Senin, 12 Maret 2018

Mengapa ‘aqaid ketuhanan wajib disandarkan kepada dalil ‘aqli


Aqidah Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib mempercayainya sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau mukmin. Namun bukan berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil qath’i yang dapat menghasilkan keyakinan yang qath’i. Dalil ini adakalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara apa yang diimani. Jika sesuatu itu masih dalam jangkauan akal maka dalilnya adalah aqli, tetapi jika sesuatu itu di luar jangkauan akal, wajib disandarkan pada dalil naqli. Dengan demikian dalil aqidah ada dua:
1.   Dalil ‘Aqli : dalil yang digunakan untuk membuktikan perkara-perkara yang dapat menggunakan akal untuk mencapai kebenaran yang pasti dari keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah beriman kepada keberadaan Allah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an, dan pembuktian seseorang sebagai utusan Allah.
2.   Dalil Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang diberitakan kepada manusia berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara langsung dijangkau oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat, Hari Akhir, surga dan neraka, rasul-rasul, kitab-kitab terdahulu dan lain-lain. Khabar yang qath’i  ini haruslah bersumber pada sesuatu yang pasti yaitu Al-Qur’an dan hadits mutawatir (hadits qath’i) dimana dalalah keduanya juga harus qath’i.
Karena ‘aqaid ketuhanan yang merujuk kepada keberadaan Allah dengan sifat-sifat-Nya masih dalam jangkauan akal, maka dalilnya adalah dalil ‘aqli sebagaimana dijelaskan di atas. Kewajiban mengetahui yang berkenaan dengan keyakinan keberadaan Allah (ilahiyat) dengan menggunakan dalil ‘aqli dapat dipahami dari hampir semua kitab-kitab akidah karya ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dimana sebelum membahas rincian sifat-sifat Allah Ta’ala dijelaskan lebih dahulu  pembagian hukum akal dalam tiga pembagian, yakni wajib, mustahil dan jaiz.
Sekarang pertanyaannya, mengapa ‘aqaid ketuhanan wajib disandarkan kepada dalil ‘aqli?. Jawabannya adalah sebagai berikut :
1.    Kepercayaan kepada dalil naqli berupa al-Kitab dan al-Sunnah muncul setelah ada kepercayaan dan keimanan wujud Allah dan Rasul-Nya. Artinya, dalil naqli ini dipercayakan sebagai dalil tergantung kepada kepercayaan wujud Allah dan Rasul-Nya. Lalu sekarang kita menggantungkan kepercayaan wujud Allah dan Rasul-Nya kepada dalil naqli dengan melakukan pendalilian dengannya. Pendalilian seperti ini mengakibatkan daur. Dalam ilmu kalam, daur adalah suatu pendalilian yang yang berujung kepada ketergantungan kepada dalil lainnya, sedangkan dalil lain ini juga tergantung kepada dalil pertama. Pendalilian seperti ini disepakati mustahil dan tidak menghasilkan pengetahuan yang bersifat keyakinan.
Sebagai ilustrasi sederhana dapat digambarkan ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai utusan seorang raja. Tentu pengakuan ini dapat diyakini apabila kita mempunyai dalil bahwa dia benar-benar seorang utusan raja tersebut dan dalil tersebut tidak boleh berdasarkan pengakuannya saja. Karena pengakuannya tersebut tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Lalu sekarang, bagaimana mungkin kepercayaan kita kepadanya ditetapkan berdasarkan pengakuannya, sedangkan pengakuannya itu tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Alhasil kepercayaan kita kepadanya harus berdasarkan dalil lain, bukan hanya sekedar pengakuan.
2.    Diantara dalil ‘aqli yang menunjukkan kepada wujud Allah adalah dari sisi alam ini merupakan suatu yang mungkin wujud. Suatu yang mungkin wujud pasti membutuhkan kepada zat yang menjadikannya. Sedangkan yang wajib wujud tidak membutuhkan selainnya untuk mewujudkannya. Pendalilian seperti ini diisyaratkan oleh firman Allah berbunyi :
وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ
Dan Allah Yang Maha Kaya dan kalianlah orang-orang yang membutuhkan-Nya. (Q.S. Muhammad : 38)

3.    Pendalilian dengan dalil ‘aqli dengan melihat sisi baharu alam diisyaratkan dengan perkataan Ibrahim a.s. yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".(Q.S al-An’am : 76)

Rumusan pendalilian ini adalah : Bintang adalah berubah, sedangkan suatu yang berubah adalah baharu dan yang baharu pasti membutuhkan yang membuatnya  baharu. Dengan demikian, maka bintang bukanlah tuhan. Karena itu, ada zat lain yang qadim yang membuat baharu bintang itu. Pendalilian dengan dalil ‘aqli dengan melihat sisi baharu alam juga diisyaratkan dalam firman Allah berbunyi :
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah haq.(Q.S. al-Fusshilat : 53)

4.    Pendalilian dengan dalil ‘aqli adalah cara pendalilian para anbiya. Ini dapat dilihat dalam kisah sebagai berikut :
a.       Nabi Nuh a.s :
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ عِنْدِهِ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْ أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ
Berkata Nuh: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?" (Q.S. Huud : 28)

Kemudian Allah memberitahukan keadaan kaum Nuh dengan firman-Nya :
قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata "Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar".(Q.S. Huud : 32)

Adu argumentasi Nabi Nuh dengan kaumnya jelas bukan masalah furu’, akan tetapi dalam masalah ‘aqidah. Karena kaum Nuh sebagaimana dimaklumi kaum yang ingkar kepada kenabian Nuh dan tuhannya.
b.      Nabi Ibrahim a.s.
Nabi Ibrahim mencari tahu  keberadaan tuhannya dengan menggunakan dalil ‘aqli dapat dilihat dalam beberapa kasus, yakni :
1). Kasus pertama dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".(Q.S al-An’am : 76)

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. (Q.S al-An’am : 83)

2). Kisah Ibrahim a.s bersama ayahnya yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?(Q.S. Maryam : 42)

3). Kisah Ibrahim dengan kaumnya yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.(Q.S. al-Anbiya : 58)

4). Kisah Ibrahim dengan raja Namruz yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Baqarah : 258)

c.       Nabi Musa a.s.
قَالَ فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى (49) قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى (50)
Berkata Fir’aun : “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?”. Musa Menjawab : “Tuhan kami adalah yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberikan petunjuk. (Q.S. Thaha : 49-50)

d.      Nabi kita Muhammad SAW.
Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW berdakwah kepada kaum kafir dalam firman-Nya :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.(Q.S. al-Nahl : 125)

Jadal adalah hujjah ‘aqli yang qath’i yang dapat menumbuhkan keyakinan dan keimanan kepada kaum kafir dan menolak keyakinan kekufuran mereka.
Dalam ayat lain disebutkan :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Ali ‘Imran : 190)

Ini merupakan dalil ‘aqli dengan melihat sisi baharu alam.


4 komentar: