Rabu, 15 Oktober 2025

Dosa kecil sering menjadi dosa besar dengan sebab keangkuhan kita

 

Jumhur  ulama menjelaskan adanya pembagian dosa menjadi dosa besar (al-kabaa-ir) dan dosa kecil (ash-shaghaa-ir). Sekelompok ulama mengingkari adanya dosa kecil ini. Diantara mereka adalah Abu Isha al-Isfarayiiniy, Abu Bakar al-Baqilaniy, Imam al-Haramain dalam al-Irsyad dan Ibnu al-Qusyairiy dalam al-Mursyiid. Bahkan Ibnu Furak telah menghikayah pendapat tersebut dari kelompok Asy’ariyah. Namun Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, terjadi perbedaan ulama tersebut hanyalah dalam penamaan dan penyebutannya saja. Karena semua sepakat bahwa sebagian maksiat ada yang mencederai ‘adalah dan sebagian yang lain tidak mencederainya. Para ulama terdahulu lebih menyukai tidak menamai maksiat kepada Allah sebagai dosa kecil. Karena memandang kepada kebesaran Allah Ta’ala dan dasyat siksaan-NYa serta sebagai ungkapan menyanjung keperkasaan Allah Ta’ala sehingga tidak layak maksiat kepada Allah dinamai sebagai dosa kecil. Namun banyak dalil syara’ yang sharih yang tidak dapat terbantahkan bahwa maksiat atau dosa kepada Allah memang terbagi kepada dosa besar dan dosa kecil. Ibnu Hajar al-Haitamy telah menyebut beberapa ayat al-Qur’an dan hadits sebagai dalil pembagian dosa menjadi dosa besar dan dosa kecil, yaitu antara lain:

1.  Firman Allah Ta’ala berbunyi:

وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَۗ

Allah menjadikanmu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.(Q.S. al-Hujurat: 7)

 

Dalam ayat ini, Allah membagikan kemungkaran kepada Allah dalam tiga martabat, yaitu kufur, kefasikan dan maksiat. Di sini, Allah menamai sebagian dosa sebagai kefasikan, tidak pada sebagian yang lain.

2.    Firman Allah Ta’ala berbunyi:

 

اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ

(Mereka adalah) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali dosa-dosa kecil. (Q.S. al-Najm: 32)

 

3.    Sabda Nabi SAW:

‌الكبائر سبع

Dosa besar ada tujuh macam (H.R. Abu Daud dan al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, isnadnya  shahih

 

4.    Sabda Nabi SAW berbunyi:

الصلوات الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat lima waktu dan shalat Jum'at ke Jum'at berikutnya, dan Ramadlan ke Ramadlan berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya apabila dia menjauhi dosa besar (H.R. Muslim)

(Lihat: al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir, karya Ibnu Hajar al-Haitami: I/7-8)


Devinisi dosa besar dan dosa kecil

Zainuddin al-Malibariy menyebut beberapa contoh dosa besar dalam kitabnya, yaitu membunuh, berzina, menuduh orang berzina tanpa saksi, makan riba, makan harta anak yatim, sumpah dusta, kesaksian dusta, mengurangi sukatan atau timbangan, memutus silaturrahim, lari dari barisan berkecamuk perang, durhaka kepada orangtua, merampas dalam ukuran seperempat dinar, meninggalkan shalat yang wajib, menunda membayar zakat secara sengaja, namimah dan lain-lain. Selanjutnya, beliau membuat kriteria dosa besar secara umum, yaitu:

كل جريمة تؤذن بقلة اكتراث مرتكبها بالدين ورقة الديانة

Setiap maksiat yang dapat menggambarkan pelakunya sedikit kepedulian kepada agama dan lemah imannya. (Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibariy dan Hasyiahnya, I’anah al-Thalibin, Juz. IV, Hal. 279-280)

 

Kriteria umum lain yang dapat membantu kita mencari tahu yang mana dosa besar adalah pengertian yang telah disebut oleh Ibnu al-Shalah dan diterima oleh Jalal al-Bulqainiy, yaitu:

الكبيرة كل ذنب عظم عظما يصح معه أن يطلق عليه اسم الكبيرة، ويوصف بكونه عظيما على الاطلاق، ولها أمارات منها إيجاب الحد، ومنها الايعاد عليه بالعذاب بالنار، ونحوها في الكتاب أو السنة، ومنها وصف فاعلها بالفسق، ومنها اللعن

Dosa besar adalah setiap dosa yang besar yang sah dinamai atasnya dengan nama dosa besar dan disifati keadaaanya besar secara mutlak. Tanda-tandanya antara lain mewajibkan hudud, ancaman dengan azab api neraka dan semisalnya dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Tanda dosa besar yang lain disifati pelakunya dengan fasiq. Termasuk tandanya juga dilaknat. (I’anah al-Thalibin, karya Abu Bakar Syatha:IV/280)

 

Al-Baariziy dalam tafsir beliau, al-Tahqiq mengatakan,

أن الكبيرة كل ذنب قرن به وعيد أو لعن بنص كتاب أو سنة، أو علم أن مفسدته كمفسدة ما قرن به وعيد أو حد أو لعن، أو أكثر من مفسدته أو أشعر بتهاون مرتكبه في دينه.

Sesungguhnya dosa besar adalah setiap dosa yang disertai ancaman atau laknat berdasarkan nash al-Kitab dan al-Sunnah atau diketahui berdasarkan mafsadahnya sama seperti mafsadah dosa yang disertai ancaman, hudud atau laknat ataupun bahkan lebih banyak mafsadahnya. Atau diketahui dengan sebab dapat menggambarkan pelakunya menganggap remeh agamanya. (I’anah al-Thalibin, karya Abu Bakar Syatha:IV/280)

 

Devinisi dan kriteria umum dosa besar di atas harus diakui masih samar-samar dan belum tuntas untuk menentukan yang mana saja yang menjadi dosa besar dan yang mana saja yang menjadi dosa kecil. Karena itu, tidak heran Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan,

واعلم أن كل ما سبق من الحدود إنما قصدوا به التقريب فقط، وإلا فهي ليست بحدود جامعة

Dan ketahuilah, sesungguhnya semua devinisi sebelumnya hanya dimaksudkan untuk mendekatkan saja. Jika tidak, devinisi-devinisi tersebut tidak ada jaami’nya. (Al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir, karya Ibnu Hajar al-Haitami: I/13)

 

Karena itu, untuk menentukan mana dosa besar dan mana dosa kecil, sebaiknya menelusurinya secara satu persatu dari berbagai kitab karya ulama. Di antara ulama yang menulis secara khusus dan detil terkait dosa besar adalah Ibnu Hajar al-Haitamiy. Beliau telah menyebut dalam kitab al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir sebanyak empat ratus enam puluh tujuh jenis dosa besar secara detil beserta dalil-dalilnya.

Dari devinisi dan penjelasan umum di atas, kita juga dapat memahami gambaran umum dan pengertian dari dosa kecil. Apabila kita merujuk kepada devinisi yang dikemukakan oleh al-Baariziy di atas, maka devinisi dosa kecil adalah setiap dosa yang tidak disertai ancaman atau laknat dalam al-Kitab dan al-Sunnah atau mafsadahnya tidak menyamai perbuatan yang disertai ancaman dan laknat ataupun perbuatan dosa tersebut tidak menggambarkan pelakunya meremehkan agamanya.


Dosa kecil dapat menjadi dosa besar

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut jumhur ulama dosa itu terbagi menjadi dua yaitu dosa besar dan dosa kecil. Namun perlu diketahui bahwa dosa kecil sebenarnya bisa menjadi besar, jika dilakukan karena sebab-sebab tertentu sebagaimana dikemukakan Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin berikut ini:

Pertama: Dosa kecil tersebut sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan terus menerus. Terdapat sebuah ungkapan berbunyi:

لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ ولاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ

Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar.

 

Karena itu, satu dosa besar yang tidak didahului sebelumnya dengan dosa dosa lainnya akan lebih memungkinkan diampuni dibandingkan dosa dosa kecil yang terus menerus dilakukan seseorang. Ini bagaikan tetesan-tetesan air yang berjatuhan terus menerus di atas batu, maka pasti batu tersebut akan berdampak bekasnya. Berbeda halnya seandai kumpulan air tersebut jatuh sekaligus atas batu, maka tentu tidak akan membekas apapun. Nabi SAW bersabda:

خير الأعمال أدومها وإن قل

Sebaik-baik amal adalah yang dilakukan terus menerus meskipun sedikit.(Muttafaqun ‘alaihi)

 

Jika amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terus menerus meskipun sedikit, maka demikian juga sedikit kejahatan yang dilakukan terus menerus akan besar pengaruhnya dalam menjadikan hati dalam kegelapan.


Kedua: Dosa bisa dianggap besar di sisi Allah jika seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut. Oleh karenanya, jika seorang hamba menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan kecil di sisi Allah, sebaliknya apabila dianggap kecil dan remeh, maka dosa itu akan menjadi besar di sisi Allah. Dari sinilah jika seseorang mengganggap besar suatu dosa, maka ia akan segera lari dari dosa dan betul-betul membencinya.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كالجَبَلٍ فوقه يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَالْمنافق يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فأطاره

Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan sebuah gunung  di atasnya dan khawatir gunung tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang munafiq, ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya, maka dengan mudah mengusirnya. (H.R. Bukhari)

 

Ketiga: Senang melakukan dosa kecil, gembira dan merasa bangga melakukannya. Juga menganggap kemampuan melaksanakannya merupakan kenikmatan dan tidak menyadari bahwa dosa itu sebab celaka atas dirinya.


Keempat: Meremehkan menutupi Allah atas kejelekannya dan meremehkan kemurahan-Nya kepadanya serta penangguhan siksa-Nya kepadanya. Ia tidak menyadari penangguhan siksaan dari-Nya agar ia semakin bertambah dosanya dengan sebab penangguhan itu. Allah Ta’ala berfirman:

ويقولون في أنفسهم لولا يعذبنا الله بما نقول حسبهم جهنم يصلونها فبئس المصير

Mereka mengatakan dalam hati, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan?” Cukuplah bagi mereka (neraka) Jahanam yang akan mereka masuki. Maka, (neraka itu) seburuk-buruk tempat kembali.(Q.S. al-Mujadilah: 8)

 

Kelima: Memamerkan suatu dosa. Melakukannya secara terang-terangan sambil menceritakan kepada orang lain dengan sikap pamer setelah melakukannya atau melakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak. Ini termasuk tindakan aniaya terhadap diri sendiri karena membuka aib sendiri yang ditutupi Allah Ta’ala serta dapat menggerakkan orang lain berbuat dosa yang sama dengan sebab menyaksikan perbuatan dosa tersebut. Nabi SAW bersabda:

كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup. (Muttafaquun ‘alaihi)

 

Keenam: Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain. Karena kedudukannya dihati orang awam, dosa orang alim ini akan hidup terus mengitari kehidupan manusia. Dosa orang alim tidak mengikuti kematiannya, akan tetapi berterbangan di alam fana ini dalam waktu yang lama. Berbahagialah orang apabila meninggal dunia, maka dosa-dosanya itu ikut meninggalkan dunia bersamanya. Nabi SAW bersabda,

مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يُنْقِصُ من أوزارهم شيئاً

Barangsiapa melakukan suatu amalan jahat, maka akan dicatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (H.R. Muslim)

 

Allah Ta’ala berfirman:

ونكتب ما قدموا وآثارهم

Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.(Q.S. Yasiin: 12)

 

Bekas-bekas itu adalah amalan-amalan yang menyusul setelah melakukan sebuah amalan. Amalan seperti ini kerap ada pada amalan seorang alim yang menjadi panutan manusia.

(Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazaliy: IV/32-33)

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar