Kamis, 06 Februari 2014

Shalat Untuk Menghormati Waktu Bag. 2 (Dalil-dalilnya)

Dalil-dalil yang menunjukkan adanya kewajiban melakukan shalat untuk menghormati waktu dalam artian shalat itu tidaklah menggugurkan taklif, sehingga shalat tersebut harus diulangi kembali pada waktu lain, antara lain :
1.        Hadits berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءَ قِلاَدَةً فَهَلَكَتْ، فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا فَوَجَدَهَا، فَأَدْرَكَتْهُمُ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَصَلَّوْا، فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ
Artinya : Dari Aisyah, ia bercerita, bahwa ia pernah meminjam kalung pada Asma’. Lalu kalung tersebut hilang, maka Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk mencarinya. Setelah menemukannya, datanglah waktu shalat. Karena tidak menemukan air, maka mereka pun shalat (tanpa wudhu). Kemudian mereka melaporkannya kepada Rasulullah SAW. Maka Allah menurunkan ayat tayamum.(H.R. Bukhari)[1]

Jalan pendaliliannya adalah para sahabat Nabi yang tersebut dalam hadits di atas melakukan shalat tanpa berwudhu’ sebab tidak ada air, karena i’tiqad mereka bahwa shalat tetap wajib dilakukan, meskipun tanpa terpenuhi salah syarat shalat, yaitu wudhu’  (tayamum belum disyari’atkan waktu itu berdasarkan keterangan pada ujung hadits di atas), namun begitu disampaikan berita tersebut kepada Nabi SAW, beliau sendiri tidak mengingkarinya.
2.        Firman Allah berbunyi :
أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل
Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam (Q.S. al-Isra’ : 78)
Ayat ini memerintahkan shalat secara mutlaq tanpa membeda antara yang memenuhi syarat-syarat shalat atau tidak.

3.        Karena shalat yang dilakukan tersebut tidak memenuhi syarat shalat, maka diwajibkan mengulangi lagi kembali. Namun berdasarkan penelitian para ulama tidak semua shalat yang tidak memenuhi syarat shalat wajib mengulanginya kembali, tetapi mereka membedakan dengan dhabith kalau yang menyebabkan tidak ada syarat tersebut merupakan sesuatu yang tidak sering terjadi (nadir) seperti najis, darah yang tidak bersambung-sambung (tidak seperti darah haid, karena haid darahnya berkepanjang) dan lainnya, maka wajib mengulanginya kembali dan sebaliknya kalau sering terjadi, maka tidak perlu mengulangi kembali seperti tidak ada penutup aurat dan lain-lain.

Adapun hadits dari Abu Sa’id al-Khudry berkata :
أنَّه صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم خلع نَعله، فَخلع النَّاس نعَالهمْ، فَلَمَّا قَضَى صلَاته قَالَ: مَا حملكم عَلَى صنيعكم؟ قَالُوا: رَأَيْنَاك ألقيت نعليك، فألقينا نعالنا، فَقَالَ: إِن جِبْرِيل أَتَانِي فَأَخْبرنِي أَن فيهمَا قذرًا
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW mencabut sandalnya dalam shalatnya, lalu makmum dibelakangnya mencabutnya juga. Manakala selesai shalatnya, Nabi SAW berkata : “Apa yang menyebabkan kalian mengerjakannya ?” Merekapun mengatakan : “Kami melihat engkau mencabut dua sandalmu, maka kamipun mencabut sandal kami.” Lalu Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya Jibril mendatangiku memberitahukan dalam dua sandalku ada kotoran.” (H.R. Abu Daud)[2]
maka pengertian “qazran” dalam hadits ini kemungkinan bermakna kotoran-kotoran yang masih dianggap suci seperti dahak dan lainnya sebagaimana dijelaskan al-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-muhazzab[3] dan Abu Hasan al-‘Imrani al-Syafi’i al-Yamani  dalam al-Bayan fi Mazhab al-Syafi’i.[4]  Dengan demikian bukan bermakna najis yang menjadi pembahasan kita di sini.

Catatan :
Sebagian ulama (termasik qaul qadim Syafi’i) berpendapat apabila seseorang shalat dalam bernajis tanpa diketahuinya, kemudian setelah selesai shalat dia sadar bahwa dia shalat dalam keadaan bernajis, maka shalatnya sah dan tidak perlu mengulanginya lagi, karena beramal dengan hadits di atas. Jalan pendaliliannya, Nabi SAW dalam kisah hadits di atas shalat dalam keadaan bernajis sandalnya, tetapi begitu selesai shalat beliau tidak mengulanginya lagi shalat.[5] Ulama yang berpendapat wajib mengulanginya lagi berpendapat bahwa makna “qazran” dalam hadits ini kemungkinan bermakna kotoran-kotoran yang masih dianggap suci seperti dahak sebagaimana telah dijelaskan di atas.








[1]. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 74, No. Hadits : 336
[2] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 133, No. Hadits : 13
[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. III, Hal. 163
[4] Al-‘Imrani al-Syafi’i al-Yamani , al-Bayan fi Mazhab al-Syafi’i,  Dar al-Minhaj, Juz. II, Hal. 109
[5] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. III, Hal. 163

5 komentar:

  1. Assalamu alaikum tuan guru,

    Saya ingin menanyakan sedikit ttg bab ini. bagaimana kalau kita sedang berada di dalam kendaraan dan terjebak macet sehingga tidak memungkinkan kita sholat seperti biasanya,tetapi kita orang yg muqim,bukan dalam perjalanan jauh (tidak cukup syarat utk jamak). apakah harus sholat ihtiram waktu atau bagaimana? mohon penjelasannya ttg hal ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. beberapa bulan telah lalu di langsa aceh, pernah diadakan muzakarah ulama muda se aceh, (kami salah adalah seorang peserta) tentang seperti pertanyaan sdr.

      2. kesimpulannya apabila tidak dalam keadaan musafir, maka jamak shalat dalam kondisi terjebak macet tidak dibolehkan.

      3. karena itu, solusinya kalau tidak mungkin shalat dengan turun dari mobil, maka shalatnya adalah shalat bagaimana yang dimungkinkan sebagai shalat hormat waktu saja. tapi kalau mungkin turun dari mobil, maka wajib shalat sebagaimana shalat biasanya.

      wassalam

      Hapus
    2. ohya, shalat untuk hormat waktu (ihtiram) harus di ulang kembali pada saat sdr sudah dalam normal kembali

      Hapus
    3. Terimakasih tuan guru atas jawaban dan penjelasannya.semoga Tgk. Alizar selalu sehat agar senantiasa bisa terus membimbing kami.aamiin

      Zuhdi,
      Jakarta

      Hapus
  2. terima kasih tuan guru, karya tulismu sangatlah bermanfaat bagi kami...
    baarokallahu lak
    izin copy

    BalasHapus