Sabtu, 16 Februari 2013

Menjawab beberapa masalah dalam bidang shalat dan thaharah


assalamualaikum tgk,,
saya ingin bertanya beberapa pertanyaan pada tgk..
1.       salawat dalam khutbah jumat dibaca dengan lafadh WASSALAATU WASSALAAMU ALA ASYRAFIL ANBIYAAI WAL MURSALIN tanpa ada lafadh muhammad..apakah khutbahnya sah??

2. bagaimana hukum tambahan lafadh WABAARAKAATUH pada salam diakhir salat jenazah?

3. bila kita berangkat dari lhokseumawe ke rumah saudara kita di banda aceh,,dalam hal ini kita tentu di bolehkan untuk melakukan qasar dan jamak salat dalam perjalanan,,namun apakah apabila kita sudah sampai ke tujuan..kita masih boleh melakukan qasar dan jamak??

4.bagaimana hukum intinjak dengan tisu??

5.seseorang yang lahir dalam keadaan tuli, bisu, buta.apakah baginya berkewajiban melakukan salat, puasa,dll??dan bagaimana cara mengajarinya sedang dia memiliki kekurangan diatas..??

syukran tgk,,

saya minta maaf karna pertanyaannya terlalu banyak,,jazaakumuLLAH khair..wslm.
jawab :
1.    jawaban untuk  pertanyaan pertama ;
a.    Dalam Fathul Mu’in disebutkan contoh shalawat dalam khutbah Jum’at :
وكاللهم صل، أو صلى الله، أو أصلي على محمد، أو أحمد، أو الرسول، أو النبي أو الحاشر أو نحوه
Artinya : dan seperti Allhumma Shalli atau Shallaallahu ‘ala Muhammad, Ahmad, al-rasul, al-nabiyyi atau  al-Hasyir atau seumpamanya.[1]

b.    Pengarang I’anah al-Thalibin dalam mengomentari pernyataan Fathul Mu’in di atas, mengatakan :
(قوله: أو نحوه) أي ما ذكر من بقية أسماء النبي - صلى الله عليه وسلم -: كالبشير، والنذير.
Artinya : (perkataan pengarang : “atau seumpamanya”), artinya dari nama-nama nabi SAW yang pernah disebutkan seperti al-basyir.[2]

Berdasarkan keterangan di atas, menurut hemat kami, maka lafazh “WASSHALAATU WASSALAAMU ‘ALA ASYRAFIL ANBIYAAI WAL MURSALIN” boleh dan sah menjadi shalawat dalam khutbah Jum’at, karena lafazh “ASYRAFIL ANBIYAAI WAL MURSALIN” merupakan nama nabi atau sifat yang menunjukan kepada Muhammad SAW.

2.        Jawaban untuk pertanyaan kedua ;
Terjadi perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi’i tentang penambahan wabarakatuh pada salam shalat jenazah, pendapat yang mu’tamad (pendapat yang kuat yang menjadi pegangan) adalah tidak sunnat. Dalam Hasyiah al-Bajuri disebutkan :
وما افاده من سن وبركاته هنا ضعيف والمعتمد انها لا تسن هنا
Artinya : Hal yang dipaedahkan oleh yang mengatakan sunnat perkataan “wabarakatuh” di sini (masalah salam dalam shalat jenazah) adalah dhaif, sedangkan pendapat yang mu’tamad adalah tidak di sunatkan di sini.[3]

3.        Jawaban pertanyaan ketiga :
Dalam Fathul Mu’in disebutkan :
وينتهي السفر بعوده إلى وطنه، وإن كان مارا به، أو إلى موضع آخر، ونوى إقامته به مطلقا، أو أربعة أيام صحاح، أو علم أن إربه لا ينقضي فيها
Artinya : Habis masa musafir dengan kembalinya kepada tempat tinggal seseorang yang bertanah air padanya, meskipun ia hanya melewatinya saja, atau dengan sebab sampai ketempat lain, dimana dia meniatkan menetap ditempat itu secara mutlaq atau empat hari penuh atau ia memaklumi bahwa ia selesai keperluannya dalam empat hari penuh.[4]

Berdasarkan keterangan di atas, maka apabila kita berangkat dari Lhokseumawe ke Banda aceh, maka selama berada di Banda Aceh masih bisa dilakukan qashar dan jamak shalat apabila :
a.       Tidak ada niat menetap secara mutlaq di Banda Aceh (tanpa diqaidkan dengan jumlah hari)
b.      Tidak ada niat menetap di Banda Aceh selama empat hari penuh atau lebih
c.       Tidak ada dugaan dalam hati kita bahwa keperluan kita akan selesai dalam empat hari penuh di Banda Aceh.

4.        Jawaban pertanyaan ke empat :
Salah satu syarat istinjak dengan selain air adalah benda itu dapat mencabut ‘ain najis.  Menurut hemat kami tisu adalah sejenis kertas yang dapat mencabut ‘ain najis, karena itu, istinjak dengan tisu boleh saja dan sah selama tisu itu suci. Dalam I’anah al-Thalibin di katakan :
وأن يكون بقالع لعين النجاسة
Artinya : (Syarat yang ketiga istinjak dengan selain air) adalah benda itu dapat mencabut ‘ain najis, [5]

5.        Jawaban pertanyaan yang ke lima :
Orang tuli, buta dan bisu bukan merupakan orang yang dibebaskan dari hukum dalam Islam, yang dibebaskan hanya seperti anak-anak belum baligh, gila, bodoh dan orang terpaksa. Selama Orang tuli, buta dan bisu pandai, tidak bodoh, maka hukum baginya sama saja dengan orang normal lainnya. Pada zaman modern ini, mengajari Orang tuli, buta dan bisu bukanlah suatu hal yang sulit, karena ada sekolah luar biasa yang diperuntukan untuk orang-orang seperti mereka. Namun kalau orang tuli, buta dan bisu ini tidak mempunyai kesempatan belajar, karena faktor biaya dan sebagainya, maka dia dianggap orang bodoh itu diringankan hukum Islam atasnya.




[1] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 65
[2] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 65
[3] Ibrahim Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, hal. 254
[4] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 101-102
[5] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 108

17 komentar:

  1. assalamualaikum tgk...tentang iawaban tgk nomor 1 tentang lafadh wassalaatu wassalaamu ala asyrafil anbiyaai warmursalin, didalam kitab dalaail khairat pada asmaun nabi yang jumlahnya 201, kita tidak menemukan lafadh tersebut adalah salah satu dari asmaunnabi. dan melihat kepada nas kitab mu'tabarah smuanya menjelaskan shalawat kepada nabi tsbt haris dengan lafadh muhammad atau seumpanya muhammad dari pada asmaunnabi seperti alhasyir, albasyir, dll.bagaimana tanggapan tgk??

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. dalam khutbah jum'at boleh bersalawat dgn kata2 "al-nabiyyi atau al-rasul yang maknanya lebih umum (maknanya mencakup nabi muhammad dan nabi selainnya) sebagaimana dalam i'anah di atas, dengan demikian, maka perkataan "asyrafil anbiyaai warmursalin" lebih aula boleh, karena maknanya khusus kepada nabi muhammad (makna nya adalah semulia2 nabi dan rasul), apalagi di sini kata2 yang di isytaq (satu akar kata) dari nabi tetap digunakan, yaitu al-anbiya dan kata rasul, yaitu al-mursalin.

      2. kami belum menemukan nash yang mengatakan bahwa shalawat dalam khutbah jum'at atau lainnya selain tasyahud awal pada shalat harus khusus hanya dengan nama nabi. bahkan dalam al-dur al-manzhud karya ibnu hajar al-haitami boleh bersalawat dengan sifat nabi.(hal. 109, cet. dar al-minhaj)

      3. perlu di catat bahwa dalam i'anah pada halaman kutipan di atas disebutkan bahwa bab khutbah jum'at lebih luas (toleransi) dari shalawat dalam bab shalat. oleh karena itu dalam khutbah boleh shalawat bukan dengan nama muhammad, sebaliknya dalam tasyahud , tidak boleh.

      Hapus
    2. assalamu'alaikum tgk...
      ma'af sebelumnya, bukan bermaksud menguji kemampuan guru kami dan mengatakan jawaban dari tgk salah, tapi saya cuma ingin memberi pendapat, kalo salah mohon diperbaiki...
      1. an-nabiyyi dan al-rasul kedua2nya merupakan bagian dari asmaun nabi, walau makna keduanya itu umum... berbeda dengan asyrafil anbiyai wal mursalin, walau maknanya itu lebih khusus kepada nabi, tapi tetap bukan salah satu dari bagian asmaun nabi...
      2. kata KAMI BELUM MENEMUKAN NASH mungkin kurang tepat, karena didalam kitab2 yg mu'tabar disebutkan "atau seumpamanya daripada ASMAUN NABI, seperti albasyir,dll. karena tanpa secara langsung kata tsb tertuju khusus kepada asmaun nabi, dan bukan sifat nabi atau kata yg maknanya khusus kepada nabi.
      dan apakah dalam kitab dur almahzub tsb disebutkan juga "boleh berselawat kepada nabi dengan sifat di dalam khutbah jum'at tsb...? atau secara umum(tdk disebutkan dlm khutbah jum'at?
      3. makna toleransi tsb dalam hal ini: kalo pd khutbah jum'at, salawatnya boleh dengan kata muhammad atau ahmad atau ar-rasul atau juga seumpamanya daripada ASMAUN NABI.. sedangkan pada tasyahud cuma boleh dengan kata muhammad,atau boleh juga pakek ar-rasul atau an-nabi.. tdk boleh ahmad dan ketinggalan asmaun nabi....

      Hapus
    3. 1. kami sangat senang dan berterima kasih atas kunjungan tgk dan kritikan serta masukannya, mudah2an ini menjadi masukan yang dapat membantu kami dalam usaha mencari kebenaran atau yang lebih mendekati kepada kebenaran. hanya Allah saja yang dapat dipastikan benar dengan ilmu-Nya.

      2.kata2"من بقية أسماءالنبي صلى الله عليه وسلم" dalam kutipan I'anah di atas adalah penjelasan (min bayan) dari contoh2 selain muhammad, ahmad,... dst. jadi tidak ada pengkhususan hanya nama2 nabi di sini sehingga yang bukan nama nabi tidak boleh seperti sifatnya yang khusus ada pada nabi, cuma memang yang disebut (manthuq)adalah nama2 nabi, tetapi tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya : yang bukan nama nabi tidak boleh, karena tidak ada 'adaat qashar yang dapat diambil mafhum mukhafahnya seperti wasaf, huruf qashar, qaid dari mutlaq.

      3. dalam kitab dur almahzub tsb disebutkan boleh berselawat kepada nabi dengan sifat secara mutlaq (tidak disebut secara sharih pada khutbah Jum'at)

      4. pengkhususan makna toleransi sebatas nama2 nabi saja, tentu perlu dalil. jadi selama tidak ada dalilnya maka ini disebut takhshis bi ghairi mukhashshis (mengkhususkan tanpa ada yg mengkhususkannya)

      5. dalam tuhfah ada 'ibarat seperti ini :"namun demikian dhahir matan tertentu lafazh rasul, tetapi itu bukanlah maksudnya. bahkan memadai lafazh muhammad, ahmad, al-nabi, al-hasyir, al-maaji, al-'aqib dan seumpamanya dari sesuatu yang datang wasaf Nabi dengannya." (Tuhfah II/446, dicetak bersama hawasyi al-Syarwani)

      wallahua'lam

      Hapus
    4. trimakasih juga tgk untuk penjelasannya...
      sebelumnya saya juga pernah bertanya hal ini pada 2 orang tgk di daerah saya ,,, dan jawaban dari kedua beliau tsb satu sama lain saling berbeda.. 1 boleh dan sah, dan 1 lagi tidak...dan alasannya pun berbeda....
      jazakallahu khairan kasiran..
      oh ya tgk,,, blog kitab kuneng tgk sangat bermanfaat, buat saya khususnya, dan umumnya buat para pembaca sekalian.
      wassalam......

      Hapus
    5. terima kasih atas kunjungannya. terjadi perbedaan pendapat merupakan fitrah manusia. yang terpenting jangan kita saling bertengkar hanya karena perbedaan yang tidak prinsipil ini. amalkan saja apa rajih dan dapat dipercaya menurut tgk, sambil mencari terus dalil2 yang menguatkan salah satu pendapat tersebut.

      wassalam

      Hapus
  2. salm tgk,,,saya ingin melanjutkan pertanyaan tadi,,tentang jawaban tgk pada nomor 5 tentang ibadah orang tuli,buta, dan bisu,tetapi tgk..kalo kita melihat kepada kitab mu'tabarah seperti haasyiah albajuri juz 1 hal 129 tentang syarat wajib shalat, disana terdapat nas :
    والثاني سلامة الحواس فلا تجب على من خلق أعمى أصمى ولو ناطقا وكذا من طرأ له ذلك قبل التمييز بخلاف بعد التمييز لأنه يعرف الواجبات حينئذ فلو ردت إليه حواسه لم يجب عليه القضاء

    dan begitu juga dalaam hasyiah qulyubi juz 1 hal 120:
    (قوله بالغ عاقل)
    أي سالم الحواس وبلغته الدعوةفلا يطالب بها من خلق أعمى وأصمى وأبكم ولا من لم تبلغه الدعوة ولا يجب على الأول القضاء إذا صحت حواسه ببخلاف الثاني

    dan begitu juga di dalam beberapa nas kitab2 yang lain seperti iaanatutthalibin dan fiqih ala mazaahib ala arba'ah yang intinya sama dengan 2 nas diatas..
    bagaimana tanggapan tgk??
    syukran tgk..jazaakumullah khair ,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. kami kira tgk sepakat dengan kami bahwa 'illah tidak wajib shalat atas orang buta + tuli + bisu yang disebut dalam kitab2 tsb adalah ia ini tidak mukallaf karena tidak ada jalan ia mendapatkan dakwah. ini terbukti apabila buta + tuli + bisu tsb datang sesudah tamyiz dalam kutipan al-bajuri di atas, maka tetap wajib shalat, karena ia punya kesempatan untuk mengetahui kewajiban2 sebelum ia bersifat buta + tuli + bisu. jadi intinya orang yg tidak ada jalan utk mengetahui kewajiban2 agama, maka ia tidak ada kewajiban 2 apapun atasnya, maka dia seperti orang yang tidak datang dakwah atasnya

      2. nah, apabila zaman sekarang berkat kemajuan ilmu pengetahuan dimungkinkan orang buta + tuli + bisu mendapatkan ilmu pengetahuan, maka menurut hemat kami, orang ini tetap wajib kewajiban agama, karena mereka dianggap mukallaf juga. bukankah ada qaidah "hukum bergantung pada 'illah ? kalau ada 'illah ada hukum, kalau tidak ada 'illah, maka tidak ada hukum.

      3. jadi tgk yth, nash2 kitab di atas kita akui kebenarannya, namun nash 2 itu di dasarkan karena orang buta + tuli + bisu tidak ada jalan mengetahui kewajiban2 agama.

      wassalam

      Hapus
  3. syukran katsiran tgk... jazakumullah khair jaza'... wa nafa'ani bikum wa bi'ulumikum insya allah....
    saya boleh tanya lagi tgk...? saya ingin tanya tentang masalah:
    1.bagaimana hukum memegang al qur'an yg ada terjemahannya tanpa berwudhuk...?
    2.bagaimana hukum menulis al qur'an/ayat al qur'an dengan bahasa 'ajam/bahasa latin...?
    3.bagaimana kedudukan khutbah jum'at,, bila antara khutbah yg pertama dan yg kedua di selangi oleh nasehat yg panjang... contoh:
    setelah azan yg kedua,khatib langsung membaca khutbah yg pertama,, kemudian menyampaikan nasehat selama 20 menit, dan lalu membaca barakallahu li wa lakum fil qur'anil....dst.. dan lalu duduk, dan bangun untuk membaca khutbah yg kedua... pu na sah khutbah lagenyan tgk...?

    BalasHapus
    Balasan
    1. jawabannya dapat tgk ikuti link berikut :
      http://kitab-kuneng.blogspot.com/2013/03/menjawab-beberapa-masalah-yang.html

      Hapus
  4. dan bila kita berniat menetap 2 hari di banda aceh tgk,, apa boleh juga kita qashar dan jamak shalat?
    atau misalnya kita belajar di banda aceh dan tinggal di rumah kos,, apa boleh bagi kita bila sudah sampai di rumah kos tsbut kita qashar dan jamak?
    trims.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. boleh qashar dan jamak bila kita berniat menetap 2 hari di banda aceh sebagaimana sudah dijelaskan di atas

      2. apabila kita bermukim (tinggal disana empat hari atau lebih, yaitu sebulan, 1, 2, 3 tahun bahkan lebih), maka begitu sampai , tidak boleh lagi qashar dan jamak.

      Hapus
  5. salam ....
    saya kurang mengerti tentang jamak shalat pd saat hujan... sebenarnya bgmn syarat2 nya agar di bolehkan jamak salat karna hujan? apakah salatnya mesti berjamaah di mesjid?

    trus ada yg bilang kalo kita lagi kemacetan di jalan sangat lama, maka boleh jamak shalat... bgmn ini tgk..? mohon penjelasannya?
    makasih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. masalah ini pernah kami bahas pada :
      http://kitab-kuneng.blogspot.com/2013/03/menjawab-pertanyaan-masalah-gala-gadai.html

      wassalam

      Hapus
  6. assalamu'alaikum tgk
    perjalanan2 yang bagaimana kita boleh atau tidak boleh melakukan shalat jamak dan qashar.??
    apakah perjalanan umrah dan ibadah haji tidak boleh melakukan jamak dan qashar karna lebih dari 4 hari.
    tolong penjelasannya
    wassalam

    BalasHapus
  7. 1. secara umum dapat dijelaskan bahwa tidak boleh jamak dan qashar apabila musafir tsb dalam rangka perbuatan maksiat dan musafir tanpa arah dan tujuan yg jelas.

    2. tidak boleh melakukan jamak dan qashar apabila sampai 4 hari, yakni berencana berada di tmp tujuan selama 4 hari. adapun hari-hari dalam perjalanan meskipum lebih 4 hari tetap boleh qashar dan jamak seperti perjalanan ke haji zaman dahulu yg sampai 1 bulan perjalanan laut.

    3. apakah perjalanan umrah dan ibadah haji tidak boleh melakukan jamak dan qashar karna lebih dari 4 hari.? jawabnya selama dalam perjalanan misalnya dari aceh hingga sebelum sampai ke makkah, maka boleh qashar dan jama'. adapun begitu sampai ke makkah, maka tidak boleh lagi qashar dan jamak, karena rencana menetap di makah 4 hari atau lebih

    wassaam

    BalasHapus
  8. Syeikh. Ana mau nanya apa makna dari syair
    والاجتهاد فالزمن الثاني....

    Dalam kitab taqriratussadidah jilid satu hal 56..

    BalasHapus