Keberadaan media sosial saat ini memiliki
daya untuk melipatgandakan pahala, nyaris tanpa biaya dan lebih mudah. Tinggal
berbagi inspirasi kebaikan lewat facebook, group whatsapp, twitter, atau
jejaring sosial lain. Semakin tersebar, semakin berganda pula pahala kita.  Hadirnya media sosial membuat kita menjadi
mudah dalam menjalankan setiap aktivitas. Kita bisa saling berkomunikasi dengan
jarak jauh, berbagi ilmu, nasehat kebaikan, diskusi, belajar, dan dampak positif
lainnya. Namun, di sisi lain
media sosial juga dapat memberikan dampak negatif jika tidak bijak dalam
penggunaannya. Sering dianalogikan bahwa media sosial ibarat pisau bermata dua.
Jika kita bijak dalam menggunakannya, tentu akan memberikan banyak dampak
positif kepada kita. Sebaliknya, jika kita memanfaatkan media sosial sebagai
tindak kejahatan, tentu akan berdampak negatif bagi diri kita dan orang yang
ada di sekitar kita. Media sosial membawa dampak negatif apabila dimanfaatkan
untuk ghibah, membuka aib orang atau aktifitas maksiat
lainnya. Dalam tulisan ini, kita tidak membahas tentang hoaks atau
berita-berita dusta yang sudah banyak diketahui orang, hukumnya adalah haram,
akan tetapi mencoba fokus membahas perihal menyebarkan berita yang benar, tapi
menyakiti pihak yang menjadi sasaran berita atau apa yang sering disebut
sebagai ghibah. 
Pengertian Ghibah
Ghibah atau menggunjing adalah tindakan
menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain, yang jika orang itu
mendengarnya tidak merasa senang. Dalam ghibah keburukan yang diceritakan itu
adalah kondisi yang benar. Jika cerita keburukan itu tidak benar, maka termasuk
fitnah atau bohong. Yang terakhir ini tidak kurang buruk dan dosanya dari
ghibah. Imam al-Ghazali menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :
اعْلَمْ أَنَّ حَدَّ الْغِيبَةِ أَنْ تَذْكُرَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ
لَوْ بلغه سواء ذَكَرْتَهُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهِ أَوْ نَسَبِهِ أَوْ فِي خُلُقِهِ
أَوْ فِي فِعْلِهِ أَوْ فِي قَوْلِهِ أَوْ فِي دِينِهِ أَوْ فِي دُنْيَاهُ حَتَّى
فِي ثَوْبِهِ وَدَارِهِ وَدَابَّتِهِ
Ketahuilah, sesungguhnya devinisi ghibah adalah membicarakan saudaramu
dengan apa yang dibencinya bila sampai perkataanmu itu kepadanya, baik kamu
menyebut kekurangan pada badan, nasab, kejadian, perbuatan, perkataan, agama
dan dunianya sehingga perihal pakaian, rumah dan kenderaannya. (Ihya Ulumuddin
: III/143)
Ibnu Hajar al-Asqalaniy menjelaskan pengertian ghibah sebagai berikut :
الْغَيْبَة هُوَ ذكر الرجل بِمَا يكره ذكره
مِمَّا هُوَ فِيهِ
Ghibah
adalah membicarakan seseorang dengan apa yang dibencinya, yaitu kekurangan  yang ada padanya. (Fathulbarri : I/164)
 Point penting yang perlu dipahami, bahwa
ghibah adalah suatu pernyataan yang benar dengan kenyataan. Karena jika tidak
benar, maka termasuk dalam katagori menyebar berita bohong. Pengertian seperti
sebagaimana ditegaskan Hadits Nabi SAW bersabda :
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قالوا: اللهُ
وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما يَكْرَهُ قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ
كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فقد اغْتَبْتَهُ،
وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?,
Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah
bersabda, “Membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya”. Ada yang
menimpali, “Apa pendapatmu, jika aku mengatakan sesuatu yang benar pada
saudaraku”. Rasulullah menjawab, “Jika benar apa yang kamu katakan, maka kamu
sudah melakukan ghibah dan jika tidak benar apa yang kamu katakan, maka kamu
sudah melakukan kebohongan.. (H.R. Muslim)
Point kedua, ghibah bukan hanya dengan
lisan saja, tetapi juga mencakup isyarah, gerakan tubuh, tulisan, kerlingan
mata, perbuatan dan setiap hal yang dapat dipahami darinya merendahkan orang
lain. Imam al-Ghazali mengatakan,
اعلم أن الذكر باللسان إنما حرم لأن فيه تفهيم الغير نقصان أخيك وتعريفه
بما يكرهه فالتعريض بِهِ كَالتَّصْرِيحِ وَالْفِعْلُ فِيهِ كَالْقَوْلِ
وَالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ وَالْغَمْزِ وَالْهَمْزِ وَالْكِتَابَةِ
وَالْحَرَكَةِ وَكُلُّ مَا يُفْهِمُ الْمَقْصُودَ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْغِيبَةِ
وَهُوَ حَرَامٌ
Ketahuilah,
sesungguhnya membicarakan secara lisan, hukumnya haram karena padanya ada
memberikan pemahaman kepada orang lain ada kekurangan saudaramu dan
memperkenalkan saudaramu dengan kekurangan yang dibencinya. Karena itu,
menyindir sama seperti penegasan, perbuatan sama seperti perkataan. Demikian
juga isyarah, penunjukan dengan tangan, kedipan mata, penunjukan dengan kaki,
tulisan, gerakan dan setiap yang dipahami maksudnya. Maka semua itu masuk dalam
ghibah yang diharamkan.(Ihya ‘Ulumuddin: III/144)
Termasuk dalam katagori ghibah perkataan ‘Aisyah r.a:
دخلت علينا
امرأة فلما ولت أومأت بيدي أنها قصيرة فقال صلى الله عليه وسلم
اغتبتيها
Masuk menemui
kami, seorang perempuan. Manaakala ia berpaling, aku isyaratkan dengan tanganku
bahwa ia pendek. Lalu Nabi SAW bersabda. “Kamu telah melakukan ghibah
kepadanya”. (H.R. Ibnu Abi Dun’ya dan Ibnu Mardawiih)
Termasuk ghibah juga meniru berjalan pincang sebagaimana halnya
seseorang berjalan, bahkan lebih berat dari ghibah, karena lebih kuat kesannya
dalam menggambarkannya dan memberikan pemahaman. (Ihya Ulumuddin : III/144)
Hukum ghibah
Sebagaimana dimaklumi hukum ghibah adalah
haram dengan ijmak ulama. Imam al-Nawawi mengatakan, 
وأما حكمهما،
فهما محرّمتان بإجماع المسلمين، وقد تظاهرَ على تحريمهما الدلائلُ
الصريحةُ من الكتاب والسنّة وإجماع الأمة،
Adapun hukum Keduanya (ghibah dan namimah)
adalah haram dengan ijmak kaum Muslimin. Sesungguhnya dhahir dan nyata haram
keduanya berdasarkan dalil-dalil yang sharih dari al-Kitab dan al-Sunnah serta
ijmak ummat.(al-Azkar: 536)
Ibnu Hajar al-Haitamy telah memasukkan
ghibah dalam katagori dosa besar. Dalam kitab al-Zawajir
‘an Iqtiraf al-Kabair, beliau mengatakan:
الكبيرة الثامنة والتاسعة والاربعون بعد
الماءتين الغيبة والسكوت عليها
Dosa besar yang kedua ratus empat puluh
delapan dan kedua ratus empat puluh sembilan adalah ghibah dan diam atasnya.
(al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair: II/8)
Dalil keharaman ghibah antara lain firman
Allah Ta’ala berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ
اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ
بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah
banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q. S.
al-Hujurat : 12)
Dan hadits dari ‘Aisyah r.a., beliau
berkata:
قلتُ للنبيّ صلى الله عليه وسلم : حسبُك من صفيّة كذا وكذا قال بعضُ
الرواة: تعني قصيرة، فقال: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ  قالت: وحكيتُ له إنساناً  فقال: " ما أُحِبُّ
أني حَكَيْتُ إنساناً وأنَّ لي كَذَا وكَذَا "
Aku pernah mengatakan kepada Rasulullah SAW, ‘Cukup bagimu perihal
kekurangan Shafiyyah yang ini dan itu,’–sebagian perawi mengatakan bahwa yang
dimaksud Aisyah adalah soal tinggi badan Shafiyah yang rendah.– Rasul
menegurku, ‘Kau telah melontarkan sebuah kalimat yang bila dilemparkan ke laut,
niscaya ia akan bercampur (mengubah rasa air) laut tersebut.’ Aku juga pernah
menceritakan (keburukan) seseorang kepadanya. Lalu Rasul menanggapi, ‘Aku tidak
suka bercerita perihal seseorang dan aku mendapatkan (keuntungan) ini dan
itu.’’ (H.R. Abu Daud dan Turmidzi). 
Motivasi ghibah
Banyak hal yang memotivasi munculnya ghibah, namun secara garis besar dapat
dikatagorikan dalam sebelas katagori sebagaimana dikemukakan Imam al-Ghazali
dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, yaitu sebagai berikut:
1.  Melampiaskan kemarahan. Ketika kemarahan berkobar, kadang-kadang seorang
melampiaskan dengan menyebut kejelekan-kejelekan orang yang dimarahinya. 
2.  Menyesuaikan diri dengan teman-temannya yang sedang berghibah. Sebagian
orang berpandangan bahwa dalam pergaulan yang baik harus menyesuaikan diri
dengan perilaku teman pergaulannya, termasuk mengikuti perilaku ghibah yang
dilakukan temannya.
3.  Merasa ada seseorang yang akan berusaha menjelek-jelekkannya. Lalu
sebelum kejelekannya disampaikan, maka dia mencoba mematahkannya dengan lebih
dahulu menyebut kejelekan-kejelekan orang yang berusaha menjelekkannya itu.
4.  Dituduh sudah melakukan suatu perbuatan. Lalu melepaskan dirinya dari
tuduhan tersebut dengan melempar tuduhan itu kepada orang lain dengan menyebut
bahwa orang tersebutlah yang melakukan perbuatan yang dituduh atas dirinya.
5.  Mempunyai maksud membanggakan dan menonjolkan dirinya dengan menyebut
kekurangan dan kejelekan orang lain
6.  Dengki kepada orang yang kerap dipuji, dicintai dan dimuliakan orang.
Karena itu, dia berkeinginan hilang nikmat dipuji, dicintai dan dimuliakan pada
orang yang didengkinya itu dengan menyebut sifat-sifat tercela pada orang
tersebut.
7.  Bersenda gurau dan menghabiskan waktu dengan tertawa. Lalu menyebut
aib-aib orang dengan maksud dapat mengundang tertawa.
8.  Mengejek dan menghina. Sumbernya adalah sikap kesombongan dan menganggap
rendah orang lain. 
9.  Muncul rasa keheranan karena dorongan keyakinan agamanya yang baik.
Apabila melihat seseorang berbuat salah, lalu dia berucap: “Aku heran, kenapa
si pulan berbuat yang tidak benar itu”. Padahal ungkapan keheranannya itu bisa
diungkapkan tanpa menyebut namanya.
10.  Ungkapan rasa kasih sayang. Ketika melihat seseorang tertimpa suatu aib,
lalu dia berucap: “Kasihan si pulan telah tertimpa aib itu”. Sebenarnya,
ungkapan rasa kasih sayang itu bukan suatu yang salah. Namun menjadi ghibah
yang diharamkan pada saat ada penyebutan nama. Padahal itu bisa diungkapkan
tanpa menyebut nama. 
11.   Marah karena Allah. Sesungguhnya
pada saat melihat suatu kemungkaran, seseorang semestinya menunjukkan
kemarahannya. Namun kemarahan itu bisa diungkap langsung atas orang yang
berbuat kemungkaran. tidak perlu dikemukakan kepada orang lain dengan menyebut
nama orang yang berbuat kemungkaran tersebut. Ketika dikemukakan kepada orang
lain dengan menyebut nama orang yang berbuat kemungkaran, maka itu menjadi
ghibah. (Ihya’ ‘Ulumuddin: III/146-147)
Hal-hal yang membolehkan ghibah
Ghibah ini meskipun haram, akan tetapi dalam beberapa kondisi hukumnya
menjadi mubah karena ada kemaslahatannya. Imam al-Nawawi menyebut ada enam kemaslahatan
yang menjadi faktor kebolehan ghibah, yaitu:
الأوّل: التظلم
1.  Memberitahu kedhaliman. 
Seseorang yang mendapati dirinya terdhalimi dibolehkan
menyampaikan kepada pihak yang berwenang bahwa seseorang telah mendhaliminya,
meskipun itu termasuk dalam katagori ghibah
الثاني: الاستعانة على تغيير المنكر وردّ العاصي إلى الصواب
2.  Minta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang
yang berbuat maksiat kepada kebenaran. Misalnya seseorang menyampaikan kepada
yang mempunyai kemampuan menghilangkan kemungkaran bahwa sipulan telah berbuat
suatu yang salah. Penyampainnya ini diharapkan seseorang itu dapat mencegah
kemungkaran tersebut.
الثالث: الاستفتاء،
3.  Ghibah dalam rangka meminta fatwa
Terkadang dalam rangka minta fatwa diharuskan
menceritakan aib seseorang dalam sebuah kasus. Dalam kasus seperti ini, ghibah
suatu hal yang dibolehkan karena faktor darurat. 
الرابع: تحذير المسلمين من الشرّ ونصيحتهم
4.  Menjaga orang muslim dari keburukan dan menasihatinya.
Menceritakan keburukan seseorang dalam rangka
menghindarkan seorang muslim dari dampak negatif yang dikuatirkan akan
menimpanya merupakan ghibah yang dapat dibenarkan. 
الخامس: أن يكون مُجاهراً بفسقه أو بدعته
5.  Orang yang dighibah merupakan seseorang yang suka mempamerkan
kejahatannya atau amalan bid’ahnya.
Misalnya orang yang suka minum minuman
keras secara terang-terangan ataupun kejahatan lainnya di depan umum.
السادس: التعريف،
6.    Dalam rangka memperkenalkan seseorang. 
Seandainya seseorang sudah ma’ruf dan
dikenal dengan sebutan yang jelek, seperti sipendek, sibotak dan
sebutan-sebutan jelek lainnya, maka menyebutnya dengan sebutan tersebut dapat
dibenarkan selama tidak ada niat menghinanya atau menjelek-jelekkannya. 
(al-Azkar: 542-544)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar