Dr Wahbah Zuhaili menjelaskan
bahwa jumhur ulama berpendapat memegang tongkat dalam khutbah Jum’at adalah
sunnah dan menurut Mazhab Maliki adalah mandub.[1] Dalam al-Um,
Imam Syafi’i mengatakan :
“Hendaklah orang yang berkhutbah memegang tongkat
atau busur ataupun yang sejenisnya, karena telah sampai kepada kami bahwa Nabi
SAW berkhutbah dengan memegang tongkat.”[2]
Imam al-Nawawi mengatakan
:
“Sunnah memegang memegang busur, pedang, tongkat atau
yang sejenisnya (pada khutbah Jum’at)…dst. Mereka (pengikut Syafi’i)
mengatakan, apabila tidak didapati pedang, tongkat atau sejenisnya, maka
ditetapkan dua tangannya dengan cara meletakkan tangan kanan atas tangan kiri
atau melepaskan keduanya, tetapi tidak menggerak-gerakkan keduanya dan tidak
mempermain-mainkan salah satunya. Karena tujuannya itu adalah khusyu’ dan
mencegah dari mempermainkan tangan.”[3]
Dalil fatwa ini adalah hadits al-Hakam ibn Hazn r.a.
beliau berkata :
وفدت
الى النبى صلعم فشَهِدْناَ معه الجُمْعَةَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ فحمد الله واثنى عليه
كلمات خفيفات طيبات مبركات
“Aku diutus kepada Nabi SAW, aku
sempat menyaksikan jum’at bersama Nabi SAW. Beliau berdiri dengan memegang atas
tongkat atau busur, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan
kalimat-kalimat yang ringan dan baik serta berkah.”(H.R. Abu Daud dan
lainnya)
Al-Nawawi menjelaskan bahwa
hadits al-Hakam ibn Hazn di
atas merupakan hadits hasan riwayat Abu Daud dan riwayat selain Abu Daud yang
juga dengan sanad hasan.[4] Ibnu al-Sakn telah mentakhrij hadits ini dalam
kitab shahihnya.[5]
Dalam kitab al-Um, Imam Syafi’i juga meriwayatkan :
أَخْبَرَناَ عبد المجيد عَنْ ابن جريج
قال قلت لعَطَاءٍ أ كان رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بقوم عَلَى
عَصَا إِذَا خَطَبَ قال نعم كان يعتمد عليها اعتمادا
“Memberitahu Abdul Majid kepada kami dari Ibnu Juraij, beliau
berkata, Aku bertanya kepada Itha’ apakah Rasulullah SAW memegang tongkat
apabila berkhutbah? Itha’ menjawab : “Ya, benar. Rasulullah memegang tongkat.”[6]
[1]
Wahbah al-Zuhailiy, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri,
Beirut, Juz. II, Hal. 293
[2]
Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 409
[3]
Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. IV,
Hal. 399
[4]
Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. IV,
Hal. 396-397
[5]
Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Dar al-Hira’, Juz. I, Hal. 508
[6]
Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 409
Tidak ada komentar:
Posting Komentar