Puluhan tahun setelah mantan presiden Soeharto lengser, warisan
kontroversialnya kembali mencuat ke permukaan dan memicu perdebatan sengit saat
pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Prabowo Subianto menobatnya
sebagai pahlawan nasional. Bagi sebagian
orang, dia adalah "Bapak Pembangunan" yang membawa stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi dan sebagai penyelamat bangsa dari pengaruh komunisme. Namun
bagi kalangan lainnya, rezimnya ditandai dengan pelanggaran hak azazi manusia
(HAM), korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menguatnya peran militer
dalam ranah sipil dan pemasungan terhadap perbedaan pendapat. Karenanya,
penobatannya sebagai pahlawan Nasional merupakan sebuah kebijakan yang keliru
dan merugikan masa depan bangsa ini.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap kelayakan mantan presiden
Soeharto sebagai pahlawan nasional, penulis ingin mengajak pembaca menelusuri
kembali rekam jejak Nabi Muhammad SAW dalam menyikapi jasa seorang yang
kontroversial, yang mempunyai dua sisi yang berbeda, ada sisi baik dan ada juga
sisi gelapnya. Dikisahkan Mut’im bin ‘Adiy adalah seorang
pembesar Quraisy yang menolong Nabi SAW dan keluarga-keluarga beliau dari
embargo di Makkah. Ketika itu, Bani Hasyim dan Bani Muthalib (Nabi SAW dan
kerabat beliau) diboikot dan dikucilkan, tidak boleh ada transaksi ekonomi,
dilarang dipasok makanan dan tidak boleh ada hubungan pernikahan dengan mereka.
Akhirnya Mut’im bin ‘Adiy menyelamatkan Bani Hasyim
dengan merobek surat kesepakatan boikot yang digantungkan di Ka’bah. Jasa
Mut’im bin ‘Adiy yang lain kepada Nabi SAW adalah ketika Nabi SAW berencana
pulang kembali dari Thaif ke Makkah, namun kafir Quraisy dengan tegas menolak
menerima kembali Nabi SAW dan para sahabat beliau. Di sini Mut’im bin ‘Adiy muncul
lagi memberikan perlindungan kepada Nabi SAW untuk kembali ke Makkah. Tatkala
terjadi perang Badar dan kaum muslimin meraih kemenangan. Saat itu Nabi SAW teringat
dengan kebaikan Mut’im bin ‘Adiy setelah bertahun-tahun lalu dan Nabi SAW belum
bisa membalas jasa Mut’im bin ‘Adiy karena sudah meninggal dunia. Kemudian
beliau bersabda di hadapan kaum muslimin dan orang-orang Quraisy,
لَوْ كَانَ
الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى
لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ
Andai saja Mut’im bin ‘Adiy masih hidup, lalu ia berbicara sesuatu
(memberikan kebijakan) tentang orang-orang jahat (musuh-musuh Allah) ini untuk
mengampuni atau mengasihani mereka, maka akan aku bebaskan mereka untuknya.
(H.R. Bukhari)
Inilah kisah dari seorang nonmuslim yang menolong Rasulullah SAW
dalam berdakwah. Rasulullah tidak melupakan jasa orang lain dan sangat
menghargainya, meskipun jasa tersebut berasal dari orang kafir. Inilah bentuk
nilai kemanusiaan yang ditunjukkan Rasulullah yang sesuai dengan ajaran Islam.
Kekufuran Mut’im bin ‘Adiy merupakan sisi gelap Mut’im
bin ‘Adiy, namun ada sisi kebaikan padanya yaitu pernah menolong Rasulullah SAW
pada saat beliau sangat membutuhkan pertolongan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَنسَوُا
الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu. (Q.S.
Al-Baqarah: 237)
Apalagi ungkapan rasa terima kasih kepada manusia ini juga
merupakan cerminan dari rasa syukur kepada Allah Ta’ala sebagaimana sabda Nabi
SAW berbunyi:
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ
يَشْكُرُ النَّاسَ
Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur
(berterima kasih) kepada manusia. (H.R. al-Thabraniy dan Ahmad)
Inti dari hadits ini adalah orang yang tidak berterima kasih kepada
manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah SWT. Hal ini karena manusia
adalah perantara nikmat dari Allah, dan dengan berterima kasih kepada manusia,
kita sebenarnya sudah mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah melalui orang
lain. Ada dua makna utama dari hadis ini: yang pertama, syukur kepada manusia
merupakan cerminan dan bagian dari kesempurnaan syukur kepada Allah dan yang
kedua, tanpa rasa terima kasih kepada manusia, maka rasa syukur kepada Allah tidak
akan sempurna atau bahkan tidak diterima.
Melupakan jasa orang lain hanya karena ada secuil kesalahan yang
dilakukan seseorang merupakan perilaku kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala.
Karena itu, Rasulullah SAW memberikan label kufur kepada orang-orang yang mudah
melupakan kebaikan. Sebagaimana para istri yang apabila mudah melupakan banyak
kebaikan suaminya hanya karena satu atau dua kesalahan yang diperbuat suaminya.
Nabi SAW bersabda:
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أكْثَرُ أهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ
قيلَ: أيَكْفُرْنَ باللهِ ؟ قالَ يَكْفُرْنَ العَشِيرَ ويَكْفُرْنَ الإحْسَانَ، لو
أحْسَنْتَ إلى إحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شيئًا، قالَتْ: ما
رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Aku pernah diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya
adalah para wanita, karena mereka sering berbuat kufur.” Beliau ditanya,
“Apakah mereka berbuat kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka
mengingkari suami dan kebaikan suami mereka. Bilamana engkau (suami) berbuat
baik kepada salah seorang dari mereka (istri) sepanjang masa, kemudian ia
melihat satu kesalahan saja darimu, ia akan mengatakan, ‘Aku belum pernah
melihat kebaikan sedikit pun darimu. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jka tangan terlalu pendek untuk membalas, maka panjangkanlah lisan dengan
memuji dan mendoakannya. Jika tidak mampu membalas sebagaimana layaknya, maka
memujinya merupakan ungkapan terima kasih dan jika tidak mampu juga, maka
berdoalah untuknya dengan kebaikan. Nabi
SAW bersabda:
مَنْ أُعْطِىَ
عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ
أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ
Barangsiapa yang diberikan sebuah hadiah, lalu ia mendapati
kecukupan, maka hendaknya ia membalasnya. Jika ia tidak mendapati (sesuatu
untuk membalasnya), maka pujilah ia. Barangsiapa yang memujinya, maka sungguh
ia telah bersyukur kepadanya. Barangsiapa menyembunyikannya, sungguh ia telah
kufur. (H.R. Abu Daud)
Berdoa bukan suatu yang berat untuk diucapkan. Hanya beberapa kata
seperti “Jazakallah khairan” saja sudah memenuhi anjuran Nabi SAW untuk berdoa
kepada pahlawan kita. Ini sesuai dengan Sabda Nabi SAW berikut ini:
مَنْ صُنِعَ
إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ
فِى الثَّنَاءِ
Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, lalu ia mengatakan kepada
pelakunya, “Jazakallah khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka
sungguh ia telah benar-benar meninggikan pujian. (H.R. Turmidzi)
Alhasil, mari kita memberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawan
yang telah berjasa dalam kehidupan kita, baik jasa pribadi, dalam bernegara
atau berbangsa. Jangan melupakannya hanya karena ada satu atau dua kesalahan
lain yang menimpanya. Akhirnya, semoga kita dapat meneladani rekam jejak Nabi
Muhammad SAW dalam perilaku dan bersikap di dunia fana ini dan jangan larut
hanya menyibuk diri dengan menghitung-hitung dosa orang lain. Amiin!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar