Rabu, 26 Oktober 2011

BID’AH HASANAH MENURUT AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH, (Bag. 2) ,OLEH TGK ALIZAR USMAN, S.Ag, M.Hum


H. Bantahan terhadap syubhat yang dikemukakan oleh orang yang menolak adanya bid’ah hasanah
Syubhat pertama,
Sekelompok umat Islam yang menolak adanya bid’ah hasanah. Mereka mengatakan, agama Islam sudah sempurna dengan turunnya Q.S. al-Maidah : 3 ;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. al-Maidah : 3)
Dengan demikian, agama yang sempurna ini tidak boleh ditambah-tambah lagi dengan apapun bentuknya, baik dengan apa yang disebut sebagai bid’ah hasanah atau lainnya.
Bantahan
Adanya pemahaman adanya bid’ah hasanah, tidak berarti dengan demikian ada anggapan ketidaksempurnaan agama Islam. Karena kesempurnaan agama Islam tentunya bukan dengan adanya semua peraturan yang detil yang mengatur jalan hidup manusia. Namun kesempurnaannya itu datang dengan adanya aturan-aturan atau norma secara garis besar yang menjadi acuan ijtihad para ulama sebagai pewaris Nabi SAW. Pemahaman adanya bid’ah hasanah yang didasarkan kepada dalil-dalil atau qawaid yang bersifat umum merupakan penjabaran dari pemahaman kesempurnaan agama Islam dengan adanya aturan-aturan atau norma secara garis besar. Dengan demikian, ayat di atas tidak relevan dijadi dalil untuk menolak adanya bid’ah hasanah.
Lagi pula apabila yang dimaksud Q.S. al-Maidah : 3 di atas, adalah tidak ada lagi penetapan hukum setelah turun ayat ini, maka pendapat itu keliru, karena masih ada ayat al-Qur’an yang turun setelah ayat ini, yakni antara lain yang turun terakhir kalinya, yaitu :
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. an-Nisa’ : 176)
Menurut riwayat dari al-Bara’ bin ’Azib, ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang terakhir turunnya.[1] Riwayat ini juga telah diriwayat oleh al-Syaikhani dari al-Bara’ bin ‘Azib sebagaimana dijelaskan al-Suyuthi dalam al-Itqan[2] Dalam kitab al-Itqan juga disebut beberapa pendapat lain mengenai ayat al-Qur’an yang terakhir diturunkan, seperti ayat riba dan lainnya, tetapi tidak disebutkan ada yang berpendapat bahwa ayat Q.S. al-Maidah : 3 merupakan ayat yang terakhir diturunkan Allah.[3] Dengan demikian, Q.S. al-Maidah : 3 bukanlah merupakan ayat yang terakhir yang diturunkan Allah SAW. Berdasarkan kesimpulan ini, al-Thabari mengutip pendapat Abu Ja’far yang mengatakan bahwa pengertian Q.S. al-Maidah : 3 di atas adalah bermakna Makkah al-Mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim. Mulai kejadian turunnya ayat ini, maka Allah mengabarkan bahwa Nabi SAW dan orang-orang yang beriman kepadanya telah disempurnakannya dengan sebab orang-orang musyrikin tidak dapat lagi memasuki masjidil haram.[4]
Syabhat kedua,
Ada yang mengatakan, kalau dibolehkan apa yang dinamakan dengan bid’ah hasanah, maka tentu dibolehkan menambah misalnya raka’at shalat dhuhur menjadi lima raka’at dengan beralasan sebagai bid’ah hasanah. Padahal menambah raka’at shalat wajib seperti dhuhur telah disepakati para ulama tidak dibolehkan.
Bantahan
Pernyataan, kalau dibolehkan apa yang dinamakan dengan bid’ah hasanah, maka tentu dibolehkan menambah misalnya raka’at shalat dhuhur menjadi lima raka’at dengan beralasan sebagai bid’ah hasanah, merupakan pernyatan yang sangat keliru. Karena menambah raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam seperti dhuhur bertentangan dengan dalil agama yang melarangnya. Sedangkan suatu amalan disebut sebagai bid’ah hasanah sebagaimana yang telah dijelaskan haruslah merupakan amalan yang didukung oleh dalil atau qawaid agama yang sifatnya umum. Oleh karena itu, amalan yang bertentangan dengan dalil agama, tidak dapat dikatagorikan sebagai bid’ah hasanah, bahkan ini dimasukkan dalam katagori bid’ah dhalalah.
Ketidakbolehan menambah jumlah raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam adalah berdasarkan qaidah ushul fiqh, berbunyi :
ان السكوت عن البيان بعد تحقق الحاجة دليل النفي
Artinya : Sesungguhnya diam dari penjelasan sesuatu sesudah adanya kepastian kebutuhan kepadanya adalah merupakan dalil dinafikannya.[5]
Berdasarkan qaidah ini, dapat dipahami bahwa diamnya Rasulullah SAW dengan tidak menjelaskan apakah boleh menambah jumlah raka’at shalat wajib lima kali sehari semalam pada sa’at dibutuhkan penjelasannya, merupakan dalil dan penjelasan tidak dibolehkan menambah jumlah raka’atnya. Dengan demikian penundaan penjelasan pada waktu dibutuhkan penjelasannya merupakan penjelasan tidak dibolehkannya sesuatu perbuatan. Karena menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak dibolehkan dengan ijmak ulama sebagaimana diterangkan oleh al-Amady.[6] Al-Bazdawi mengatakan :
ان السكوت في موضع الحاجة إلى البيان بيان
Artinya : Sesungguhnya diam pada waktu dibutuhkan kepada penjelasan adalah merupakan suatu penjelasan.[7]
Maksudnya, diam tersebut merupakan penjelasan tidak boleh dikerjakan perbuatan yang didiamkan itu, sebagaimana qaidah yang disebut oleh al-Sharkhasi di atas. Lagi pula penambahan rakaat shalat melebihi dari jumlah yang ma'ruf tersebut tidak dapat dimasukkan dalam katagori bid'ah hasanah karena hal itu bertentangan dengan ijmak ulama. Bid'ah yang bertentangan dengan ijmak termasuk dalam katagori bid'ah dhalalah sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini.
Syabhat ketiga,
Ada juga yang berargumentasi dengan hadits shahih, yaitu :
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat (H. R. Muslim)[8]
Mereka mengatakan hadits ini secara terang dan gamblang menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Lafadh ”kull” secara terang dan gamblang menunjukkan kepada makna umum (semua), maka tidak boleh ditakwil-takwil kepada makna sebagian. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya bid’ah hasanah
Bantahan
Dalam Ushul Fiqh, mengenai lafadh yang bermakna umum, dikenal istilah al-’am, yaitu lafadh yang mencakup semua satuannya tanpa batas. Lafadh al-’am ini kemudian terbagi tiga, yaitu a’-am yang maksudnya kulliah (semua satuannya) dan sifatnya adalah dhanni, al-’am al-murad bihi al-khusus (maksudnya khusus) dan al-’am al-makhshus (al-’am yang dikhususkan satuannya). Sedangkan lafadh ”kull” merupakan lafadh yang dhahirnya menunjukkan kepada umum.[9] Berangkat dari penjelasan ini, maka pengertian hadits di atas memungkinkan berkisar diantara tiga katagori di atas. Tafshilnya adalah :
a. Apabila ditempatkan hadits tersebut sebagai al-’am yang maksudnya umum, maka pengertian hadits itu : ”Semua bid’ah adalah sesat”. Pengertian ini jelas bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menjelaskan kebolehan melakukan bid’ah hasanah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, menempatkan hadits ini dalam katagori ini tidak tepat. Tidak menggunakan lafadh al-’am bermakna semua satuannya merupakan pemahaman yang dimungkinkan, karena lafadh al-’am bermakna semua satuannya (kulliyah), sifatnya adalah dhanni, bukan qath’i. Dengan demikian, hadits di atas, kemungkinannya masuk dalam dua katagori selanjutnya.
b. Berdasarkan keterangan dalil-dalil bid’ah hasanah di atas, kemungkinan hadits di atas masuk dalam katagori al-’am al-murad bihi al-khusus (maksudnya khusus). Jadi yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut adalah sebagian bid’ah, yaitu bid’ah yang tidak berdasarkan dalil atau qawaid yang umum. Disebut sebagian bid’ah dengan menggunakan lafadh yang menunjukkan umum bid’ah adalah majaz. Dengan menempatkan sebagian bid’ah pada posisi semua bid’ah, Rasulullah SAW ingin menjelaskan bahwa bid’ah dhalaalah sangat dimurkai Allah.
c. Mungkin juga lafadh hadits di atas ditempat dalam katagori al-’am al-makhshus (al-’am yang dikhususkan satuannya) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Nawawi di atas. Berdasarkan ini, maka lafadh ”kull” pada hadits di atas, bermakna semua satuannya secara hakikat, namun keumumannya ini telah dikhususkan oleh dalil-dalil lain sebagaimana disebut di atas. Maka makna haditsnya ”Semua bid’ah adalah sesat kecuali bid’ah hasanah’. Contoh lain dalam al-Kitab dan al-Sunnah, lafadh ”kull” bermakna al-am al-makhshus, antara lain QS. al-Anbiya', 30:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya : Dan Kami telah menjadikan setiap sesuatu yang hidup dari air (Q.S. al-Anbiya : 30)
Bukan berarti ayat tersebut difahami bahwa semua makhluk hidup dijadikan oleh Allah dari air, karena makhluk jin dijadikan dari api, sebagaimana firman Allah dalam QS. ar-Rahman :15:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya : Allah telah menjadikan jin dari nyala api (Q.S. ar-Rahman : 15)
Contoh lain adalah QS. al-An’am : 102, berbunyi :
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya : (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah, Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 102)
Menurut Zakariya al-Anshari firman Allah ” Pencipta segala sesuatu” dikhususkan oleh akal pada bukan selain Allah, karena tidak mungkin Allah mencipta diri-Nya sendiri.[10]
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dipastikan bahwa dakwaan hadits ”Setiap bid’ah adalah sesat” adalah sharih dan harus dimaknai kepada semua bid’ah merupakan dakwaan keliru. Tetapi yang benar adalah hadits tersebut bermakna sebagian bid’ah adalah sesat, baik dengan menjadikannya sebagai al-’am maksudnya khusus atau al-’am al-makhshus.
Syubhat keempat,
Dalil lain yang sering digunakan untuk menolak bid’ah hasanah adalah hadits ;
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat
Mereka mengatakan berdasarkan hadits ini, wajib melakukan shalat sebagaimana shalat Nabi SAW. Menambah sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW adalah bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Kalau dalam ibadah seperti shalat tidak dibolehkan melakukannya, maka dalam ibadah-ibadah lainnya tentu juga tidak dibolehkan.
Bantahan
Lengkapnya hadits ini adalah dari Abu Qilabah
حَدَّثَنَا مَالِكٌ أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ يَوْمًا وَلَيْلَةً ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا ، أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ قَالَ ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ - وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا ، أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا - وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Artinya : Malik mengabarkan : Kami datang kepada Nabi SAW Dan tinggal bersamanya dua puluh hari dan malam. Kami semua adalah anak-anak muda dengan umur yang hampir sama. Rasulullah SAW ramah dan bersahabat dengan kami. Sewaktu beliau mengetahui kerinduan kami kepada keluarga-keluaga kami, beliau bertanya kepada kami tentang orang yang kami tinggal (di rumah) dan kamipun memberitahukannya. Lalu beliau berkata kepada kami, ”Pulanglah kepada keluarga-keluargamu dan dirikanlah shalat bersama mereka, ajarkanlah mereka (agama) dan suruhlah mereka melakukkan hal-hal yang baik”. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal lain yang telah aku (ingat) dan yang aku lupa. Nabi lalu menambahkan: " Shalatlah sebagaimana melihatku shalat dan apabila waktu shalat telah datang, maka hendaklah di antara kamu adzan dan orang yang tertua di antara kamu menjadi imam”. (H.R. Bukahri[11] dan Syafi’i)[12]
Sebagaimana dipahami dari teks hadits di atas, dapat dipahami bahwa sabda Rasulullah SAW tersebut diucapkan dalam rangka memberi bekal pengetahuan kepada Malik dan kawan-kawan yang sudah dua belas hari menetap bersama Rasulullah SAW, kemudian berkeinginan pulang kepada keluarganya masing-masing. Untuk itu, Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, ” Shalatlah sebagaimana melihatku shalat”. Sabda Rasulullah SAW ini menggunakan fi’l al-amar (kata kerja perintah), maka dhahirnya menunjukan kepada wajib. Berdasarkan ini, maka wajib melakukan apa saja yang perbuat oleh Rasulullah SAW dalam shalat beliau. Ini tentu saja bertentangan dengan kesepakatan ulama, bahwa dalam shalat Rasulullah SAW ada perbuatan wajib dan ada juga perbuatan yang hanya sunat dilakukan. Untuk menjawab ini, Al-Nawawi menjelaskan bahwa hadits tersebut mengecualikan perbuatan-perbuatan Rasulullah SAW yang diannggap sebagai sunat karena ada dalil lain yang menerangkannya.[13]
Lalu sekarang muncul pertanyaan, Apakah sabda Rasulullah SAW tersebut dapat mengharamkan perbuatan seseorang dalam shalatnya yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya ? Jawabannya adalah sebagai berikut :
1. Manthuq (diri lafadh) sabda Rasulullah SAW tersebut hanya menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam shalat beliau wajib diikuti. Jadi, tidak ada penjelasan dalam sabda tersebut mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ?
2. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari sabda Rasulullah SAW di atas, juga tidak dapat menjawab mengenai sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW dalam shalat beliau, apakah haram, makruh, mubah atau sunat melakukannya ? Karena mafhum mukhalafah-nya adalah ”Kalau kamu tidak pernah melihatnya sebagaimana aku shalat, maka aku tidak memerintah (wajib) melakukannya.” Tidak memerintah dalam arti wajib ini, tentunya tidak berarti haram. Boleh jadi makruh, mubah dan bahkan sunat. Dengan demikian, sabda Rasulullah SAW di atas tidak tepat digunakan sebagai dalil tidak adanya bid’ah hasanah.
3. Berdasarkan penjelasan nomor satu dan dua di atas, serta dalil-dalil adanya bid’ah hasanah yang telah dikemukakan sebelum ini, maka perbuatan dalam shalat yang tidak diketahui Rasulullah SAW pernah melakukannya, selama termasuk dalam kriteria-kriteria bid’ah hasanah dapat dipastkan boleh dikerjakan dan bahkan dianjurkan melakukannya.
Syubhat kelima,
Kalau dibolehkan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah itu, tentu Rasulullah SAW dan sahabat beliau tidak akan meninggalkannya. Bukankah Rasulullah SAW dan sahabatnya lebih taqwa dan ta’at kepada Allah dan sangat menggemari ibadah kepada Allah dibanding ummat sesudahnya ? Ini menunjukan bahwa tidak ada yang namanya bid’ah hasanah dan semua bid’ah adalah sesat.
Bantahan
Syubhat kelima ini merupakan pemahaman yang berangkat dari asumsi bahwa apa yang ditinggalkan (tidak melakukannya) oleh Rasulullah SAW adalah sesuatu yang dilarang. Padahal asumsi ini sangat keliru, karena tidak selamanya Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan dapat berarti perbuatan tersebut dilarang. Karena Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan, sebagaimana karena perbuatan tersebut diharamkan seperti beliau tidak minum khamar, tidak berzina dan lain-lain, juga adakalanya karena faktor-faktor lain bukan karena faktor haram. Jadi dengan demikian, syubhat yang kelima ini tidak tepat menjadi dalil untuk menolak bid’ah hasanah.
Faktor-faktor lain yang bukan karena faktor haram yang menjadi alasan Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan, antara lain :
1. Meninggalkannya karena tidak ada faktor-faktor yang menggerakkan beliau melakukannya, seperti meninggalkan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Rasulullah SAW tidak melakukannya karena tidak wujud orang yang enggan membayar zakat pada zamannya dan sebaliknya, Abu Bakar r.a. melakukannya, karena wujud orang yang enggan membayar zakat pada zamannya.[14] Contoh lain adalah Rasulullah SAW meninggalkan menghimpun al-Qur’an dalam satu mashaf, karena tidak muncul kekuatiran pada zamannya bahwa al-Qur’an akan bercampur dengan lainnya dan dapat hilang dari hafalan-hafalan manusia. Kekuatiran tersebut muncul pada zaman sahabat Nabi karena penghafal-penghafal al-Qur’an banyak yang sudah wafat, maka para Khulafaurrasyidin sesudah Rasulullah SAW membukukan al-Qur’an dalam bentuk suatu mashaf sebagaimana Mashaf Usmany yang ada sekarang.[15]
2. Meninggalkannya karena ada hal yang menghalanginya, sedangkan faktor yang menggerakkan melakukannya wujud. Hal yang menghalanginya itu yaitu :
a. kuatir difardhukan kepada umatnya, seperti Rasulullah SAW meninggalkan keluar berjama’ah shalat Tarawih ke mesjid sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut
أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam shalat dalam mesjid dengan diikuti oleh manusia. Kemudian beliau keluar untuk shalat pada malam berikutnya, maka makin banyak manusia shalat bersamanya. Pada malam ketiga atau keempat manusia keluar berkumpul, Rasulullah SAW tidak keluar-keluar kepada mereka. Manakala Subuh bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku telah melihat apa yang kalian kerjakan dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali kekuatiranku difardhukan shalat itu atasmu. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan. (H R. Bukhari,[16] Muslim [17]dan Malik) [18]
Kekuatiran ini hilang dengan sebab terputusnya turun wahyu sesudah wafat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Umar bin Khatab memerintahkan Ka’ab shalat Tarawih dengan cara berjama’ah dengan satu imam. Beliau berkata :
إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ
Artinya : Sesungguhnya aku berpendapat kalau mereka ini dikumpulkan pada satu qarii, maka sungguh suatu yang lebih baik.(H.R. Bukhari)[19]
b. mafsadah (kerusakan) yang lebih besar, seperti Rasulullah SAW meninggalkan memugar ka’bah karena kuatir tersinggung kaum Quraisy sebagaimana digambarkan dalam hadits di bawah ini :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ
Artinya : Bahwasanya Nabi SAW Bersabda : " Seandainnya tidak karena kaummu baru saja dari masa jahiliyah, niscaya aku perintahkan untuk roboh Baitullah (untuk dipugar kembali), lalu aku masukkan apa yang telah mereka keluarkan dari padanya” (H.R. Bukhari)[20]
Jadi, kalau mafsadah ini tidak ada lagi, maka keharusan meninggalkannya itu tidak berlaku lagi.
3. Meninggalkannya, karena tabi’at Rasulullah SAW tidak menyukainya, seperti beliau tidak makan binatang dhabb (sejenis biawak) karena tabi’at beliau tidak menyukainya sebagaimana dikisahkan dalam hadits di bawah ini :
عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِضَبٍّ مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاََ وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُونُ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.
Artinya : Dari Khalid bin AI Walid, beliau berkata: "Satu hari Nabi SAW disuguhi daging panggang dhabb (sejenis biawak) ketika Nabi SAW hendak memakannya, tiba-tiba ada yang bilang kepada beliau bahwa itu adalah daging dhabb. Seketika itu beliau menarik kembali tangannya. Maka Khalid bertanya: "Haramkah daging binatang itu?". Beliau menjawab: "Tidak, hanya saja ia tidak terdapat di tanah kaumku. Maka aku berusaha menjaga darinya". Khalid lalu memakannya, sementara Rasululiah SAW hanya memandangi saja.(H.R. Bukhari)[21]
Ini tidak menjadi syari’at bagi umatnya dan tidak dapat menunjukkan kepada haram makan dhabb, tetapi hanya masalah tabi’at saja.
Apabila Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan secara mutlaq, artinya tidak ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan Rasulullah SAW meninggalkannya, ini hanya menunjukkan kepada tidak wajib, tidak lebih dari itu. Untuk menunjukkan kepada haram, perlu dalil lain yang menunjukinya. Dan kalau perbuatan tersebut memenuhi kriteria bid’ah hasanah, yaitu dianggap baik oleh kaum muslim dan mempunyai dalil yang bersifat umum yang mendukungnya, maka perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan yang dianjurkan dalam syari’at.
Sayyid Abdullah al-Ghumary, salah seorang ulama lepasan Universitas al-Azhar Mesir, menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat menjadi dalil sesuatu itu adalah haram, antara lain[22] :
1. Yang menunjuki kepada haram hanyalah tiga perkara, yaitu :
a. lafadh nahi, seperti :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina (Q.S. al-Isra’ : 32)
b. lafadh al-tahrim, seperti :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
Artinya : diharamkan bagimu (memakan) bangkai (Q.S. al-Maidah : 3)
c. perbuatan tersebut dicela atau diancam dengan siksaan, seperti sabda Nabi SAW :
من غش فليس منا
Artinya : Barangsiapa yang menipu, maka ia bukanlah dari kami (H.R. Turmidzi)[23]
Meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak termasuk dalam salah satu katagori ini.
2. Firman Allah Ta’ala :
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya : Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Q.S. al-Hasyr : 7)
Allah SWT tidak berfirman : “Apa yang ditinggalkannya (tidak dikerjakannya), maka tinggalkanlah”. Oleh karena itu, meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat menjadi dalil haramnya perbuatan tersebut.
3. Sabda Nabi SAW :
ما أمرتكم به فائتوا منه مااستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه
Artinya : Apa yang aku perintah kepadamu, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu dan apa yang aku larang darinya, maka jauhkanlah (H.R. Ibnu Majah)[24]
Rasulullah SAW tidak bersabda : “Apa yang aku tinggalkan, maka jauhkanlah”. Maka bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW, secara otomatis menjadi dalil haram perbuatan itu ?.
4. Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan secara mutlaq hanya menunjukkan kepada tidak wajib. Tidak wajib ini boleh jadi mubah, makruh, sunnah ataupun haram. Ini merupakan suatu yang ihtimal (boleh jadi). Qaidah ushul mengatakan :
أن ما دخله الاحتمال سقط به الاستدلال
Artinya : Sesungguhnya sesuatu yang masuk ihtimal, maka gugurlah ia sebagai dalil
5. Para ulama Ushul mendeviniskan Sunnah dengan perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) Nabi SAW. Meninggalkan suatu perbuatan tidak termasuk dalam devinis Sunnah. Dengan demikian, meninggalkan suatu perbuatan oleh Rasulullah SAW tidak dapat dijadikan hujjah sebagai suatu yang wajib ditinggalkan.
- SELESAI -

Bid'ah Hasanah Menurut Ahlussunnah wal Jama'ah Bag. 1

[1] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 520
[2] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 26
[3] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 26-27
[4] Al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 520
[5] Al-Sharkhasi, Ushul al-Sharkhasi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 259
[6] Al-Amady, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 245
[7] Al-Bazdawi, Ushul al-Bazdawi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 160
[8]. Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 592, No. Hadits 867
[9] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69, 70 dan 75
[10] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 78
[11] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 162, No. Hadits : 631
[12] Syafi’i, Musnad al-Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 70, No. hadits : 235
[13] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 290
[14] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain, Singapura, Hal. 24
[15] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain, Singapura, Hal. 154
[16] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 50, No. hadits 1129
[17] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 524, No. Hadits : 761
[18] Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 113, No. Hadits : 248
[19] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 58, No. Hadits : 2010
[20] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 180, No. Hadits : 1586
[21] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 93, No. Hadits : 5400
[22] Sayyid Abdullah al-Ghumary, Husn al-Tafahhum wal-Dark li masaalah al-Tark, Hal. 8
[23] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 606, No. hadits : 1315
[24] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 3, No. Hadits : 1

12 komentar:

  1. Kalau memang tidak mau pada bidah.semua bentuk ijmak,ijtihad dan qiyas itu semua kan bidah.contoh: zakat firah menggunakan beras dari padi,jual beli dan zakat mal menggunakan rupiah itu semua bidah,kalau ngotot,ya suruh,memakai kurma,gandum,dirham dinar,dan semua,itu tidak ada hadistnya suru cari kitab wahabi,sampai lungset tidak akan dijunpai.Sudah dikerjakan kok,karena mereka tidak menyadari kelemahannya.bisa mampir di blogthohiranam.blogspot.com ttg bidah hasanah.

    BalasHapus
  2. blogthohiranam.blogspot.com ttg bidah

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. assalamu'alaikum Tgk. kiban defenisi IBADAH peu na sama dengan AMALAN wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. ibadah berasal dari kata " abada ya'budu ibadatan" yang bermakna penghambaan, jadi makna ibadah dalam istilah adalah melakukan amalan-amalan tertentu dalam rangka penghambaan diri kepada Allah. sedangkan amalan bermakna mengerjakan sesuatu, baik itu berbentuk ibadah atau lainnya.

      Hapus
  5. Mereka itu masak mengerti apa itu kullii atau kuuliiyeh maqshuth sasaran hadist itu, bisanya cuma " KUULU BID'ATIN DHOLAALAH " WAKULLUM MUHDASTATIN BID'AH " ATAU LAAYAQBALU SHOOHIBIL BID'AH " Mereka taunya secara dhohir saja mereka tidak sadar kalau diartikan secara ngawur menampar dirinya sendiri.biar difahamilah articel diatas.

    BalasHapus
  6. Mereka itu masak mengerti apa itu kullii atau kuuliiyeh maqshuth sasaran hadist itu, bisanya cuma " KUULU BID'ATIN DHOLAALAH " WAKULLUM MUHDASTATIN BID'AH " ATAU LAAYAQBALU SHOOHIBIL BID'AH " Mereka taunya secara dhohir saja mereka tidak sadar kalau diartikan secara ngawur menampar dirinya sendiri.biar difahamilah articel diatas.

    BalasHapus
  7. Artikel ini ditulis pakai otak sendiri yang rada-rada jeblok. Tunjukkin dong Hadist Nabi tentang adanya Bid'ah Hasanah, Yang ada, Bid'ah itu Dhlolalah semua. Kalo gak ada perkataan Rasul, ayo sekarang perkataan Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Ahmad tentang adanya Bid'ah Hasanah. Mana-Mana??? aku mau baca..

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau anda mau membaca seluruh tulisan kami (tulisan ini terdiri dua bagian), anda pasti tahu ada dalil2 yg kami kemukakan sehingga bid'ah terbagi dua. demikian juga perkataan ulama2 besar tentang pembagian bid'ah, termasuk perkataan imam Syafi'i (lihat bagian pertama), namun sayang anda keburu nafsu utk menyalahkan orang lain sehingga itu terlupakan.

      wassalam

      Hapus
  8. Mantap, penjelasannya relatif lengkap.

    Bid'ah sering kali disamakan dengan anti modernisasi.
    Yang kemudian justru digunakan oleh musuh-Islam, sebagai klaim kalau Islam itu kolot, anti inovasi teknologi.

    BalasHapus