Rabu, 27 Desember 2017

Keterangan Ulama Mengenai Hukum LGBT

Pengertian LGBT
Mengingat istilah LGBT ini sudah umum dipahami masyakat kita, maka di sini penulis menyebut pengertian LGBT secara singkat saja, yakni :
1.    L (Lesbian) adalah Lesbi atau lesbian merupakan istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, atau emosional
2.    G (Gay) adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan merujuk kepada orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual, yakni yang mengarah pilihan orientasi seksnya kepada sesama pria.
3.    B (Biseksual), Istilah ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus. 
4.    T (Transgender) adalah orang yang mengadopsi peran dan nilai-nilai lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya seseorang yang secara biologis perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki dengan juga sebaliknya.  Waria adalah salah satu contoh kategori ini karena memenuhi ciri-ciri kelompok tersebut.
Perilaku LGBT Menurut Syari’at
-     Hukum Perilaku Gay
Para ulama telah menyebut nash-nash yang menjelaskan bahwa telah terjadi ijmak ulama perilaku liwath (gay) merupakan perbuatan maksiat dalam skala dosa besar. Berikut ini keterangan ulama mengenai ini, yakni sebagai berikut :
1.    Ibnu Qudamah mengatakan, ijmak ahli ilmu atas haram liwath, sesungguhnya Allah telah mencelanya dalam kitab-Nya dan menyatakan aib perbuatannya dan Rasul-Nya juga mencelanya. Selanjut beliau mengatakan, terjadi perbedaan riwayat dari Imam Ahmad. Salah satu riwayat dari Ahmad berpendapat pelaku liwath dirajam, baik pernah kawin maupun tidak. Ini merupakan pendapat Ali, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Abdullah bin Ma’mar, al-Zuhri, Abi Hubaib, Rabi’ah, Malik, Ishaq dan salah satu pendapat Syafi’i. Pendapat lain dari Ahmad adalah hukumannya seperti zina. Pendapat juga dikatakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, ‘Itha’, al-Hasan, al-Nakh’i, Qatadah, al-Auzha’i, Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Abu Tsur dan pendapat yang masyhur dari Imam Syafi’i. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar al-Siddiq r.a. pernah memerintah membakar pelaku liwath. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu al-Zubair. Sedangkan al-Hakam dan Abu Hanifah berpendapat tidak ada hudud atas pelaku liwath, karena itu bukan tempat persetubuhan. Karenanya serupa dengan bukan kemaluan.[1]
2.    Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan tidak ada khilaf di antara ummat bahwa liwath (orientasi seks sesama pria) lebih besar dosanya dari zina.[2]
3.    Al-Khaliliy al-Syafi’i mengatakan, para imam mengeluarkan nash bahwa kafir orang yang menghalalkan zina dan liwath.[3] Sebagaimana dimaklumi yang dapat menjadi kafir adalah menghalalkan yang haram yang menjadi ijmak ulama.
4.    Dalam Raudhah al-Talibin, Imam al-Nawawi  setelah menyebut menghalalkan yang haram dengan ijmak ulama dapat menjadi kafir, beliau menyebut salah satu contohnya adalah liwath. Dalam halaman berikutnya, Imam al-Nawawi mengatakan, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i (qaul al-azhhar) hukuman pelaku liwath adalah seperti hudud zina. Pendapat kedua dibunuh, baik dia pernah kawin atau tidak. Pendapat yang ketiga ditimpa atasnya tembok dinding atau dilempar dari ketinggian sehingga mati sebagaimana azab atas Kaum Nabi Luth a.s.[4]
5.    Al-Syaibaaniy dalam kitab Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama menyebutkan, para ulama sepakat bahwa liwath adalah haram dan termasuk perbuatan yang keji. Para ulama hanya  khilaf apakah wajib hudud?. Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan wajib hudud. Abu Hanifah mengatakan, dita’zir pelakunya jika dilakukan baru pertama.[5]
6.    ‘Ali Syibraan al-Malasi mengatakan, sepantasnya kafir yang mengi’tiqad halal bersetubuh pada dubur, karena telah terjadi  ijmak atas haramnya dan maklum dari agama secara mudah.[6]
7.    Al-Sarkhasi mengatakan, pelaku liwath menurut Abu Hanifah adalah dita’zir, akan tetapi menurut dua orang muridnya, yakni Abu Yusuf dan Muhammad, hukumannya hudud sebagaimana hudud zina.[7]
8.    Setelah menyebut beberapa hadits, Ibnu Hazm mengatakan nash-nash ini disebut secara terang bahwa haram saling bersentuhan kulit laki-laki sesama laki-laki dan perempuan sesama perempuan dengan keharaman yang sama. Kemudian beliau melanjutkan, apabila berlanjut kepada kemaluan, maka haramnya bertambah dan maksiatnya berlipat ganda.[8]
Kesimpulan hukuman liwath :
a.    Ijmak ulama perilaku liwath adalah haram dan merupakan dosa besar
b.    Terjadi pebedaan pendapat mengenai hukuman di dunia atas pelakunya. Jumhur ulama berpendapat hukumannya adalah hudud. Yang berpendapat hudud ini juga ada perbedaan pendapat dalam menentukan jenis hududnya. Ada yang mengatakan dibunuh dengan rajam atau pedang. Ada juga yang berpendapat hududnya seperti hudud zina. Pendapat lain mengatakan ditimpa atasnya tembok dinding atau dilempar dari ketinggian sehingga mati dan ada juga pendapat yang mengatakan dibakar hidup-hidup. Menurut Abu Hanifah, hukumannya bukan hudud, akan tetapi ta’zir.
-     Hukum Perilaku Lesbian
Adapun perilaku lesbian (musaahaqah) dapat disimak menurut keterangan ulama berikut ini :
1.    Al-Mawardi mengatakan, adapun hukum lesbian, yakni wanita mendatangi wanita  adalah diharamkan sama seperti zina, meskipun berbeda dalam hal hukumannya. Wajib padanya ta’zir, tidak hudud karena tidak ada persetubuhan padanya.[9]
2.    Dalam kitab al-Bayan fi Mazhab al-Syafi’i,  Abi al-Husaini al-‘Imarani al-Syafi’i al-Yamani mengatakan haram wanita mendatangi wanita dan tidak wajib hudud. Imam Malik mengatakan wajib atas masing-masing dari wanita itu hudud seratus kali cambuk.[10]
3.    Ibnu Hajar al-Haitami telah memasukkan perilaku lesbian dalam katagori ke-362 dosa besar. Beliau mengatakan, dosa besar yang ke-362 adalah lesbian para wanita, yakni wanita melakukan terhadap sesama wanita sebagaimana halnya pria melakukannya kepada wanita.[11]
4.    Ibnu Hajar al-Asqalani telah memasukkan perilaku lesbian ini dalam katagori  dimana hukumannya terjadi khilaf ulama antara hudud atau ta’zir.[12]
5.    Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabalah mengatakan, apabila dua orang wanita saling melakukan lesbian,  maka keduanya penzina yang terkutuk. Namun tidak ada hudud atas keduanya, karena tidak ada unsur bersetubuh, maka serupa dengan bersentuhan kulit pada selain kemaluan.[13]
6.    Al-Sarkhasi dari kalangan Hanafiyah dalam kitab beliau al-Mabsuth dalam mengomentari hadits : “Apabila seorang wanita mendatangi wanita, maka keduanya penzina” mengatakan, maksudnya pada hak dosa, bukan hudud.[14]
7.    Setelah menyebut beberapa hadits, Ibnu Hazm mengatakan nash-nash ini disebut secara terang bahwa haram saling bersentuhan kulit laki-laki sesama laki-laki dan perempuan sesama perempuan dengan keharaman yang sama. Kemudian beliau melanjutkan, apabila berlanjut kepada kemaluan, maka haramnya bertambah dan maksiatnya berlipat ganda.[15]
Kesimpulan hukuman lesbian
Berdasarkan keterangan ulama di atas, dipahami bahwa sepakat para ulama mengharamkan lesbian, namun mereka berbeda pendapat dalam hukumannya didunia. Jumhur ulama berpendapat lesbian tidak dihudud, akan tetapi dita’zir saja. Sedangkan Imam Malik berpendapat wanita lesbian di berikan hukuman hudud, yakni cambuk seratus kali.
-     Hukum Perilaku Transgender
Sebagaimana sudah dijelaskan pada awal tulisan ini, transgender  adalah orang yang mengadopsi peran dan nilai-nilai lawan jenis kelamin biologisnya, misalnya seseorang yang secara biologis perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku seperti laki-laki dengan juga sebaliknya.  Waria adalah salah satu contoh kategori ini karena memenuhi ciri-ciri kelompok tersebut. Dengan demikian, maka kelompok perilaku transgender ini termasuk dalam perilaku pria yang berperilaku menyerupai perempuan dan juga sebaliknya, perempuan berperilaku menyerupai laki-laki yang sepakati haramnya dalam Islam dan merupakan dosa besar. Berikut ini pernyataan para ulama mengenai hukum transgender ini, yakni sebagai berikut :
1.    Menurut al-Iraqi, laki-laki yang menyerupai perempuan dalam gerak-gerik tubuh dan gaya bicaranya ini kadang-kadang ada yang memang merupakan bawaan sejak lahir dan bukan dibuat-buat. Kadang ada juga yang memang dibuat-buat, bukan bawaan lahir. Kelompok pertama tidak tercela, tidak berdosa dan tidak ada sanksi hukuman. Karena ia ‘uzur dan itu bukan dibuat-buat. Kelompok kedualah yang tercela yang dikutuk dalam hadits-hadits shahih.[16]
2.    Al-Thabari mengatakan, termasuk yang tidak halal bagi laki-laki adalah menyerupai perempuan pada tingkah laku yang menjadi ciri khas perempuan, termasuk berperilaku perempuan pada tubuhnya dan bergaya perempuan dalam berbicara.[17]
3.    Al-Nawawi mengatakan, yang benar adalah perempuan menyerupai laki-laki dan sebaliknya adalah haram karena ada hadits shahih tentangnya.[18]
4.    Al-Bahutiy al-Hanbali, mengatakan haram menyerupai laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya, yakni menyerupai perempuan dengan laki-laki dalam berpakaian dan lainnya seperti dalam berbicara, berjalan dan lainnya.[19]
5.    Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan termasuk dosa besar yang ke 107 adalah menyerupai laki-laki dengan perempuan dalam hal yang menjadi ciri khas perempuan pada kebiasaan, baik pakaian, gaya berbicara, gerakan tubuh dan lainnya dan juga sebaliknya.[20]
6.    Al-Zahabi dalam kitabnya, al-Kabair telah memasukkan laki-laki yang berperilaku perempuan, perempuan yang berperilaku laki-laki, laki-laki yang menyerupai perempuan dan sebaliknya, perempuan yang memakai pakaian laki-laki dan sebaliknya dalam kelompok manusia yang boleh dilaknat secara umum.[21]
Kesimpulan Perilaku Transgender
Berdasarkan keterangan ulama di atas, dipahami sepakat para ulama mengharamkan perilaku transgender. Perlu dicatat di sini, pengecualian kepada yang memang merupakan bawaan sejak lahir dan bukan dibuat-buat yang disebut oleh al-Iraqi di atas hanya berlaku pada gerakan tubuh dan gaya bicara yang secara alamiyah memang tidak dapat dikontrol dan gerakan itu muncul tanpa disadari, karena bersifat tabi’i. Adapun perilaku seperti cara berpakaian, perilaku seks dan lainnya, maka tidak termasuk dalam pengecualian, karena perilaku tersebut dapat dikontrol dengan keimanan dan ketaatan kepada hukum agama. Bukti perilaku seks dapat dikontrol, seseorang dalam menyalurkan syahwat seks dipengaruhi oleh ruang dan waktu dan juga tingkat keimananannya. Dan tidak dapat disangkal, saat seseorang punya keinginan melakukan aktifitas seks, maka itu muncul karena dia ingin menikmati seks tersebut. Keinginan menikmati itu pertanda kuat bahwa aktifitas seks bukan sesuatu yang dilakukan tanpa sadar, berbeda dengan gerakan tubuh dan gaya bicara yang kadang muncul tanpa disadari. Hal ini sebagaimana terlihat dalam penjelasan al-Iraqi di atas, beliau menjelaskannya dalam konteks perilaku gerakan tubuh dan gaya bicara pelaku transgender
-       Hukum Perilaku Biseksual
Di awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa istilah biseksual ini umumnya digunakan dalam konteks ketertarikan manusia untuk menunjukkan perasaan romantis atau seksual kepada pria maupun wanita sekaligus. Dengan demikian, hukum terhadap perilaku biseksual ini dilihat dari sisi dimana dia menyalurkan hasrat syahwatnya kepada sesama jenisnya. Jadi, seandainya dia seorang lak-laki, di saat menyalurkan hasrat syahwat kepada sesama laki-laki, maka hukumnya termasuk dalam katagori gay (liwath) dan seandainya dia seorang perempuan, di saat menyalurkan hasrat syahwatnya kepada sesama perempuan, maka hukumnya termasuk dalam katagori lesbian. Dengan demikian hukum biseksual ini kembali kepada hukum gay dan lesbian di atas.

Catatan : Hudud adalah hukumam yang sudah ditentukan syara' jenis dan ukurannya seperti potong tangan atas pencuri. sedangkan ta'zir hukumannya yang diserahkan kepada ijtihad qadhi/hakim seperti hukuman pelaku khalwat.

(Insya Allah tulisan ini akan berlanjut kepada dalil-haram LGBT dari al-Qur’an dan al-Hadits serta membuka tabir kebohongan dan kerancuan berpikir pendukung LGBT.)





[1] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII, Hal. 116
[3] Al-Khaliliy al-Syafi’i, Fataawi al-Khaliliy, Juz. II, Hal. 279
[4] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. X, Hal. 64 dan 90
[5] Al-Syaibaaniy, Ikhtilaf al-Aimmah al-Ulama, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 255
[6] Al-Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khathib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 536
[7] Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 77
[8] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 406
[9] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 224
[10] Abi al-Husaini al-‘Imrani al-Syafi’i al-Yamani, al-Bayan fi Mazhab al-Syafi’i, Dar al-Minhaj, Juz. XII, Hal. 369
[11] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Zawajir ‘an I’tiraf al-Kabair, Juz. II, Hal. 152
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XII, Hal. 177
[13] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 61
[14] Al-Sarkhasi, al-Mabsuth, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 78
[15] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 406
[16]Al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Tarqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VIII, Hal. 114
[17]Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 140
[18] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. II, Hal. 263
[19] Al-Bahutiy al-Hambali, Kasyf al-Qanaa’ ‘an Matan al-Iqna’,  Maktabah Syamilah,  Juz. I, Hal. 283
[20] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Zawajir ‘an I’tiraf al-Kabair, Juz. I, Hal. 161
[21] Al-Zahabi, al-Kabair, Maktabah Syamilah,  Juz. I, Hal. 165

1 komentar: