( وَ ) الأصح ( أَنَّ الإِعَادَةَ فِعْلُهَا ) أى العبادة ( وَقْتَهَا ثَانِيًا مُطْلَقًا ) سواء أكان لعذر من خلل فى فعلها أولا أوحصول فضيلة لم تكن فى فعلها أولا لكون الإمام أعلم أو أورع أو الجمع أكثر أو المكان أشرف أم لغير عذر ظاهر بأن استوت الجماعتان أو زادت الأولى بفضيلة وقيل الإعادة مختصة بخلل فى الأول وعليه الأكثر وقيل بالعذر الشامل للخلل ولحصول فضيلة لم تكن فى الأول وذكر الأول من زيادتى وهو ما اختاره الأصل فى شرح المختصر ويمكن حمل أول كلامه هنا عليه كما بينته فى الحاشية وبما ذكر علم تعريف المؤدى والمقضى والمعاد بأن يقال على الأصح المؤدى مثلا ما فعل مما مر فى الأداء فى وقته وقس به الآخرين وان الإعادة قسم من الأداء فهى أخص منه وعليه الأكثر وقيل قسيم له وعليه مشى البيضاوى حيث قال العبادة ان وقعت فى وقتها المعين ولم تسبق بأداء مختلّ فأداء والا فإعادة لكن كلامه فى المرصاد يخالفه وقد ذكرته فى الحاشية مع زيادة
(Dan) menurut pendapat yang lebih shahih, (sesungguhnya i’adah adalah melakukannya) yaitu ibadah (dalam waktunya pada kedua kalinya secara mutlaq), baik apakah ia karena ‘uzur yaitu ada cacat dalam melakukan ibadah yang pertama atau untuk menghasilkan fadhilah yang tidak ada pada perbuatan pertama, hal itu karena imamnya lebih ‘alim, wara’, jama’ahnya lebih banyak, atau tempat lebih mulia ataupun baik hal itu karena tidak ada ‘uzur yang dhahir yakni kedua jama’ah sama kedudukannya atau jama’ah yang pertama lebih fadhilahnya. Ada pendapat yang mengatakan, i’adah khusus hanya karena ada cacat pada yang pertama, pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama. Pendapat lain mengatakan, khusus dengan ‘uzur yang mencakup dalam hal ada cacat yang pertama dan untuk menghasilkan fadhilah yang tidak ada pada yang pertama. Penyebutan “pertama” merupakan tambahanku. Ia merupakan pilihan Ashal dalam Syarah Mukhtashar. Ada kemungkinan dipertempatkan kalam ashal di sini atasnya sebagaimana telah aku jelaskannya dalam Hasyiah. Berdasarkan yang telah disebutkan, dapatlah dimaklumi devinisi al-muaddaa, muqdha dan al-mu’aad yakni dikatakan berdasarkan pendapat yang lebih shahih bahwa misalnya al-muaddaa adalah perbuatan yang dilakukan dalam waktunya yakni perbuatan sebagaimana yang telah lalu dalam pembahasan al-ada’. Dan qiyaskan kepadanya dua yang terakhir.(1) Dapat dipahami pula bahwa i’adah merupakan pembagian dari al-ada’, maka i’adah lebih khusus dari al-ada’. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama.(2) Ada pendapat yang mengatakan i’adah merupakan qasiim(3) bagi al-ada’.(4) Baidhawi berpendapat dengan pendapat ini, dimana beliau mengatakan, ibadah jika terjadi dalam waktunya yang tertentu dan tidak didahulukan oleh al-ada’ yang cacat, maka al-ada’ namanya dan jika tidak, maka i’adah namanya. Tetapi kalam Baidhawi dalam al-Mirshad berbeda dengannya. Aku telah menyebutnya dalam Hasyiah yang disertai dengan tambahan.
Penjelasan
(1). Dengan demikian, berdasarkan pendapat yang lebih shahih dapat didevinisikan sebagai berikut :
- Al-Muaddaa adalah ibadah yang dilakukan dalam waktunya atau shalat yang dilakukan semua atau hanya satu raka’at dalam waktunya
- Al-Muqdha adalah ibadah yang dilakukan sesudah keluar waktunya atau shalat yang dilakukan sesudah keluar waktunya semua raka’atnya atau kecuali dibawah satu raka’at
- Al-Mu’ad adalah ibadah yang dilakukan dalam waktunya untuk kedua kalinya
(2). Berdasarkan ini, maka ibadah ada dua pembagian, yaitu al-ada’ dan qadha. Al-ada’ ini kemudian dibagi menjadi i’adah dan bukan i’adah
(3). Qasiim sesuatu adalah yang berbeda dengan sesuatu, namun ia bersama-sama dengan sesuatu itu masuk di bawah suatu yang lain, seperti isim, dimana ia berbeda dengan fi’il namun isim bersama-sama dengan fi’il masuk berada di bawah (pembagian) kalimat.1
(4). Berdasarkan ini, maka ibadah terbagi kepada tiga, yaitu al-ada’, i’adah dan qadha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar