Minggu, 10 September 2017

Mendahulukan nafkah isteri atas orangtua?

Kewajiban memberi nafkah kepada orangtua apabila keadaan orangtua dalam keadaan miskin merupakan tanggungjawab anaknya, disamping kewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anak. Namun menjadi persoalan, ketika seseorang hanya mampu menafkahkan salah seorang saja. Apabila diberikan untuk orangtua, maka hak nafkah isteri terabaikan. Sebaliknya apabila diberikan untuk isteri, maka orangtua tidak ada yang menafkahinya. Dalam menjawab persoalan ini, para ulama berpendapat hak nafkah isteri harus didahulukan, dengan alasan sebagai berikut :
1.    Hadits riwayat Muslim dari Jabir sebagaimana disebutkan setelah ini
2.    Nafkah isteri merupakan akibat hukum dari akad nikah yakni muqabalah (imbalan) dari pelayanan seksual (istimta’). Adapun nafkah orangtua sebuah kewajiban bukan didasarkan karena wujud akad.
3.    Nafkah isteri tidak gugur dengan sebab lalu zaman dan dengan sebab miskin. Sehingga suami tetap terhutang nafkah kepada isterinya apabila pada zaman yang telah lalu tidak mampu memberikannya. Demikian juga suami dapat difasakh oleh isterinya, meskipun suami tidak memberikan nafkah karena faktor miskin. Kedua ini tidak berlaku pada nafkah orangtua.
Adapun hadits dan nash para ulama kita yang menjadi dasar kesimpulan ini adalah sebagai berikut :
a.    Hadits Muslim dari Jabir, berkata :
أَعْتَقَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عُذْرَةَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَلَكَ مَالٌ غَيْرُهُ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَالَ: مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي؟ فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْعَدَوِيُّ بِثَمَانِ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَجَاءَ بِهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
Seorang laki-laki dari bani Udzrah memerdekakan budaknya dengan cara mudabbar (seorang majikan berkata kepada hamba sahayanya, "Kamu merdeka setelah aku mati), lalu berita itu sampai kepada Rasulullah SAW, maka beliau bertanya, 'Apakah kamu mempunyai harta selain budak tersebut?' Laki-laki itu menjawab, Tidak.' Kemudian Rasulullah SAW menawarkan budak tersebut kepada kaum muslimin, 'Siapa yang ingin membeli budak ini dariku? Lalu budak itu dibeli oleh Nu'aim bin Abdullah Al Adawi dengan harga 100 dirham, kemudian uang tersebut dibawa oleh Rasulullah SAW untuk diserahkan kepadanya. Rasululah bersabda kepada laki-laki itu, 'Dahulukan dirimu sendiri sebagai sadaqah. Jika ada kelebihan maka untuk ahlimu(istri), jika ada kelebihan maka untuk kerabatmu, dan jika masih ada kelebihan maka untuk seterusnya dan seterusnya.(H.R. Muslim)[1]

Dalam mensyarah hadits di atas, Imam al-Nawawi mengatakan :
فِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا الِابْتِدَاءُ فِي النَّفَقَةِ بِالْمَذْكُورِ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah, diantaranya memulai nafkah dengan yang telah disebutkan berdasar urutan ini.[2]

b.    Imam al-Nawawi dalam al-Raudhah mengatakan :
فإذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم نظر إن وفى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد قدم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب هذا أطبق عليه الأصحاب لأن نفقتها آكد فإنها لا تسقط بمضي الزمان ولا بالإعسار ولانها وجبت عوضا
Apabila berhimpun atas seseorang orang-orang yang membutuhkan nafkah yang wajib nafkah atasnya, maka ini ada tinjauan. Seandainya memadai hartanya atau usahanya untuk nafkah mereka, maka wajib atasnya menafkahkan mereka semua, baik yang hubungannya dekat maupun jauh. Apabila tidak tersisa dari nafkah dirinya sendiri kecuali sekedar untuk satu orang, didahulukan nafkah isteri atas nafkah kerabat. Ini kesepakatan pengikut Syafi’i, karena nafkah isteri lebih kuat, sebab nafkah isteri tidak gugur dengan berlalu zaman dan dengan sebab miskin serta karena nafkah isteri wajib merupakan imbalan (dari istimta’).[3]

c.    Dalam Fathul Mu’in, Zainuddin al-Malibari mengatakan :
أو له محتاجون من أصول وفروع ولم يقدر على كفايتهم قدم نفسه ثم زوجته وإن تعددت، ثم الاقرب فالاقرب.
Atau suami mempunyai beberapa orang yang membutuhkan nafkah, baik asal maupun furu’, sedangkan dia tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka semua, maka didahulukan dirinya sendiri, kemudian isterinya meskipun lebih dari satu, kemudian kerabat lebih dekat dan kemudian yang lebih dekat.[4]

Dalam mengomentari matan di atas, Abu Bakar Syatha menjelaskan :
وقوله ثم زوجته: أي لأن نفقتها آكد لانها لا تسقط بغناها ولا بمضي الزمان، ولانها وجبت عوضا والنفقة على القريب مواساة.
Perkataan pengarang : kemudian isterinya, yakni karena nafkah isteri lebih kuat, sebab nafkah isteri tidak gugur dengan sebab kaya isteri dan dengan sebab berlalu zaman serta nafkah isteri wajib merupakan imbalan (dari istimta’). Sedangkan nafkah atas kerabat didasarkan atas saling membantu.[5]








[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 692, No. 997
[2] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. VII, Hal. 115
[3] Al-Nawawi,, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islamiy, Beirut, Juz. IX, Hal. 93
[4] Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 99
[5] Abu Bakar Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar