4.
Masalah
ridha, mahabbah dan iradah
Sepakat dua imam besar
ini bahwa bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam ini maujud dengan iradah
Allah Ta’ala, baik dalam bentuk jauhar
maupun ‘arazh, baik dalam bentuk
ta’at mauapun maksiat. Perbedaaan al-Maturidi mengatakan bahwa iradah bukan
keridhaan-Nya, akan tetapi merupakan kemurkaan dan larangan-Nya. Sebaliknya,
al-Asy’ari mengemukakan bahwa iradah Allah Ta’ala merupakan kecintaan Allah
Juga, sehingga muncul ungkapan secara mutlak bahwa Allah Ta’ala mencintai juga maksiat.
Akan tetapi menurut
Sa’id Abdul Lathif Fudah, sebenarnya pendapat al-Asy’ari bukanlah sebagaimana
tersebut di atas, tetapi penyebutan secara mutlaq di atas dengan makna Allah
Ta’ala mencintai maksiat sebagai jalan pemberian azab sebagaimana halnya mencintai
ta’at sebagai jalan pemberian pahala. Pemahaman seperti ini tentu akan berbeda
dengan penjelasan di atas. Seterusnya
beliau melanjutkan, karena itu, seandainya ada riwayat yang mengatakan bahwa
al-Asy’ari pernah mengatakan bahwa Allah Ta’ala mencintai semua makhluq, maka
itu tidaklah mesti bermakna bahwa Allah juga ridha dengan maksiat. Di antara
yang mendukung penjelasan ini adalah perkataan al-Asy’ari yang dikutip oleh
Ibnu Fura’ dalam kitabnya, Mujrad al-Maqaalaat, berbunyi, adapun pensifatan
Allah dengan sifat Yang Mencintai dan Meridhai atau Yang Murka dan Memusuhi,
maka itu adalah kembali kepada iradah. Karena itu, al-Asy’ari mengatakan, ridha
Allah kepada orang beriman adalah iradah-Nya memberikan pahala dan memuji
mereka. Sedangkan murka Allah kepada orang kafir itu bermakna iradah-nya
menyiksa dan mencela mereka. Demikian juga mencintai dan memusuhi.
Dengan penjelasan ini,
maka pendapat al-Asy’ari yang di kutip di permulaan masalah iradah di atas
dapat dipahami tidak berbeda dengan pendapat al-Maturidi. Perbedaannya hanyalah
kembali kepada khilaf lafzhi.
5.
Taklif
ma la yuthaq (membebankan yang tidak disanggupi)
Taklif ma la
yuthaq tidak boleh menurut al-Maturidi, yang boleh hanya tahmil (menanggung) ma
la yuthaq. Sedangkan menurut al-Asy’ari kedua-duanya dibolehkan.
Ma la yuthaq di
sini tidak disyaratkan sesuatu yang muhaal (mustahil pada akal), akan tetapi
mencakup juga sesuatu yang boleh pada akal (jaiz), tetapi keluar dari
kesanggupan manusia. Karena itu, termasuklah sesuatu yang mustahil pada ‘adat,
bahkan bisa juga mencakup yang lebih rendah dari itu.
Perbedaan
pendapat di atas terjadi, karena terjadi perbedaan dalam memahami tujuan taklif.
Menurut Imam al-Maturidi, tujuan taklif adalah melaksanakan yang ditaklif itu
(mukallaf bihi), tidak semata-mata menghadapkan hati kepada suatu titah.
Sedangkan melaksanakan yang ditaklif itu harus dengan melaksanakan sesuatu
perbuatan, minimal seseorang dapat disebut bersifat dengan suatu perbuatan yang
ditaklif tersebut.
Adapun Imam
al-Asy’ari berpandangan, tujuan taklif minimal menghadapkan niat hati untuk melaksanakannya,
seandainya mampu melaksanakannya. Sehingga seandainya ada perintah Allah untuk
mengangkat sebuah gunung, maka perintah tersebut akan bernilai, karena tujuannya
adalah apakah seseorang itu mau berusaha menghadapkan hatinya kepada perintah
tersebut atau tidak, meskipun melaksanakan perbuatan tersebut tidak mampu pada
‘adat.
Sebagian ulama
al-muhaqqiqin mengatakan, khilaf ini mendekati kepada khilaf lafzhi.
Catatan
:
Dalam Kitab Ghayah
al-Wushul, karangan Zakaria al-Anshari (salah seorang ulama pengikut
al-Asy’ari) ada pembahasan taklif bil muhaal (membebankan hukum dengan sesuatu
yang mustahil). Selanjutnya dalam kitab tersebut dijelaskan, menurut pendapat
yang lebih shahih, boleh pada akal taklif dengan sesuatu yang mustahil, cuma
yang terjadi (wuqu’) taklif bil muhaal ini pada syara’ hanya taklif dengan
sesuatu yang mustahil dengan sebab ta’alluq ilmu Allah Ta’ala bahwa sesuatu itu
tidak terjadi. Misalnya taklif Abu Lahab dengan beriman, padahal dalam ilmu
Allah yang qadim memang diketahui bahwa Abu Lahab tidak akan beriman. Kemudian
Zakaria al-Anshari, membedakan taklif bil muhaal dengan al-taklif al-muhaal.
Yang terakhir ini menurut beliau, memang tidak boleh ada taklif. Perbedaan
keduanya adalah, taklif bil muhaal kembali kepada ma’mur bihi (perbuatan yang
diperintah), sedangkan al-taklif al-muhaal kembali kepada al-ma’mur (orang yang
diperintah), seperti mayat dan benda mati.[1]
6. Peran akal pada sebagian hukum
Menurut al-Maturidi,
sebagian hukum yang berhubungan dengan taklif dapat diketahui dengan akal.
Karena akal merupakan alat yang dapat diketahui dengannya baik dan buruk sebagian
perkara. Dengan sebab akal, dapat diketahui kewajiban beriman dan bersyukur,
meskipun yang memperkenalkan dan mewajibkan kewajiban itu adalah hanya Allah
Ta’ala, akan tetapi itu dengan perantaran akal, sebagaimana seorang rasul
memberitahukan suatu kewajiban, padahal pada hakikatnya yang memberitahu itu
adalah Allah semata. Berdasarkan ini, al-Marturidi mengatakan : “Tidak ada
alasan uzur seseorang karena tidak mengetahui tuhannya, karena dia dapat
memahami dengan akalnya siapa yang menciptakan langit dan bumi ini, sehingga
seandainya Allah tidak mengutus seorang rasulpun, sungguh kewajiban atas
makhluq mengenal tuhannya dengan akal mereka tetap wajib.”
Al-Asy’ari mengatakan, tidak
ada kewajiban atau keharaman suatu perkara kecuali dengan syara’. Tidak ada
hukum dengan akal, meskipun akal dapat memahami baik dan buruk sebagian perkara.
Menurut beliau, semua hukum yang berhubungan dengan taklif diketahui dengan
perantaran al-sima’i (didengar dari
firman Allah dan sabda Rasul-Nya).
Kajian tentang ini
berhubungan langsung dengan kajian baik dan buruk (al-husn wal qabhi). Sa’id
fudah setelah menyebut tiga devinisi baik dan buruk menurut para ulama, beliau
menjelaskan bahwa perbedaan pendapat antara al-Maturidi dan al-Asy’ari berkisar
pada masalah baik dan buruk dengan makna diberikan pahala atau dosa. Artinya
sebuah perbuatan disebut baik apabila perbuatan itu diberikan pahala kalau
dikerjakannya dan sebuah perbuatan disebut buruk apabila diberikan azab kalau
dikerjakannya.
Patut menjadi catatan
bahwa pemahaman al-Maturidi bahwa sebagian hukum yang berhubungan dengan taklif
dapat diketahui dengan akal, ini bermakna hubungan hukum dengan perbuatan yang
baik atau buruk itu bukanlah hubungan luzum
al-zati. Artinya baik dan buruk itu bukanlah penyebab sehingga munculnya
kewajiban atau keharaman suatu perkara. Alhasil menurut al-Maturidi, pengitsbatan
hukum itu mengikuti iradah Allah, akan tetapi Allah Ta’ala tidak menetapkan
suatu hukum kecuali yang sesuai dengan apa yang diketahui oleh akal bahwa itu
baik atau buruk. Berdasarkan ini, pengikut al-Maturidi berpendapat, tidak sah
pada akal ampunan terhadap orang kafir. Inilah yang membedakan al-Maturidi
dengan pemahaman kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah mengatakan, baik dan buruk itu melazimkan
hukum Allah, artinya baik dan buruk itu mengikat Allah dalam menetapkan suatu
hukum (luzum al-zati). Berdasarkan ini,
kaum Mu’tazilah mewajibkan al-shilaah
wal-ishlah (berbuat baik dan yang terbaik) atas Allah Ta’ala. Pandangan muktazilah ini ditolak oleh
kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, baik oleh al-Maturidi maupun al-Asy’ari. Karena pandangan
Mu’tazilah ini mengakibat pemahaman bahwa Allah dipaksa oleh suatu keadaan (tidak
merdeka) dalam menetapkan hukum.
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 1)
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 3)
Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 3)
[1] Zakaria al-Anshari,
Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 31-32
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPak ustad,apa itu definisi wujud atau ada
BalasHapus