Ibnu Taimiyah berpendapat melakukan perjalanan menziarahi kubur para Nabi merupakan perbuatan maksiat.
Pendapat Ibnu Taimiyah ini dapat diperhatikan dalam perkataan Ibnu Taimiyah berikut ini :
“Perjalanan untuk ziarah kubur itu sendiri, baik kubur Nabi ataupun lainnya adalah perbuatan terlarang di sisi Jumhur ulama sehingga mereka tidak membolehkan qashar shalat padanya, karena itu merupakan perjalanan maksiat berdasarkan sabda Nabi yang tersebut dalam Shahihaini, yakni :
لا تشد الرحال الا الى ثلاثة مساجد المسجد الحرام والمسجد الاقصى ومسجدي هذا
Padahal Nabi SAW lebih mengetahui dari manusia lain hal-hal seperti masalah ini.”[1]
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, al-Radd ‘ala al-Ikhnaa-iy sebagai berikut :
“Barangsiapa yang beri’tiqad bahwa melakukan perjalanan menziarahi kubur para Nabi dan orang-orang shaleh merupakan satu qurbah, ibadah dan ta’at, maka itu menyalahi ijmak.”[2]
Keyakinan Ibnu Taimiyah bahwa melakukan perjalanan untuk ziarah kubur para Nabi merupakan perbuatan maksiat juga telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Haditsah[3]
Pendapat Ibnu Taimiyah ini bertentangan dengan yang disepakati oleh umat Islam, karena telah terjadi ijmak ulama atas dianjurnya ziarah kubur Nabi SAW di antara umat Islam. Imam al-Subky mengatakan :
“Qadhi ‘Iyadh r.a. mengatakan, ziarah kubur Nabi SAW adalah sunnah di antara kaum muslimin yang terjadi ijmak atasnya dan mendapat fadhilah serta termasuk perbuatan yang dianjurkan.”[4]
Kemudian al-Subki menyebut nama-nama ulama dari kalangan mazhab empat yang turut serta mengatakan bahwa ziarah kubur Nabi SAW merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam agama Islam. Nama-nama yang disebut beliau tersebut dari kalangan Mazhab Syafi’i antara lain : Qadhi Abu Thaib, al-Muhamily, al-Hulaimy, al-Mawardi, al-Ruyani, Qadhi Husain, Syaikh Abu Ishaq Syairazy. Dari kalangan Hanafi antara lain : al-Karmany, Abdullah bin Mahmud, Abu al-Laits al-Samaqandy dan al-Surujy. Dari Mazhab Hanbali antara lain : Abu al-Khithab al-Kawazany, Abu Abdullah al-Saamiry, Najmuddin bin Hamdan dan Ibnu Qudamah. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain : Abu ‘Amran al-Fasy dan Syaikh Ibnu Abu Zaid.[5]
Dalil yang mengatakan ziarah kubur Nabi SAW merupakan amalan yang dianjurkan sesuai dengan Firman Allah Ta’ala Q.S. al-Nisa’ : 64, berbunyi :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Artinya : Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.( Q.S. al-Nisa’ : 64)
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan ayat ini menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah SAW untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi beliau dan beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini tidak terputus dengan wafat Rasulullah SAW.[6] Datang kepada Rasulullah SAW sesudah beliau tidak ada, tentunya dengan melakukan perjalanan kepada kubur beliau yang mulia. Kesimpulan ini sesuai dengan sabda Rasululullah SAW melalui riwayat Ibnu Umar, berbunyi :
مَنْ زار قَبْرِي وجبتْ لَهُ شَفَاعَتِي
Artinya : Barangsiapa yang menziarahi kuburku, maka wajib baginya syafa’atku (H.R. al-Darulquthni)[7]
Ibnu Mulaqqan dalam mengomentari hadits ini mengatakan isnad ini adalah baik.[8] Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Hadits ini telah dishahihkan oleh satu jama’ah imam hadits dan celaan atas sebagian perawinya ditolak sebagaimana telah diijelaskan oleh al-Subky dengan panjang lebar.”[9]
Dalam Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah, Al-Suyuthi menjelaskan hadits ini telah diriwayat oleh Ibnu Abi al-Dunya, al-Thabrany, al-Darulquthni dan Ibnu ‘Ady dari beberapa jalur dari Ibnu Umar. Seterusnya al-Suyuthi mengutip penjelasan al-Zahabi yang mengatakan :
“Semua jalurnya adalah lemah, tetapi sebagiannya menguatkan yang lain.”[10]
Di sini al-Zahabi, meskipun mengakui sanad hadits ini lemah, namun karena hadits ini datang dalam beberapa jalur, maka statusnya menjadi kuat, karena dikuatkan sebagian jalurnya oleh yang lain. Dalam ilmu hadits, hadits seperti ini dinamakan dengan hadits hasan.
Senada dengan maksud hadits ini, hadits shahih yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir dan lainnya berbunyi :
من زارني بعد موتي فكأنما زارني في حياتي
Artinya : Barangsiapa yang menziarahiku sesudah matiku, maka seolah-olah dia menziarahiku pada waktu hidupku.
Al-Zahabi mengatakan, isnad hadits ini termasuk dalam katagori jaid (baik)[11]
Adapun dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa Rasulullah SAW bersabda :
لا تشد الرحال الا الى ثلاثة مساجد المسجد الحرام والمسجد الاقصى ومسجدي هذا
Artinya : Tidak diadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjidku ini (H.R. Bukhari dan Muslim)[12]
Ibnu Taimiyah memahami hadits ini secara dhahiriyah, yakni dilarang melakukan perjananan jauh kecuali hanya untuk tujuan tiga masjid tersebut, lalu mengambil kesimpulan bahwa ziarah kubur yang tidak termasuk dalam salah satu dari tiga masjid tersebut menjadi perbuatan haram. Kesimpulan seperti ini merupakan kesimpulan yang sangat batil, karena mengakibatkan pengharaman terhadap perjalanan lainnya yang disepakati umat Islam kebolehannya atau dianjurkan atau bahkan diwajibkannya seperti jihad, menuntut ilmu, berniaga dan lain-lain. Oleh karena itu, pemahaman hadits ini tidak boleh dipahami sebagaimana dhahirnya. Ibnu Hajar al-Haitamy[13] menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah tidak melakukan perjalanan ke masjid-masjid karena ta’dhim dan taqarrub dengan masjid tersebut kecuali tiga masjid yang tersebut dalam hadits. Jadi, bukan berarti dilarang secara mutlaq semua perjalanan selain kepada tiga masjid yang disebut dalam hadits tersebut, seperti jihad, menuntut ilmu. Pemahaman ini sesuai dengan hadits riwayat Ahmad berikut ini :
لا ينبغي للمطي أن تشد رحاله إلى مسجد يبتغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي هذا
Artinya : Tidak sepatutnya seseorang yang berjalan melakukan perjalanan ke masjid untuk melakukan shalat dalamnya selain masjidil haram, masjid aqsha dan masjidku ini (H.R. Ahmad. Al-Haitsami mengatakan, hadits ini hasan)[14]
Imam al-Subky menjelaskan bahwa larangan melakukan perjalanan ke masjid selain masjidil haram, masjid Aqsha dan masjid Nabawi adalah konteks qashad diri masjid tersebut semata-mata atau qashad ibadah di dalamnya yang mungkin dilakukan pada masjid lain karena qashad ta’dhim. Adapun melakukan perjalanan dengan bukan qashad nazar, tetapi ada maksud lain seperti ziarah dan lainnya, maka tidak ada seorang ulamapun yang mengatakan haram ataupun makruh[15]
Berdasarkan uraian di atas, maka argumentasi Ibnu Taimiyah dengan hadits di atas untuk fatwa haram ziarah kubur Nabi SAW sungguh tidak mengena dan jauh panggang dari api.
Ada juga sebagian pengikut Ibnu Taimiyah yang mengharamkan ziarah kubur Nabi SAW berargumentasi dengan sabda Nabi SAW berbunyi :
وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا
Artinya : Jangan kamu jadikan kuburku sebagai hari raya (H.R. Abu Daud)[16]
Telah terjadi perbedaan pendapat ahli hadits mengenai status hadits ini, seandainya kita terima bahwa hadits ini maqbul sebagaimana pendapat yang lebih shahih sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy,[17] maka perlu telaah secara konverehensif untuk dapat memahami maksud hadits ini, tetapi yang pasti dari hadits ini tidak boleh dipahami bahwa ziarah kubur Nabi SAW merupakan perbuatan haram. Hal ini karena telah terjadi ijmak bahwa ziarah kubur Nabi SAW merupakan amalan yang dianjurkan. Ijmak ini juga didukung oleh sejumlah hadits shahih sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini. Apalagi sebenarnya dhahir hadits ini tidak menunjukkan kepada haram ziarah kubur Nabi SAW, tetapi hanya larangan menjadikan kubur Nabi seperti hari raya. Menjadikannya sebagai hari raya tentunya ziarah yang dilakukan hanya pada hari-hari tertentu yang dianggap sebagai hari istimewa dan yang disertai dengan simbul-simbul kegembiraan seperti menggunakan pakaian baru, wangi-wangian dan sebagainya. Jadi, selama ziarah kubur Nabi SAW tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut tentu tidak dapat disebut ziarah kubur Nabi SAW sebagai menjadikannya sebagai hari raya. Imam al-Subky menjelaskan bahwa hadits, “Jangan kamu jadikan kuburku sebagai hari raya” mempunyai beberapa kemungkinan pengertiannya, yaitu :
1. Anjuran memperbanyak ziarah kubur Nabi SAW dan tidak mengosongkan ziarah sehingga tidak diziarahinya kecuali hanya dua kali dalam setahun seperti hari raya (ini merupakan penafsiran yang dikemukakan oleh Syaikh Zakiyuddin al-Munziry)
2. Tidak menjadikan ziarah kubur Nabi SAW hanya pada hari tertentu seperti kebanyakan hari raya, tetapi hendaknya dilakukan kapan saja tanpa menentukan hanya pada hari tertentu saja
3. Dilarang ziarah kubur Nabi SAW dalam keadaan menampakan perhiasaan dan datang berkumpul layaknya hari raya. [18]
Berdasarkan pengertian-pengertian ini, maka ziarah yang dilakukan diluar dari tiga kemungkinan ini adalah tidak terlarang, bahkan dianjurkan sebagaimana maksud hadits-hadits di atas.
Catatan :
Imam al-Subki yang hidup sezaman dengan Ibnu Taimiyah telah mengarang sebuah kitab khusus membahas tentang ziarah kubur Nabi SAW dalam rangka menolak pendapat yang mengatakan ziarah kubur Nabi SAW merupakan perbuatan bid’ah dengan judul, “Syifa’ al-Saqam fi Ziarah Khair al-Anam”. Ibnu Hajar al-Haitamy yang datang kemudian setelah zaman al-Subky juga mengarang kitab dengan tema yang sama dengan judul’ “al-Jauhar al-Munaddham fi Ziarah al-Qabri al-Syarif al-Nabawi al-Mukarram”
[1]Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Wazarah al-Syu-uniyah al-Islamiyah wal-Auqaf wal-Da’wah wal-Irsyad al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah, Juz. IV, Hal. 520
[2] Ibnu Taimiyah, al-Radd ‘ala al-Ikhna-iy, Maktabah Syamilah, Hal. 113
[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 85
[4] Al-Subki, Syifa’ al-Saqam fi Ziarah Khair al-Anam, al-Dairah al-maa’rif al-Nidhamiyah, Hal. 47
[5] Al-Subki, Syifa’ al-Saqam fi Ziarah Khair al-Anam, al-Dairah al-maa’rif al-Nidhamiyah, Hal. 47-50
[6] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12
[7]Al-Darulquthni, Sunan al-Darulquthni, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 334, No. Hadits 2695
[8] Ibnu Mulaqqan, al-Badul al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 296.
[9] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 17-18
[10] Al-Suyuthi, Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah, Dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, hal. 213
[11] Al-Suyuthi, Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah, Dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, hal. 213
[12] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 775
[13] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 31
[14] Al-Haitsami, al-Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 7
[15] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 32
[16] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 169, No. Hadits : 2044
[17] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 36
[18] Al-Subki, Syifa’ al-Saqam fi Ziarah Khair al-Anam, al-Dairah al-maa’rif al-Nidhamiyah, Hal. 59-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar