Minggu, 12 Januari 2025

Peran Akal dalam Akidah Islam

 

Akal memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Keimanan merupakan kolaborasi antara akal sehat yang berdasar dari kemampuan akal untuk menganalisis sesuatu yang terjadi. Oleh karena itu keimanan tidaklah hanya didasarkan pada taqlid buta yang hanya mengandalkan kebersihan ruhani saja. Meski demikian, bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan ajaran Islam dalam permasalahan apapun. Untuk memahami kesimpulan ini mari kita simak kajian para ulama kita yang telah menempatkan akal menurut porsinya yang benar.

Dalam kitab Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulam, salah satu kitab manthiq yang diajarkan di dayah-dayah Aceh dan pesantren-pesantren di nusantara pada umumnya, Muhammad bin ‘Ali al-Shabbaan ketika menjelaskan tentang dalil burhan, beliau mengatakan,

اعلم ان البرهان الذي كلتا مقدمتيه او احداهما نقلية نظرية اريد الاستدلال عليها لا بد من انتهاء مقدمتيه او مقدمته نقلية الى عقلية لان العقلية اصل لنقلية

Ketahuilah sesungguhnya dalil burhan yang terdiri dari dua muqadimah nadhriah atau salah satunya, yang akan dijadikan sebagai dalil, maka muqaddimahnya yang naqliah diharuskan berujung kepada ‘aqliah. Karena ‘aqliah adalah asal bagi naqliah.(Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulam, Hal. 148)

 

Lebih lanjut,al-Shabbaan memberikan kita contoh, misalnya ketika seorang yang berzina dihukum hudud (rajam atau cambuk seratus kali) dengan menggunakan dalil ayat al-Qur’an atau hadits Nabi SAW, ini tentu berujung perlunya didahului keyakinan kebenaran apa yg diucapkan oleh Nabi SAW. Buktinya, Nabi SAW itu benar-benar merupakan seorang utusan Allah SWT, yang dibuktikan dengan muncul mu’jizat sebagai tanda bahwa beliau benar-benar seorang utusan Allah. Adapun kemunculan mu’jizat itu sendiri sangat tergantung kepada keyakinan adanya sifat wujud Allah Ta’ala, qidam, baqa, mukhalafah lil hawadits, qiyam binafsihi, wahdaniat, qudrah, iradah, ilmu dan hayah Allah Ta’ala. Karena tanpa sifat-sifat ini, maka kemunculan mu’jizat merupakan suatu kemustahilan, sedangkan penetapan sifat-sifat ini haruslah ditetapkan berdasarkan dalil ‘aqliah. (Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulam, Hal. 148)

Alhasil, penetapan hukum hudud bagi penzina berdasarkan dalil naqliah di atas akan berujung kepada dalil ‘aqliah, tidak mungkin hanya mengandalkan dalil naqliah semata. Karena itu dapat dipahami muncul qaidah “Dalil ‘aqliah adalah asal bagi dalil naqliah.” Apabila ini kita terima, maka kepercayaan terhadap adanya wujud Allah dan sifat-sifat yang tersebut diatas, tentu tidak mungkin kita tetapkan kembali berdasarkan dalil naqliah. Karena akan berujung kepada daur. Dalam ilmu kalam, daur adalah suatu pendalilian yang yang berujung kepada ketergantungan kepada dalil lainnya, sedangkan dalil lain ini juga tergantung kepada dalil pertama. Pendalilian seperti ini disepakati mustahil dan tidak menghasilkan pengetahuan yang bersifat keyakinan.

Sebagai ilustrasi sederhana dapat digambarkan ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai utusan seorang raja. Tentu pengakuan ini dapat diyakini apabila kita mempunyai dalil bahwa dia benar-benar seorang utusan raja tersebut dan dalil tersebut tidak boleh berdasarkan pengakuannya saja. Karena keyakinan atas pengakuannya tersebut tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Lalu sekarang, bagaimana mungkin kepercayaan kita kepadanya ditetapkan berdasarkan pengakuannya, sedangkan pengakuannya itu tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Ini tentu akan berujung daur, sedangkan daur itu mustahil dalam pendalilian. Alhasil kepercayaan kita kepadanya harus berdasarkan dalil lain, bukan hanya sekedar pengakuannya saja.

Sesuai dengan penjelasan di atas, Imam al-Asy’ari dan pengikutnya sebagaimana dikutip oleh al-‘Ainiy berpendapat,

وَإِنَّمَا قيدنَا الدَّلِيل بالعقلي لِأَنَّهُ لَا يجوز الِاسْتِدْلَال فِي إِثْبَات أصُول الدّين بِالدَّلِيلِ السمعي لِأَن ثُبُوت الدَّلِيل السمعي مَوْقُوف على ثُبُوت وجود الصَّانِع والنبوة فَلَو أثبت وجود الصَّانِع والنبوة بِهِ لزم الدّور

Sesungguhnya kita mengkaidkan dalil dengan ‘aqli, karena tidak boleh berargumentasi dalam penetapan ushul agama dengan dalil sam’i (dalil naqli). Karena penetapan dalil sam’i bergantung kepada keyakinan wujud pencipta (Allah) dan kenabian. Karena itu, apabila ditetapkan wujud pencipta dan kenabian dengan dalil sam’i, maka konsekwensinya adalah daur. (Badruddin al-‘Ainiy, ‘Umdah al-Qaari Syarah Shahih al-Bukhari, I/107).

 

Sebenarnya penting menjadi catatan, tidak semua pokok-pokok agama (masalah akidah) diharuskan penetapannya dengan dalil ‘aqliyah. Karena tidak semua masalah akidah dapat dipahami dengan akal dalam menetapkan keyakinan wujud atau tidak wujudnya, seperti wujud surga dan neraka, masalah pemberian pahala bagi yang taat dan dapat siksaan atas perbuatan maksiat, adanya shirath, dan lain-lain. Namun demikian, dalil-dalil naqli tersebut harus berada dalam ruang lingkup jawaz pada akal (sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada menurut akal/tidak mustahil). Karena dalil naqli (nash syara’) tidak mungkin bertentangan dengan akal yang bersifat qath’i.

Di atas sudah dijelaskan bahwa keyakinan kebenaran al-Qur’an atau hadits Nabi SAW bergantung kepada keyakinan kita pada kebenaran apa yg diucapkan oleh Nabi SAW. Sedangkan kebenaran ucapan Nabi SAW dibuktikan dengan muncul mu’jizat sebagai tanda bahwa beliau adalah benar-benar seorang utusan Allah. Adapun kemunculan mu’jizat itu sendiri sangat tergantung kepada ketetapan keyakinan adanya sifat wujud Allah Ta’ala, qidam, baqa, mukhalafah lil hawadits, qiyam binafsihi, wahdaniat, qudrah, iradah, ilmu dan hayah Allah Ta’ala. Dengan demikian hanya sifat-sifat ini yang diharuskan penetapannya dengan dalil ‘aqliah. Karena keyakinan kebenaran dalil naqli (al-Qur’am dan hadits) bergantung kepada keyakinan wujud sifat-sifat ini. Karena itu, tidak mungkin wujud sifat-sifat ini dibuktikan kembali dengan dalil naqli pula, karena lazim daur sebagaimana dijelaskan di atas.

Lebih jelasnya, berikut ini pembagian ushul agama dari aspek dalilnya menurut al-Baaqilaaniy:

أن جميع أحكام الدين المعلومة لا تنفك من ثلاثة أضرب فضرب منها، لا يصح أن يعلم إلا بالعقل دون السمع. وضرب آخر، لا يصح أن يعلم عقلاً، بل لا يصح العلم به إلا من جهة السمع.

والضرب الثالث منها، يصح أن يعلم عقلاً وسمعاً. فأما ما لا يصح أن يعلم إلا بالعقل دون السمع فنحو حدوث العالم وإثبات محدثه ووحدانيته، وما هو عليه من صفاته ونبوة رسله، وكل ما يتصل بهذه الجملة مما لا يتم العلم بالتوحيد والنبوة إلا به والدليل على ذلك أن السمع إنما هو كلام الله وقول من يعلم أنه رسول له وإجماع من خبر أنه لا يخطئ في قوله، ولن يصح أن يعرف أن القول قول لله، ولمن هو رسول له، وصدق من خبر الرسول صلى الله عليه وسلم عن صوابه وصدقه إلا بعد معرفة الله تعالى، لأن العلم بأن القول قول له والرسول رسول له فرع للعلم به سبحانه، لأنه علم بكلامه وإرساله وصفة من صفاته، ومحال أن يعرف هذه الصفة لله من لا يعرف الله، كما أنه محال أن يعرف أن الكلام والرسول كلام ورسول لزيد من لا يعرف زيداً، فوجب أن يكون العلم بالله وبنبوة رسله معلوماً عقلاً قبل العلم بصحة السمع.

Sesungguhnya semua hukum agama yang diketahui tidak terlepas dari tiga pembagian. Pembagian pertama, tidak sah diketahui kecuali dengan akal, tidak dengan sama’ (dalil naqli). Pembagian yang lain (yang kedua) tidak sah diketahui dengan dengan akal, akan tetapi hanya sah diketahui dengan jalan sama’ saja (dalil naqli). Pembagian ketiga, sah diketahui dengan akal dan sama’. Adapun yang tidak sah diketahui kecuali dengan akal, tidak dengan sama’, contohnya baharu alam, penetapan yang memperbaharui alam (Allah), wahdaniat-Nya, sifat-sifat-Nya dan kenabian utusan-Nya dan setiap yang berhubungan dengan katagori ini yang tidak sempurna pengetahuan tauhid dan kenabian kecuali dengannya. Dalilnya, sesungguhnya sama’ (dalil naqli) adalah kalam Allah dan perkataan orang yang diketahui sebagai rasul-Nya serta ijmak orang-orang yang dikabarkan tidak akan terjadi kesalahan pada perkataannya. Sementara itu, tidak sah dikenali bahwa suatu perkataan adalah perkataan Allah atau perkataan utusan-Nya dan tidak sah pula benar orang-orang yang dikabari Rasulullah SAW tentang kebenarannya kecuali sesudah mengenal Allah Ta’ala. Karena mengetahui bahwa suatu perkataan merupakan perkataan Allah dan seorang rasul benar merupakan rasul Allah adalah furu’ dari mengetahui Allah SWT. Hal ini dikarenakan hal tersebut merupakan pengetahuan tentang kalam Allah dan pengutusan-Nya serta satu sifat dari sifat-Nya. Mustahil dikenal sifat ini sebagai sifat Allah oleh orang yang tidak mengenal Allah sebagaimana halnya mustahil mengenal suatu kalam dan seorang utusan merupakan kalam dan utusan si Zaid oleh orang yang tidak mengenal si Zaid. Karena itu, sesungguhnya wajib mengenal Allah dan kenabian utusannya adalah maklum pada akal sebelum mengetahui sah suatu sama’ (dalil naqli). (al-Baaqilaaniy, al-Taqriib wal Irsyad, I/228)

 

Kemudian al-Baaqilaaniy melanjutkan penjelasan pembagian kedua, beliau mengatakan,

وأما ما يعلم بالسمع من حيث لا مسرح للعقل فيه, فنحو العلم بكون فعل المكلف حسنًا وقبيحًا وحلالًا وحرامًا وطاعة وعصيانًا وقربة وواجبًا وندبًا, وعقدًا ماضيًا نافذًا وتمليكًا صحيحًا وكونه  أداء وقضاء ومجزئًا وغير مجزئ, وتحريم كل محرم من فعله على مراتبه

Adapun yang diketahui dengan sama’ (dalil naqli) di mana tidak ada peran petunjuk akal padanya, ini seperti mengetahui keadaan perbuatan mukallaf baik dan buruk, halal dan haram, taat dan maksiat, qurbah, wajib dan mandub, akad yang sudah berlangsung dan berlaku, tamliik yang shahih, keadaan suatu akad ada’ dan qadha, memadai dan tidak memadai, pengharaman setiap perbuatan yang haram sesuai martabatnya.

 

Dalam penjelasan pembagian ketiga, beliau mengatakan,

وأما ما يصح أن يعلم بالعقل تارة وبالسمع أخرى, فهو كل حكم وقضية عقل لا يخل الجهل بها بالعلم بالتوحيد والنبوة, نحو العلم بجواز رؤية الله تعالى بالأبصار وجواز الغفران للمذنبين, والعلم بصحة التعبد بالعمل بخبر الواحد والقياس في الأحكام, وأمثال ذلك مما إذا جهله المكلف صح مع جهله به أن يعرف الله تعالى ونبوة رسله صلى الله عليهم وسلم.

Adapun yang sah diketahui dengan akal dan pada kali  lain juga sah diketahui dengan sama’, ini setiap hukum dan norma akal di mana apabila tidak ada pengetahuan tentangnya tidak akan mencederai pengetahuan tentang tauhid dan kenabian. Ini seperti mengetahui memungkinkan melihat Allah Ta’ala dengan mata kepala, memungkinkan pemaafan orang yang berbuat dosa, mengetahui sah ta’abbud dengan beramal khabar ahad dan qiyas pada hukum dan lain-lain yang sama dengannya yaitu contoh-contoh di mana seorang mukallaf apabila tidak ada pengetahuan tentangnya masih dihukum sah mengenal Allah dan kenabian utusan-Nya SAW dengan keadaannya tanpa pengetahuan tersebut. (al-Baaqilaaniy, al-Taqriib wal Irsyad, I/231)

 

Penting menjadi catatan dalam pembagian ketiga ini, akal hanya dapat menetapkan sebatas jawaz (sesuatu yang sah ada dan tidak ada) saja. Adapun yang menentukan ada atau tidak ada pada kenyataannya hanyalah penetapan syara’. Zakariya al-Anshari menyebut contohnya, secara hukum akal, Allah boleh saja memberikan pahala kepada pelaku maksiat dan menyiksa pelaku taat. Karena mereka adalah milik Allah. Karena itu, Allah bebas memperlakukan mereka sekehendak-Nya. Akan tetapi perlakuan seperti ini tidak terjadi pada kenyataannya, karena syara’  (al-Qur’an dan hadits) sudah menerangkan adanya pengkhususan pahala bagi pelaku taat dan siksaan atas pelaku maksiat. Namun demikian, khusus masalah dosa pelaku maksiat, syara’ menerangkan Allah bisa jadi memaafkannya kecuali dosa syirik sebagaimana firman Allah Ta’ala berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Nisa’: 48)

 

Contoh yang dikemukakan Zakariya al-Anshari di atas terdapat dalam karya beliau, kitab Ghayatul Wushul berikut ini:

(وله) تعالى (إثابة العاصي وتعذيب المطيع وإيلام الدواب والأطفال) لأنهم ملكه يتصرف فيهم كيف يشاء لكن لا يقع منه ذلك لإخباره بإثابة المطيع وتعذيب العاصي كما مرّ ولم يرد إيلام الأخيرين في غير قود والأصل عدمه

Memungkinkan bagi Allah Ta’ala memberikan pahala bagi pelaku maksiat dan menyiksa atas pelaku taat, menyakiti hewan-hewan dan anak-anak. Karena mereka merupakan milik Allah dimana Allah bebas memperlakukannya bagaimana yang dikehendaki-Nya. Tetapi ini tidak terjadi pada kenyataan karena ada khabar  pemberian pahala bagi pelaku taat dan menyiksa atas pelaku maksiat sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Tidak datang khabar terkait menyakiti dua yang akhir (menyakiti hewan dan anak-anak) selain dalam kasus qishas. Sedangkan yang menjadi asal adalah tidak ada.(Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul: 163)

Alhasil, sebagaimana penjelasan di atas, akal mempunyai peran yang sangat tinggi dalam bidang akidah. Karena dengan akal, kita memilih mana agama yang hak dan mana agama yang batil. Dengan perantaraan akal, kita memantapkan keyakinan akidah yang benar. Imam Ibnu al-‘Arabi (ulama besar dari kalangan mazhab Maliki, bukan Ibnu ‘Arabi ulama sufi pengarang kitab Futuhaat al-Makkiyah) sebagaimana dikutip oleh Imam al-Sanusi dalam kitab Umm al-Baraahin, mengatakan,

اعلموا علمكم الله ان هذا العلم المكلف به لا يحصل ضرورة ولا الهاما ولا يصح التقليد فيه ولا يجوز ان يكون الخبر طريقا اليه وانما الطريق اليه النظر

Ketahuilah -semoga Allah memberi ilmu kepada kalian semua- sesungguhnya ilmu ini (ilmu tauhid) yang dibebankan kepada mukallaf, tidak akan berhasil dengan dharuri dan tidak juga dengan cara ilham serta tidak sah taqlid padanya. Tidak boleh hanya khabar (al-Qur’an dan hadits) sebagai jalannya, sesungguhnya yang menjadi jalan kepadanya adalah nadhar (‘aqliyah).

 

Dalam mengomentari perkataan di atas, Al-Dusuqi menjelaskan bahwa al-Qur’an dan hadits tidak dapat menjadi jalan kepada ilmu tauhid, maksudnya selain pengetahuan tentang sifat sama’, bashar, kalam Allah Ta’ala dan lawazim-lawazimnya, yaitu sam’un, bashirun dan mutakallimun. Adapun sifat yang enam ini, pendaliliannya harus melalui al-Qur’an atau hadits. Dalam mempertahankan pendapat ini, Ibnu al-Arabi mengatakan,

ان من لم يعلم الله تعالى كيف يعلم ان الخبر خبره فثبت ان طريقه النظر

Sesungguhnya orang-orang yang belum mengenal Allah Ta’ala bagaimana mungkin mengetahui suatu khabar adalah khabar dari Allah Ta’ala. Karena itu, tetaplah bahwa jalan mengenal Allah adalah nadhar (‘aqliyah). (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahin: 58 dan 60)

 

Pendalilian seperti ini lebih jelasnya telah dikemukakan oleh al-Baaqilaaniy dalam kitab beliau, al-Taqriib wal Irsyad sebagaimana telah dikutip di atas.

Apakah mungkin dalil naqli bertentangan dengan dalil ‘aqli

Terkadang muncul di benak kita, bagaimana seandainya terjadi pertentangan antara dalil naqli dan dalil ‘aqli. Imam al-Ghazali memberikan jawaban, itu tidak memungkinkan terjadi, karena dalil ‘aqli mustahil mansukh atau didustakan. Selanjutnya beliau mengatakan,

فَإِنْ وَرَدَ دَلِيلٌ سَمْعِيٌّ عَلَى خِلَافِ الْعَقْلِ فَإِمَّا أَنْ لَا يَكُونَ مُتَوَاتِرًا فَيُعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ صَحِيحٍ، وَإِمَّا أَنْ يَكُونَ مُتَوَاتِرًا، فَيَكُونَ مُؤَوَّلًا، وَلَا يَكُونَ مُتَعَارِضًا.وَأَمَّا نَصٌّ مُتَوَاتِرٌ لَا يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ، وَالتَّأْوِيلَ، وَهُوَ عَلَى خِلَافِ دَلِيلِ الْعَقْلِ فَذَلِكَ مُحَالٌ؛ لِأَنَّ دَلِيلَ الْعَقْلِ لَا يَقْبَلُ النَّسْخَ، وَالْبُطْلَانَ، مِثَالُ ذَلِكَ الْمُؤَوَّلُ فِي الْعَقْلِيَّاتِ قَوْله تَعَالَى خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ إذْ خَرَجَ بِدَلِيلِ الْعَقْلِ ذَاتُ الْقَدِيمِ وَصِفَاتُهُ، وَقَوْلُهُ: وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ دَلَّ الْعَقْلُ عَلَى عُمُومِهِ، وَلَا يُعَارِضُهُ قَوْله تَعَالَى قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ  إذْ مَعْنَاهُ مَا لَا يَعْلَمُ لَهُ أَصْلًا أَيْ: يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ، وَلَا يُعَارِضُهُ قَوْله تَعَالَى حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ إذْ مَعْنَاهُ أَنَّهُ يَعْلَمُ الْمُجَاهَدَةَ كَائِنَةً، وَحَاصِلَةً، وَفِي الْأَزَلِ لَا يُوصَفُ عِلْمُهُ بِتَعَلُّقِهِ بِحُصُولِ الْمُجَاهَدَةِ قَبْلَ حُصُولِهَا

Apabila datang dalil sam’i (dalil naqli) bertentangan dengan akal, adakalanya bukan mutawatir, maka dapat dipastikan yang tidak mutawatir tersebut adalah tidak shahih dan adakalanya bukan mutawatir, maka dalil sam’i tersebut harus ditakwil dan karena itu tidak akan terjadi pertentangan. Adapun nash mutawatir yang tidak ada kemungkinan salah dan takwil serta bertentangan dengan dalil akal, maka ini mustahil. Karena akal tidak memungkinkan nasakh dan dusta.

Imam al-Ghazali memberikan contoh yang ditakwil dalam bidang ‘aqliyah antara lain firman Allah Ta’ala:

خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

Allah pencipta setiap sesuatu (Q.S. al-An’am: 102)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah menciptakan semuanya, namun dalil akal mengecualikan  zat Allah yang qadim dan sifatnya. Karena secara akal tidak mungkin Allah menciptakan dirinya sendiri.

Contoh lain firman Allah Ta’ala:

وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-Baqarah: 29)

Akal memastikan ilmu Allah dalam ayat ini tetap berlaku keumumannya. Ilmu Allah meliputi semua yang ada serta yang tidak ada, meliputi juga yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi. Ini tidak bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:

قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ

Katakanlah kepada mereka "Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya di langit dan tidak pula di bumi? (Q.S. Yunus: 18)

 

Karena ayat 18 Surat Yunus ini bermakna sesuatu yang tidak diketahui ada asalnya dengan makna Allah Ta’ala mengetahui bahwa sesuatu tersebut tidak ada asal sama sekali. Alhasil, ayat ini tidak bermakna bahwa ada sesuatu yang tidak diketahui Allah Ta’ala, tapi justru ilmu Allah Ta’ala meliputi sesuatu yang tidak ada asalnya sama sekali. (al-Ghazali, al-Mustashfaa: 252)

Al-Tahsiin al-‘Aqli versus al-Tahsiin al-Syar’i

Pengertian al-tahsiin al-‘aqli adalah

هو كون أفعاله تعالى موقوفة على الأغراض وهي جلب المصالح ودرء المفاسد

Yaitu perbuatan Allah Ta’ala dikaidkan dengan suatu tujuan, yaitu meraih kemaslahatan dan menghindari kemudharatan.(Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahin: 217).

 

Keyakinan bahwa perbuatan Allah Ta’ala bergantung pada meraih kemaslataan dan menghindari kemudharatan mengandung arti bahwa perbuatan Allah Ta’ala wajib menyesuaikan dengan maslahah (baik) dan menghindari mudharat (buruk). Berdasarkan ini, maka apa yang dianggap baik dan buruk dalam agama dapat dikenali akal, tanpa membutuhkan wahyu dan nabi yang menjelaskannya (menurut sebagian kaum filsafat) atau utusan Allah (nabi) hanya sekedar sebagai penguat saja (menurut Mu’tazilah). Alhasil menurut versi Muktazilah, akal bukan hanya bisa menentukan suatu perkara dikatakan baik atau buruk. Tetapi juga bisa melahirkan hukum taklifi baik berupa hukum wajib atau haram. Lebih ringkasnya, kata Muktazilah, jika suatu hal sudah baik menurut akal, maka otomatis hal tersebut berhukum wajib. Sebaliknya jika akal mengatakan kalau suatu tersebut buruk maka hukumnya haram dikerjakan. Berangkat dari pemahaman semacam ini mereka kemudian menetapkan konsep wujubus-shalah wal aslah (Allah wajib berbuat baik dan lebih baik). Menurut Muktazilah kehadiran nash syariat itu hanya untuk menyempurnakan dan mengkokohkan nalar akal. Jadi akal adalah supir, dan nash syariat adalah penumpang. Berbanding terbalik dengan paham Ahlusunah wal Jama’ah yang menyatakan bahwa akal hanya sarana untuk memahami nash syariat.

Karena itu, Imam al-Sanusi salah seorang ulama besar dan menjadi rujukan dalam bidang aqidah Ahlussunah wal Jama’ah telah menempatkan al-tahsiin al-‘aqli ini sebagai salah satu sumber kekufuran dan bid’ah dalam aqidah. Beliau menjelaskan sebagian ahli filsafat menjadikan al-tahsiin al-‘aqli sebagai dasar mereka menafikan kenabian (nubuwah). Nabi  tidak diperlukan lagi muncul di dunia ini, karena kemaslahatan dan kebaikan serta kejahatan dapat dikenali dengan akal. Semua tindakan Allah Ta’ala bergantung kepada apa yang dipahami oleh akal sebagai kebaikan dan kejahatan. Artinya Allah Ta’ala tidak ada pilihan menurut iradah-Nya yang mutlaq. Al-tahsiin al-‘aqli ini juga telah dijadikan dasar oleh golongan Mu’tazilah, sehingga mereka berkeyakinan bahwa Allah Ta’ala wajib melakukan sesuatu yang baik (al-shalah) dan yang lebih baik (al-ashlah). Namun golongan Mu’tazilah tidak sampai menafikan kenabian. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahin: 217-219).

Zakariya al-Anshari menjelaskan kepada kita:

 (وعندنا) أيها الأشاعرة (أن الحسن والقبح) لشيء (بمعنى ترتب) المدح و (الذم حالاً) والثواب (والعقاب مآلاً) كحسن الطاعة وقبح المعصية. (شرعيان) أي لا يحكم بهما إلا الشرع المبعوث به الرسل. أي لا يدرك إلا به ولا يؤخذ إلا منه

Menurut kita wahai kaum al-Asy’ariyah sesungguhnya baik dan buruk sesuatu, dengan makna mendapatkan predikat terpuji dan tercela pada masa sekarang (dunia) serta pahala dan siksaan untuk kemudian hari (akhirat) seperti baik ta’at dan buruk maksiat, semuanya adalah syar’i. Artinya tidak dihukum baik atau buruk kecuali oleh syara’ yang diutus Rasul dengannya. Maknanya tidak didapati dan tidak dapat dipahami suatu hukum kecuali melalui syara’. (Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul: 7)

Karena itu, tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini kecuali apa yang dipuji atau yang dicela syara’. Maka menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, sesuatu yang baik adalah apa saja yang dipuji oleh syara’ dan sesuatu yang buruk adalah apa saja yang dicela oleh syara’ sebagaimana dikemukakan Imam al-Syarqawi berikut ini:

فالحسن عندنا ما حسنه الشرع والقبح ما قبحه الشرع وان لم يعرف ان فيه مصلحة او مفسدة عند الله تعالى

Karena itu, menurut kita yang terpuji adalah apa yang dipuji syara’ dan yang tercela apa yang dicela syara’, meskipun padanya tidak diketahui ada maslahah atau mafsadah di sisi Allah Ta’ala. (Hasyiah al-Syarqawi ‘ala Hudhudiy: 39)

 

Namun demikian, ini tidak berarti kita menafikan akal dalam memahami mana yang terpuji dan tercela di dunia ini sama sekali. Terpuji dengan makna bersesuaian dengan tabi’at manusia seperti manis adalah baik dan tercela dengan makna ditolak oleh tabiat seperti pahit adalah buruk, ini tetap dapat dipahami melalui akal. Dan juga terpuji dengan makna sifat sempurna seperti ilmu adalah sifat sempurna dan tercela dengan makna sifat kekurangan seperti bodoh adalah kekurangan, ini  juga dapat dipahami oleh akal. (Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul: 7)

Al-Baaqilaniy juga menegaskan hal yang sama, yakni:

وجميع أحكام الأمارات والعلل الشرعية شرعية ثابتة بالسمع دون قضية العقل لأن العقل لا يوجب حكماً من أحكام العبادات والعقود

Semua hukum dhahir dan ‘illah syari’yah adalah syar’i yang ditetapkan berdasarkan sama’ (naqli), tidak dengan hukum akal, karena akal tidak dapat mewajibkan sebuah hukum ibadah dan akad. (al-Baaqillani, al-Taqrib wa al-Irasyad: I/227)

 

Meskipun dalil ‘aqli cukup berperan dalam pendalilian dalam bidang akidah di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana tergambar di awal tulisan, namun dalam hal penetapan  taklif yang berdampak dosa dan pahala di hari akhirat kelak, termasuk kewajiban mengenal Allah Ta’ala tetap merujuk kepada penetapan syara’, yakni melalui wahyu atau penetapan Nabi SAW. Kesimpulan ini terlihat dari penjelasan tiga tokoh al-Asy’ariyah di atas. Kesimpulan ini juga pernah dikemukakan oleh tokoh Ahlussunah wal Jama’ah dari Timur Tengah masa kini, Dr Sa’id Fudah berikut ini:

فأهل السنة يستدلون على العقائد بالدليل العقلي ومرادهم بذالك اثبات حقيقتها ومطابقتها للواقع لا اثبات التكليف بها بالعقل فاثبات التكليف بها يكون بالشرع كما قلنا

Maka Ahlussunnah melakukan pendalilian terhadap aqaid dengan dalil ‘aqli. Maksud mereka yang demikian adalah menetapkan hakikatnya dan kecocokannya dengan yang sebenarnya, bukan menetapkan taklif dengan akal. Karena itu, penetapan taklif aqaid tetap harus dengan syara’ sebagaimana telah kami jelaskan.(Sa’id Fudah, Buhuts fi Ilmi al-Kalam: 31)

Bahkan dalam hal kewajiban mengenal Allah Ta’ala dimana akal pikiran lebih mudah dan gamblang menangkapnya, namun tetap merujuk kepada ketetapan syara’ sebagaimana dijelaskan dalam Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’ berikut ini:

ثُمَّ إنَّ هَذِهِ الْمَعْرِفَةَ وَاجِبَةٌ بِطَرِيقِ الشَّرْعِ فَقَوْلُهُ أَوَّلُ الْوَاجِبَاتِ أَيْ شَرْعًا وَنَقَلَ عَنْ الْمَاتُرِيدِيَّةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ بِالْعَقْلِ.

Kemudian, sesuangguhnya ma’rifah ini (mengenal Allah Ta’ala) wajib dengan jalan ketetapan syara’. Maka perkataan pengarang: awwal al-waajibaati, artinya menurut syara’. Dinaqal dari al-Maturudiyah, sesungguhnya mengenal Allah Ta’ala wajib dengan ketetapan akal. (Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’: II/514)

 

Namun demikian, khusus mengenai kewajiban mengenal Allah Ta’ala, golongan al-Maturidiyah (termasuk golongan Ahlusunnah wal Jamaah sebagaimana halnya golongan al-Asy’ariyah) berbeda pendapat dengan al-Asy’ariyah. Golongan al-Maturudiyah berpendapat kewajiban mengenal Allah Ta’ala dapat diketahui dengan akal, dengan makna seandainya syara’ tidak datang menjelaskannya, sungguh akal mampu memahaminya, karena lebih mudah dan lebih gamblang memahaminya, akan tetapi bukan karena berpedoman kepada keyakinan al-tahsiin al-‘aqli sebagaimana keyakinan Mu’tazilah.(Hasyiah al-Bajuri ‘ala Jauharah al-Tauhid: 71). Jadi menurut al-Maturidiyah yang menetapkan kewajiban mengenal Allah Ta’ala adalah Allah Ta’ala, akal hanya sebagai alat mengenali dan memahaminya. Ini berbeda dengan golongan Mu’tazilah yang berpendapat akal dapat menetapkan kewajibannya karena mendasarkan kepada keyakinan al-tahsiin al-‘aqli. Dalam Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’ dijelaskan:

وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْلِ الْمُعْتَزِلَةِ أَنَّهُمْ يَجْعَلُونَ الْعَقْلَ مُوجِبًا وَعِنْدَ الْمَاتُرِيدِيَّةِ الْمُوجِبُ هُوَ اللَّهُ تَعَالَى وَالْعَقْلُ مُعَرِّفٌ لِإِيجَابِهِ وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمُعْتَزِلَةَ يَبْنُونَ كَلَامَهُمْ عَلَى التَّحْسِينِ وَالتَّقْبِيحِ الْعَقْلِيِّ فَيَجْعَلُونَ ذَاتَ الْعَقْلِ تَسْتَقِلُّ بِهِ الْأَحْكَامُ وَإِنَّمَا جَاءَ الشَّرْعُ مُذَكِّرًا وَمُقَوِّيًا لِلْعَقْلِ فَهُوَ تَابِعٌ لِلْعَقْلِ

Perbedaan antara pendapat al-Maturidiyah dan Mu’tazilah adalah sesungguhnya Mu’tazilah menjadikan akal yang menetapkan kewajiban mengenal Allah, sedangkan menurut al-Maturidiyah yang menetapkannya hanyalah Allah Ta’ala. Akal hanya memperkenalkan kewajibannya tersebut. Alhasil, sesungguhnya Mu’tazilah menjadikan dasar kalam mereka atas al-tahsiin dan al-taqbiih al-‘aqli. Karena itu, mereka menjadikan akal punya peran mandiri dalam menetapkan hukum, sedangkan syara’ hanya sebagai pengingat dan penguat akal. Maka syara’ adalah yang mengikuti akal. (Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’: II/514)

 

Dalam Hasyiah al-Bajuri ‘ala Kifayah al-‘Awam, Ibrahim al-Bajuri menegaskan:

وذهبت الماتريدية الى انها تثبت بالشرع الا وجوب معرفه تعالى فانه بالعقل لكن لا للتحسين العقلي كما تقول المعتزلة بل لوضوحه فهو مبين له كالرسول كما قاله النسفي في بحر الكلام

Al-Maturudiyah berpendapat semua hukum itu ditetapkan dengan syara’ kecuali kewajiban mengenal Allah Ta’ala. Sesungguhnya kewajiban mengenal Allah Ta’ala ditetapkan dengan akal, akan tetapi bukan karena al-tahsiin al-‘aqli sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi karena terangnya, maka akal menjelaskannya sebagaimana penjelasan seorang Rasul. Ini sebagaimana penjelasan al-Nasafi dalam kitab Bahr al-Kalam. (Hasyiah al-Bajuri ‘ala Kifayah al-‘Awam: 13)

 Wallahua’lam bisshawab