Rabu, 22 Januari 2014

Teungku ‘Aidarus Sang Ulama Dan Pejuang


Tengku ‘Aidarus yang akrab disapa dengan Abu Mesjid Sabang dengan nama lengkap beliau adalah Syech Al Hajj ‘Aidarus Bin Al Hajj Sulaiman. Beliau adalah salah seorang Ulama tinggi dimasa pra kemerdekaan Republik Indonesia disamping itu beliau juga seorang pejuang dalam melawan penjajahan Belanda khususnya di tanah Daya Lamno Jaya yang sekarang berkaputen Aceh Jaya.
Teungku ‘Aidarus dilahirkan dari hasil pernikahan Teungku H. Khatib Sulaiman Ibnu Nakhoda Muhammad Thaib dengan Hajjah Khadijah pada Tahun 1290 Hijriyah atau yang bertepatan dengan 1871 Masehi (tanggal dan bulan tidak diketahui secara pasti) di desa Leupee,Lamno. Dilihat dari Silsilah beliau memang di besarkan dalam keluarga yang berlatar belakang Ulama. Ayahnya adalah seorang Ulama yang masih memiliki hubungan darah dengan Sultan Alaiddin Ri’ayat Syah atau Po Teumereuhom yang menjadi raja pada Kerajaan Daya di Lamno sekitar Abad 16 M.
Sebagaimana lazimnya anak-anak tempo dulu, bentuk pendidikan dasar dilakukan oleh orang tua,disamping pada saat itu belum ada pendidikan formal sehingga teungku ‘Aidarus belajar ilmu keagamaan pada ayahandanya. setelah mengunyam pendidikan dasar dan belajar Al Qur’an hingga khatam pada orang tuanya barulah teungku ‘Aidarus (kecil) melanjutkan Pendidikan pada teungku Muhammad Saleh Lhue salah satu desa di daerah Lamno, disini Teungku ‘Aidarus mulai belajar beberapa kitab Arab Jawi dan beliau juga mulai belajar kitab-kitab berbahas Arab, khususnya kitab Nahu dan Sharaf seperti kitab Awamil, Jarumiyah dan kitab mutammimah hingga tamat.
Sejak itu, Teungku ‘Aidarus sudah memperlihatkan tanda-tanda kecerdasannya di antara murid-murid yang lain, beliau termasuk murid yang jenius. Setiap pelajaran yang diberikan gurunya dapat dengan cepat di fahami dan dengan mudah dapat dihafalkannya. melihat Semangat belajar teungku ‘Aidarus (muda) sangat tinggi maka ayahandanya teungku H.Sulaiman terus mendorong puteranya ini untuk melanjutkan pendidikan pada Teungku H. Muhammad Arif seorang Ulama Ahli Fiqih dan Tasawuf kala itu.
Selama beberapa Tahun Belajar pada Teungku H. Muhammad Arif, Teungku ‘Aidarus sudah menguasai ilmu Fiqih dan Tasawuf secara mendalam. karena kejelian dan keuletan beliau dalam mengunyah ilmu sehingga sang guru Teungku H. Muhammad Arif memberikan perhatian lebih kepada Teungku ‘Aidarus sebagai salah satu murid kesayangannya. Hal itu di buktikan oleh sang guru dengan sikap didikan yang menuntun segala kemampuan Teungku H. Muhammad Arif dengan segala ilmunya  di tempah kepada Teungku ‘Aidarus termasuk Ilmu Akhlak sebagai Ilmu yang sangat di sukai oleh Teungku H.Muhammad Arif sendiri.
Setelah sekian lamanya berguru pada Teungku H. Muhammad Arif, karena sang guru melihat bakat yang luar biasa pada Teungku ‘Aidarus sang guru menyarankan agar Teungku ‘Aidarus  melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu di Dayah Bung Cala, Aceh Besar yang dikala itu di pimpin Oleh Teungku H. Ahmad Tanoeh Mirah. saran gurunya di sambut baik oleh Teungku ’Aidarus sehingga Ia di antarkan oleh orang tuanya ke Dayah Teungku H. Tanoh Mirah Aceh Besar. Hal ini sesuai permintaan Teungku H. Tanoh Mirah itu sendiri disaat berkunjung ke kampung leupee Lamno dan bertemu dengan Teungku H. Muhammad Arif, sang guru menceritakan kepada Teungku H. Tanoeh Mirah akan kecerdasan dari muridnya ini.
Saat itulah rasa ketertarikan Teungku H. Tanoeh Mirah untuk meminta agar Teungku ‘Aidarus dapat melanjutkan pendidikannya pada Dayah yang di pimpinnya itu. Teungku ‘Aidarus sampai di Dayah Bung Cala bertepatan dengan kenduri 40 hari syahidnya pahlawan Nasional Teungku H. Muhammad Saman di Tiro yang lebih di kenal dengan sebutan Teungku Chik Di Tiro. Menurut riwayat Teungku ‘Aidarus sendiri sempat turut serta dalam pengajian Al quran dan berdoa serta tahlilan pada malam kenduri 40 hari wafatnya Teugku Chik Di Tiro. Selama tiga tahun beliau belajar pada teungku Tanoh Mirah di Aceh Besar, beliau telah menguasai kitab-kitab yang paling pokok seperti, kitab Matan Minhajut Thalibin karangan Imam Nawawi dan kitab Alat seperti Kitab Matan Alfiyah Karangan Imam Malik, Kedua kitab ini bukan hanya sekedar bisa di baca tetapi dapat di artikan dan di tela’ah serta di hafal di luar kepala (lancar).
Selain itu Teungku ‘Aidarus juga mendalami Ilmu Manthiq (Logika), Bayan dan Ma’ani, disamping beliau belajar Ia juga sering bertukar pikiran tentang ilmu yang telah di pelajari dengan Teungku Abdurrahman Teumareum untuk menguji kemampuan yang mereka miliki. setelah tiga tahun beliau menimba ilmu di Dayah Bung Cala Aceh Besar terpaksa harus berakhir karena pimpinan Dayah termasuk Teungku Tanoh Mirah harus bergabung dengan para Ulama lainnya melakukan Perang Fisabilillah meneruskan perjuangan Teungku Chik Di Tiro.
Sebelum beliau meninggalkan Dayah Teungku Tanoh Mirah di Aceh Besar sang guru terlebih dulu mengijazahkan muridnya untuk membuka dayahnya sendiri disamping itu sang guru juga membekali Teungku ‘Aidarus dengan berbagai ilmu Thariqat seperti Thariqat Thahariyah, Haddadiyah dan Berbagai doa lainnya. ketika itu juga sang guru juga mewasiatkan kepada Teungku ‘Aidarus agar setibanya di negeri Daya Lamno agar dapat menggerakkan umat Islam untuk berjihad Fisabilillah mengusir penjajah Belanda di Bumi Aceh. Pesan Teungku Tanoh Mirah ini sambil Ia menyerahkan sebilah pedang kepada Teungku ‘Aidarus. setiba beliau di kampung halaman beliau langsung melaksanakan amanah sang guru dengan menyerukan kepada masyarakat Lamno untuk jihad Fisabilillah melawan Belanda yang kala itu menjajah kawasan Nanggroe Daya tersebut. Teungku ‘Aidarus sendiri saat itu terjun lansung memimpin barisan melawan penjajah dengan masyarakat di Lamno. sampai sekarang masyarakat Lamno masih dapat menunjukkan bukti keterlibatan Teungku ‘Aidarus sebagai Ulama dan pemimpin perang melawan Belanda yaitu tempat persembunyian lascar mujahidin pimpinan Teungku ‘Aidarus di Guha Sejhik Beranak di kaki Gle Calhek Kuala Daya manakala pasukan Teungku ‘Aidarus di kejar oleh penjajah Belanda.
Dalam riwayat diceritakan bahwa sebelum beliau memimpin gerilya kala umurnya berusia 25 tahun beliau menikah dengan Siti Hawa yang berasal dari Lame,  dari hasil perkawinannya dengan Nyak Ti Hawa (panggilan Akrab Ummi Siti Hawa) di karuniailah dua orang putera yaitu Muhammad Adam (meninggal dikala remaja) dan Muhammad Juned (meninggal di usia masih kanak-kanak). Karena takdir sedemikian maka beliau mengadopsi Keponakannya yaitu Teungku Darimi sebagai penerus jejak beliau. Di masa tersebut juga beliau menunaikan Ibadah Haji bersama orang tuanya Teungku H. Sulaiman. Selama di Mekah rasa kehausan beliau terhadap ilmu Allah kembali sangat terasa, beliau mempergunakan kesempatan untuk mendalami ilmunya pada Ulama yang mengajar di Masjidil Haram layaknya kata pribahasa Sambil menyelam minum Air itulah filosofi dari Teungku ‘Aidarus. selama di Mekah beliau belajar tentang perbandingan Empat Mazhab dan Ilmu Dalail Khairat serta Hizib-Hizib yang terdapat pada pinggir kitab Dalail yang diajarkan oleh para Ulama disana di antaranya Syech Said Ridwan bin Saidi Ridwan. rasa kehausan beliau terhadap ilmu terpaksa terhenti perjalanannya karena mengingat beliau harus segera kembali ke negeri Daya karena saat itu sedang di jajah oleh Belanda untuk memimpin barisan melawan penjajah Belanda.
Sepulang dari Mekah, Teungku ‘Aidarus mengetahui bahwa banyak diantara Ulama di Aceh Besar dan Pidie telah Syahid di medan perang maka Teungku ‘Aidarus bertekad menghadapi tugas yang lebih berat lagi yaitu menyeru ummat untuk terus berjihad di jalan Allah. Dalam riwayat di ceritakan, ketika itu Teungku ‘Aidarus bermimpi bertemu dengan gurunya Teungku Tanoh Mirah, di dalam mimpi sang guru berpesan kepada beliau agar dapat mengalihkan jihadnya dari melawan kafir kepada jihad melawan kebodohan dengan mengembangkan pendidikan Agama. Karena Isyarat sang guru itulah kemudian Teungku ‘Aidarus mulailah membuka pengajian pertama kali di Meunasah Rayeuk Lamno. Berawal dari sini para santri penuntut Ilmu Agama berdatangan  untuk menimba ilmu yang di ajarkannya didayah yang sederhana itu.
Setelah dua tahun beliau membuka pengajian di Meunasah Rayeuk kemudian masyarakat Meukhan meminta agar beliau membuka pengajian di Meukhan serta menetap di daerah itu juga. di tempat yang baru ini pengajian terus berkembang pesat berbagai santri terus berdatangan selain dari masyarakat Lamno juga terdapat santri dari luar daerah Daya, Lamno. diantaranya Aceh Barat, Aceh Selatan dan Aceh lain yang mencari seberkah cahaya dari beliau. Dengan demikian Dayah yang dipimpin oleh Teungku ‘Aidarus di Meukhan Lamno semakin termasyhur dengan banyaknya santri yang datang dari berbagai pelosok belajar pada dayah yang di pimpinnya itu, Semakain banyaknya murid yang meudagang (menuntut ilmu Agama) pada beliau maka beliau mulai sedikit kewalahan menampung para santrinya karena tempat pemondokan didayah pengajiannya agak terbatas. Sehingga dengan berbagai pertimbangannya, Teungku ‘Aidarus harus mengembangkan dayahnya secara permanen untuk dapat menampung hingga ratusan yang menetap di dayahnya. Atas  pertimbangan itulah Teungku ‘Aidarus harus kembali lagi ke kampung asalnya yaitu kampung Leupee untuk membuka dayah yang lebih besar dan permanen untuk menampung jumlah santri yang lebih luas.
Cita-cita itu kiranya telah menumbuhkan hasil sehingga pada tahun 1911 M Teungku ‘Aidarus resmi Mendirikan Dayah secara teroganisir di kampung Leupee, Dayah Masjid Sabang dengan nama ‘Aidarusiah atau yang lebih akrab di kenal Dayah Masjid Sabang yang kemudian dayah ini berkembang sangat pesat di bawah tampuk kepemimpinan Teungku ‘Aidarus. Sejalan dengan waktu yang terus meranjak usia beliaupun sudah tua dan janji Allah pun datang menghampiri Teungku ‘Aidarus. Beliau berpulang ke sisi Allah SWT. Pada tanggal 5 Ramadhan 1372 H atau bertepatan 18 Mei 1953 M di kala usia beliau 82 tahun.
Hilang sudah sang Mujahidin Islam dikala itu masyarakat Lamno terpukul dengan berita wafatnya beliau dan rasa sedih menyelimuti tanah Daya, Lamno. Kenapa begitu cepat beliau di panggil ke hadhiratNya inilah salah satu bukti kebesaran Allah. Selama masa hidup beliau juga terkenal sangat ‘alim dalam kajian Ilmu Nahu dan Fiqh sehingga banyak para Ulama di masa beliau merujuk kepada Teungku ‘Aidarus untuk mencari Solusi permasalan tentang hukum syar’i. Namun setelah Beliau wafat tidak ada warisan selain amanah lanjutkan syiar Agama di muka bumi Allah itu salah satu amanah pada detik-detik kepulangan Beliau kepada Allah SWT, dan kini tampuk kepemimpinan dayah ‘Aidarusiah Mesjid Sabang di estafetkan dibawah pimpinan keponakannya yaitu Teungku Darimi sampai sa’at ini. [TM]


1 komentar:

  1. Jadi tengku,,sekarang di dayah/pesantren2 masih mengajarkan kitab Daqaiqul Akhbar sebagai salah satu mata pelajaran dan santri2 pun banyak yang langsung bertaklid kepada kitab tersebut,saya sendiri pernah mengaji kitab ini dan banyak hal-hal ganjil diluar akal sehat kita, contohnya hulu sungai gangga dan sungai Nil berada sampai ke A'rasy,,apakah tidak sebaiknya kitab2 seperti ini dihentikan dulu untuk pengajiannya tetapi harus dilakukan pengkajian mendalam keotentikannya dulu? sebab para santri ini pergi mengaji biar mereka pintar bukannya malah bingung dan turun ke dalam masyarakat akan ikut membingungkan masyarakat,,mohon penjelasan teungku demi menyelamatkan ummat "Katakan yang benar walau itu pahit !" sebenarnya hal ini harus diluruskan juga bukan saja masalah2 aliran sesat,,, syukran...kami mohon jawabannya..
    Jika ini memang privacy bisa teungku kirim email ke hermansyahputra2004@gmail.com sekali lagi syukran katsiran.

    BalasHapus