Kamis, 30 Oktober 2025

Media sosial dan fenomena ghibah

Keberadaan media sosial saat ini memiliki daya untuk melipatgandakan pahala, nyaris tanpa biaya dan lebih mudah. Tinggal berbagi inspirasi kebaikan lewat facebook, group whatsapp, twitter, atau jejaring sosial lain. Semakin tersebar, semakin berganda pula pahala kita.  Hadirnya media sosial membuat kita menjadi mudah dalam menjalankan setiap aktivitas. Kita bisa saling berkomunikasi dengan jarak jauh, berbagi ilmu, nasehat kebaikan, diskusi, belajar, dan dampak positif lainnya. Namun, di sisi lain media sosial juga dapat memberikan dampak negatif jika tidak bijak dalam penggunaannya. Sering dianalogikan bahwa media sosial ibarat pisau bermata dua. Jika kita bijak dalam menggunakannya, tentu akan memberikan banyak dampak positif kepada kita. Sebaliknya, jika kita memanfaatkan media sosial sebagai tindak kejahatan, tentu akan berdampak negatif bagi diri kita dan orang yang ada di sekitar kita. Media sosial membawa dampak negatif apabila dimanfaatkan untuk ghibah, membuka aib orang atau aktifitas maksiat lainnya. Dalam tulisan ini, kita tidak membahas tentang hoaks atau berita-berita dusta yang sudah banyak diketahui orang, hukumnya adalah haram, akan tetapi mencoba fokus membahas perihal menyebarkan berita yang benar, tapi menyakiti pihak yang menjadi sasaran berita atau apa yang sering disebut sebagai ghibah.

Pengertian Ghibah

Ghibah atau menggunjing adalah tindakan menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain, yang jika orang itu mendengarnya tidak merasa senang. Dalam ghibah keburukan yang diceritakan itu adalah kondisi yang benar. Jika cerita keburukan itu tidak benar, maka termasuk fitnah atau bohong. Yang terakhir ini tidak kurang buruk dan dosanya dari ghibah. Imam al-Ghazali menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :

اعْلَمْ أَنَّ حَدَّ الْغِيبَةِ أَنْ تَذْكُرَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ لَوْ بلغه سواء ذَكَرْتَهُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهِ أَوْ نَسَبِهِ أَوْ فِي خُلُقِهِ أَوْ فِي فِعْلِهِ أَوْ فِي قَوْلِهِ أَوْ فِي دِينِهِ أَوْ فِي دُنْيَاهُ حَتَّى فِي ثَوْبِهِ وَدَارِهِ وَدَابَّتِهِ

Ketahuilah, sesungguhnya devinisi ghibah adalah membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya bila sampai perkataanmu itu kepadanya, baik kamu menyebut kekurangan pada badan, nasab, kejadian, perbuatan, perkataan, agama dan dunianya sehingga perihal pakaian, rumah dan kenderaannya. (Ihya Ulumuddin : III/143)

Ibnu Hajar al-Asqalaniy menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :

الْغَيْبَة هُوَ ذكر الرجل بِمَا يكره ذكره مِمَّا هُوَ فِيهِ

Ghibah adalah membicarakan seseorang dengan apa yang dibencinya, yaitu kekurangan  yang ada padanya. (Fathulbarri : I/164)

 

 Point penting yang perlu dipahami, bahwa ghibah adalah suatu pernyataan yang benar dengan kenyataan. Karena jika tidak benar, maka termasuk dalam katagori menyebar berita bohong. Pengertian seperti sebagaimana ditegaskan Hadits Nabi SAW bersabda :

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قالوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فقد اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah bersabda, “Membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya”. Ada yang menimpali, “Apa pendapatmu, jika aku mengatakan sesuatu yang benar pada saudaraku”. Rasulullah menjawab, “Jika benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan ghibah dan jika tidak benar apa yang kamu katakan, maka kamu sudah melakukan kebohongan.. (H.R. Muslim)

 

Point kedua, ghibah bukan hanya dengan lisan saja, tetapi juga mencakup isyarah, gerakan tubuh, tulisan, kerlingan mata, perbuatan dan setiap hal yang dapat dipahami darinya merendahkan orang lain. Imam al-Ghazali mengatakan,

اعلم أن الذكر باللسان إنما حرم لأن فيه تفهيم الغير نقصان أخيك وتعريفه بما يكرهه فالتعريض بِهِ كَالتَّصْرِيحِ وَالْفِعْلُ فِيهِ كَالْقَوْلِ وَالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ وَالْغَمْزِ وَالْهَمْزِ وَالْكِتَابَةِ وَالْحَرَكَةِ وَكُلُّ مَا يُفْهِمُ الْمَقْصُودَ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْغِيبَةِ وَهُوَ حَرَامٌ

Ketahuilah, sesungguhnya membicarakan secara lisan, hukumnya haram karena padanya ada memberikan pemahaman kepada orang lain ada kekurangan saudaramu dan memperkenalkan saudaramu dengan kekurangan yang dibencinya. Karena itu, menyindir sama seperti penegasan, perbuatan sama seperti perkataan. Demikian juga isyarah, penunjukan dengan tangan, kedipan mata, penunjukan dengan kaki, tulisan, gerakan dan setiap yang dipahami maksudnya. Maka semua itu masuk dalam ghibah yang diharamkan.(Ihya ‘Ulumuddin: III/144)

Termasuk dalam katagori ghibah perkataan ‘Aisyah r.a:

دخلت علينا امرأة فلما ولت أومأت بيدي أنها قصيرة فقال صلى الله عليه وسلم اغتبتيها

Masuk menemui kami, seorang perempuan. Manaakala ia berpaling, aku isyaratkan dengan tanganku bahwa ia pendek. Lalu Nabi SAW bersabda. “Kamu telah melakukan ghibah kepadanya”. (H.R. Ibnu Abi Dun’ya dan Ibnu Mardawiih)

Termasuk ghibah juga meniru berjalan pincang sebagaimana halnya seseorang berjalan, bahkan lebih berat dari ghibah, karena lebih kuat kesannya dalam menggambarkannya dan memberikan pemahaman. (Ihya Ulumuddin : III/144)

 

 

Hukum ghibah

Sebagaimana dimaklumi hukum ghibah adalah haram dengan ijmak ulama. Imam al-Nawawi mengatakan,

وأما حكمهما، فهما محرّمتان بإجماع المسلمين، وقد تظاهرَ على تحريمهما الدلائلُ الصريحةُ من الكتاب والسنّة وإجماع الأمة،

Adapun hukum Keduanya (ghibah dan namimah) adalah haram dengan ijmak kaum Muslimin. Sesungguhnya dhahir dan nyata haram keduanya berdasarkan dalil-dalil yang sharih dari al-Kitab dan al-Sunnah serta ijmak ummat.(al-Azkar: 536)

 

Ibnu Hajar al-Haitamy telah memasukkan ghibah dalam katagori dosa besar. Dalam kitab al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair, beliau mengatakan:

الكبيرة الثامنة والتاسعة والاربعون بعد الماءتين الغيبة والسكوت عليها

Dosa besar yang kedua ratus empat puluh delapan dan kedua ratus empat puluh sembilan adalah ghibah dan diam atasnya. (al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair: II/8)

 

Dalil keharaman ghibah antara lain firman Allah Ta’ala berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q. S. al-Hujurat : 12)

 

Dan hadits dari ‘Aisyah r.a., beliau berkata:

قلتُ للنبيّ صلى الله عليه وسلم : حسبُك من صفيّة كذا وكذا قال بعضُ الرواة: تعني قصيرة، فقال: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ  قالت: وحكيتُ له إنساناً  فقال: " ما أُحِبُّ أني حَكَيْتُ إنساناً وأنَّ لي كَذَا وكَذَا "

Aku pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW, ‘Cukup bagimu perihal kekurangan Shafiyyah yang ini dan itu,’–sebagian perawi mengatakan bahwa yang dimaksud Aisyah adalah soal tinggi badan Shafiyah yang rendah.– Rasul menegurku, ‘Kau telah melontarkan sebuah kalimat yang bila dilemparkan ke laut, niscaya ia akan bercampur (mengubah rasa air) laut tersebut.’ Aku juga pernah menceritakan (keburukan) seseorang kepadanya. Lalu Rasul menanggapi, ‘Aku tidak suka bercerita perihal seseorang dan aku mendapatkan (keuntungan) ini dan itu.’’ (H.R. Abu Daud dan Turmidzi).

 

Motivasi ghibah

Banyak hal yang memotivasi munculnya ghibah, namun secara garis besar dapat dikatagorikan dalam sebelas katagori sebagaimana dikemukakan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, yaitu sebagai berikut:

1.  Melampiaskan kemarahan. Ketika kemarahan berkobar, kadang-kadang seorang melampiaskan dengan menyebut kejelekan-kejelekan orang yang dimarahinya.

2.  Menyesuaikan diri dengan teman-temannya yang sedang berghibah. Sebagian orang berpandangan bahwa dalam pergaulan yang baik harus menyesuaikan diri dengan perilaku teman pergaulannya, termasuk mengikuti perilaku ghibah yang dilakukan temannya.

3.  Merasa ada seseorang yang akan berusaha menjelek-jelekkannya. Lalu sebelum kejelekannya disampaikan, maka dia mencoba mematahkannya dengan lebih dahulu menyebut kejelekan-kejelekan orang yang berusaha menjelekkannya itu.

4.  Dituduh sudah melakukan suatu perbuatan. Lalu melepaskan dirinya dari tuduhan tersebut dengan melempar tuduhan itu kepada orang lain dengan menyebut bahwa orang tersebutlah yang melakukan perbuatan yang dituduh atas dirinya.

5.  Mempunyai maksud membanggakan dan menonjolkan dirinya dengan menyebut kekurangan dan kejelekan orang lain

6.  Dengki kepada orang yang kerap dipuji, dicintai dan dimuliakan orang. Karena itu, dia berkeinginan hilang nikmat dipuji, dicintai dan dimuliakan pada orang yang didengkinya itu dengan menyebut sifat-sifat tercela pada orang tersebut.

7.  Bersenda gurau dan menghabiskan waktu dengan tertawa. Lalu menyebut aib-aib orang dengan maksud dapat mengundang tertawa.

8.  Mengejek dan menghina. Sumbernya adalah sikap kesombongan dan menganggap rendah orang lain.

9.  Muncul rasa keheranan karena dorongan keyakinan agamanya yang baik. Apabila melihat seseorang berbuat salah, lalu dia berucap: “Aku heran, kenapa si pulan berbuat yang tidak benar itu”. Padahal ungkapan keheranannya itu bisa diungkapkan tanpa menyebut namanya.

10.  Ungkapan rasa kasih sayang. Ketika melihat seseorang tertimpa suatu aib, lalu dia berucap: “Kasihan si pulan telah tertimpa aib itu”. Sebenarnya, ungkapan rasa kasih sayang itu bukan suatu yang salah. Namun menjadi ghibah yang diharamkan pada saat ada penyebutan nama. Padahal itu bisa diungkapkan tanpa menyebut nama.

11.   Marah karena Allah. Sesungguhnya pada saat melihat suatu kemungkaran, seseorang semestinya menunjukkan kemarahannya. Namun kemarahan itu bisa diungkap langsung atas orang yang berbuat kemungkaran. tidak perlu dikemukakan kepada orang lain dengan menyebut nama orang yang berbuat kemungkaran tersebut. Ketika dikemukakan kepada orang lain dengan menyebut nama orang yang berbuat kemungkaran, maka itu menjadi ghibah. (Ihya’ ‘Ulumuddin: III/146-147)

Hal-hal yang membolehkan ghibah

Ghibah ini meskipun haram, akan tetapi dalam beberapa kondisi hukumnya menjadi mubah karena ada kemaslahatannya. Imam al-Nawawi menyebut ada enam kemaslahatan yang menjadi faktor kebolehan ghibah, yaitu:

الأوّل: التظلم

1.  Memberitahu kedhaliman.

Seseorang yang mendapati dirinya terdhalimi dibolehkan menyampaikan kepada pihak yang berwenang bahwa seseorang telah mendhaliminya, meskipun itu termasuk dalam katagori ghibah

الثاني: الاستعانة على تغيير المنكر وردّ العاصي إلى الصواب

2.  Minta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat maksiat kepada kebenaran. Misalnya seseorang menyampaikan kepada yang mempunyai kemampuan menghilangkan kemungkaran bahwa sipulan telah berbuat suatu yang salah. Penyampainnya ini diharapkan seseorang itu dapat mencegah kemungkaran tersebut.

الثالث: الاستفتاء،

3.  Ghibah dalam rangka meminta fatwa

Terkadang dalam rangka minta fatwa diharuskan menceritakan aib seseorang dalam sebuah kasus. Dalam kasus seperti ini, ghibah suatu hal yang dibolehkan karena faktor darurat.

الرابع: تحذير المسلمين من الشرّ ونصيحتهم

4.  Menjaga orang muslim dari keburukan dan menasihatinya.

Menceritakan keburukan seseorang dalam rangka menghindarkan seorang muslim dari dampak negatif yang dikuatirkan akan menimpanya merupakan ghibah yang dapat dibenarkan.

الخامس: أن يكون مُجاهراً بفسقه أو بدعته

5.  Orang yang dighibah merupakan seseorang yang suka mempamerkan kejahatannya atau amalan bid’ahnya.

Misalnya orang yang suka minum minuman keras secara terang-terangan ataupun kejahatan lainnya di depan umum.

السادس: التعريف،

6.    Dalam rangka memperkenalkan seseorang.

Seandainya seseorang sudah ma’ruf dan dikenal dengan sebutan yang jelek, seperti sipendek, sibotak dan sebutan-sebutan jelek lainnya, maka menyebutnya dengan sebutan tersebut dapat dibenarkan selama tidak ada niat menghinanya atau menjelek-jelekkannya.

(al-Azkar: 542-544)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar