Kamis, 12 Mei 2016

Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 2)

4.      Masalah ridha, mahabbah dan iradah
Sepakat dua imam besar ini bahwa bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam ini maujud dengan iradah Allah Ta’ala, baik dalam bentuk jauhar maupun ‘arazh, baik dalam bentuk ta’at mauapun maksiat. Perbedaaan al-Maturidi mengatakan bahwa iradah bukan keridhaan-Nya, akan tetapi merupakan kemurkaan dan larangan-Nya. Sebaliknya, al-Asy’ari mengemukakan bahwa iradah Allah Ta’ala merupakan kecintaan Allah Juga, sehingga muncul ungkapan secara mutlak bahwa Allah Ta’ala mencintai juga maksiat.
Akan tetapi menurut Sa’id Abdul Lathif Fudah, sebenarnya pendapat al-Asy’ari bukanlah sebagaimana tersebut di atas, tetapi penyebutan secara mutlaq di atas dengan makna Allah Ta’ala mencintai maksiat sebagai jalan pemberian azab sebagaimana halnya mencintai ta’at sebagai jalan pemberian pahala. Pemahaman seperti ini tentu akan berbeda dengan penjelasan di atas.  Seterusnya beliau melanjutkan, karena itu, seandainya ada riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari pernah mengatakan bahwa Allah Ta’ala mencintai semua makhluq, maka itu tidaklah mesti bermakna bahwa Allah juga ridha dengan maksiat. Di antara yang mendukung penjelasan ini adalah perkataan al-Asy’ari yang dikutip oleh Ibnu Fura’ dalam kitabnya, Mujrad al-Maqaalaat, berbunyi, adapun pensifatan Allah dengan sifat Yang Mencintai dan Meridhai atau Yang Murka dan Memusuhi, maka itu adalah kembali kepada iradah. Karena itu, al-Asy’ari mengatakan, ridha Allah kepada orang beriman adalah iradah-Nya memberikan pahala dan memuji mereka. Sedangkan murka Allah kepada orang kafir itu bermakna iradah-nya menyiksa dan mencela mereka. Demikian juga mencintai dan memusuhi.
Dengan penjelasan ini, maka pendapat al-Asy’ari yang di kutip di permulaan masalah iradah di atas dapat dipahami tidak berbeda dengan pendapat al-Maturidi. Perbedaannya hanyalah kembali kepada khilaf lafzhi.
5.      Taklif ma la yuthaq (membebankan yang tidak disanggupi)
Taklif ma la yuthaq tidak boleh menurut al-Maturidi, yang boleh hanya tahmil (menanggung) ma la yuthaq. Sedangkan menurut al-Asy’ari kedua-duanya dibolehkan.
Ma la yuthaq di sini tidak disyaratkan sesuatu yang muhaal (mustahil pada akal), akan tetapi mencakup juga sesuatu yang boleh pada akal (jaiz), tetapi keluar dari kesanggupan manusia. Karena itu, termasuklah sesuatu yang mustahil pada ‘adat, bahkan bisa juga mencakup yang lebih rendah dari itu.
Perbedaan pendapat di atas terjadi, karena terjadi perbedaan dalam memahami tujuan taklif. Menurut Imam al-Maturidi, tujuan taklif adalah melaksanakan yang ditaklif itu (mukallaf bihi), tidak semata-mata menghadapkan hati kepada suatu titah. Sedangkan melaksanakan yang ditaklif itu harus dengan melaksanakan sesuatu perbuatan, minimal seseorang dapat disebut bersifat dengan suatu perbuatan yang ditaklif tersebut.
Adapun Imam al-Asy’ari berpandangan, tujuan taklif minimal menghadapkan niat hati untuk melaksanakannya, seandainya mampu melaksanakannya. Sehingga seandainya ada perintah Allah untuk mengangkat sebuah gunung, maka perintah tersebut akan bernilai, karena tujuannya adalah apakah seseorang itu mau berusaha menghadapkan hatinya kepada perintah tersebut atau tidak, meskipun melaksanakan perbuatan tersebut tidak mampu pada ‘adat.
Sebagian ulama al-muhaqqiqin mengatakan, khilaf ini mendekati kepada khilaf lafzhi.
Catatan :
Dalam Kitab Ghayah al-Wushul, karangan Zakaria al-Anshari (salah seorang ulama pengikut al-Asy’ari) ada pembahasan taklif bil muhaal (membebankan hukum dengan sesuatu yang mustahil). Selanjutnya dalam kitab tersebut dijelaskan, menurut pendapat yang lebih shahih, boleh pada akal taklif dengan sesuatu yang mustahil, cuma yang terjadi (wuqu’) taklif bil muhaal ini pada syara’ hanya taklif dengan sesuatu yang mustahil dengan sebab ta’alluq ilmu Allah Ta’ala bahwa sesuatu itu tidak terjadi. Misalnya taklif Abu Lahab dengan beriman, padahal dalam ilmu Allah yang qadim memang diketahui bahwa Abu Lahab tidak akan beriman. Kemudian Zakaria al-Anshari, membedakan taklif bil muhaal dengan al-taklif al-muhaal. Yang terakhir ini menurut beliau, memang tidak boleh ada taklif. Perbedaan keduanya adalah, taklif bil muhaal kembali kepada ma’mur bihi (perbuatan yang diperintah), sedangkan al-taklif al-muhaal kembali kepada al-ma’mur (orang yang diperintah), seperti mayat dan benda mati.[1]
6.      Peran akal pada sebagian hukum
Menurut al-Maturidi, sebagian hukum yang berhubungan dengan taklif dapat diketahui dengan akal. Karena akal merupakan alat yang dapat diketahui dengannya baik dan buruk sebagian perkara. Dengan sebab akal, dapat diketahui kewajiban beriman dan bersyukur, meskipun yang memperkenalkan dan mewajibkan kewajiban itu adalah hanya Allah Ta’ala, akan tetapi itu dengan perantaran akal, sebagaimana seorang rasul memberitahukan suatu kewajiban, padahal pada hakikatnya yang memberitahu itu adalah Allah semata. Berdasarkan ini, al-Marturidi mengatakan : “Tidak ada alasan uzur seseorang karena tidak mengetahui tuhannya, karena dia dapat memahami dengan akalnya siapa yang menciptakan langit dan bumi ini, sehingga seandainya Allah tidak mengutus seorang rasulpun, sungguh kewajiban atas makhluq mengenal tuhannya dengan akal mereka tetap wajib.”
Al-Asy’ari mengatakan, tidak ada kewajiban atau keharaman suatu perkara kecuali dengan syara’. Tidak ada hukum dengan akal, meskipun akal dapat memahami baik dan buruk sebagian perkara. Menurut beliau, semua hukum yang berhubungan dengan taklif diketahui dengan perantaran al-sima’i (didengar dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya).
Kajian tentang ini berhubungan langsung dengan kajian baik dan buruk (al-husn wal qabhi). Sa’id fudah setelah menyebut tiga devinisi baik dan buruk menurut para ulama, beliau menjelaskan bahwa perbedaan pendapat antara al-Maturidi dan al-Asy’ari berkisar pada masalah baik dan buruk dengan makna diberikan pahala atau dosa. Artinya sebuah perbuatan disebut baik apabila perbuatan itu diberikan pahala kalau dikerjakannya dan sebuah perbuatan disebut buruk apabila diberikan azab kalau dikerjakannya.
Patut menjadi catatan bahwa pemahaman al-Maturidi bahwa sebagian hukum yang berhubungan dengan taklif dapat diketahui dengan akal, ini bermakna hubungan hukum dengan perbuatan yang baik atau buruk itu bukanlah hubungan luzum al-zati. Artinya baik dan buruk itu bukanlah penyebab sehingga munculnya kewajiban atau keharaman suatu perkara. Alhasil menurut al-Maturidi, pengitsbatan hukum itu mengikuti iradah Allah, akan tetapi Allah Ta’ala tidak menetapkan suatu hukum kecuali yang sesuai dengan apa yang diketahui oleh akal bahwa itu baik atau buruk. Berdasarkan ini, pengikut al-Maturidi berpendapat, tidak sah pada akal ampunan terhadap orang kafir. Inilah yang membedakan al-Maturidi dengan pemahaman kaum Mu’tazilah. Mu’tazilah mengatakan, baik dan buruk itu melazimkan hukum Allah, artinya baik dan buruk itu mengikat Allah dalam menetapkan suatu hukum (luzum al-zati). Berdasarkan ini, kaum Mu’tazilah mewajibkan al-shilaah wal-ishlah (berbuat baik dan yang terbaik) atas Allah Ta’ala. Pandangan muktazilah ini ditolak oleh kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, baik oleh al-Maturidi maupun al-Asy’ari. Karena pandangan Mu’tazilah ini mengakibat pemahaman bahwa Allah dipaksa oleh suatu keadaan (tidak merdeka) dalam menetapkan hukum.





[1] Zakaria al-Anshari, Ghayah al-Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 31-32

2 komentar: