Sebelum masuk waktu mulai puasa, sebelum
fajar, sebagai persiapan berpuasa kita dianjurkan makan dan minum. Makan dan
minum ini dinamakan sahur sebelum berpuasa. Anjuran ini sebagaimana sabda Nabi
SAW berbunyi :
فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ
أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُورِ
Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab
adalah makan sahur (H.R. Muslim dan lainnya)
Dan Sabda Nabi SAW :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ
عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya
bershalawat kepada orang-orang yang bersahur (H.R. al-Thabraniy)
Namun ketika bulan Ramadhan tiba, sekitar
10 menit menjelang adzan subuh berkumandang menjadi sebuah fenomena umum di
daerah-daerah Indonesia (termasuk Aceh) sayup suara orang mengumumkan waktu
imsak bersahutan. Saat imsak, masyarakat kita mulai menahan diri dari segala
hal yang membatalkan puasa, padahal belum masuk waktu mulai berpuasa Pertanyaannya, apakah tradisi waktu imsak ini ada
tuntunannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita simak firman Allah
Ta’ala sebagai landasan penetapan waktu puasa, yaitu Q.S. al-Baqarah: 187:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا
الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa
sampai (datang) malam. (QS Al-Baqarah: 187).
Berdasarkan firman Allah Ta’ala ini,
dipahami bahwa puasa itu dimulai dengan terbit fajar sampai masuk waktu malam,
yaitu magrib. Artinya kewajiban menahan makan dan minum serta menahan hal-hal
yang membatalkan puasa lainnya dimulai saat terbit fajar sampai waktu magrib
tiba. Dengan demikian, kita masih dimungkinkan makan sahur asalkan belum terbit
fajar.
Sesuai dengan yang dipahami dari firman
Allah di atas dan penjelasan al-Kaasaaniy al-Hanafi bahwa perkataan sahur berasal
dari akar kata “sahar”, sedangkan waktu sahar adalah sesudah pertengahan
malam. (al-Kaasaaniy al-Hanafi, Badai’ al-Shanai’fi tartib al-Syarai’ :II/69),
maka waktu sahur dimulai sesudah melewati pertengahan malam dan berakhir dengan
terbit fajar. Berdasarkan ini, maka orang yang makan sebelum pertengahan malam
dengan niat sahur tidak sah menjadi sahur. Karena itu, Imam al-Nawawi
mengatakan,
وَقْتُ السَّحُورِ بَيْنَ نِصْفِ
اللَّيْلِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ
Waktu sahur adalah antara pertengahan
malam dan terbit fajar. (Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab:VI/360)
Abubakar Syathaa dalam I’anah al-Thalibin
mengatakan,
والحاصل أن السحور
يدخل وقته بنصف الليل، فالأكل قبله ليس بسحور، فلا يحصل به السنة،
Alhasil, sesungguhnya sahur masuk
waktunya dengan masuk pertengahan malam. Karena itu, makan sebelumnya bukanlah
sahur dan tidak mendapat sunnah karenanya.( Abubakar
Syathaa, I’anah al-Thalibin: II/277)
Meskipun waktu bersahur sebagaimana dikemukakan di atas antara
pertengahan malam dan terbit fajar, akan tetapi waktu utama bersahur adalah di
akhir malam. Hal ini dikarena makan sahur di akhir malam lebih meringankan
orang berpuasa menahan lapar dan haus pada waktu siangnya. Dalam sebuah hadits,
Nabi SAW bersabda :
عَجَّلُوا
الإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ
Segerakanlah berbuka dan akhirkan bersahur (H.R. al-Thabraniy)
Di sisi Abdurrazaq dan lainnya dengan isnad
shahih dari ‘Amr bin Maimun al-Audiy berkata :
قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُورًا
Para sahabat Muhammad SAW memerintahkan manusia menyegerakan
berbuka dan memperlambatkan sahur. ( Ibnu
Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri: IV/199)
Ini sesuai dengan praktek Nabi SAW beserta sahabatnya sebagaimana
hadits berikut:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟
قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً
Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW,
kemudian kami mendirikan shalat. Aku (perawi) bertanya : “berapa ukuran antara
keduanya”. Zaid bin Tsabit menjawab : “ukuran lima puluh ayat. (H.R.
Muslim)
Hukum tradisi imsak
Waktu sahur Nabi SAW dalam hadits riwayat
Muslim di atas dalam jarak tempo membaca 50 ayat al-Quran tidaklah dipahami
secara sempit sebagai batasan waktu tertentu, akan tetapi substansi dari waktu sahur Nabi SAW tersebut adalah
sikap kehati-hatian dalam menjaga sahur agar tidak sampai masuk dalam waktu
fajar (waktu mulai puasa). Sikap kehati-hatian ini sesuai dengan hadits Nabi
SAW berbunyi:
دع ما يريبك الى ما لا ما يريبك
Tinggalkan yang
meragukan dirimu kepada yang tidak meragukan (H.R. Ahmad, al-Turmizi dan
lainnya)
Karena itu, Imam Syafi’i mengatakan:
وأستحب التأني بالسحور ما لم يكن في وقت
مقارب يخاف أن يكون الفجر طلع فإني أحب قطعه في ذلك الوقت
Aku senang memperlambat dalam bersahur, selagi
tidak sampai pada waktu yang mendekati (fajar) yang dikhawatirkan terbit fajar
(jika terjadi hal demikian) aku senang menghentikan sahur pada saat sebelum
subuh.(al-Umm: II/105)
Pernyataan yang lebih tegas dapat
diperhatikan dalam ucapan Imam al-Mawardi di dalam kitab Iqna’:
وزمان الصّيام من طُلُوع الْفجْر الثَّانِي
إِلَى غرُوب الشَّمْس لَكِن عَلَيْهِ تَقْدِيم الامساك يَسِيرا قبل طُلُوع الْفجْر
وَتَأْخِير (الْفطر) يَسِيرا بعد غرُوب الشَّمْس ليصير مُسْتَوْفيا لامساكمَا
بَينهمَا
Waktu berpuasa adalah
dari terbitnya fajar kedua sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi (akan
lebih baik bila) orang yang berpuasa melakukan imsak (menghentikan makan dan
minum) sedikit lebih awal sebelum terbitnya fajar dan menunda berbuka sejenak
setelah tenggelamnya matahari agar ia menyempurnakan imsak di antara keduanya.
(Al-Iqnaa’: 74)
Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (Lahir:
1307 H/1890 M) seorang ulama al-Azhar memperkirakan
waktu membaca 50 ayat tersebut adalah sekitar 10 menit sebagaimana tersebut dalam
fataawa Dar al-Ifta’ al-Misriyah:
وأن المستحب أن يكون بينه وبين الطلوع قدر
قراءة خمسين آية ويقدر ذلك زمنا بعشر دقائق تقريبا
Dan imsak yang dianjurkan hendaknya antara
imsak dan terbit fajar ada jeda perkiraan membaca 50 ayat, perkiraan waktunya
kurang lebih selama 10 menit.( fataawa Dar al-Ifta’ al-Misriyah I/101)
Berdasarkan pemahaman di atas, dapat
ditegaskan bahwa tradisi masyarakat Indonesia melakukan praktek imsak sekitar
10 menit sebelum terbit fajar menjelang masuk waktu puasa merupakan sikap
kehati-hatian (ihtiyath) yang dianjurkan dalam agama dan bahkan pernah
dipraktek oleh Nabi SAW sesuai dengan hadits riwayat Muslim di atas.
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar