A. Sumber-sumber
tafsir al-Qur’an menurut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah
Berikut keterangan para
ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai sumber-sumber tafsir yang dapat menjadi
pedoman dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an, antara lain :
1.
Ibnu Katsir
dalam menjelaskan sumber tafsirnya mengatakan :
“ Pada
ketika itu, apabila kita tidak mendapatinya dalam Al-Qur’an dan juga tidak pada
sunnah, maka kita kembali kepada pendapat sahabat, karena mereka lebih tahu
tentang itu”.
Terjadi perbedaan
pendapat ulama mengenai qaul tabi’in. Menurut pendapat yang shahih tidak
menjadi hujjah. [1]
2.
Berkata
Ahmad`Shawy :
“Sumber tafsir adalah al-Kitab, al-Sunnah,
atsar dan ahli fashahah dari orang-orang Arab asli.”[2]
3.
Dalam kitab
al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Zarkasyi
menjelaskan kepada kita bahwa ada empat sumber tafsir, yaitu naqal
(kutipan) dari Rasulullah SAW, perkataan sahabat, muthlaq lughat dan maqtazhaa makna kalam dan maqtazhaa kekuatan syara’.
Penggunaan perkataan
sahabat adalah karena perkataan sahabat ditempatkan pada posisi marfu’.
Sedangkan perkataan tabi’in terjadi perbedaan ulama dalam menjadikannya sebagai
sumber tafsir.[3]
Penjelasan Zarkasyi ini juga telah
dikemukakan al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.[4]
Berdasarkan keterangan
ulama-ulama besar di atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat sumber tafsir
dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu :
1.
al-Qur’an itu
sendiri,
2.
Hadits Nabi,
3.
Qaul sahabat
Nabi
4.
Mutlaq dan
maqtazha lughat.
5.
Qaul para
tabi’in. Namun dalam hal qaul Tabi’in, para ulama berbeda pendapat tentang
penerimaannya sebagai sumber tafsir.
Lalu bagaimana
dengan ilham para waliyullah ?
Ilham sebagai sumber tafsir.
Dengan
semata-mata mendakwakan diri mendapat ilham atau kasyaf tentang penafsiran
suatu ayat al-Qur’an tidaklah menjadi hujjah untuk membenarkan penafsiran yang
dilakukannya, apalagi kalau penafsiran itu bertentangan dengan sumber-sumber
tafsir mu’tabar, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, qaul sahabat Nabi dan lughat Arab.
Para ulama telah menjelaskan kepada kita bahwa ilham tidak dapat menjadi hujjah
dalam agama. Hal ini karena ilham tidak ada jaminan aman dari tipu daya
syaithan. Berikut ini penjelasan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai
kedudukan ilham atau kasyaf dalam kehujjahannya, yaitu :
a.
Syekh Zakaria Al-Anshary mengatakan :
“Ilham yang terjadi pada manusia yang tidak ma’shum tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah, karena tidak aman dari tipu daya syaithan” [5]
b.
Pengarang ‘al-Aqaid al-Nasafiyah (Syekh Najmuddin Abu Hafash, salah
seorang ulama Ahlussunah wal Jama’ah terkenal) mengatakan :
“Ilham
tidaklah termasuk dalam sebab-sebab mengenal keabsahan sesuatu menurut ahlul
haq.”[6]
c.
Abu al-Muzhaffar al-Sam’any dalam kitab al-Qawathi’, menghikayah
dari Abu Zaid al-Dabusy salah seorang imam dari kalangan ulama Hanafiyah,
mengatakan :
“Ilham
adalah sesuatu yang menggerakkan hati kepada suatu ilmu yang menghendaki kepada
beramal tanpa ada pendalilian. Pendapat yang menjadi pegangan Jumhur ulama
adalah tidak boleh beramal dengannya kecuali pada ketika tidak ada hujjah sama
sekali dalam bab mubah. Sebagian ahli bid’ah mengatakan menjadi hujjah.[7]
Syekh
Hasan al-‘Ithar menjelaskan kepada kita bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan kepada kita supaya melakukan pendalilian dan itu sebagai dalil
bahwa ilham tidak dapat menjadi hujjah. Ayat-ayat al-Qur’an itu diantaranya :
1.
Q.S. al-Hasyr : 2, berbunyi :
فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya : Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai
orang-orang yang mempunyai mata hati (Q.S. al-Hasyr : 2)
2.
Q.S.
al-Ghasyiah : 17, berbunyi :
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan (Q.S. al-Ghasyiah : 17)
Selanjutnya
beliau mengatakan :
“Tidak ada
sebuah perintah merujuk kepada kata hati mengenai hukum-hukum dan aqaid” [8]
B.
Tafsir isyari
dalam pandangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah
Tafsir isyari adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
isyarat-isyarat yang dipahami dari makna dhahirnya. Yang menjadi asumsi dasar menggunakan
tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna
zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna
isyarat yang ada dibalik makna dhahir teks tersebut. Al-Zarqani dalam kitabnya
Manahil al-‘Irfan mendefenisikan tafsir isyari sebagai berikut :
التفسير الإشاري: هو تأويل القرآن بغيرظاهره لإشارة خفية تظهر لأرباب
السلوك والتصوف ويمكن الجمع بينها وبين الظاهرالمراد أيضا
“Tafsir
isyari adalah pentakwilan dengan bukan makna dhahirnya, karena isyarat
tersembunyi yang nyata bagi ahli suluk dan tasauf serta dimungkinkan
mengkompromikan antara makna isyarat tersebut dan makna dhahir yang menjadi
maksudnya juga.”[9]
Devinisi di atas menjelaskan kepada kita
bahwa bahwa tafsir isyari harus memenuhi
kriteria-kriteria berikut :
a.
Tafsir isyari adalah menyingkap suatu makna yang ada di balik makna dhahir suatu ayat al-Qur’an
b. Penafsirannya berdasarkan isyarat yang
didapati ahli sufi dalam suluknya.
c. Pemahaman berdasarkan isyarat tidak boleh
bertentangan dan harus dapat dikompromikan dengan makna dhahir dari ayat
al-Qur’an
Kriteria-kriteria
tersebut di atas juga dapat dipahami keterangan-keterangan ulama mu’tabar dari
kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah berikut ini :
1.
Dalam kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an, karya
al-Suyuthi disebutkan :
قال
التفتازاني في شرحه: سميت الملاحدة باطنية لادعائهم أن النصوص ليست على ظاهرها
بل لها معان باطنية لا يعرفها إلا المعلم وقصدهم بذلك نفي الشريعة بالكلية قال وأما ما
يذهب إليه بعض المحققين من أن النصوص على ظواهرها، ومع ذلك
فيها إشارات خفية إلى دقائق تنكشف على أرباب السلوك يمكن التطبيق بينها وبين
الظواهر المرادة فهو من كمال الإيمان ومحض العرفان.
“Al-Taftazany
dalam Syarahnya mengatakan, dinamakan kelompok mulhid dengan nama bathiniyah
karena dakwa mereka bahwa nash-nash itu bukanlah bermakna atas dhahirnya,
tetapi ada makna-makna bathin yang tidak diketahui kecuali seorang guru. Tujuan
mereka dengan hal itu adalah menafikan syari’at secara menyeluruh. Al-Taftazani
melanjutkan, adapun pendapat sebagian ahli tahqiq bahwa nash-nash itu atas
dhahirnya, namun padanya ada isyarat-isyarat tersembunyi kepada sehalus-halus
makna yang terbuka atas ahli suluk, tetapi antara maknanya tersebut dan makna
dhahir yang dimaksudkan dimungkinkan dikompromikan, maka ini bersumber dari
sesempurna iman dan ketulusan makrifah.”[10]
2.
Syeikh Tajuddin ibn ‘Ithaillah
dalam Lathaif al-Manan sebagaimana kutipan al-Suyuthi menyebutkan :
اعلم أن
تفسير هذه الطائفة لكلام الله وكلام رسوله بالمعاني الغريبة ليس
إحالة للظاهر عن ظاهره ولكن ظاهر الآية مفهوم منه ما جلبت الآية له ودلت عليه في عرف
اللسان وثم أفهامٌ باطنةٌ تُفهم عند الآية والحديث لمن فتح الله قلبه. وقد جاء في
الحديث لكل آية ظهر وبطن فلا يصدنك عن تلقي هذه المعاني منهم وأن يقول لك ذو جدل
معارضةً: هذا إحالة لكلام الله وكلام رسوله. فليس ذلك بإحالة وإنما يكون إحالة لو
قالوا لا معنى للآية إلا هذا وهم لم يقولوا ذلك بل يقرءون الظواهر على ظواهرها
مرادًا بها موضوعاتها ويفهمون عن الله تعالى ما أفهمهم.
“Ketahuilah sesungguhnya
penafsiran kelompok ini (ahli sufi) bagi kalam Allah dan Rasul-Nya dengan
makna-makna yang sukar dipahami bukanlah memaling nash dhahir dari makna
dhahirnya, tetapi dipahami dari dhahir ayat makna-makna yang dikandung ayat-ayat tersebut dan ditunjuki atasnya oleh
‘uruf bahasa, kemudian pemahaman-pemahaman bathin dipahami dari ayat dan hadits
bagi orang-orang yang dibuka Allah hatinya. Sungguh tersebut dalam sebuah
hadits, “Bagi setiap ayat ada dhahir dan ada bathin”. Karena itu, jangan
memalingkan kamu dari mengambil makna-makna ini dari mereka (ahli sufi). Yang
membantah mengatakan kepadamu, “Ini pemalingan dari kalam Allah dan Rasul-Nya.”
Maka ini bukanlah pemalingan, sesungguhnya hanya disebut pemalingan kalau
mereka mengatakan, “Tidak ada makna ayat kecuali ini”, padahal mereka tidak
mengatakan yang demikian itu, tetapi mereka hanya membaca nash dhahir atas
makna yang dhahir yang menjadi maksud dan maknanya, kemudian mereka memahami
yang bersumber dari Allah Ta’ala apa yang diberikan pemahaman oleh Allah kepada
mereka.” [11]
3.
Imam
al-Ghazali seorang sufi besar dalam sejarah Islam, dalam Ihya Ulmuddin
mengatakan :
ولا يدل تفسير ظاهر اللفظ عليه وليس هو مناقضاً لظاهر التفسير بل هو
استكمال له ووصول إلى لبابه عن ظاهره فهذا ما نورده لفهم المعاني الباطنة لا ما يناقض
الظاهر
“Tafsir
dhahir tidak menunjuki (secara langsung) atasnya (rahasia-rahasia al-Qur’an),
tetapi ia tidak bertentangan dengan tafsir dhahir, bahkan ia menyempurnakan dan
menyampaikan kepada isinya dari dhahiriyahnya. Maka yang kami kemukakan ini
untuk memahami makna-makna yang bathin yang tidak bertentangan dengan makna
dhahir.”[12]
Pada halaman sebelumnya, al-Ghazali
menuturkan :
ومن ادعى فهم اسرار القرأن ولم يحكم التفسير الظاهر
فهو كمن يدعوى البلوغ الى صدر البيت قبل مجاوزة الباب او يدعى فهم مقاصد الاتراك
من كلامهم وهو لا يفهم لغة الترك
“Barangsiapa yang mendakwa dirinya memahami rahasia-rahasia
al-Qur’an, sedangkan dia tidak teguh mengetahui tafsir dhahir, maka dia sama
dengan orang yang mendakwakan dirinya sampai ke dalam rumah sebelum melewati
pintunya atau sama dengan orang yang mendakwa dirinya memahami maksud kalam
orang-orang Turki, padahal dia tidak memahami bahasa orang Turki.”[13]
Namun demikian, Tafsir isyari ini menurut Ibnu
Shalah bukanlah merupakan tafsir, tetapi hanya merupakan bandingan (nadhir)
terhadap maksud zhahir al-Qur’an. Kaum Shufi mengatakannya itu bukanlah dalam
kerangka menjelaskan maksud ayat, tetapi hanya menyebut suatu bandingan dengan bandingan (al-nadhir bin
nadhir). Dalam mendukung kesimpulan tersebut, Ibnu Shalah mengatakan :
“Aku telah mendapati dari Imam Abu
Hasan al-Wahidy sesungguhnya beliau mengatakan, Abu Abd al-Rahman al-Salamy
telah mengarang kitab Hakikat Tafsir. Al-Wahidy mengatakan, “Barang siapa yang
mengi’tiqad bahwa yang demikian itu adalah tafsir, maka sungguh ia menjadi
kafir.”[14]
Dalam menjelaskan bandingan (nadhir) terhadap
maksud zhahir al-Qur’an di atas oleh kaum Shufi, Ibnu Shalah menyebutkan contoh
Q.S. al-Taubah : 123, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ
الْكُفَّارِ
Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu (Q.S.
al-Taubah :123)
Dengan
ayat ini, kaum Shufi menyamakan nafsu yang ada pada manusia dengan kafir dengan
jalan kesamaan (wajh al-tasybih) sama-sama sesuatu yang harus dibenci dan dekat dengan
manusia, sehingga seolah-seolah kaum Shufi tersebut mengatakan, “Kita
diperintah memerangi nafsu dan golongan kafir yang ada disekitar kita.”[15]
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama dalam
penamaan tafsir isyari ini, kalaupun diterima tafsir kaum Shufi ini sebagai
tafsir isyari , maka tafsir yang didakwa sebagai tafsir isyari ini haruslah
memenuhi kriteria-kriteria dia atas.
Dalam kitabnya Ilmu Tafsir, Dr. Muhammad Husain al-Zahaby menyebutkan, yang termasuk dalam katagori tafsir isyari di
antara kitab-kitab tafsir antara lain Tafsir al-Qur’an al-Adhim karya Sahal
al-Tastariy (w. 283 H), Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abdurrahman al-Salamy (w.
412 H) dan ‘Arais al-Bayan fi ‘Haqaiq al-Qur’an karya Abu Muhammad al-Syairazi
(w. 606 H).[16]
C.
Penafsiran berdasarkan isyarat yang
bertentangan dengan tafsir dhahir merupakan penafsiran al-Qur’an versi kelompok
Bathiniyah yang dikecam oleh Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah.
1.
Al-Taftazany dalam Syarahnya mengatakan :
سميت الملاحدة باطنية لادعائهم أن النصوص ليست على ظاهرها
بل لها معان باطنية لا يعرفها إلا المعلم وقصدهم بذلك نفي الشريعة بالكلية
“Al-Taftazany dalam Syarahnya mengatakan,
dinamakan kelompok mulhid dengan nama bathiniyah karena dakwa mereka bahwa
nash-nash itu bukanlah bermakna atas dhahirnya, tetapi ada makna-makna bathin
yang tidak diketahui kecuali seorang guru. Tujuan mereka dengan hal itu adalah
menafikan syari’at secara menyeluruh.[17]
2.
Al-Ghazali
mengecam kelompok bathiniyah karena
mereka menakwilkan al-Qur’an kepada makna bathin yang bertentangan dengan makna
dhahir, Beliau
berargumentasi bahwa apabila lafazh-lafazh al-Qur’an dan hadits dipalingkan
dari maknanya yang dhahir tanpa ada dalil naqal dari Rasulullah SAW, naqal
sahabatnya atau tanpa ada dalil aqli yang secara gamblang dapat menjelaskan
adanya mudharat menggunakan makna zhahir, maka semua lafazh-lafazh itu batal
kepercayaannya dan hilanglah manfaat kalam Allah dan sunnah Rasul-Nya, padahal kita ber’ubudiyah kepada Allah dengan
cara mengamalkan makna dhahir lafazh. Selanjutnya al-Ghazali mengecam kelompok
bathiniyah ini dengan ucapan beliau :
“Dengan jalan itu, kelompok bathiniyah
tersebut melakukan penghancuran semua syari’at dengan cara mentakwil dhahirnya
dan memaknainya sesuai dengan pikiran mereka.”[18]
3. Al-Nasafi mengatakan :
“Nash-nash dipertempatkan atas dhahirnya dan
berpaling darinya kepada makna yang didakwa oleh ahli bathin adalah ilhad
(kufur).”[19]
4.
Dalam
kitab al-Itqan fi Ulumil Qur’an, karya al-Suyuthi disebutkan :
وسئل شيخ الإسلام سراج الدين البلقيني عن رجل قال في قوله تعالى من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه إن معناه "من ذلّ" أي من الذل. "ذي"
إشارة إلى النفس، "يشفَ" من الشفا جواب "مَنْ" "ع"
أمر من الوعي، فأفتى بأنه ملحد وقد قال تعالى إن الذين يلحدون في آياتنا لا يخفون
علينا قال ابن عباس: هو أن يوضع الكلام على غير موضعه. أخرجه ابن أبي حاتم
“Syeikh al-Islam Sirajuddin al-Balqaini ditanya mengenai seseorang yang
menafsirkan firman Allah :
من ذا الذي يشفع عنده إلا بإذنه
Sesungguhnya maknanya “man dzalla”
maksudnya dari perkataan “dzalla”, “dzii” isyarat kepada jiwa, “Yasyfa” dari
syifa merupakan jawab dari “man”, sedangkan “’u” amar dari “al-wa’i” , beliau
mengifta’ sesungguhnya orang itu adalah mulhid. Allah Taala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang ilhad (ingkar) ayat-ayat kami, tidak tersembunyi
mereka pada kami” Ibnu Abbas mengatakan, “Yaitu memposisikan kalam bukan atas tempatnya.” Telah ditakhrij
oleh Ibnu Abi Hatim.”[20]
D.
Contoh tafsir yang didakwa sebagai
tafsir isyari yang tidak memenuhi kriteria tafsir yang benar menurut
Ahlussunnah wal Jama’ah
Imam
al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin telah mengecam beberapa contoh
penafsiran ayat al-Qur’an, antara lain :
1.
Penafsiran Q.S. Thaha : 24, berbunyi :
اذْهَبْ
إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طغَى
Artinya :
Pergilah kepada Fir'aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas (Q.S. Thaha :
24)
Fir’aun dalam
ayat di atas diisyaratkan kepada hati yang keras, sehingga ayat di atas
bermakna : “Pergilah kepada hati, sesungguhnya ia telah melampaui batas.”
Al-Ghazali mengatakan, penafsiran sejenis ini kadang-kadang digunakan sebagian
juru nasehat pada maksud-maksud yang benar untuk memperbagus kalam dan menggemarkan
para pendengar, tetapi ini tetap terlarang. [21] Ayat ini secara terang bermakna perintah Allah kepada Musa
berangkat menemui Fir’aun untuk menyampaikan dakwah dan tentu terlalu jauh
serta tidak ada relefansinya kalau perkataan “Fir’aun” dikatakan mengisyaratkan
kepada hati, mengingat Fir’aun merupakan orang sudah dicap kufur oleh Allah
Ta’ala, sedangkan hati manusia merupakan nur anugerah Allah sebagai alat
ma’rifat kepada Allah. Lebih berbahaya lagi, apabila dipahami bahwa termasuk
orang yang mempunyai hati adalah para anbiya, para salafusshalih, para auliya
Allah, apakah hati mereka ini dapat disamakan dengan Fir’aun? Na’uzubillah,
tentu jawabannya tidak dapat disamakan. Maka kelirulah orang-orang yang
memahami seperti itu.
2.
Penafsiran Q.S. al-A’raf : 117, berbunyi :
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ
Artinya : Dan
Kami wahyukan kepada Musa: "Lemparkanlah tongkatmu! (Q.S. al-A’raf :
117)
Tongkat disini dipahami tempat sandaran selain Allah Ta’ala sehingga makna
ayat di atas adalah perintah membuang tempat sandaran selain Allah dan hanya
kepada Allah saja menyandarkan diri. Perhatikan, dimana letak relefansinya
antara tongkat yang dijadikan Musa sebagai sebab untuk menghancurkan Fir’aun
dengan sandaran selain Allah Ta’ala. Tongkat Musa menjadi sarana menghancurkan
kebatilan Fir’aun, sedangkan sandaran selain Allah Ta’ala merupakan sesuatu
yang tercela. Semua kita pasti akan mengatakan bahwa tongkat Musa sebagai alat
menghancurkan kebatilan tidak dapat disamakan dengan sandaran selain Allah yang
merupakan perbuatan syirik. Karena itu, maka al-Ghazali setelah menyebut
penafsiran batil ini, mengatakan :
“Semua itu adalah haram dan sesat serta dapat merusakkan agama
pada makhluq. Tidak pernah dinaqal sesuatupun hal tersebut dari Sahabat,
Tabi’in dan juga dari Hasan Basri, sedangkan beliau merupakan tokoh besar dalam
dakwah dan menasehati manusia.”[22]
Contoh lain penafsiran al-Qur’an yang didakwa sebagai tafsir isyari yang
tidak memenuhi kriteria tafsir yang benar menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagai berikut :
1.
Penafsiran kaum Syiah Rafidhah Q.S. al-Rahman : 19-22,
berbunyi :
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ (19) بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَا
يَبْغِيَانِ (20) فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (21)
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ(22)
Artinya : Dia
membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya
ada batas yang tidak dilampaui masing-masing Maka nikmat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. (Q.S.
al-Rahman : 19-22)
Kaum Syiah mengatakan dua lautan itu mengisyaratkan kepada Ali bin
Abi Thalib dan Fathimah, sedangkan mutiara dan marjan mengisyaratkan kepada
Hasan dan Husein. Al-Suyuthi telah mencela tafsir ini dengan mengatakan sebagai
penafsiran orang-orang bodoh.[23]
2.
Penafsiran Q.S. al-Baqarah : 255, berbunyi :
مَنْ
ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Artinya
: Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya (Q.S.
al-Baqarah : 255)
Ada sebagian orang mulhid (tidak
beragama) menafsirkan ayat di atas dengan memotong-motong dan menggabungkan
yang tidak semestinya kata-kata dalam ayat tersebut, yakni “man dzalla” maksudnya dari perkataan “dzalla”, sedangkan “dzii”
isyarat kepada jiwa, “Yasyfa” dari syifa merupakan jawab dari “man”, sedangkan
“’u” amar dari “al-wa’i” (pelihara), sehingga maknanya adalah : “Barangsiapa
yang mencela nafsu, maka dia sembuh.” Syeikh al-Islam Sirajuddin al-Balqaini pernah ditanya mengenai seseorang
yang menafsirkan firman Allah di atas dengan penafsiran sebagaimana telah kami
kemukakan di atas, beliau menjawab :
“Sesungguhnya orang itu adalah
mulhid. Allah Taala berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang ilhad (ingkar)
ayat-ayat kami, tidak tersembunyi mereka pada kami”[24]
E.
Contoh tafsir isyari yang benar
memenuhi kriteria tafsir yang benar menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
1.
Penafsiran Q.S. al-Maidah : 3, berbunyi sebagai berikut
:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (Q.S. al-Maidah :
3)
Salah
satu pendapat ahli tafsir mengenai makna ayat dia atas adalah aturan-aturan,
kewajiban, halal dan haram sudah sempurna dengan turunnya ayat-ayat al-Qur’an
yang pernah diturunkan dan penjelasan-penjelasan yang pernah ada. Karena itu,
setelah hari ini (hari ‘arafah pada haji wida’), tidak ada tambahan dan
pengurangan lagi dengan nasakh. Penafsiran ini berasal diriwayat dari Ibnu
Abbas dan al-Saddy. Telah dipilih penafsiran ini oleh al-Jabaiy, al-Balkhiy dan
lainnya.[25]
Sayyidina
Umar memahami ayat ini sebagai isyarat bahwa Rasulullah SAW tidak lama lagi
akan meninggalkan dunia yang fana ini. Isyarat ini merupakan pemahaman
Sayyidina Umar dari dhahir makna ayat bahwa agama Islam telah sempurna. Karena
apabila agama telah sempurna, maka tugas Rasulullah SAW di dunia sudah selesai dan
tentu Baginda SAW tidak lama lagi akan diangkat di sisi-Nya meninggalkan dunia
ini. Berdasarkan riwayat yang ada, salah satu dari kalangan sahabat nabi yang
mampu menyelami isyarat ini di balik makna dhahir ayat ini adalah Umar r.a. Ibnu
Abi Syaibah telah mentakhrij dari ‘Untarah sebagai berikut :
أن عمر رضي الله تعالى عنه لما نزلت الآية
بكى فقال له النبي صلّى الله عليه وسلّم: ما يبكيك؟ قال: أبكاني أنا كنا في زيادة
من ديننا فأما إذا كمل فإنه لم يكمل شيء قط إلا نقص فقال عليه الصلاة والسلام:
صدقت
Artinya : Manakala diturunkan ayat
tersebut (Q.S. al-Maidah : 3 di atas) Umar r.a. menangis, lalu Rasulullah SAW
bertanya kepada Umar : “Apa yang menyebabkan kamu menangis hai Umar ? Umar
menjawab : “Yang
membuatku menangis adalah kalau kita selama ini selalu bertambah-tambah dalam
agama kita. Namun sekarang apabila sudah
sempurna, maka tidak sempurna sesuatupun sama sekali kecuali ia akan berkurang”.
Nabi SAW pun bersabda : “Kamu benar”(H.R.
Ibnu Abi Syaibah) [26]
2.
Penafsiran Q.S. al-Maidah : 22, berbunyi :
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui (Q.S. al-Maidah : 22)
Sahal al-Tastari, seorang
ulama sufi yang terkenal karena zuhudnya mengatakan, maksud sekutu Allah dalam
ayat di atas bukan cuma sekutu-sekutu Allah berupa patung-patung seperti
sembahan kaum jahiliyah sebagaimana makna dhahirnya, tetapi dalam arti luas mencakup
juga semua musuh-musuh Allah. Dalam hal ini musuh Allah yang terbesar adalah
nafsu amarah yang mengarah manusia kepada jalan yang tidak terpetunjuk kepada
jalan Allah.[27] Penafsiran
al-Tastari diatas telah dimasukkan oleh Dr. al-Zahabi sebagai katagori tafsir
isyari.[28]
(bersambung ke bag. 2)
[1] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. I, Hal. 7 dan 10
[2] Ahmad Shawy, Tafsir
al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia,
Juzu’ I, Hal. 2
[3] Zarkasyi, al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 156-161
[5] Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul Syarah Labbul Ushul, Usaha
Keluarga, Semarang, Hal 140 dan Al-Banany, Hasyiah Albanany ‘ala
Syarah Jam’ul Jawami’, Darul
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juzu’ II, Hal. 356
[6] Najmuddin, al-‘Aqaid al-Nasafiyah, (dicetak
dalam Syarh al-‘Aqaid al-Nasafiyah, karya Sa’ad al-Taftazany), Maktabah
al-Kulliyah al-Azhariyah, Kairo, Hal. 22
[7] Ibnu Hajar
al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII, Hal.
388
[8] Hasan
al-‘Ithar, Hasyiah ‘ala Syarh al-Jam’ul Jawami’, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 398
[9] Al-Zarqani,
Manahil al-‘Irfan, Cet. Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 66
[12] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Cet. Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 295
[13] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Cet. Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 292
[14] Zarkasyi, al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 170-171
[15] Zarkasyi, al-Burhan
fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 170-171
[16] Dr al-Zahabi, Ilmu
Tafsir, Darul Muarrif, Kairo, Hal. 72-73.
[18] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. I, Hal. 37
[19] Al-Zabidy, Ittihaf
Saadah al-Muttaqin bi Syarh Ihya Ulumuddin, Darul Fikri, Juz. I, Hal.
255
[21] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. I, Hal. 292
[22] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang,
Juz. I, Hal. 38
[25] Al-Alusy, Ruh
al-Ma’aani, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 233
[26] Al-Alusy, Ruh
al-Ma’aani, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 233
[27] Lihat Sahal
al-Tastari, Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Dar al-Haram lil-Turatsi,
Kairo, Hal. 90
[28] Dr al-Zahabi, Ilmu
Tafsir, Darul Muarrif, Kairo, Hal. 71.
mohon izin copas..trims
BalasHapus