Selasa, 10 Mei 2022

Ihtiyath dalam fiqh

 

Pengertian Ihtiyath

Ihtiyath dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjaga atau sebagai sikap kehati-hatian. Untuk lebih memahami pengertian ihtiyath, berikut ini penjelasan ulama terkait ihtiyath, yaitu :

1.    Devinisi yang dikemukakan oleh al-Jarjani sebagai berikut :

حفظ النفس عن الوقوع في المأثم

Memelihara jiwa dari jatuh dalam dosa[1]

Devinisi ini lebih mengarahkan kepada tujuan ihtiyath, namun devinisinya tidak dapat menggambarkan makna ihtiyath dengan ruang lingkupnya. Karena memelihara dari jatuh dalam dosa dapat juga bukan dengan ihtiyath, tetapi dapat dengan mengikuti nash-nash al-Kitab, al-Sunnah dan ijmak ulama.(devinisi tidak ada maani’)

2.    Devinisi yang dikemukakan oleh al-Munawiy sebagai berikut :

فعل ما يتمكن به من ازالة الشك

Melakukan sesuatu yang memungkinkan hilang keraguan[2]

Seandainya ragu di sini dipahami sebagai sikap keragu-raguan sebagaimana biasanya dipahami, maka devinisi ini tidak terlepas dari kritikan, karena hukum ihtiyath berdasarkan devinisi ini  hanya wajib, tidak termasuk yang dianjurkan, karena kita tidak boleh beramal dalam keadaan ragu ragu. Karena itu, yang lebih tepat di sini, arti ragu-ragu dipahami sebagai mutlaq ihtimal yang masuk di dalamnya waham, ragu-ragu dan dhan.

3.    Izzuddin Abdussalam mengatakan :

الورع ترك ما يريب المكلف الي ما يريبه وهو المعبر عنه بالاحتياط

Yang menjadi wara’ adalah meninggalkan yang diragukan oleh mukallaf kepada tidak meragukan. Ini dinamakan dengan ihtiyath.[3]

 

Di sini, Izzuddin Abdussalam memaknai ihtiyath dengan meninggalkan yang diragukan oleh mukallaf kepada tidak meragukan. Devinisi ini merupakan makna dari hadits riwayat al-Turmidzi dan al-Nisa’i yang disebut setelah ini dalam pembahasan dalil-dalil disyariatkan ihtiyath. Penjelasan devinisi ini sama dengan devinisi nomor dua di atas.

4.    Devinisi yang dikemukakan oleh Dr. Muniib bin Mahmud Syakir, yakni :

الاحتراز من الوقوع في المنهى او ترك المأمور عند الاشتباه

Memelihara dari jatuh dalam larangan atau meninggalkan perintah pada saat ada syubhat.[4]

 

Devinisi ini sebagaimana pengakuan pengarangnya dapat merangkum makna ihtiyath sesuai dengan ruang lingkupnya dan terlepas dari kritikan-kritikan.

 

Dalil-dalil diyari’atkan ihtiyath

1.    Nabi SAW bersabda :

‌دع ‌ما ‌يريبك إلى ما لا يريبك

Tinggalkan yang meragukan kepada yang tidak meragukan (H.R. al-Turmidzi dan al-Nisa’i. al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih)[5]

 

2.  Rasulullah SAW bersabda :

إن الحلال بيّن وإن الحرام بيّن، وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس، فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه، ألا وإن لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه. ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله. وإذا فسدت فسد الجسد كله: ألا وهي القلب

Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubahat (samar-samar), tidak diketahui kebanyakan manusia. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara-perkara samar tersebut, maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram, seperti  seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan (hima), dikhawatirkan dia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja itu mempunyai hima, ketahuilah bahwa hima Allah adalah segala yang Allah haramkan. Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat sepotong daging. Apabila daging tersebut baik maka baik pula seluruh tubuhnya dan apabila daging tersebut rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah kalbu (hati). (H.R. al-Bukhari dan Muslim)[6]

Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan, ini semua mencakup tiga perkara, yaitu :

a.  Perkara yang ada penjelasan Allah Ta’ala atas kehalalannya, seperti firman Allah Ta’ala :

أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu (Q.S. al-Maidah : 5)

Dan firman Allah Ta’ala berbunyi :

 

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (Q.S. al-Nisa’ : 24)

 

b.  Perkara yang ada penjelasan Allah Ta’ala atas keharamannya, seperti firman Allah Ta’ala :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan (Q.S. al-Nisa’ : 23)

 

Dan firman Allah Ta’ala :

وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً

Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.(Q.S. al-Maidah : 96)

 

Serta seperti pengharaman yang keji-keji, baik yang dhahir maupun yang bathin dan setiap yang dijadikan Allah hudud, uqubah atau wa’id, maka semuanya adalah haram.

c.  Adapun perkara syubhat, maka itu adalah setiap perkara yang diperselisihkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan al-Sunnah serta saling menarik maknanya, maka menahan diri darinya adalah wara’. Telah terjadi khilaf ulama dalam menetapkan hukum perkara-perkara yang samar-samar (mutasyabihat) yang diisyaratkan oleh Nabi SAW dalam hadits ini. Golongan pertama mengatakan, hukumnya haram karena sabda Nabi SAW “maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya”. Mereka mengatakan, barangsiapa yang tidak tidak menjaga agama dan kehormatannya, maka dia telah terjatuh dalam yang perkara haram”. Kelompok yang lain (kelompok kedua) mengatakan, perkara yang mutasyabihat tersebut adalah halal, dengan dalil sabda Nabi SAW dalam hadits “seperti  seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan (hima)” maka menunjukkan atas kehalalannya. Adapun meninggalkannya adalah wara’. Satu kelompok (kelompok ketiga) mengatakan, mustasyabihat tersebut tidak kita katakan halal dan juga tidak kita katakan haram. karena Nabi SAW telah menjadikannya di antara halal yang nyata dan haram yang nyata, maka seyogyanya kita tawaqufkan darinya. Ini juga termasuk dalam bab wara’.[7]

 

3.    Nabi SAW bersabda :

إِذَا ‌اسْتَيْقَظَ ‌أَحَدُكُمْ ‌مِنْ ‌نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Apabila salah seorang kamu terbangun dari tidurnya, maka tidak menenggelamkan tangannya dalam bejana sehingga membasuhnya tiga kali. Karena seseorang tidak tahu dimana berlabuh tangannya.(H.R. Muslim)[8]

 

Imam al-Nawawi mengatakan,berdasarkan hadits ini dipahami diianjurkan mengambil jalan ihtiyath dalam ibadah dan lainnya selama tidak keluar dari batasan ihtiyath kepada batasan was-was.[9] Al-Munawi mengatakan, dalam hadits ini dipahami bahwa mengambil yang pasti adalah beramal dengan ihtiyath selama tidak keluar kepada was-was[10]

 

4.  Dari Aisyah r.a. berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّ ‌فِي ‌شُعُرِنَا، أَوْ لُحُفِنَا

Rasulullah SAW tidak pernah shalat dengan memakai selimut atau mantel kami (H.R. Abu Daud)[11]

 

Rasulullah SAW tidak shalat menggunakan selimut yang biasa digunakan waktu tidur karena mengambil sikap ihtiyath dalam ibadah. Ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Ruslan dalam menafsirkan hadits ini, beliau mengatakan, hadits ini menjadi dalil menjadikan ihtiyath dan mengambil yang yakin dibolehkan dan tidak diingkari dalam syari’at dan tidak perlu melihat kepada orang yang menamakannya hal tersebut sebagai was-was. Karena itu, barangsiapa yang meninggalkan sesuatu yang diragukan kepada yang tidak meragukan serta meninggalkan yang diragukan karena sesuatu yang yakin dan maklum, maka tidak ada dengan sebab demikian keluar dari syari’at.[12]

 

Pembagian ihtiyath dari aspek hukumnya

Memperhatikan dari aspek hukumnya, Izzuddin Abdussalam membagi ihtiyath dalam dua pembagian, yaitu :

1.    Ihtiyath bersifat anjuran. Disebut juga dengan wara’.

Contohnya antara lain sebagai berikut  :

a.    membasuh dua tangan tiga kali ketika bangun dari tidur sebelum memasukkan tangan dalam bejana.

b.    Keluar dari khilaf ulama pada ketika sumbernya sama-sama mendekati

c.    Menghindari mafasid-mafasid atau melakukan mashalahah yang masih dalam ukuran waham. Karena itu, barangsiapa yang ragu dalam sebuah akad atau sebuah syarat ataupun sebuah rukun, maka sebaiknya diulangi kembali dengan syarat-syaratnya atau rukun-rukunnya. Demikian juga seseorang yang sudah selesai melakukan sebuah ibadah, kemudian ragu sesuatu dari rukun atau syaratnya sesudah waktu yang lama, maka sebagai sikap wara’, hendaknya mengulang kembali.

d.    Orang yang yakin suci dan kemudian dia ragu-ragu berhadats, maka yang wara’ adalah melakukan perbuatan yang menyebabkan dia berhadats kemudian bersuci kembali. Seandainya dia bersuci tanpa hadats, maka menurut pendapat yang terpilih tidak akan berhasil wara’nya. Karena lemah dari memastikan niat angkat hadats, karena kekal suci mencegah kepastian sebagaimana kekal bulan Sya’ban mencegah memastikan niat puasa Ramadhan pada malam tiga puluh Sya’ban.

2.    Ihtiyath bersifat wajib

Yaitu kewajiban karena keadaannya merupakan wasilah untuk menghasilkan sesuatu yang dapat memastikan yang wajib atau menghindari sesuatu yang dapat memastikan keharamannya. Karena itu, apabila kemaslahatan berkisar antara wajib dan anjuran, maka yang menjadi ihtiyath adalah menempatkannya kepada wajib, karena itu dapat memastikan terlepas dari zimmahnya. Seandainya di sisi Allah, hukumnya wajib, maka sudah terpenuhi kemaslahatannya dan jika kemaslahatan tersebut hanya anjuran, maka juga sudah terpenuhi kemaslahatannya dan juga dapat pahala niat wajib. Karena seseorang yang bertekat membuat kebaikan, sedangkan dia tidak sempat mengamalkannya, maka tetap ditulis baginya kebaikan.

Dan apabila mafsadah berkisar antara makruh dan haram, maka yang menjadi ihtiyath adalah menempatkannya kepada haram. seandainya nyatalah mafsadah haram, maka dia mendapat kemenangan dengan sebab menghindarinya dan seandainya mafsadah tersebut ternafi, maka terhindari dari mafsadah makruh serta mendapatkan pahala karena qashad menghindari perbuatan yang diharamkan.

        Contoh ihtiyath untuk menghasilkan mashlahah yang wajib, antara lain sebagai berikut :

a.  Orang yang lupa satu shalat yang tidak diketahui mana yang terlupakan.dari lima waktu shalatnya, maka wajib atasnya melakukan shalat yang lima supaya menjadi wasilah menghasilkan yang wajib

b.  Orang yang lupa ruku’ atau sujud ataupun rukun lain dari shalat yang tidak diketahui dimana kedudukannya, maka wajib membinanya dengan berpegang pada yakin karena ihtiyath untuk menghasilkan  mashlahah yang wajib. Karena itu, apabila seseorang ragu, apakah rukun yang dia tinggalkan itu pada rakaat pertama atau kedua, maka shalatnya dibina kepada pertama.

c.  Khuntsa musykil dalam shalat wajib menutup aurat seperti aurat perempuan karena ihtiyath untuk menghasilkan mashlahah tutup aurat yang wajib.

d.  Apabila bercampur tanpa dapat dibedakan orang muslim dan kafir yang terbunuh, maka dimandikan, dikafani dan dikebumikakan semuanya sebagai wasilah menegakan hak-hak orang muslim, yaitu mandi, kafan dan kebumikan.

e.  Apabila seorang perempuan ragu, apakah yang wajib atasnya ‘iddah wafat suami ataukah ‘iddah thalaq, maka wajib atasnya menjalani kedua ‘iddah tersebut supaya terlepas dari kewajiban ‘iddah dengan yakin.

Contoh ihtiyath untuk menghindari mafsadah yang diharamkan, antara lain sebagai berikut :

a.    Apabila tidak dikenal lagi antara bejana yang suci dan bejana yang bernajis atau antara pakaian yang suci dan pakaian yang bernajis dan sukar diketahui yang suci dari antara keduanya, maka wajib menjauhi keduanya karena menghindari mafsadah najis pada keduanya.

b.    Apabila seseorang tidak mengenal lagi antara saudaranya sesusuan dan perempuan lain, maka haram keduanya atas orang tersebut Karena ihtiyath menghindari mafsadah nikah dengan saudara sendiri.

c.    Nikah khuntsa musykil batal, karena menghindari mafsadah nikah perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki

d.    Apabila seseorang mengatakan, “Seandainya burung ini adalah burung gagak, maka isteriku tertalaq dan seandainya bukan burung gagak, maka budak perempuanku merdeka”. Kemudian tiba-tiba burung tersebut terbang dan tidak dapat dikenalinya, maka haram atasnya isteri dan budak perempuannya, karena menghindari mafsadah haram salah satunya.[13]

 

Ihtiyat bersifat haram

Disamping dua pembagian di atas, kita juga menemukan pembagian ihtiyath bersifat haram sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam fatwa beliau berikut ini :

Ibnu Hajar al-Haitamiy r.a. – semoga dilapangkan kehidupan beliau- ditanyakan, sendainya seorang anak-anak mempunyai dirham yang bercampur, sedangkan qadar campuran itu tidak diketahui kecuali melebur kembali semua dirham tersebut, padahal meleburkan dapat menghilangkan harta si anak tersebut atau kebanyakan hartanya. Lalu apa solusinya untuk mengetahui dirham yang murni dari campuran tersebut supaya diketahui apakah wajib zakat atau tidak. Apakah memadai untuk mengetahuinya dengan menguji dengan air sebagaimana pada bejana yang bercampur dan apakah wajib zakat dalam keadaan tidak diketahui qadar campuran dengan hanya dhan terpenuhi nisab atau tidak ?

Beliau menjawab :

 

بِأَنَّ الَّذِي صَرَّحُوا بِهِ فِي الْإِنَاءِ الْمُخْتَلَطِ أَنَّهُ إنْ شَاءَ احْتَاطَ مَا لَمْ يَكُنْ الْمَالُ لِمَحْجُورٍ عَلَيْهِ وَإِلَّا حَرُمَ الِاحْتِيَاطُ وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ فِي الصُّورَةِ الْمَذْكُورَةِ فِي السُّؤَالِ الْعَمَلُ بِالِاحْتِيَاطِ

Pendapat yang diterangkan oleh para ulama tentang bejana yang bercampur, sesungguhnya jika menginginkan, maka melakukan ihtiyath selama harta tersebut bukan milik orang yang berada dalam pengampuan dan jika tidak (jika harta tersebut milik orang yang berada dalam pengampuan), maka haram ihtiyath. Dengan ini dimaklumi bahwa  wali tidak boleh beramal dengan ihtiyath pada persoalan yang disebutkan pada pertanyaan di atas.[14]

 

Was-was bukan ihtiyath

Was-was dalam agama merupakan sikap tercela. Allah Ta’ala berfirman :

قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ مَلِكِ ٱلنَّاسِ إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ  ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ 

Katalanlah aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, Tuhan manusia, dari kejahatan al-waswas al-khannas. Yang selalu membisikkan (keburukan) ke dalam dada manusia.(Q.S. al-Naas : 1-5)

 

Ketika beribadah, hati seseorang yang was-was akan selalu diliputi keraguan, perasaan tidak tenang dan tidak khusyu'. Karenanya, dapat dipastikan bahwa was-was tidak termasuk dalam kerangka ihtiyath yang dianjurkan dalam agama. Berikut ini pendapat para ulama terkait was-was.:

1.  Imam al-Nawawi mengatakan,

وَمِنْهَا اسْتِحْبَابُ الْأَخْذِ بِالِاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَاتِ وَغَيْرِهَا مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ الِاحْتِيَاطِ إِلَى حَدِّ الْوَسْوَسَةِ

Dari hadits ini dipahami diianjurkan mengambil jalan ihtiyath dalam ibadah dan lainnya selama tidak keluar dari batasan ihtiyath kepada batasan was-was.[15]

 

2.  Al-Munawi mengatakan,

والأخذ بالوثيقة العمل بالاحتياط ما لم يخرج إلى الوسوسة

Dalam hadits tersebut dipahami bahwa mengambil yang pasti adalah beramal dengan ihtiyath selama tidak keluar kepada was-was[16]

 

3.  Ibnu Daqiq al-‘Id menjelaskan kepada bahwa apabila ada sangkaan memungkinkan lawan dari yang rajih di sisinya dengan sebab sesuatu yang sifatnya waham belaka yang tidak ada dasarnya, maka wajib tidak memperhatikan kepada kemungkinan ini. Contohnya adalah sebagai berikut :

a.    tidak menggunakan air yang kekal atas sifat-sifatnya karena kuatir ditaqdirkan ada najis yang jatuh dalamnya

b.    tidak melaksanakan shalat pada tempat yang tidak ada bekas najis karena kuatir padanya ada kencing kering

c.    membasuh pakaian karena kuatir kain tersebut kena najis yang tidak dilihatnya Selanjutnya Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan :

فإن التوقف لأجل التجويز هوس والورع منه وسوسة شيطان إذ ليس فيه من معنى الشبهة شيء

Karena sesungguhnya tawaqquf dikarenakan kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah kekacaun pikiran dan bersikap wara’ darinya adalah was-was syaithan, karena tidak ada sedikitpun makna syubhat padanya.[17]

 

4.  Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan,

وَفُرِّقَ بَيْنَ الْوَسْوَسَةِ وَالشَّكِّ بِأَنَّهُ يَكُونُ بِعَلَامَةٍ كَتَرْكِ ثِيَابٍ مِنْ عَادَتِهِ مُبَاشَرَةُ النَّجَاسَةِ وَتَرْكِ الصَّلَاةِ خَلْفَ مَنْ عَادَتُهُ التَّسَاهُلُ فِي إزَالَتِهَا؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ وَهُوَ الطَّهَارَةُ قَدْ عَارَضَهُ غَلَبَةُ النَّجَاسَةِ وَالِاحْتِيَاطُ هُنَا مَطْلُوبٌ بِخِلَافِ الْوَسْوَسَةِ فَإِنَّهَا الْحُكْمُ بِالنَّجَاسَةِ مِنْ غَيْرِ عَلَامَةٍ بِأَنْ لَمْ يُعَارِضْ الْأَصْلَ شَيْءٌ كَإِرَادَةِ غَسْلِ ثَوْبٍ جَدِيدٍ أَوْ اشْتَرَاهُ احْتِيَاطًا وَذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ فَالِاحْتِيَاطُ حِينَئِذٍ تَرْكُ هَذَا الِاحْتِيَاطِ وَبِأَنَّ الْمُوَسْوِسَ يُقَدِّرُ مَا لَمْ يَكُنْ كَائِنًا ثُمَّ يَحْكُمُ بِحُصُولِهِ كَأَنْ يَتَوَهَّمَ وُقُوعَ نَجَاسَةٍ بِثَوْبِهِ ثُمَّ يَحْكُمُ بِوُجُودِهَا مِنْ غَيْرِ دَلِيلٍ ظَاهِرٍ.

Dibedakan antara was-was dan ragu-ragu bahwa ragu-ragu itu muncul dengan sebab ada tanda seperti tidak menggunakan pakaian yang kebiasaannya bersentuhan dengan najis dan tidak shalat dibelakang imam yang punya kebiasaan menyepelekan dalam bersuci dari najis, karena asalnya yang suci bertentangan dengan dugaan najis, maka ihtiyath di sini dianjurkan. Berbeda dengan was-was, yang menghukum najis tanpa ada tanda yakni asal suci tidak bertentangan dengan suatupun seperti keinginan membasuh pakaian baru atau baru dibeli karena ihtiyath. Ini termasuk bid’ah sebagaimana diterangkan oleh al-Nawawi dalam Syarah al-Muhazzab, maka ihtiyath pada ketika itu adalah meninggalkan ini ihtiyath. Dapat dibedakan juga orang yang was-was mentaqdirkan sesuatu yang tidak nyata kemudian menetapkan adanya seperti waham jatuh najis pada pakaiannya kemudian menetapkan ada najis tanpa disertai dalil yang dhahir.[18]

 

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami sebagai berikut :

1.    Ihtiyath sikap kehati-hatian karena ingin memastikan menghindari sesuatu yang terlarang yang wujud tandanya, sedangkan was-was tanpa ada tandanya.

2.    Was-was merupakan waham belaka yang bertentangan dengan yang rajih di sisi seseorang

3.    Perintah ihtiyah pada syara’ selama tidak masuk dalam batasan was-was

4.    Ihtiyath disyariatkan dalam agama, sedangkan was-was terlarang

 

 

 



[1] Al-Jarjani, Mu’jam al-Ta’rifat, Dar al-Fazhilah, Kairo, Hal. 13

[2] Al-Munawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmaat al-Ta’arif, ‘Alim al-Kutub, Kairo, Hal. 40

[3] Izzuddin Abdussalam, al-Qawaid al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 111

[4] Muniib bin Mahmud Syakir, al-‘Aml bil Ihtiyath fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Nafais, Riyadh, Hal. 48

[5] Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Hal. 61

[6] Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Hal. 44

 

[7] Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Hal. 44-45

[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 233

[9] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Makatabah Symilah, Juz. III, Hal. 179

[10] Al-Munawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 278

[11] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 174

[12] Ibnu Ruslan, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 30

[13] Izzuddin Abdussalam, al-Qawaid al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 23-28

[14] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 34

[15] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Makatabah Symilah, Juz. III, Hal. 179

[16] Al-Munawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 278

[17] Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Hal. 45

[18] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 220

Tidak ada komentar:

Posting Komentar