Tak pernah malu belajar, kendati gurunya sangat jauh lebih muda
darinya. Dari Syekh Ahmad al-Fathani yang seusia anaknya, ia belajar
ilmu nahwu dan mengembangkannya di Tanah Air.
Nama lengkapnya adalah Kiai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul
Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai
Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam
silsilahnya, Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, satu dari sembilan Wali Songo.
Kiai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau
27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Dia berasal
dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung
daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, ia dikirim ke berbagai pondok
pesantren untuk menimba ilmu agama.
Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiai Muhammad
Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan,
Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan,
Bangil, Pasuruan, dan Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di
pondok-pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap
di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.
Saat menjadi santri, Muhammad Khalil telah menghafal beberapa
matandan yang ia kuasai dengan baik adalah matan Alfiyah Ibnu Malik yang
terdiri dari 1.000 bait mengenai ilmu nahwu. Selain itu, ia adalah
seorang hafidz (hafal Alquran) dengan tujuh cara menbacanya (kiraah).
Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya
ke Makkah. Di sana, ia bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani.
Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya adalah Syekh
Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masehi), Syekh Muhammad Zain
bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masehi), Syekh Abdul
Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masehi), dan Kiai
Umar bin Muhammad Saleh Semarang.
Ia adalah orang yang tak pernah lelah belajar. Kendati sang guru
lebih muda, namun jika secara keilmuan dianggap mumpuni, maka ia akan
hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Di antara
gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad al-Fathani. Usianya hampir seumur
anaknya. Namun karena tawaduknya, Kiai Muhammad Khalil menjadi santri
ulama asal Patani ini.
Kiai Muhammad Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar
karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, yaitu kitab
tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok pesantrennya di Bangkalan.
Karya Syekh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam
pengajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga
sekarang masih banyak pondok pesantren tradisional di Jawa dan Madura
yang mengajarkan kitab itu.
Kiai Muhammad Khalil juga belajar ilmu tarikat kepada beberapa orang
ulama tarikat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya Syekh
Ahmad Khatib Sambas. Tarikat Naqsyabandiyah diterimanya dari Sayid
Muhammad Shalih az-Zawawi.
Sewaktu berada di Makkah, ia mencari nafkah dengan menyalin
risalah-risalah yang diperlukan para pelajar di sana. Itu pula yang
mengilhaminya menyususn kaidah-kaidah penulisan huruf Pegion bersama dua
ulama lain, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Saleh as-Samarani.
Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa
Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi
yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Sepulang dari Makkah, ia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan
tarikat di tanah Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang
telah diperolehnya, Kiai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok
pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah barat laut dari
desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan
pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, yaitu
Kiai Muntaha. Kiyai Muntaha ini berkahwin dengan anak Kiyai Muhammad
Khalil bernamIa sendiri mengasuh pondok pesantren lain di Bangkalan.
Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke
Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para
pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara
para muridnya itu adalah KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren
Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama), KH Abdul Wahhab
Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); KH Bisri
Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar), KH Ma’shum (pendiri Pondok
Pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren
Rembang), dan KH As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren
Asembagus, Situbondo).
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.
(sumber :http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=228862&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=185)
1
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar