Selasa, 30 Juli 2013

Bolehkah shalat sunat lagi setelah witir ?


Pertanyaan di atas sering sekali muncul dari umat Islam, mengingat shalat witir dianggap sebagai shalat penutup shalat sunnat malam sebagaimana hadis dari Abdullah bin Umar r.a, Nabi SAW bersabda :
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاتِكُم بِاللَّيْلِ وِتْرًا
Artinya : Akhirilah shalat kalian pada malam hari dengan shalat witir. (Muttafaqun ‘alaihi)[1]

Perintah menutup shalat malam dengan witir ini hukumnya adalah sunnat, artinya apabila seseorang masih melakukan shalat malam seperti tahajjud sesudah witir, maka shalat tahajjud tersebut sah adanya dan tetap mendapat fadhilah tahajjud. Hal ini karena Rasulullah SAW sendiri pernah melakukan shalat dua raka’at setelah shalat witir sebagaimana riwayat Muslim dari Aisyah, beliau berkata :
ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّ التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ، ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ،
Artinya : Kemudian Rasulullah SAW bangun untuk melaksanakan rakaat kesembilan, hingga beliau duduk tasyahud, beliau memuji Allah dan berdoa. Lalu beliau salam agak keras, hingga kami mendengarnya. Kemudian sesudah itu, beliau shalat dua rakaat sambil duduk (H.R. Muslim)[2]

Dalam mengomentari hadits ini, Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab mengatakan bahwa hadits ini merupakan bayan al-jawaz (menjelaskan kebolehan) melakukan shalat dua raka’at sesudah witir, bukan menunjukkan sebagai amalan utama mengingat banyak sekali perintah dari hadits menutup shalat malam dengan witir.[3]  Pada halaman lain, Imam al-Nawawi mengatakan :
إذَا أَوْتَرَ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ ثُمَّ قَامَ وَتَهَجَّدَ لَمْ يُنْقَضْ الْوِتْرُ عَلَى الصَّحِيحِ الْمَشْهُورِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ بَلْ يَتَهَجَّدُ بِمَا تَيَسَّرَ لَهُ شَفْعًا
Artinya : Apabila seseorang witir sebelum tidur, kemudian bangun melakukan shalat tahajjud, maka tidak digugurkan witir* berdasarkan pendapat shahih yang masyhur. Dengannya, Jumhur meng-qatha’-nya. Bahkan hendaknya bertahajjud dengan raka’at genap yang mudah baginya.[4]

Satu halaman berselang setelahnya, beliau mengatakan :
إذَا أَوْتَرَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ نَافِلَةً أَمْ غَيْرَهَا فِي اللَّيْلِ جَازَ بِلَا كَرَاهَةٍ وَلَا يُعِيدُ الْوِتْرَ كَمَا سَبَقَ
Artinya : Apabila seseorang sudah melakukan witir, kemudian merencanakan shalat sunnat nafilah atau lainnya pada malam, maka boleh tanpa makruh dan tidak diulangi lagi witirnya sebagaimana penjelasan sebelumnya.[5]

Imam al-Ramli mengatakan :
ولا يكره التهجد بعد الوتر لكن ينبغي ان يؤخره عنه قليلا
Artinya : Tidak makruh tahajjud sesudah witir, tetapi hendaknya ditakhirkan dari witir sedikit.[6]


Kesimpulan :
Apabila seseorang sudah melakukan witir, kemudian merencanakan shalat sunnat nafilah atau lainnya pada malam, maka boleh tanpa makruh dan tidak diulangi lagi witirnya sebagaimana penjelasan sebelumnya. Bahkan seandai seseorang mengulangi witirnya, maka shalat witir tersebut tidak sah berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :
لا وتران في ليلة
Artinya : Tidak ada dua witir dalam semalam (H.R. Abu Daud, Turmidzi dan al-Nisa-i. Turmidzi mengatakan, hadits hasan)[7]


* Yang dimaksud dengan menggugurkan witir adalah melakukan shalat satu raka’at sesudah tidur untuk menggenapkan witir yang sudah dilakukan sebelum tidur, kemudian baru melakukan shalat tahajjud, lalu melakukan witir kembali.[8]



[1] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 323-324,  No. Hadits : 24
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 513, No. Hadits : 746
[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Minhaj, Jeddah, Juz. III, Hal. 511-512
[4] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Minhaj, Jeddah, Juz. III, Hal. 509
[5] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Minhaj, Jeddah, Juz. III, Hal. 511
[6] Al-Bujairumy, al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 60
[7] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Minhaj, Jeddah, Juz. III, Hal. 509
[8] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Dar al-Minhaj, Jeddah, Juz. III, Hal. 509

Sabtu, 27 Juli 2013

Membaca Shamadiyah dan Kenduri pada Rumah Kematian, oleh Tgk Alizar Usman (bag.2 dari dua bagian makalah)


A.    Kenduri pada rumah kematian
Sebagaimana telah dijelaskan pada pendahuluan tulisan ini, di Indonesia dan Aceh khususnya ada tradisi menjamu para tamu dengan hidangan makanan setelah para tamu tersebut membaca shamadiyah di rumah kematian, bahkan ada juga penjamuan tersebut tanpa ada acara pembacaan shamadiyah sama sekali. Biasanya penjamuan ini dengan maksud sadaqah dari ahli rumah dengan menghadiahkan pahalanya kepada anggota keluarganya yang sudah meninggal. Amalan yang dilakukan ini merupakan amalan yang baik dilakukan kaum muslimin, mengingat ini termasuk amalan sadaqah yang pahalanya dapat bermanfat bagi mayat apabila diqashad pahalanya kepada mayat. Dalam bab “Amalan-amalan yang bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal” sebelum ini sudah dijelaskan telah terjadi ijmak ulama bahwa pahala sadaqah sampai kepada mayat dan beberapa hadits yang telah kami sebutkan juga mendukung ijmak tersebut. Adapun keutamaan sadaqah dengan memberi makanan secara khusus dapat disimak dalam hadits-hadits berikut ini :
1.        Sabda Nabi SAW berbunyi :
اعبدوا الرحمن وأطعيموا الطعام وافشوا السلام تدخلوا الجنة بسلام
Artinya : Beribadahlah kepada Tuhan yang bersifat Ar-Rahman, sadaqahkanlah makanan dan berikanlah salam, maka kamu ahan masuk syurga dengan selamat. (H.R. Turmidzi dan Ibnu Majah) [1]

2.        Sabda Nabi SAW berbunyi :
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ.
Artinya : Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.(HR Ahmad)[2]

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَسكت .
Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam. (H.R. Muslim)[3]

B.     Bantahan terhadap beberapa syubhat tentang hukum kenduri  pada rumah kematian
Syubhat Pertama :
Kelompok anti shamadiyah dan makan bersama pada rumah kematian mengatakan, kenduri pada rumah kematian merupakan perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW dan para Salafusshalih. Karena itu, menurut mereka perbuatan ini merupakan perbuatan mungkar yang harus dijauhi oleh umat Islam. Selanjutnya mereka mengatakan, yang ada perintah dari syara’ justru supaya para kerabat dan para tetangga untuk memberikan makanan kepada ahli musibah kematian sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi :
اصنعوا لآل جَعْفَر طَعَام؛ فقد جَاءَهُم أَمر يشغلهم
Artinya : Buatlah makanan bagi keluarga Ja’far, karena mereka sudah datang kesibukan yang menyibukan mereka (Hadits shahih riwayat Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, Turmidzi, Ibnu Majah dan Darulquthni)[4]

Bantahan :
Dakwaan mereka bahwa kenduri pada rumah kematian tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan Shalafulshalih adalah tidak benar. Argumentasi kita adalah sebagai berikut :
a.    Hadits di bawah ini menjelaskan kepada kita secara gamblang bahwa Rasulullah pernah disediakan makanan oleh isteri orang yang baru saja meninggal. Rasulullah dan para sahabat menerima dan memakannya. Namun kemudian tiba-tiba Rasulullah mengeluarkan dari mulut beliau, karena beliau tahu bahwa makanan tersebut berasal dari akad jual beli yang haram. Hadits tersebut adalah :
وعن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله  صلى الله عليه وسلم  في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم  وهو على القبر يوصي الحافرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه. فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظرنا الى رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يلوك لقمة في فيه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها. فأرسلت المرأة تقول يا رسول الله إني أرسلت إلى النقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشتري لي شاة فلم توجد فأرسلت إلى جارٍ لي قد اشترى شاة أن يرسل إليّ بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها. فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  أطعمي هذا الطعام الأسرى.
Artinya : Dari “Ashim bin Kulaib bin dari ayahnya dari salah seorang Ansar, beliau berkata : Kami pergi dengan Rasul Allah SAW pada suatu pemakaman dan aku melihat Rasulullah SAW di makam itu sedang memberi instruksi kepada penggali kuburan : Buatlah lebar di sisi kakinya dan juga di sisi kepalanya”. Ketika beliau kembali, beliau dihadap oleh orang yang menyampaikan sebuah undangan dari seorang wanita. Rasulullahpun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya. Kami disuguhi makanan, maka Rasulullah SAW meletakkan tangannya (yaitu mengambil sepotong di tangannya) dan orang-orangpun mengikuti beliau memakannya. Kami melihat bahwa Rasulullah SAW mengeluarkan suapan yang ada dalam mulutnya.  Rasulullah kemudian berkata: “Saya  menemukan daging domba yang telah diambil tanpa izin pemiliknya. Wanita itu mengirim pesan dengan mengatakan: Ya Rasulullah, aku mengirim (seseorang) ke-Naqi' yaitu tempat jual beli ternak, untuk beli kambing untukku, tapi tak ada, jadi saya mengirim (pesan) untuk tetangga saya yang telah membeli domba , memintanya untuk mengirimkannya untuk saya dengan harganya (yang telah dia bayar), tetapi juga tidak dapat ditemukannya. Oleh karena itu, aku kirim (pesan) kepada istrinya dan ia mengirimkannya untukku. Lalu Rasulullah SAW berkata: “Berikan makanan ini untuk para tahanan”. (H.R. Baihaqi dan Abu Daud, dan Abu Daud berkata :  “Hadits tersebut adalah  shahih”)  [5]

Dalam Sunan Abu Daud, imratihi disebut dengan kata : “imraatin” dengan nakirah. Abady Abu Thaib, dalam mengomentari masalah ini, beliau mengatakan dalam Syarah Sunan Abu Daud, ‘Aun al-Ma’bud :
 Hanya demikianlah naskah yang ada.  Sedangkan dalam Kitab al-Misykah dengan kata : “da’i imratihi” dengan idhafah kepada dhamir. Al-Qary berkata : “Maksudnya :  isteri orang yang telah meninggal.”[6]
  
Penjelasan seperti ini juga telah dijelaskan oleh Syaikh Ismail Usman Zain al-Yamany al-Makky dalam Kitab beliau, Raf’u al-Isykal wa Ibthal al-Mughalaat.[7]  Berdasarkan hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa kenduri dirumah kematian, tidak benar dikatakan sebagai amalan bid’ah, bahkan hal itu merupakan sunnah yang pernah dilakukan sendiri oleh Nabi SAW.
b.    Imam al-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawa menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal dalam kitabnya, al-Zuhd mengatakan, telah menghadits kepada kami oleh Hasyim bin al-Qasim,  beliau berkata : telah menghadits kepada kami oleh al-Asyja’i, dari Sufyan mengatakan, Thawus (salah seorang Tabi’in terkemuka, beliau pernah bertemu dengan 50 atau 70 orang sahabat Nabi) berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعاً فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
Artinya : Sesungguhnya orang-orang mati difitnah dalam kubur-kubur mereka selama tujuh hari, maka mereka menyukai memberikan makanan sebagai hadiah pahala untuk si mati sepanjang hari itu. (H.R. Ahmad bin Hanbal)

Kemudian al-Suyuthi menjelaskan bahwa hadits di atas juga telah disebut oleh  al-Hafizh Abu al-Na’im dalam al-Haliyah, Abu al-Na’im mengatakan, menghadits kepada kami oleh Abu Bakar bin Malik, menghadits kepada kami oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menghadits kepada kami Hasyim bin al-Qasim menghadits kepada kami oleh Asyja’i, dari Sufyan mengatakan, Thawus berkata : (hadits pertama di atas). Seterusnya beliau menjelaskan bahwa rijal (perawi) hadits di atas adalah shahih.[8] Hadits al-Thawus ini juga didukung oleh riwayat Ibnu Juraij dalam mushannafnya  dari al-Harits bin Abi al-Harits dari ‘Abiid bin ‘Amiir (Imam Muslim mengatakan : beliau ini lahir pada zaman Nabi SAW dan lainnya mengatakan : pernah melihat Nabi SAW), mengatakan :
يفتن رجلان مؤمن ومنافق  فأما المؤمن فيفتن سبعاً وأما المنافق فيفتن أربعين صباحاً
Artinya : Dua orang difitnah (dalam qubur), yaitu orang mukmin dan munafiq. Adapun orang mukmin difitnah tujuh hari dan orang munafiq difitnah empat puluh pagi).[9]

Berdasarkan berita dari al-Thawus di atas dapat dijelaskan di sini bahwa memberikan makanan dengan niat hadiah pahala kepada mayat setelah beberapa hari kematian merupakan amalan yang dianjurkan pada zaman beliau (zaman Tabi’in), bahkan pada zaman sahabat Nabi, mengingat beliau ini sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Suyuthi di atas seorang tabi’in terkemuka yang pernah bertemu 50 atau 70 orang sahabat Nabi. Dengan ini pula terbantah apa yang sering dikemukakan oleh golongan anti shamadiyah dan kenduri bahwa kenduri dirumah kematian merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang agama dan tidak pernah dikerjakan oleh Shalafulshalih, karena para Sahabat Nabi dan Tabi’in merupakan Shalafulshalih utama.
c.    Imam al-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawa mengatakan :
“Sunnah memberi makanan selama tujuh hari kematian, menurut berita yang telah sampai kepadaku, itu berlaku sampai sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, beliau wafat pada tahun 911 H) di Makkah dan Madinah. Dhahirnya hal itu tidak pernah ditinggalkan mulai zaman Sahabat hingga sampai sekarang.”[10]

Berdasarkan berita yang telah dikemukakan Imam al-Suyuthi ini, maka kita dapat melihat sendiri bahwa amalan memberikan makanan beberapa hari pada kematian merupakan amalan yang sudah biasa dilakukan umat Islam di Makkah dan Madinah semenjak zaman Sahabat Nabi hingga zaman beliau. Sehingga terbantahlah dakwaan golongan anti shamadiyah yang mengatakan bahwa amalan tersebut merupakan amalan yang dibuat-buat oleh kaum muslimin zaman sekarang (bid’ah). Perlu dicatat bahwa Imam al-Suyuthi, disamping seorang ahli fiqh, juga seorang ahli hadits terkenal. Beliau sangat memperhatikan keshahihan sebuah hadits dalam fatwa beliau. Karena itu, tidak mungkin beliau mengatakan sesuatu berita tanpa menyandarkan kepada berita yang shahih.
Adapun sabda Nabi SAW yang berupa perintah membuat makanan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh Ja’far yang sudah almarhum sebagaimana hadits di atas, tidaklah berarti  perintah itu merupakan dalil larangan bagi keluarga almarhum membuat makanan dan mengundang masyarakat ke jamuan makan di keluarga almarhum. Karena hal itu dua hal yang berbeda. Ini sama halnya dengan perintah memuliakan tamu yang diperintahkan kepada tuan rumah, maka tidaklah berarti sang tamu tidak boleh memuliakan tuan rumah. Sebenarnya, hal ini mudah dipahami oleh orang-orang yang mau menerima kebenaran, kecuali orang tersebut memang sudah dihinggapi penyakit hati dan tertutup kebenaran atasnya.

Syubhat Kedua :
Sebagian dari mereka yang anti shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian berargumentasi dengan mengutip teks kitab I’anah al-Thalibin berbunyi :
 Makruh bagi ahli mayat duduk untuk ta’ziah dan membuat makanan supaya berkumpul manusia dengan sebabnya, karena ada riwayat dari Ahmad dari jarir bin Abdullah al-Bajlii, beliau berkata :kami menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki meratap” [11]

      Pengarang kitab I’anah al-Thalibin juga mengutip perkataan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfatul Muhtaj li Syarah al-Minhaj :
 Kebiasaan ahli mayat menyediakan makanan untuk mengundang manusia berkumpul kepadanya adalah termasuk bid’ah makruhah sama halnya juga memenuhi undangan itu karena hadits shahih dari Jarir r.a. :

كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
  Artinya : Kami menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki meratap.(H.R. Ibnu Majah [12] dan Ahmad[13])

     Jalan anggapan sebagai ratapan adalah unsur didalamnya sangat menonjol dengan urusan duka cita. Oleh karena itu, makruh berkumpul ahli mayat dengan qashad untuk dita’ziah tetapi seyoqyanya ahli mayat menggunakan waktunya untuk keperluannya, oleh karena itu, siapa yang dapat menjumpainya, maka dia menta’ziahkannya”. [14]
 
Bantahan :
Sebenarnya kalau kita mau memahami teks di atas secara jernih dan cerdas, tentu kesimpulan yang dikemukakan oleh golongan anti shamadiyah dan kenduri ini tidaklah tepat, karena hadits Jarir r.a yang dijadikan sebagai dalil makruh menyediakan makanan tersebut menjelaskan alasan larangannya adalah karena hal itu termasuk ratapan dan mengungkitkan rasa duka cita. Jadi, kalau menyediakan makanan dengan niat supaya pahalanya sampai kepada mayat, tentu tidak termasuk dalam katagori ini, bahkan ahli rumah tentu akan merasa senang sebab ada harapan anggota keluarganya mendapat keringanan azab di alam kubur. Ibnu Hajar sendiri yang mengutip hadits di atas sebagai dalil larangan menyediakan makanan di rumah kematian menjelaskan kepada kita sebagaimana telah dikutip di atas :
“Jalan anggapan sebagai ratapan adalah unsur didalamnya sangat menonjol dengan urusan duka cita. Oleh karena itu, makruh berkumpul ahli mayat dengan qashad untuk dita’ziah”

Pemahaman bahwa Ibnu Hajar al-Haitamy berpendapat kalau menyediakan makanan dengan niat supaya pahalanya sampai kepada mayat dengan syarat tidak ada ratapan di dalammya tidak termasuk dalam katagori larangan berdasarkan hadits Jarir r.a. di atas, secara tegas dapat dipahami dari teks fatwa Ibnu Hajar dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah berbunyi :
 Ditanyai Ibnu Hajar dari ta’ziah yang dilakukan di negeri Yaman yang kadang-kadang dilakukannya oleh yang bukan ahli warisnya, kemudian dia menuntut rujuk kepada ahli warisnya dan kadang-kadang dilakukan oleh ahli waris kemudian dia merujuk kepada ahli waris lainnya. Apa hukumnya ?. Beliau menjawab dengan katanya :  “Menyediakan makanan untuk orang ta’ziah jika mengarah kepada maksiat seperti meratap adalah haram secara mutlak dan jika tidak ada yang demikian itu, maka jika dilakukan oleh yang bukan ahli waris tanpa izin ahli waris maka boleh dilakukannya dan tidak dapat merujuk kepada ahli waris karena yang dia itu melakukannya secara sukarela (tabaru’), demikian pula apabila dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa izin yang lain, maka tidak dapat merujuk sesuatupun kepada lainnya”.[15]

Dengan memperhatikan keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah ini dan ‘illah (alasan hukum) yang dipahami dari hadits Jarir r.a, maka amalan menyuguhkan makanan untuk orang yang melakukan ta’ziah pada rumah kematian termasuk amalan bid’ah makruhah sebagaimana telah disebut oleh Abu Bakar ad-Dimyathi (pengarang kitab I’anah al-Thalibin) dan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj adalah apabila terdapat unsur-unsur ratapan dalam amalan itu dan menyebabkan kembali duka cita yang berlebihan. Karena itu, Apabila tidak terdapat unsur ratapan dan duka cita yang berlebihan, maka ini termasuk perbuatan yang diredhai Allah. Hal ini karena ia termasuk perbuatan pemberian sadaqah dengan niat menyampaikan pahalanya kepada mayat yang merupakan sunnah dalam agama dengan ijmak ulama.

Syubhat Ketiga :
Ada sebagian golongan anti shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian berargumentasi dengan mengutip perkataan Imam Syafi’i dalam al-Um, berbunyi :
وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ الْحُزْنَ
Artinya : Aku memakruhkan ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayat), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu dapat menimbulkan kesedihan baru.[16]

Mereka mengatakan, Imam Syafi’i sendiri yang menjadi ikutan bagi orang-orang sering melakukan kenduri di rumah kematian, beliau mengatakan tidak boleh berkumpul dirumah kematian, apalagi dengan menyediakan makanan.
Bantahan :
            Apabila kita mau memperhatikan secara seksama perkataan Imam Syafi’i di atas, maka akan terlihat bahwa alasan yang digunakan Syafi’i dalam memakruhkan  berkumpul itu adalah menimbulkan kesedihan baru. Karena itu, apabila faktor yang dapat menimbulkan kesedihan itu tidak ada, maka hukum makruh itupun hilang. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh berbunyi :
الحكم يدور مع العلة  وجودا وعدما
Artinya : Hukum itu bergantung pada ‘illah-nya dari sisi ada dan tidaknya.[17]

Berdasarkan ini pula, ketika ditanyai mengenai hukum bermalam di rumah kematian yang mencapai sebulan dari hari kematian, Ibnu Hajar al-Haitamy menjawab bahwa bermalam di sisi ahli mayat untuk menghibur  atau untuk membalut luka hati mereka, maka itu tidaklah mengapa, karena hal itu termasuk silaturahmi yang terpuji yang disukai syara’.[18]
Adapun shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian dengan niat menghadiahkan pahala bagi mayat justru membuat ahli rumah akan merasa senang sebab ada harapan anggota keluarganya mendapat keringanan azab di alam kubur. Dengan demikian perkataan Imam Syafi’i di atas tidak dapat menjadi alasan larangan Shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian. Apalagi sebenarnya pengertian al-ma’tam dalam perkataan Imam Syafi’i di atas, maksudnya adalah duduk ahli rumah kematian dengan sengaja dengan niat menunggu datang penta’ziyah yang tujuannya melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan kesedihan baru atas ahi rumah yang ditimpa musibah kematian seperti menyebut kebaikan-kebaikan mayat pada masa hidupnya,  membahas kehidupan yang dihadapi anggota keluarga setelah kematian sang mayat dan lain-lain. Imam al-Nawawi dalam menjelaskan maksud al-ma’tam dalam perkataan Imam Syafi’i tersebut mengatakan :
“Adapun ucapan Imam Syafi’i rahimahullan didalam al-Umm : “Aku memakruhkan ma’tam, yaitu sebuah kelompok, walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, maka maksudnya adalah duduk-duduk untuk dita’ziyah.”[19]

Adapun kenduri di rumah kematian yang menjadi pembahasan kita adalah berkumpulnya para tamu di rumah kematian atas undangan ahli rumah untuk membaca shamadiyah, kemudian disuguhi makanan kepada tamu tersebut dengan niat menghadiahkan pahalanya kepada mayat, bukan dalam rangka untuk dita’ziyah. Ini tentu jauh berbeda dengan duduk-duduk ahli rumah menunggu datang penta’ziyah, lalu membicarakan hal-hal yang mengundang ratapan dan kesedihan ahli rumah.

Syubhat Ke empat :
Golongan anti shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian mengatakan, acara shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian dikaitkan dengan waktu tertentu seperti hari ketujuh, dua puluh, empat puluh dan seratus, pahal itu tidak ada dalil syara’ yang menjelaskannya seperti itu. Karena itu, acara shamdiyah dan kenduri pada rumah kematian adalah bid’ah yang menyesatkan.
Bantahan :
        Adapun pelaksanaan shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian tersebut tidak dikaidkan dengan hari tertentu setelah kematian, seperti hari ketujuh, dua puluh, empat puluh, seratus dan sebagainya, tetapi hanyalah merupakan kebiasaan yang menjadi adat suatu negeri. Hal ini pernah dikemukan oleh Nawawi al-Jawi mengikuti  fatwa Sayyed Ahmad Zaini Dahlan, beliau mengatakan :
Bersadaqah untuk mayat dengan jalan syara’ merupakan perbuatan yang dituntut dan ia tidak dikaidkan dengan tujuh hari, lebih banyak atau kurang dari tujuh hari. Sedangkan dikaidkan dengan sebagian hari hanya merupakan kebiasaan saja.”[20]

Jadi, kalau ada segelintir orang awam yang tidak mengerti agama mengkaidkan sunnah samadiyah dan kenduri pada rumah kematian pada hari-hari tertentu, maka tugas kitalah yang merasa mengerti ilmu agama untuk memberi penjelasan kepada mereka, tanpa harus mengatakan bahwa amalan shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian secara mutlaq adalah perbuatan mungkar yang harus dijauhi. Adapun pengkaidannya dengan hari-hari tertentu hanya karena faktor kebiasaan saja, bukan karena faktor agama, maka itu boleh saja sebagaimana fatwa Sayyed Ahmad Zaini Dahlan di atas. Namun perlu untuk menjadi catatan bahwa kenduri selama tujuh hari setelah kematian ada dasarnya dari perbuatan Shalafulshalih pada zaman al-Thawus (seorang pembesar Tabi’in) sebagaimana sudah dijelaskan sebelum ini.

Syubhat Kelima :
Entah karena kehabisan stok argumentasi, ada juga golongan anti shamadiyah dan kenduri pada rumah kematian yang mengatakan bahwa kenduri pada rumah kematian merupakan adopsi dari agama Budha. Kesimpulan ini mereka kemukakan karena dalam agama Budha ada juga acara kenduri pada rumah kematian yang dimulai dengan hari pertama sampai hari ketujuh kematian.


Bantahan :
            Apabila kita mau memperhatikan hadits riwayat Baihaqi dan Abu Daud serta apa yang dikemukakan oleh al-Thawus di atas melalui riwayat Ahmad bin Hanbal dalam kitab beliau, al-Zuhd dan Hafizh Abu al-Na’im dalam al-Haliyah ditambah lagi oleh kesaksian Imam al-Suyuthi yng mengatakan, dhahirnya  memberi makanan selama tujuh hari kematian tidak pernah ditinggalkan mulai zaman Sahabat hingga sampai sekarang (zaman Imam al-Suyuthi) di Makkah dan Madinah sebagaimana telah kita kemukakan dalam bantahan syubhat pertama di atas, maka dakwaan bahwa kenduri pada rumah kematian merupakan adopsi dari agama Budha sungguh sangat tidak masuk akal dan tidak beralasan sama sekali. Apakah hanya karena faktor kesamaan waktu dengan apa yang dilakukan oleh kaum Budha, lalu kita berkesimpulan bahwa amalan kenduri yang dilakukan umat Islam Aceh dan Indonesia pada umumnya merupakan hasil adopsi dari Budha ? jawabannya tentu tidak sama sekali. Banyak sekali amalan dalam agama Islam yang kebetulan mirip dengan amalan agama lain, seperti puasa, takziyah ahli musibah dan lain-lain. Agama lain juga ada kewajiban puasa, maka apakah karena agama lain ada kewajiban puasa, lalu kita mengatakan kewajiban puasa dalam Islam merupakan adopsi dari agama lain? Tentu tidak ada umat Islam yang mengatakan demikian, kecuali orang-orang yang memang sudah tertutup mata hatinya dalam menerima kebenaran. Ingat suatu amalan dalam Islam apabila ada dalil dari al-Kitab dan al-Sunnah, maka amalan tersebut merupakan amalan yang diterima Allah dan Rasul-Nya, meskipun ada kemiripan dengan amalan agama lainnya. Rasulullah SAW sendiri memerintahkan puasa ‘Asyura kepada umat Islam, sedangkan puasa ‘Asyura tersebut sudah duluan dilakukan oleh kaum Yahudi  sebagaimana hadits berikut ini :
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسُئِلُوا عَن ذَلِكَ فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى أَظْهَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِى إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ فَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ. فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم  نَحْنُ أَوْلَى بِمُوسَى مِنكُمْ. فَأَمَرَ بِصَوْمِهِ
Artinya : Rasulullah SAW tiba di Madinah, didapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Ditanya kepada Yahudi, kenapa mereka melakukan itu?. Hari ini adalah hari dimenangkan Musa dan Bani Israil  oleh Allah atas Fir’un. Karena itu, kami berpuasa sebagai perhormatan baginya. Lalu Nabi SAW bersabda : “Kami lebih patut dengan Musa dibandingkan kamu. Maka Nabi SAW memerintah untuk berpuasa.(H.R. Muslim)[21]

Tentu kita tidak dapat menuduh Rasulullah SAW mengadopsi perintah puasa ‘Asyura dari kaum Yahudi hanya semata-mata puasa tersebut sudah duluan dilakukan oleh kaum Yahudi, tetapi yang menjadi i’tiqad kita adalah perintah puasa ‘Asyura tersebut berasal dari wahyu Allah melalui lisan Rasulullah SAW, meskipun itu kebetulan mirip dengan dengan ibadah kaum Yahudi. Allah Ta’ala berfirman yang berbunyi :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya, tetapi ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. al-Najm : 3-4)

Syubhat Keenam :
Sebagian mereka mengatakan, kenduri pada rumah kematian termasuk memakan harta anak yatim secara batil.
Bantahan :
Kita sepakat memakan harta anak yatim dengan jalan yang batil adalah haram dan merupakan perbuatan yang dimurkai Allah. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S. al-Nisa’ : 10)

Lalu, apakah makan kenduri pada rumah kematian termasuk memakan harta anak yatim ?, jawaban adalah benar makan kenduri pada rumah kematian termasuk memakan harta anak yatim, namun dengan syarat terpenuhi dua kriteria berikut ini :
1.    Apabila simayat meninggalkan anak yang masih dibawah umur (belum baligh), karena apabila anak yang ditinggalkan sudah mencapai usia baligh, maka tidak dinamai sebagai anak yatim. Nabi SAW bersabda :
لَا يُتْمَ بعد احْتِلَام
Artinya : Tidak disebut yatim sesudah mimpi basah (baligh) (H.R. Abu Daud)[22]

2.    Biaya kenduri tersebut diambil dari harta warisan simayat, dimana salah satu ahli warisnya adalah anak yatim.

Jadi, selama tidak terpenuhi dua kriteria di atas, maka tuduhan bahwa kenduri pada rumah kematian termasuk memakan harta anak yatim secara batil merupakan tuduhan yang keji dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan ini, maka tidak termasuk  memakan harta anak yatim secara batil apabila biaya kendurinya ditanggung oleh walinya, baik orangtuanya maupun anak-anaknya yang sudah dewasa (baligh), meskipun simayat ada juga meninggalkan anak yatim. Tidak termasuk juga memakan harta anak yatim secara batil apabila biaya kendurinya diambil dari bawaan para tamu ta’ziyah yang biasanya mencapai jumlah yang besar, karena biasanya bawaan tersebut memang diperuntukkan untuk kenduri seperti telor, beras dan lainya. Ada juga sebagian para tamu sebagai ganti benda-benda yang dimakan, karena untuk praktis, bawaannya dalam bentuk uang. Dua katagori kenduri terakhir ini merupakan kenduri yang biasa dilakukan di Aceh dirumah-rumah kematian. Ini bukanlah berarti kita mengesampingkan kemungkinan adanya kenduri-kenduri dirumah kematian yang mengandung unsur memakan harta anak yatim, meskipun itu sedikit, namun dengan ada kemungkinan tersebut, tidaklah berarti kita dapat mengatakan secara mutlaq bahwa kenduri di rumah kematian merupakan tindakan makan harta anak yatim secara batil sebagaimana yang sering dikatakan oleh golongan anti shamadiyah dan kenduri di rumah kematian, tetapi sebaliknya, secara umum dapat dikatakan bahwa kenduri di rumah-rumah kematian merupakan amalan yang bermanfaat bagi mayat dan mendapat ridha dari Allah Ta’ala.
Syubhat Ketujuh :
Ada juga dari mereka mengatakan, bahwa kenduri pada rumah kematian adalah perbuatan yang mengakibatkan ahli musibah kematian merasa terbebani dengan biaya dan kesibukan, padahal pikiran mereka sedang galau dengan musibah. Seharusnya yang dilakukan adalah memberi keringanan atas mereka.
Bantahan:
            Apabila ada kenduri di rumah kematian dilakukan sebagian umat Islam hanya karena faktor tuntutan adat/tradisi dan menghilangkan rasa malu sehingga ahli rumah merasa terbebani dan tidak ada lagi rasa keikhlasan dalam hatinya, sampai-sampai berhutang kesana kemari hanya demi mengikuti tradisi belaka, maka kita sepakat dalam hal seperti ini merupakan amalan yang dilarang dalam agama. Sehingga tidak heran, dalam kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar al-Haitamy salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i disebutkan :
“Ibnu Hajar – semoga Allah mengembalikan kepada kami keberkahannya- ditanyai tentang penyembelihan kambing yang dibawa beserta anaknya dibelakang mayat ke tempat pemakaman, kemudian disedekahkan untuk penggali-penggali kubur saja dan juga tentang amalan-amalan pada hari ketiga kematian, yakni menyediakan makanan, kemudian memberikan kepada para fakir dan selain mereka dan juga tentang amalan pada hari ketujuh seperti itu juga dan ada lagi membuat kue pada hari terakhir bulan kematian, kemudian diberikan kepada rumah-rumah perempuan yang menghadiri jenazah. Mereka tidak meniatkan yang demikian itu kecuali karena faktor adat/tradisi daerah setempat sehingga barangsiapa yang tidak melakukannya, maka hal itu menjadi suatu yang dibenci dan keji di sisi mereka serta dapat dikucilkan dengan sebab itu. Apakah apabila mereka mengqashad tradisi tersebut dan bersedeqah pada bukan karena negeri akhirat atau semata-mata tradisi belaka, apakah hukumnya mubah atau lainnya? Apakah dapat diambil biaya apa yang sudah diperbuat itu dari bagian warisan ketika pembagian warisan, padahal sebagian ahli waris lain tidak merestuinya ?  Juga ditanyai tentang bermalam di rumah ahli kematian sehingga sampai satu bulan dari kematian, karena yang demikian itu seolah-olah wajib di sisi mereka, apakah hukumnya ?
Maka beliau menjawab : Semua perbuatan yang dilakukan itu pada pertanyaan di atas termasuk dalam bid’ah yang tercela,tetapi tidak haram kecuali apabila dilakukan itu untuk orang yang meratap. Barangsiapa yang mengqashad melakukannya itu untuk menolak lisan dan pembicaraan manusia terhadap kehormatannya apabila ditinggalkan perbuatan tersebut, maka diharapkan ditetapkan atasnya pahala perbuatan itu berdasarkan pemahaman dari perintah Nabi SAW meletakan tangan pada hidungnya kepada orang yang berhadats dalam shalat. Para ulama menjadikan alasan perintah meletak tangan pada hidung tersebut karena memelihara kehormatan orang yang berhadats dari pembicaraan manusia apabila dia berpaling dari shalat bukan dengan kelakukan ini (meletak tangan pada hidung). Dan tidak boleh melakukan semua itu dengan biayanya dari warisan apabila ahli warisnya ada yang berada dalam pengampuan secara mutlaq (seperti ahli warisnya belum baligh atau gila) atau apabila semua mereka adalah cakap, tetapi ada sebagiannya yang tidak merestuinya. Bahkan barangsiapa yang melakukannya dari hartanya sendiri, maka tidak boleh minta bayar kembali kepada ahli waris lainnya dan barangsiapa melakukannya dari harta warisan, maka harus membayar bagian ahli waris yang tidak ada izin shahih darinya. Apabila bermalam di sisi ahli mayat untuk menghibur  atau untuk membalut luka hati mereka, maka itu tidak mengapa, karena hal itu termasuk silaturahmi yang terpuji yang disukai syara’. Pembahasan tentang bermalam ini tidak menimbulkan darinya makruh dan tidak juga haram, tetapi diberikan hukum atasnya berdasarkan apa yang terdapat padanya, karena bagi wasilah (perantara) adalah hukum maqsud. [23]

Untuk memudahkan pembaca, maka kami sebutkan berikut ini kesimpulan fatwa Ibnu Hajar al-haitamy di atas :
a.       Apabila kenduri sesudah kematian dilakukan hanya karena faktor tuntutan adat/tradisi, bukan karena negeri akhirat, maka termasuk dalam bid’ah yang tercela, tetapi tidak haram kecuali apabila dilakukan itu untuk orang yang meratap
b.      Barangsiapa yang mengqashad melakukannya itu untuk menolak fitnah dan pembicaraan manusia terhadap kehormatannya, maka tidak berdosa atasnya karena mudharat, bahkan dia mendapat pahala, karena seseorang wajib memelihara kehormatannya
c.       Tidak boleh melakukan kenduri sesudah kematian dengan biayanya dari warisan apabila ahli warisnya ada yang berada dalam pengampuan secara mutlaq (seperti ahli warisnya belum baligh atau gila) atau apabila semua mereka adalah cakap, tetapi ada sebagiannya yang tidak merestuinya.
d.      Apabila bermalam di sisi ahli mayat untuk menghibur  atau untuk membalut luka hati mereka, maka itu tidak mengapa, karena hal itu termasuk silaturahmi yang terpuji dan disukai syara’

Sekarang kita bertanya, apakah kenduri-kenduri yang dilakukan dirumah kematian di Aceh dan Indonesia pada umumnya, yang biasanya sebelum atau sesudahnya dilakukan pembacaan shamadiyah termasuk dalam kenduri karena faktor tuntutan adat/tradisi saja dan menghilangkan rasa malu ? sehingga hukumnya termasuk bid’ah tercela sebagaimana fatwa al-Haitamy di atas ? Jawabannya bisa jadi sebagian kecilnya benar adanya, tetapi ini tentu tidak dapat menafikan kebanyakan besar kenduri pada rumah kematian yang dilakukan dengan tulus ikhlas dan hanya semata-mata dengan harapan mendapat manfaat bagi anggota keluarga yang sudah meninggal dunia. Lagi pula kita tidak boleh berburuk sangka kepada kaum muslimin hanya karena kita tidak sependapat dengan mereka tentang hukum terhadap suatu peristiwa. Akhirnya kita katakan, bagi siapa yang merasa tidak ikhlas melakukan suatu kenduri sesudah kematian anggota keluarganya, bahkan itu hanya sebagai tuntutan adat daerahnya, maka hendaklah dia tidak melakukannya, karena perbuatan tersebut tidak bermanfaat bagi anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia, bahkan itu termasuk perbuatan tercela. Tetapi bagi siapa yang merasa tidak terbebani dengan tuntutan adat, bahkan dia dapat melakukannya dengan tulus ikhlas dan hanya semata-mata dengan harapan mendapat manfaat bagi anggota keluarga yang sudah meninggal dunia, maka hendaknya dia melakukan hal tersebut, karena amalannya itu Insya Allah bermanfaat. Tentunya  bagi orang lain tidak perlu berburuk sangka, karena niat sesorang hanya orang itu sendiri yang tahu.

C.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan dalil-dalil yang telah jelaskan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Pembacaan shamadiyah sebagaimana biasanya dilakukan Umat Islam Aceh dan Indonesia pada umumnya merupakan amalan yang diridhai Allah Ta’ala dan Insya Allah.bermanfaat bagi mayat berdasarkan dalil-dalil yang telah kami kemukakan.
  2. Menyediakan kenduri berupa makanan dirumah duka kepada orang ta’ziah dengan niat sadaqah dibolehkan, bahkan sunat hukumnya dengan syarat tidak mengarah kepada perbuatan maksiat seperti perbuatan meratap
  3. Maksud perkataan sahabat Nabi bahwa tradisi menyediakan makanan untuk orang ta’ziah termasuk meratap adalah apabila perbuatan tersebut mengarah kepada perbuatan meratap
4.      Dikaidkan dengan hari ketujuh, empat puluh, seratus setelah kematian hanyalah merupakan kebiasaan yang menjadi adat suatu negeri, bukan karena dikaidkan dengan agama. Namun perlu untuk menjadi catatan bahwa kenduri selama tujuh hari setelah kematian ada dasarnya dari perbuatan Shalafulshalih pada zaman al-Thawus (seorang pembesar Tabi’in) sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembahasan di atas.


[1] Al-Khathib al-Tabrizy, Misykah al-Mashabih, al-Maktabah al-Islamy, Beirut, Juz. I, Hal. 596
[2] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Maktbah Syamilah, Juz. XXXII, Hal. 177, No. Hadits : 19435
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 68
[4] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 355, Hadits  No. :  90
[5] Al-Khathib al-Tabrizy, Misykah al-Mashabih, Maktabah al-Islamy, Beirut, Juz. III, Hal. 1671, No. Hadits : 5942. Dapat juga dilihat dalam Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 263, No. Hadits : 3332 dan dalam Dalail al-Nubuwah, karangan al-Baihaqy, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VI, Hal. 310
[6] Abady Abu Thaib, ‘Aun al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IX, Hal. 130
[7] Syaikh Ismail Usman Zain al-Yamany al-Makky, Raf’u al-Isykal wa Ibthal al-Mughalaat, Hal. 6
[8] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 178-179
[9] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 178-179
[10] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 194
[11] Abu Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 145
[12] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 538, No. Hadits : 1612
[13] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muassasah Qurthubah, Juz. II, Hal. 204, No. Hadits : 6905
[14] Abu Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 146. Dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj, kutipan ini dalam Juz. III, Hal. 207 (dicetak pada hamisy Hawasyi Syarwani,, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir)
[15] Ibnu Hajar Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 32
[16] Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 638
[17] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, hal. 290
[18] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 7
[19] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. V, Hal. 281
[20] Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 320
[21] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz III, Hal. 149, No. hadits : 2712
[22] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 320, No. hadits : 6
[23] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 7