Selasa, 18 Juli 2023

Hukum berpergian (musafir) pada hari Jumat

 

Sebagaimana telah ditetapkan oleh Islam bahwa hari Jum’at adalah hari yang paling istimewa dibandingkn hari-hari yang lain. Hari itu adalah hari berkumpulnya umat Muhammad SAW di masjid-masjid mereka untuk menjalankan shalat jum’at.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat dihari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Q.S. al-Jumu’ah : 9)

 

Pada ayat ini Allah telah mengingatkan kita untuk menghormati hari Jum’at dengan meninggalkan jual beli ketika telah mendengar seruan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Barulah setelah selesai menjalankan shalat Jum’at kita kembali beraktivitas seperti biasanya.

Lalu bagaimanakah hukum bepergian di hari Jum’at?  Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in mengatakan:

(وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ وَإِنْ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ (سَفَرٌ) تَفُوْتُ بِهِ الْجُمُعَةُ كَأَنْ ظَنَّ أَنَّهُ لَا يُدْرِكُهَا فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ مَقْصِدِهِ وَلَوْ كَانَ السَّفَرُ طَاعَةً مَنْدُوْبًا أَوْ وَاجِبًا (بَعْدَ فَجْرِهَا) أَيْ فَجْرِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ إِلَّا خَشِيَ مِنْ عَدَمِ سَفَرِهِ ضَرَرًا كَانْقِطَاعِهِ عَنِ الرُّفْقَةِ فَلَا يَحْرُمُ إِنْ كَانَ غَيْرَ سَفَرِ مَعْصِيَّةٍ وَلَوْ بَعْدَ الزَّوَالِ

Haram bagi orang yang berkewajiban Jumat melakukan musafir setelah terbitnya fajar pada hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan shalat Jum’at, meskipun ia bukan tergolong yang mengesahkan Jumat, misalnya ia menduga tidak dapat melaksanakan Jum’at di perjalanan atau tempat tujuan, baik bepergian yang wajib atau sunah, kecuali ia khawatir tertimpa mudharat bila tidak bepergian seperti tertinggal dari rekan rombongan, maka tidak haram dalam kondisi tersebut, bahkan meskipun dilakukan setelah masuk waktu zhuhur selama bukan bepergian maksiat.(Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in : II/96)

 

Mengomentari penjelasan al-Malibari di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

)قَوْلُهُ تَفُوْتُ بِهِ الْجُمُعَةُ) أَيْ بِحَسَبِ ظَنِّهِ وَخَرَجَ بِهِ مَا إِذَا لَمْ تَفُتْ بِهِ بِأَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ إِدْرَاكُهَا فِيْ مَقْصِدِهِ أَوْ طَرِيْقِهِ فَلَا يَحْرُمُ لِحُصُوْلِ الْمَقْصُوْدِ وَهُوَ إِدْرَاكُهَا

Perkataan pengarang, yang menyebabkan ia meninggalkan Jumat, maksudnya sesuai dengan dugaan musafir. Karenanya, tidak termasuk di dalamnya apabila Jumat tidak tertinggal disebabkan melakukan musafir, dengan sekira musafir memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya, maka tidak haram bepergian dalam kondisi tersebut karena tujuan syariat yang berupa menemui Jumatan telah tercapai”. (I’anah al-Thalibin : II/96)


Terkait melakukan musafir sebelum tergelincir matahari pada hari Jumat, dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :  

)وَقَبْلَ الزَّوْلِ كَبَعْدِهِ) فِي التَّفْصِيلِ الْمَذْكُورِ (فِي الْجَدِيدِ إنْ كَانَ سَفَرًا مُبَاحًا) لِأَنَّ الْجُمُعَةَ مُضَافَةٌ إلَى الْيَوْمِ وَلِهَذَا يَجِبُ السَّعْيُ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ مِنْ حِينِ الْفَجْرِ كَذَا قَالُوهُ

Sebelum tergelincir matahari sama dengan sesudahnya dalam perkara yang sudah disebutkan menurut pendapat jadid Imam Syafi’i, jika musafir itu mubah. Karena kewajiban shalat Jum’at di sandarkan kepada hari. Berdasarkan ini, wajib berangkat mulai terbit fajar menuju masjid Jum’at atas orang yang jauh rumahnya sebagaimana para ulama mengatakannya.(Tuhfah al-Muhtaj : II/417)

 

Namun demikian, kebolehan melakukan musafir apabila memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya ada rincian lebih lanjut sebagaimana dikemukakan dalam kitab TUhfah al-Muhtaj berikut ini :

وَقَيَّدَهُ صَاحِبُ التَّعْجِيزِ بَحْثًا بِمَا إذَا لَمْ تَبْطُلْ بِسَفَرِهِ جُمُعَةُ بَلَدِهِ بِأَنْ كَانَ تَمَامَ الْأَرْبَعِينَ وَكَأَنَّهُ أَخَذَهُ مِمَّا مَرَّ آنِفًا مِنْ حُرْمَةِ تَعْطِيلِ بَلَدِهِمْ عَنْهَا لَكِنَّ الْفَرْقَ وَاضِحٌ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ مُعَطَّلُونَ بِغَيْرِ حَاجَةٍ بِخِلَافِ الْمُسَافِرِ، فَإِنْ فُرِضَ أَنَّ سَفَرَهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ اتَّجَهَ مَا قَالَهُ، وَإِنْ تَمَكَّنَ مِنْهَا فِي طَرِيقِهِ ُ

Pengarang kitab al-Ta’jiz mengkaidkannya dengan satu pembahasan, yaitu apabila tidak batal jumat baladnya dengan sebab musafirnya, karena dia bagian dari kesempurnaan empat puluh bilangan Jum’at. Dan seolah-olahnya, beliau ini memahaminya dari penjelasan sebelumnya barusan, bahwa haram mengosongkan balad mereka dari Jumat. Akan tetapi perbedaannya terang. Karena mereka mengosongkan Jumat dengan tanpa hajat (kebutuhan), ini berbeda dengan musafir. Karena itu, jika seandainya musafirnya itu bukan karena hajat, maka dapat diterima apa yang dikatakan oleh pengarang al-Ta’jiz tersebut, meskipun memungkinkan melakukan Jumat di perjalanannya..(Tuhfah al-Muhtaj : II/416)

 

Kesimpulan

1.  Haram bagi orang yang berkewajiban melaksanakan shalat Jumat melakukan musafir setelah terbitnya fajar pada hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan shalat Jum’at, baik musafir yang wajib atau sunah, meskipun ia bukan tergolong yang mengesahkan Jumat (bukan ahli Jumat yang empat puluh) kecuali ia khawatir tertimpa mudharat bila tidak melakukan musafir,

2.  Adapun apabila ia menduga dapat melaksanakan Jum’at di perjalanan atau tempat tujuan, maka tidak haram (boleh).

3.  Kebolehan melakukan musafir apabila memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya, ini dibatasi apabila musafir tersebut tidak termasuk dalam bagian kesempurnaan empat puluh bilangan Jumat. Adapun apabila termasuk dalam empat puluh bilangan Jumat, maka haram melakukan musafir apabila musafirnya tidak ada hajat, meskipun memungkinkan melakukan Jumat di perjalanannya. Hal ini karena dapat mengakibatkan tidak cukup bilangan balad jumatnya sendiri.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar