Rabu, 27 Maret 2013

Masalah naskah matan kitab dan devinisi wajib dalam kitab Warqat


assalamualaikum tgk,,,
saya ingin bertanya pada tgk beberapa pertanyaan,,
1. di dalam kitab fiqh sering dijumpai,,
وفي بعض النسخ
seperti dalam kitab bajuri juz 1 hal 55
ومسح جميع الرأس وفي بعض نسخ المتن واستيعاب الرأس بالمسح
kiban tasurah maksud kalimat tersebut?
2. di dalam kitab ushul waraqat terdapat ibarat,,
فالواجب من حيث وصفه بلوجوب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه
kiban tasurah kata?
من حيث وصفه بالوجوب
dan kiban perbedaan antara wajib dan wujub dan juga mandub dengan nadab?
trimakasih tgk..
Jawab :
‘Alaikum salam Wr.Wb
1.      Kitab-kitab klasik bukanlah dicetak, karena belum ada mesin cetak seperti zaman sekarang, karena itu kesalahan dalam menulis sangat mungkin terjadi. Kitab-kitab tersebut ditulis dengan tangan penulis sendiri atau ditulis oleh muridnya dengan didikte oleh sang guru . Murid-murid yang menginginkan kitab karya dari gurunya, menyalin kembali dalam bentuk salinan dan itu bisa terjadi dari satu generasi kepada generasi selanjutnya. Di sini yang menyalin kembali tersebut bisa jadi ada beberapa murid, bahkan banyak, maka muncullah naskah yang berbeda antara satu murid dengan murid lainnya. Munculnya naskah yang berbeda, bisa jadi karena murid tersebut tidak teliti dalam melihat naskah gurunya atau tidak teliti dalam mendengar dikte gurunya (kalau disalin berdasarkan dikte gurunya), sehingga murid yang satu menulis misalnya : ومسح جميع الرأس dan sedangkan murid lain menulis : واستيعاب الرأس بالمسح. (tetapi perbedaan tersebut biasanya tidaklah jauh dari sisi maknanya). Lalu pada zaman sekarang dalam mencetak kitab-kitab tersebut ada yang berpedoman dengan kitab yang ditulis oleh murid A dan ada yang berpedoman kepada kitab yang ditulis oleh murid B (misalnya). Biasanya ulama yang melakukan syarah terhadap sebuah matan kitab menjelaskan kepada kita bahwa berdasarkan penelitian beliau, matan kitab yang beliau syarah tersebut ada dua naskah yang tulisannya berbeda, satu tertulis ومسح جميع الرأس sedangkan naskah satu lagi : واستيعاب الرأس بالمسح(contoh ini kalau naskah matan taqrib sebagai tgk kemukakan di atas)

2.      Wajib adalah isim fa’il, sehingga bermakna perbuatan yang mesti dilaksanakan, sedangkan wujub adalah mashdar sehingga bermakna mesti (kewajiban), yaitu sifat yang ada pada perbuatan yang mesti dilaksanakan. Dengan demikian, wajib dikatakan wajib dengan i’tibar bersifat dengan wujub. Hal ini sama juga penjelasannya pada nadab dan mandub. Mandup adalah nama perbuatan yang sebaiknya dilaksanakan sedangkan nadab sifat yang ada pada mandub. Sesuatu perbuatan yang tidak ada sifat wujub padanya, maka tidak dapat dikatakan wajib, demikian juga suatu perbuatan yang tidak sifat nadab padanya, maka tidak dapat dikatakan mandub.

3.      Lalu apa pengertian من حيث وصفه بالوجوب pada definisi wajib sebagai pertanyaan tgk di atas ? jawabnya kira-kira : Suatu perbuatan yang mesti dilakukan (yang disebut dengan wajib), kadang-kadang dia bisa saja bersifat dengan haram, sehingga kalau dikerjakan menyebabkan seseorang berdosa. Misalnya melaksanakan wudhu’, dimana hukumnya adalah wajib sehingga berpahala apa bila dikerjakan karena dia bersifat dengan wujub, tetapi dengan i’tibar berwudhu’ itu dilakukan dengan air rampokan (bersifat dengan haram), maka berwudhu’ itu  berdosa. Nah sekarang timbul pertanyaan, bukankah devinisi wajib adalah apabila dikerjakan dapat pahala….dst, sedangkan dalam kasus berwudhu’ ini kenapa bisa dapat dosa? Maka jawabannya adalah perbuatan wajib dapat pahala apabila dikerjakan, dengan i’tibar bersifat perbuatan itu dengan wujub, meskipun dapat dosa dengan i’tibar bersifatnya dengan haram seperti kasus wudhu’ dengan air rampokan.

wassalam

Selasa, 26 Maret 2013

Tokoh Ulama yang Mengecam dan Menolak Ajaran Salafi


Mayoritas ulama Islam yang hidup sezaman dengan Ibnu Taimiyah dan yang datang sesudahnya mengecam dan menolak pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya (ajaran Salafi). Penolakan ini dikarenakan ajaran Salafi tersebut dianggap sudah keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya. Sayyid Hasan bin Ali al-Saqaf, dalam kitab beliau, as-Salafiyah al-Wahabiyah,[1] telah menyebut tokoh-tokoh ulama  yang menolak dan mengecam ajaran Salafi, antara lain :
1.        Al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Taqiyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi al-Subki. Diantara karya beliau dalam rangka menolak pendapat ajaran Salafi, yaitu :
a.       Al-Saif al-Saqiil fi al-Rad ‘ala Ibnu Zufiil
b.      Ad-Durrah al-Mudliyyah Fi al-Radd ‘ala Ibn Taimiyyah.
c.       Syifa’ as-Saqam Fi Ziyarah Khair al-Anam
d.      Dan lain-lain
2.        Hafidh Ibnu Daqiq al-‘Id al-Syafi’i al-Maliki (W. 702 H). Beliau menolak pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Nau’ al-alam (hakikat alam) adalah qadim.
3.        Al-Hafizh Al-Zahabi al-Syafi’i (W.748 H). Diantara karya beliau dalam rangka menolak pendapat ajaran Salafi, yaitu :
a.       Al-Nashihah al-Zahabiyah (dalam bentuk risalah yang dikirim langsung kepada Ibnu Taimiyah)
b.      Al-I’lan bil Taubikh
c.       Bayan Zaghl al-Ilm wal-Thalb
4.        Al-Qadhi Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah al-Syafi’i (W. 733 H)
5.        Al-Qadhi Muhammad bin al-Hariry al-Anshari al-Hanafi
6.        Al-Qadhi Muhammad bin Abu Bakar al-Maliki
7.        Al-Qadhi Ahmad bin Umar al-Muqdisy al-Hanbaly
(Ibnu Taimiyah dipenjara pada tahun 726 H, berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh empat orang qadhi ini, yaitu yang tersebut namanya pada no. 4,5,6, dan 7)
8.        Qadhi dari negeri Mesir, Ahmad bin Ibrahim al-Saruji al-Hanafi (W. 710 H)
9.        Qadhi dari kalangan Mazhab Maliki (W. 718 H)
10.    ‘Alamah Ali bin Ya’qub al-Bakri (W. 724 H)
11.    ‘Alamah Syamsuddin Muhammad bin ‘Adlan al-Syafi’i (W. 749 H)
12.    Al-Imam Shadruddin Ibnu al-Wakil, terkenal dengan nama Ibnu al-Murhil al-Syafi’i
13.    Al-Imam al-Alamah Ahmad bin Yahya al-Kalaby al-Halaby (W. 733 H).
14.    Qadhi ‘Alamah Shafiuddin al-Hindy (W. 715 H). Beliau pernah berdebat langsung dengan Ibnu Taimiyah dalam beberapa masalah
15.    Qadhi Kamaluddin bin al-Zamlakany (W. 728 H). Beliau pernah berdebat langsung dengan Ibnu Taimiyah dan menulis kitab menolak pendapat Ibnu Taimiyah dalam masalah ziarah qubur dan thalaq.
16.    Al-Hafizh Mufassir al-Lughawy Abu Hayyan al-Andalusy (W. 745 H). beliau menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa beliau pernah melihat sendiri tulisan yang ditulis dengan tangan Ibnu Taimiyah yang didalamnya berisi bahwa Ibnu Taimiyah menetapkan i’tiqad bahwa Tuhan duduk di atas ‘arasy.
17.    Al-Imam Ali bin Muhammad al-Baji al-Syafi’i (W. 714 H)
18.    Al-Muhaddits Ahli sejarah, al-Fakruddin bin al-Mu’allim al-Quraisyi (W. 725 H). Beliau menolak Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau, Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu’tadi.
19.    ‘Alamah Muhammad bin Ali al-Maziny al-Duhan al-Damsyiqy (W. 721 H). Beliau menolak Ibnu Taimiyah dalam dua risalah beliau, yaitu Risalah Ziarah Qubur dan Risalah Thalaq
20.    Al-Imam Abu Qasim Ahmad bin Muhammad al-Syairazy (W. 733 H). Beliau pernah mengarang sebuah risalah dalam rangka menolak pendapat Ibnu Taimiyah
21.    Al-Imam Jalaluddin al-Quzuwainy al-Syafi’i (739 H).
22.    ‘Alamah ‘Afifuddin Abdullah bin As’ad al-Yafi’i al-Yamany (W. 768 H). Karya beliau dalam menolak Ibnu Taimiyah antara lain, Marrahum al-‘Ilal al-Mu’izzhillah.
23.    Al-Imam al-Muhadits Tajuddin Abdulwahab bin Ali al-Subky  (W. 771 H). Dalam kitab beliau, al-Thabaqaat al-Syafi’iyah al-Kubraa banyak penjelasan-penjelasan penolakan terhadap Ibnu Taimiyah.
24.    ‘Alamah Ahli sejarah, Ibnu Syakir al-Kataby (W. 764 H). Diantara kitab beliau adalah ‘Uyun al-Tawarikh
25.    ‘Alamah al-Faqih Umar bin Abi al-Yaman al-Lakhmy al-Fakihy al-Maliky (W. 734 H). Beliau ini telah menolak pendapat Ibnu Taimyah dalam kitab beliau, al-Tuhfah al-Mukhtarah fil-Radd ‘ala Munkir al-Ziyarah
26.    ‘Alamah Isa al-Zawawy al-Maliki (W. 743 H). Beliau mempunyai karya sebuah risalah menolak Ibnu Taimiyah mengenai ziarah qubur
27.    Al-Qadhi al-‘Alamah Muhammad al-Sa’ady al-Akhna’i al-Mishry (W. 750 H). Beliau mengarang sebuah kitab berjudul al-Maqalaat al-Mardhiyah fil-Radd ‘ala Man Yunkiru al-Ziyarah al-Muhammadiyah. Kitab ini dicetak bersama kitab al-Barahin al-Sathi’ah karya al-‘Azamy
28.    Al-‘Alamah al-Muhaqqiq Ahmad bin Utsman al-Turkimany al-Jauzajany al-Hanafi (W. 744 H). Beliau mengarang sebuah risalah khusus dalam rangka menolak Ibnu Taimiyah dengan judul al-Abhatsu al-Jaliah fil-Radd ‘ala Ibnu Taimiyah
29.    Al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany al-Syafi’i (W. 852 H). Beliau mencela Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau, Fathul Barri dalam hal fatwa Ibnu Taimiyah mengenai ziarah qubur dan tidak ada awal benda yang bahru.
30.    Al-Hafizh al-Kabir Zainuddin Abdurrahim al-Iraqi. Beliau ini merupakan guru dari al-Hafizh Ibnu Hajar, Waliuddin al-Iraqi (anak beliau sendiri) dan al-Haitsamy (W. 806 H). Syekh al-Nabhany dalam Syawahid al-Haq menjelaskan bahwa beliau pernah membaca sebuah karangan kecil karya Zainuddin al-Iraqi yang berisi penolakan pendapat Ibnu Taimiyah mengenai masalah yang berhubungan dengan hari ‘Asyura
31.    Anak dari Zainuddin al-Iraqi, Waliuddin al-Iraqi (W. 826 H). Beliau banyak mengkritik fatwa Ibnu Taimiyah yang menyalahi dengan ijmak dalam kitab al-Ajwabah al-Mardhiyah fil Radd ‘ala al-As’alah al-Makkiyah
32.    Ahli Sejarah, ‘Alamah Ibnu Qadhi Syabhah al-Syafi’i (851 H)
33.    Al-Imam al-Alamah Taqiyuddin al-Hishny al-Husainy al-Syafi’i (W. 829 H). Beliau menolak pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau, Daf’u Syabbah Man Syabbaha wa Tamarrad. (Beliau meruapakan pengarang kitab fiqh Syafi’i yang sangat terkenal di kalangan Mazhab Syafi’i di Indonesia, yaitu Kifayah al-Akhyar)
34.    Al-Imam Ibnu ‘Arafah al-Tunisiy al-Maliki (W. 803 H)
35.    Al-Imam al-Alamah ‘Ilauddin al-Bukhari al-Hanafi (W. 841 H). Beliau ini merupakan murid dari al-Sa’ad al-Tafazaany.
36.    Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Farghany al-Hanafi al-Damsyiqi (W. 867 H). Beliau mengarang sebuah kitab khusus menolak pendapat Ibnu Taimiyah dengan judul al-Radd ‘ala Ibnu Taimiyah fil-I’tiqaad
37.    Syaikh al-Arif billah Ahmad Zaruuq al-Faasi al-Maliki (W. 899 H). Beliau menolak pendapat Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau, Syarh Hizb al-Bahr
38.    Al-Alamah al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitamy al-Syafi’i. Beliau telah mengutip dan mencela pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzy yang menyalahi ijmak ulama dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Haditsah
39.    Syaikh al-‘Alamah Mala Ali al-Qary al-Hanafi (W. 1014 H). Beliau mengatakan dalam kitab Syarh al-Syifa bahwa Ibnu Taimiyah telah melenceng dari Mazhab Hanbali dalam hal pengharaman Ibnu Taimiyah terhadap ziarah qubur Nabi SAW
40.    Syaikh al-‘Alamah al-Muhaddits Abdurrauf al-Munawy al-Syafi’I (W. 1031 H). Beliau telah mencela Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau, Faid al-Qadir dan Syarh al-Syamail lil Turmidzi
41.    Al-Muhaddits Muhammad bin ‘Ali bin ‘Alaan al-Shiddiqi al-Makky (W. 1057 H).
42.    Syihabbuddin Ahmad al-Khafaji al-Hanafi (W. 1069 H)
43.    Syaikh Abdul Ghany al-Nabalusy (W. 1143 H). Beliau telah mencela Ibnu Taimiyah dalam banyak kitabnya
44.    Al-“Alamah al-Faqih Muhammad bin Sulaiman al-Kurdy al-Syafi’i al-Madany.
45.    Syaikh al-‘Alamah Abdullah bin Abdul Lathif al-Syafi’i. Diantara karya beliau, Tajrid Saif al-Jihad li Mudda’i al-ijtihad
46.    ‘Afifuddin Abdullah bin Daud al-Hanbali. Beliau menolaqk ajaran Salafi dalam kitab beliau al-Shawa’iq wal- Ru’ud
47.    Al-‘Alamah al-Muhaqqiq Muhammad bin Abdurrahman bin ‘Afaaliq al-Hanbali. Beliau mengarang kitab Tahakum al-Muqallidin bi Man Idda’a Tajdid al-Din untuk menolak pendapat Muhammad bin Abdul Wahab
48.    Al-‘Alamah Ahmad bin Ali al-Qabany al-Bashry al-Syafi’i. Beliau menolak pendapat Muhammad bin Abdul Wahab dengan mengarang sebuah risalah, Fasl al-Khithab fi Radd Dhalaat Ibnu Wahab
49.    ‘Alamah Barkaati al-Ahmady al-Syafi’i al-Makki
50.    ‘Alamah Syaikh ‘Itha’ al-Hindi al-Makky. Beliau menolak pendapat Muhammad bin Abdul Wahab dengan karya beliau, al-Sharim al-Hindi fi ‘Anaq al-Najdy
51.    ‘Alamah Syaikh Abdullah bin ‘Isa al-Muwaisy
52.    Syaikh Ahmad al-Mishri al-Ihsa’i
53.    Seorang alim yang tidak dikenal dari Baitul Maqdis menulis sebuah risalah dengan judul al-Suyuf al-Saqal fi A’naq Man Ankara ‘ala Auliya ba’da al-Intiqal
54.    Al-‘Alamah al-Syarif al-Sayyid ‘Alawy bin Ahmad al-Hadad al-Ba’alawy. Beliau menolak ajaran Salafi dalam risalah beliau, al-Saif al-Batir li ‘Anaq al-Munkir ‘ala al-Akabir
55.    Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif al-Ihsaiy
56.    ‘Alamah Abdullah bin Ibrahim Miraghi. Beliau menolak ajaran Salafi dengan karya beliau, Tahridh al-Aghniya’ ‘ala al-istighatsah bil Anbiya wal-Auliya
57.    Syaikh Muhammad Saleh Zamzami al-Syafi’i al-Makki
58.    Syaikh Thahir Subul al-Hanafi, dalam karya beliau, al-Intishar lil Auliya al-Abrar
59.    Syaikh Saleh al-Fulany al-Magriby
60.    Al-‘Alamah al-Syarif Sayyid al-Alawi bin Thahir al-Hadad. Beliau menolak pendapat Muhammad bin Abdul Wahab dalam karya beliau, Mishbah al-Anam wa Jala’u al-Dhalam fi Radd Syabhi al-Najdi allati Uzhilla al-‘Awam
61.    Al-‘Alamah al-Muhaqqiq Ismail al-Tamimy al-Maliki al-Tunisiy
62.    Al-‘Alamah al-Muhaqqiq Shaleh al-Kawaasyi al-Tunusiy, dalam risalah beliau, Musajja’ah Muhakkamah
63.    Al-‘Alamah al-Muhaqqiq Sayyid Daud al-Baghdadi al-Hanafi.
64.    Syaikh Ibnu Ghalibun al-Layyi. Beliau ini membuat qashidah untuk menolak qashidah berisi pujian terhadap Muhammad bin Abdul Wahab yang digubah oleh al-San’any
65.    Al-‘Alamah Syaikh Ibrahim al-Samanudy al-Manshuri. Beliau ini mengarang kitab besar dalam dua jilid untuk menolak golongan Wahabi dan Dhahiri dengan judul, Sa’adah al-Daraini fi al-Radd ‘ala al-Firqaini al-Wahabiyah wa Muqallid al-Dhahiriyah
66.    Syaikh al-Masyrafi al-Maliki al-Jazaairy, dalam kitab karya beliau, izhhar al-‘Uquq Mimman Mana’a al-Tawasul bil-Nabiyyi wal-Waliy al-Shaduq
67.    Al-‘Alamah Syaikh al-Mahdi al-Wazitaany, seorang mufti negeri Fasi
68.    Al-‘Alamah Syaikh Mushtafa al-Hamaamy al-Mishri, dalam kitab beliau, Ghauts al-‘Ibad Bayan al-Risyad
69.    Syaikh Ibrahim Hilmy al-Qadiry al-Iskandary, dalam kitab beliau, Jalal al-Haq fi Kasyf Ahwal Asyrar al-Khalq (Diterbit di Iskandariyah pada tahun 1355 H)
70.    Al-‘Alamah Syaikh Ibrahim al-‘Izamy (W. 1379 H). beliau mempunyai karya yang berisi penolakan terhadap ajaran Salafi dengan judul, al-Barahin al-Sathi’ah
71.    Syaikh Hasan Khizbik, dalam tulisannya, al-Maqaalaat al-Wafiyah fi Radd ‘ala al-Wahabiyah
72.    Syaikh ‘Itha’ al-Kasm al-Damsyiqi, mufti negeri Syam, dalam risalahnya, al-Aqwal al-Mardhiyah fi Radd ‘ala al-Wahabiyah
73.    Sulaiman bin Abdul Wahab al-Najdy, saudara kandung dari Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabi). Beliau ini menolak pendapat saudaranya itu dalam kitab beliau, al-Shawaiq al-Ilahiyah fi Radd ‘ala al-Wahabiyah
74.    Al-‘Alamah Jamil Shiddiqi al-Zahawy, dalam kitab beliau, al-Fajr al-Shadiq fil-Radd ‘ala Munkir al-Tawasul wal-Karamaat wal-Khawariq
75.    Al-‘Alamah al-Faqih Mufti Syafi’iyah di Makkah, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, dalam kitab beliau, al-Durar al-Sunniyah fil- Radd ‘ala al-Wahabiyah
76.    Syaikh Abd al-Muhshin al-Asyqiri al-Hanbali, dalam risalah beliau, al-Radd ‘ala al-Wahabiyah
77.    Syaikh Ahmad Sa’id al-Sirhindi al-Naqsyabandy, dalam kitabnya, al-Haq al-Mubin fil-Radd ‘ala al-Wahabiyyiin
78.    Al-Hafidh Muhammad Hasan al-Hanafi, dalam risalahnya, al-‘Aqaid al-Shahihah fi Tardid al-Wahabiyah al-Najdiyah
79.    Al-‘Alamah Muhammad ‘Ithaillah al-Rumy, dalam risalahnya, al-Risalah al-Radiyah ‘ala Thaifah al-Wahabiyah
80.    Syaikh Ibrahim al-Rawy, dalam risalahnya, al-Auraq al-Baghdadiyah
81.    Syaikh Daud bin Sulaiman al-Baghdadi, dalam risalahnya, Shulh al-Ikhwan fil-Radd ‘ala Man Qala ‘ala al-Muslimin bil-Syirk wal-Kufraan dan al-Manhah al-Wahbiyah fi Radd al-Wahabiyah
82.    Al-‘Alamah Syaikh Malik bin Syaikh Daud, dalam kitab beliau, al-Haqaiq al-Islamiyah fil-Radd ‘ala al-Muza’im al-Wahabiyah bi Adallah al-Kitab wal-Sunnah al-Nubuwwah
83.    Syaikh Hamdullah al-Daajawy al-Hanafi al-Hindy, dalam kitab beliau, al-Basha’ir li Munkiry al-Tawasul bi Ahl al-Maqabir
84.    Alamah Isa bin Muhammad al-San’any al-Yamany, dalam kitab al-Saif al-Hindy fi Ibanah Thariqah al-Syaikh al-Najdy
85.    Al-‘Alamah Syarfuddin Ahmad bin Yahya al-Muniiry, dalam kitabnya, al-Iman wal-Islam
86.    Syaikh Husain al-Hilmy bin Sa’id al-Istaanbuly, dalam kitabnya, Ulama al-Muslimin wal-Wahabiyyun
87.    Syaikh Mustafa bin Ahmad bin Hasan al-Syatthi al-Hanbali, dalam kitabnya, al-Nuqul al-Syar’iyah fil-Radd ‘ala Wahabiyah
88.    Syaikh ‘Ali Zain al-‘Abidin al-Sudany. Beliau ini mengarang kitab yang berisi penolakan terhadap ajaran Salafi dan Wahabi dengan judul, al-Bara-ah min al-Ikhtilaf fil-Radd ‘ala al-Syiqaq wal-Nifaq fil-Radd ‘ala al-Firqah al-Wahabiyah al-Dhallah
89.    Sayyid Muhsin al-Amin, dalam kitabnya, Kasyf al-Irtiyab fi Atba’i Muhammad bin Abdul Wahab
90.    Syaikh Muhammad Jawaad Mughniyah, dalam kitabnya, Hazihi hiya al-Wahabiyah
91.    Mufti Negeri Mesir, Syaikh Muhammad Bukhit al-Muthi’i (W. 1354 H), dalam risalah beliau, Thathhir al-Fuad Min Dans al-I’tiqad
92.    Al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsary al-Hanafi (W. 1371 H). Beliau banyak mengarang kitab dan risalah dalam menolak Ibnu Taimiyah, diantaranya :
a.       Tabdid al-Dhalam al-Mukhim Min Nauniyah Ibnu Qaiyyim
b.      Maqaalaat al-Kautsary (kumpulan makalah)
93.    Al-‘Alamah Syaikh Muhammad al-Araby al-Tibany (W. 1390 H). karangan beliau dalam menolak ajaran Salafi antara lain :
a.       Al-Ta’aqqub al-Syadid ‘ala Hudaa al-Zar’i al-‘Anid
b.      Bara-ah al-Asy’aryiin Min ‘Aqaid al-Mukhalifiin
94.    Syaik Manshur Muhammad ‘Awis, seorang ulama yang hidup semasa dengan Syaikh al-Kautsary. Beliau mengarang sebuah kitab dengan judul, Ibnu Taimiyah laisa Salafiyan.
95.    Al-‘Alamah Yusuf al-Dajwy dari pembesar ulama al-Azhar, dalam kitabnya, Shawaiq Min al-Nar ‘ala Shahib al-Manar
96.    Al-Hafidh al-Muhaddits al-Syarif Ahmad bin Muhammad bin al-Shadiq al-Ghumary al-Hishny (W. 1380 H).
97.    Al-Imam al-Muhaddits al-Syarif Abdullah bin al-Shadiq al-Ghumary al-Hishny (W. 1413 H). Beliau dalam menolak pendapat Nashruddin al-Bany, pemuka kaum Salafi zaman kini dalam kitabnya, al-Radd al-Muhkim al-Matin dan al-Qaul al-Muqna’ fil-Radd ‘ala al-Bany
98.    Al-‘Alamah al-Syarif Muhammad Zamzamy Ibnu al-Shadiq al-Ghumary al-Hishny (W. 1407 H). Beliau dalam menolak pendapat Nashruddin al-Bany, pemuka kaum Salafi zaman kini dalam kitabnya, al-Munadharah ma’a al-Bany
99.     Al-Muhaddits al-‘Alamah al-Syarif Abdul Aziz bin al-Shadiq al-Ghumary al-Hishny (W. 1417 H). Dalam rangka menolak pendapat Nashruddin al-Bany, beliau telah mengarang kitab dengan judul Bayan Nakts al-Nakits al-Muta’addi bi Tazh’if al-Harits
100. Al-‘Alamah, Mufti negara Amman, Syaikh Ahmad bin Hamd al-Khalily
101. Syaikh al-Alamah al-Faqih Abdullah al-Habsyi al-Harary. Beliau yang berdomisili di Beirut ini mempunyai beberapa tulisan yang menolak ajaran Wahabi
102. Al-‘Alamah Syaikh Yusuf al-Nabhany. Beliau ini menolak aliran Salafi-Wahabi dalam kitab beliau Syawahid al-Haq
H. Kholil Abou Fateh, Lc, MA, Dosen Unit Kerja Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif  Hidayatullah Jakarta, menyebut beberapa nama ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari Indonesia yang menolak pendapat Salafi-Wahabi. Nama-nama ulama tersebut yaitu :
103.     KH. Ihsan ibn Muhammad Dahlan Jampes Kediri, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga, antara lain  Siraj ath-Thalibin ‘Ala Minhaj al-‘Abidin Ila Jannah Rabb al-‘Alamin.
104.          KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia, perintis ormas Islam Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Beliau merintis ormas ini tidak lain hanya untuk membentengi kaum Ahlussunnah Indonesia dari faham-faham Ibn Taimiyah yang telah diusung oleh kaum Wahhabiyyah. Karangan beliau antara lain ‘Aqidah Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah.
105.     KH. Sirajuddin ‘Abbas, salah seorang ulama terkemuka Indonesia. Karya beliau antara lain  I’tiqad Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan  Empat Puluh Masalah Agama (terdiri dari empat jilid)
106.     KH. ‘Ali Ma’shum Yogyakarta (W 1410 H), salah seorang ulama terkemuka Indonesia, dalam karya beliau, Hujjah Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah.
107.     KH. Ahmad ‘Abd al-Halim Kendal, salah seorang ulama besar Indonesia. Karya beliau antara lain Aqa’id Ahl as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Ditulis tahun 1311 H
108.     KH. Bafadlal ibn as-Syaikh ‘Abd asy-Syakur as-Sinauri Tuban. Salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang cukup produktif menulis berbagai karya yang sangat berharga, antara lain  Risalah al-Kawakib al-Lamma’ah Fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahl as-Sunnah dan  Syarah Risalah al-Kawakib al-Lamma’ah Fi Tahqiq al-Musamma Bi Ahl as-Sunnah.
109.      KH. Muhammad Syafi’i Hadzami ibn Muhammad Saleh Ra’idi, salah seorang ulama betawi, pernah menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi DKI Jakarta (1990-2000). Diantara karya beliau adalah Taudlih al-Adillah.
110.     KH. Ahmad Makki ‘Abdullah Mahfuzh Sukabumi Jawa Barat.
Di Aceh sendiri menurut riwayat dan pengamatan penulis sendiri yang pernah belajar di dayah Aceh selama sepuluh tahun, dapat dikatakan hampir semua ulama dayah sangat anti kepada ajaran Salafi-Wahabi. Diantara nama-nama ulama dayah tersebut antara lain :
111.     Syaikh Abu Hasan Krueng Kalee
112.     Syaikh Abuya Muda Wali al-Khalidy. Beliau seorang ulama besar Aceh yang banyak sekali melahirkan ulama-ulama yang terkenal di Aceh dan luar Aceh. Dalam kitab al-Fatawa, beliau menyerang faham Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya dengan sangat tajam seperti mengenai talqin, kewajiban bermazhab dan lain-lain
113.     Abu Abdul Wahab Seulimum
114.     Abu Ishaq Ulhee Titi
115.     Abon Aziz Samalanga
116.     Abu Tanoh Mirah (Bireun)
117.     Abu Adnan Bakongan
118.     Prof. Dr. Teungku Muhibbudin Waly
119.     Ustaz Abu Bakar Sabil dari Melaboh Aceh Barat
120.     Abu Teunom dari Aceh Jaya
121.     Abu Keumala (Medan)
122.     Syaikh al-Jailany Musa al-Khalidy Kotafajar Aceh Selatan
123.     Tgk H. Usman Fauzi (Lhong Ie, Banda Aceh)
124.     Tgk Mohd Basyah Haspy Teunom (pengarang buku Shalat Tarawih dan Sejarahnya)
125.     Abu Muhammad Zamzamy (Abu Ahmad Perti). Beliau yang merupakan guru besar penulis sendiri adalah pendiri Dayah Darul Mu’arrif Lam-Ateuk Aceh Besar. Dalam setiap pidato dan khutbahnya, beliau dengan sangat tajam menyerang paham Salafi-Wahabi ini.
126.     Tgk Syam Marfali. Beliau ini seorang ulama dan orator ulung dari Blang Pidie Abdya, dimana dalam setiap kesempatan ceramahnya, beliau menyerang habis-habisan paham Salafi-Wahabi.
127.     Dan hampir semua ulama dayah di Aceh dan ulama-ulama yang merupakan murid dari Abuya Syaikh Muda Wali, baik yang sudah almarhum maupun yang sudah meninggal, dapat dipastikan anti terhadap ajaran Salafi-Wahabi.


(Tgk Alizar Usman)



















[1] Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf, as-Salafiyah al-Wahabiyah, Darul Mizan, Beirut, Hal. 133-146

Senin, 25 Maret 2013

Bumi bulat dan matahari bersujud


salam tgk...
sebenarnya bumi kita ini bulat atau hampa sih tgk? soalnya ada yg bilang bulat,ada yg bilang hampa.. mana tgk yg benar?
trus matahari waktu terbenam dia pergi ke mana? ada yg bilang ia gak terbenam,tapi terbit di tempat yg lain, ada juga yg bilang ia pergi kebawah 'arasy untuk sujud kepada allah ? mana yg benar tgk...? 
jadi bingung nii...
makasiih....
jawab :
1.        Tidak ada nash yang tegas dari syara’, apakah bumi ini bulat atau datar. Namun ilmu pengetahuan dewasa ini sudah dapat membuktikan bahwa bumi adalah bulat. Memang ada sebuah ayat Allah berbunyi :
Artinya : Allah yang telah menjadikan bagimu bumi yang terhampar dan langit yang beratap (Q.S. al-Baqarah : 22)

Namun para ulama tafsir memahaminya boleh jadi sebagai hampar dan beratap dalam  pandangan mata saja dan ini tidak menafikan pendapat bahwa bumi ini adalah bulat.

2.        Ada hadits shahih riwayat Muslim berbunyi :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمًا: «أَتَدْرُونَ أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ الشَّمْسُ؟» قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ: " إِنَّ هَذِهِ تَجْرِي حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَخِرُّ سَاجِدَةً،
Artinya : Dari Abu Dzar  bahwa pada suatu hari Nabi SAW pernah bersabda, “Tahukah kalian ke manakah matahari ini pergi?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari ini berjalan sehingga sampai ke tempat peredarannya di bawah Arsy, lalu dia bersujud. (H.R. Muslim)[1]

Ilmu pengetahuan dewasa ini mengatakan bahwa bumilah yang bergerak mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Apabila ini benar dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka hadits ini harus dipahami hilang matahari tersebut hanyalah dalam pandangan mata saja, bukan berarti matahari bergerak menghilang. Adapun menghilang matahari dan sujud kepada Allah di bawah arasy, ini dipahami dengan cara sujud yang hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Adapun keadaan sujud matahari tersebut di bawah arasy, karena dimanapun keberadaan matahari ada, maka keberadaannya tersebut pasti di bawah arasy, karena arasy besarnya melebihi dari alam ini dengan seluruh isinya. Wallhu a’lam bisshawab


[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 138, No. hadits : 159