Telah menjadi tradisi bahwa menjelang lebaran hari raya ‘Idul
Fitri, kebanyakan orang yang merantau pulang kampung kelahirannya. Sebagiannya
kembali menjelang hari raya. Kadang-kadang di tempat tinggalnya, ia telah
menunaikan zakat fitrah. Namun sebelum malam lebaran tiba, ia telah berangkat
menuju kampung kelahirannya sehingga saat berbuka puasa hari terakhir ia tidak
lagi berada di tempat domisili ia membayar zakat fitrah. Yang menjadi
pertanyaan, apakah fitrahnya tersebut sah dan tidak perlu mengulangi lagi
dikampung kelahirannya?, Sementara pada saat wajib zakat fitrah (mendapati dua ujung
bulan, yaitu akhir bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal) ia tidak berada lagi di
tempat pembayaran zakat fitrah tersebut, akan tetapi sudah berada di perjalanan
pulang kampung atau sudah sampai dikampung kelahirannya, alias zakat tersebut
dibayar sebelum tiba waktu kewajibannya.
Jawaban
Untuk menjawab persoalan di atas, kita simak nash kitab ulama
berikut ini:
1.  Pengarang I’anah al-Thalibin mengatakan:
وفي إجزاء المعجل عند غيبة المال أو
الآخذ عن بلد الوجوب وقته خلاف فقال حجر لا يجزئه لعدم الأهلية وقت الوجوب وقال م
ر يجزئه
Dalam hal
memadai zakat yang disegerakan ketika jauh harta atau pengambilnya dari balad
wajib pada waktu wajib ada terjadi khilafiyah. Ibnu Hajar mengatakan, tidak
memadai karena bukan ahlinya pada waktu wajib. Al-Ramli mengatakan memadai.
(I’anah al-Thalibin:II/210)
2.    Dalam Hasyiah ‘Ali Syiban al-Malasi dijelaskan: 
)قوله : كما اعتمده الوالد ) وهل يجري
ذلك في البدن في الفطرة حتى لو عجل الفطرة ثم كان عند الوجوب في بلد آخر أجزأ أو
لا ولا بد من الإخراج ثانيا إذا كان عند الوجوب ببلد آخر فيه نظر ا هـ سم على حج
.والأقرب الأول للعلة المذكورة في كلام الشارح فإن قضيتها أنه لا فرق بين زكاة
المال والبدن
(Perkataan
pengarang: sebagaimana yang dimuktamadkan oleh al-Waliid), apakah berlaku
demikian pada badan pada zakat fitrah, sehingga kalau seseorang menyegerakan
fitrah kemudian pada saat wajib dia berada di balad lain, apakah memadai atau
tidak dan diharuskan mengeluarkan lagi pada kali kedua apabila dia berada di
balad lain pada waktu wajib. Dalam hal ini ada tinjauan. Demikian Ibnu
al-Qasim‘ala Ibnu Hajar. Yang mendekati adalah yang pertama, karena illah yang
telah disebutkan dalam kalam Syarih. Dan mafhumnya tidak beda antara zakat
harta dan zakat badan. (Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi ‘ala NIhayah al-Muhtaj:
III/143)
3.    Dalam kitab Ismadul `Ainaini fi Ba`dh Ikhtilaf asy-Syaikhaini Ibn
Hajar al-Haitamy wa Syamsuddin al-Ramli dijelaskan:
)مسألة(.لو غاب المالك او الآخذ
عن بلد الوجوب لم يجز المعجل عند حج خلافا لمر. قال الشرقاوى قرر الحفني ان غيبة
الدافع لاتضر فى زكاة الفطر ولو مات المدفوع له مثلا لزم المالك الدفع ثانيا ولا
يجزئ دفع المعجل لغير مستحق وقت القبض وان استحقه وقت الوجوب اهــ
(Masalah);
kalau jauh pemilik atau pengambil zakat dari balad wajib, maka tidak memadai
zakat yang disegerakan menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy. Ini khilaf dari pendapat
al-Ramli. Al-Syarqawiy mengatakan al-Hufniy menetapkan bahwa jauh si pemberi
zakat tidak mudharat pada zakat fitrah. Jikalau mati orang yg sudah diberikan
(misalnya), maka wajib si pemilik memberikan lagi pada kali kedua. Dan tidak
memadai pemberian yang disegerakan bagi bukan yang berhak pada waktu qabazh,
meskipun berhak pada wajib. (Ismadul `Ainaini fi Ba`dh Ikhtilaf asy-Syaikhaini
Ibn Hajar al-Haitamy wa Syams Ramli (Hasmisy bersama Bughyah al-Mustarsyidin):
51) 
Berdasarkan rujukan kitab di atas, maka dapat simpulkan bahwa
terjadi khilafiyah di antara ulama mutaakhirin mazhab Syafi’i. Ibnu Hajar
al-Haitamiy berpendapat zakat tersebut tidak sah. Karena itu wajib diulangi kembali
ketika orang tersebut berada dikampung kelahirannya. Adapun Imam al-Ramli
berpendapat sebaliknya, yaitu zakat fitrah yang sudah pernah diberikan kepada
mustahiqnya ditempat tinggalnya sudah memadai sebagai zakat fitrahnya. 
Wallahua’lam bisshawab
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar