedua tsubut (exist) dengan sendirinya.
‘Aradh yang menerima pembagian dengan i’tibar
zatnya disebut dengan “kam”, sedangkan “al-kaif”didevinisikan dengan yang tidak
menerima pembagian dengan i’tibar zatnya
“Aina”keberadaan jisim dalam tempat, “Mataa” keberadaan
yang khusus kepada zaman.
Nisbah yang berulang-ulang adalah idhafah
seperti abuwwah (keayahan), persaudaraan dan kecil.
Wazha’ adalah sifat yang datang dengan i’tibar
bagian-bagiannya dan yang di luar darinya, maka tetapkanlah.
Keadaan dengan sesuatu yang meliputinya dan
dapat berpindah-pindah adalah milik, seperti pakaian atau kulit
Sedangkan fi’l adalah memberi bekas (ta’tsir)
dan adapun infi’al menerima ta’tsir selama kekal keduanya itu. Sempurnakanlah !
Berdasarkan bacaan
penjelasan terhadap nadham di atas, terutama kitab al-Sajaa’i, al-Jawahir al-Muntadhimaati fi ‘Uqud
al-Maquulaat dan penjelasan tentang maquulaat sepuluh oleh Ahmad Zaini Dahlan
dalam al-Risalah fi al-Maquulaat, Ahmad Zaini Dahlan dalam kitabnya Majmu’ah
Khams Rasail (Hal. 22-28) dan bacaan lainnya, maka penjelasaan terhadap nadham
di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
“Yang
pertama bermakna sesuatu yang berwujud dengan sebab yang lain.”
Yang dimaksudkan “yang pertama” adalah ‘aradh
yakni sesuatu yang tidak dapat maujud secara mandiri (istiqlal), karena
kemaujudannya memerlukan zat lain seperti warna yang berdiri pada suatu benda,
tentu kita tidak dapat membayangkan ada suatu warna yang dapat berdiri sendiri
tanpa bersifat pada suatu benda
2. “Sedangkan yang kedua tsubut (exist) dengan
sendirinya.”
Yang dimaksudkan “yang kedua” adalah
jauhar, yakni sesuatu yang mumkinaat yang kemaujudannya wujud dengan sendirinya
tanpa memerlukan sesuatu yang lain, jadi berbeda dengan ‘aradh. contohnya
manusia dan jisim lainnya.
3. ‘Aradh yang menerima pembagian dengan i’tibar
zatnya disebut dengan “kam”,
Jadi kam berbeda dengan al-kaif, dimana al-kaif
juga menerima pembagian, tetapi bukan dengan zatnya, tetapi dengan perantaraan selainnya.
Contoh kam adalah bilangan. Kam ini sebagaimana sering dijelaskan dalam kajian
sifat dua puluh ada dua pembagian, yakni kam al-muttashil dan kam
al-munfashil. Kam al-muttashil misalnya berbilang-berbilang juzu’
tubuh manusia, seperti tangan, mata dan lain-lain. Sedangkan kam
al-munfashil berbilang-bilang manusia, artinya manusia terdiri dari jumlah
yang banyak.
4.
“sedangkan “al-kaif”didevinisikan dengan yang
tidak menerima pembagian dengan i’tibar zatnya”
Maksudnya, dengan i’tibar zatnya, al-kaif tidak
dapat dibagi, meskipun dapat dibagi apabila ditinjau dari sisi lainnya.
Misalnya ilmu berdasarkan pendapat yang mengatakan ilmu bermakna sebuah shurah
(yang dapat digambarkan) yang berada dalam jiwa,[5]
maka zat ilmu ini tidak dapat dibagi-bagi, kecuali i’tibar obyek ilmu (muta’allaq-nya).
Jadi ilmu tentang berdiri Umar berbeda dengan ilmu tentang berdiri Zaid hanya berdasarkan
tinjauan berdiri pada umar bukan ‘ain berdiri pada Zaid, sedangkan diri ilmu tetap
satu, berbedanya hanya muta’allaq ilmu. Berdasarkan pengertian ilmu ini,
maka ilmu termasuk maquulaat al-kaif. Dalam kitabmya, Majmu’
Khamsin Rasail, Ahmad Zaini Dahlan menjelaskan kepada bahwa al-kaif merupakan suatu shurah yang berada
dalam jiwa.[6]
5.
“Aina” keberadaan jisim dalam tempat”
Misalnya keadaan si Zaid atas tempat duduknya
atau dalam rumah. Ini disebut maquulaat aina, karena ia jatuh pada jawab
aina (dimanakah)
6.
“Mataa” keberadaan yang khusus kepada zaman.”
Misalnya keadaan puasa terjadi pada siang hari.
Disebut sebagai maquulat mataa, karena jatuh pada jawab mataa (kapankah)
7.
“Nisbah yang berulang-ulang adalah idhafah
seperti abuwwah (keayahan), persaudaraan dan kecil.”
Yang dimaksud dengan nisbah di sini adalah yang
tidak dapat digambarkan kecuali dengan membandingkan dengan yang lain. Maksud
berulang-berulang adalah nisbah pertama tidak dapat digambarkan kecuali dengan
nisbah yang lain, demikian juga nisbah yang lain tersebut tidak dapat
digambarkan kecuali dengan nisbah pertama. Misalnya sifat keayahan yang tidak
tidak digambarkan kecuali membandingkan dengan anak, demikian juga ke-anak-an
tidak dapat digambarkan kecuali dengan membandingkan dengan ayah. Demikian juga
persaudaraan dan kecil sama dengan sifat keayahan.
8.
“Wazha’ adalah sifat yang datang dengan i’tibar
bagian-bagiannya dan yang di luar darinya, maka tetapkanlah.”
Misalnya duduk, maka duduk disebut sebagai
maquulaat wazha’ karena ia merupakan sifat makhluq dengan i’tibar bagian
makhluq, yakni pinggulnya (bersimpuh dengan menggunakan pinggul) dan dengan
i’tibar yang diluar dirinya, yakni sebagian dari bumi (tempat duduk)
9.
“Keadaan dengan sesuatu yang meliputinya dan
dapat berpindah-pindah adalah milik, seperti baju atau kulit”
Ada dua kriteria ‘aradh sesuatu disebut
maquulaat milik, pertama a’radh itu meliputinya dan yang kedua ‘aradh itu berpindah
dengan sebab berpindahnya, misalnya baju atau kulit. Baju disebut maquulaat
milik apabila dipakainya dan tentunya baju tersebut bisa berpindah dengan sebab
berpindah pemakainya. Ini berbeda apabila baju tersebut diletakkan atas
kepalanya, maka tidak disebut maquulaat milik, karena tidak meliputi badan
pemakainya. Demikian juga apabila seseorang berada dalam tenda, meskipun
meliputi seluruh tubuhnya, tetapi tenda tidak berpindah dengan sebab berpindah
orang berada dalam tenda. Karena itu, tenda bukan maquulaat milik. Perlu
dicatat bahwa baju disebut maquulaat milik adalah i’tibar keadaannya meliputi
tubuh seseorang, adapun baju dengan i’tibar zatnya, maka baju itu bukanlah
‘aradh, maka ia bukan maquulat milik, karena maquulaat milik termasuk dalam
pembagian ‘aradh. Baju dengan i’tibar zatnya termasuk jauhar.
10. “Sedangkan fi’l adalah memberi bekas (ta’tsir)
dan adapun infi’al menerima ta’tsir selama kekal keduanya itu. Sempurnakanlah
!”
Contoh fi’l adalah sifat memanaskan yang ada pada api yang memberi bekas
kepada air. Sedangkan keadaan air yang menerima panas disebut maquulaat
infi’al.
[2] Al-Sajaa’i, al-Jawahir
al-Muntadhimaati fi ‘Uqud al-Maquulaat, (nadham beserta syarahmya),
Hal. 1
[4] Al-Sajaa’i, al-Jawahir
al-Muntadhimaati fi ‘Uqud al-Maquulaat, (nadham beserta syarahmya), Hal.
1-18
[5] Ahmad Zaini Dahlan, Majmu’
Khamsin Rasail, Penerbit : al-Haramain, Hal, 23
[6] Ahmad Zaini Dahlan, Majmu’
Khamsin Rasail, Penerbit : al-Haramain, Hal, 22
Assalamu'alaikum ABI PU YANG DI MAKSUDKAN NGAN pasal kalam nafsi kalam masdari kalam nafsani Dan yg lagi satu?
BalasHapusLon pening ule ku.
Neu tolng jwab Abi.Moga Abi sht selalu dlm lindungan Allah s.w.t
MUNGKIN LINK INI DPT MEMBANTU : http://munawwarah.blogdrive.com/archive/120.html
HapusKALAM ISMI DALAM TULISAN TERSEBUT SAMA DGN MAKNA KALAM NAFSI YG SDR TANYA
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusassalamulaikum ustadz.
BalasHapusmaaf,
izinkan saya bertanya soalannya : apakah arodh itu wujudi atau amrun 'itibari atau selainya?
terima kasih
sesuai dgn devinisi aradh seperti dlm nadham dan kutipan lain di atas menunjukan aradh adalah wujudi.
Hapuswassalam
Aby, kenapa maqulat tidak dimasukkan dalam pembahasan ilmu mantiq dalam kitab sulam munawraq oleh abdurrahman al ahdhary ?
BalasHapusmungkin karena maqulat terdapat pada kitab tengah²nya(syarah)
HapusAssalamualaikum..Abi mohon penjelasan yang detail ya tentang maquulaat asyarohnya.. Syukron
BalasHapusbutuh kita terapkan dengan logika yg berlaku,maka sering² tafakkur
HapusAbi, izin nuqil, semoga manfaat dan barokah, amin
BalasHapusending sahrudin pandeglang