Pada dasarnya syari’at kita, menganjurkan menyegerakan pengurusan
jenazah, memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkannya. Karena itu,
al-Syairazi dalam kitabnya, al-Muhazzab
menjelaskan sebagai berikut :
ويستحب الاسراع بالجنازة
لِمَا رَوَى أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال اسرعوا بالجنازة فان تكن صالحة فخيرا تقدمونها
إليه وإن تكن سوى ذلك فشرا تضعونه عن رقابكم
“Dianjurkan menyegerakan
urusan jenazah karena hadits riwayat Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda : “Segerakanlah pengurusan jenazah. Karena, jika jenazah itu baik, maka
sudah sepantasnya kalian mempercepatnya menuju kebaikan. Dan kalau tidak
demikian (tidak baik), maka adalah keburukan yang kalian letakkan dari
leher-leher kalian.”[1]
Hadits Abu Hurairah yang dikutip al-Syairazi di atas adalah
hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim.[2]
Namun
demikian, perintah menyegerakan ini dapat ditoleransikan dalam beberapa kasus
sebagaimana keterangan para ulama yang menjelaskan rincian hukum menunda pengurusan jenazah berikut ini :
1.
Dalam
kitab Mughni al-Muhtaj disebutkan :
(وَلَا
تُؤَخَّرُ) الصَّلَاةُ (لِزِيَادَةِ مُصَلِّينَ) لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ
«أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ» وَلَا بَأْسَ بِانْتِظَارِ الْوَلِيِّ عَنْ قُرْبٍ
مَا لَمْ يُخْشَ تَغَيُّرُ الْمَيِّتِ.
تَنْبِيهٌ شَمِلَ كَلَامُهُ صُورَتَيْنِ: إحْدَاهُمَا إذَا
حَضَرَ جَمْعٌ قَلِيلٌ قَبْلَ الصَّلَاةِ لَا يُنْتَظَرُ غَيْرُهُمْ لِيَكْثُرُوا.
نَعَمْ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَغَيْرُهُ: إذَا كَانُوا دُونَ أَرْبَعِينَ
فَيُنْتَظَرُ كَمَالُهُمْ عَنْ قُرْبٍ؛ لِأَنَّ هَذَا الْعَدَدَ مَطْلُوبٌ فِيهَا،
وَفِي مُسْلِمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّهُ يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ
لِلْأَرْبَعِينَ.
قِيلَ: وَحِكْمَتُهُ أَنَّهُ لَمْ يَجْتَمِعْ أَرْبَعُونَ
إلَّا كَانَ لِلَّهِ فِيهِمْ وَلِيٌّ، وَحُكْمُ الْمِائَةِ كَالْأَرْبَعِينَ كَمَا
يُؤْخَذُ مِنْ الْحَدِيثِ الْمُتَقَدِّمِ، وَالصُّورَةُ الثَّانِيَةُ إذَا صَلَّى
عَلَيْهِ مَنْ يَسْقُطُ بِهِ الْفَرْضُ لَا تُنْتَظَرُ جَمَاعَةٌ أُخْرَى
لِيُصَلُّوا عَلَيْهِ صَلَاةً أُخْرَى بَلْ يُصَلُّونَ عَلَى الْقَبْرِ نَصَّ
عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ؛ لِأَنَّ الْإِسْرَاعَ بِالدَّفْنِ حَقٌّ لِلْمَيِّتِ؛
وَالصَّلَاةَ لَا تَفُوتُ بِالدَّفْنِ.
“Tidak ditunda
shalat karena menunggu bertambah orang shalat berdasarkan hadits shahih berbunyi
: “Segeralah pengurusan jenazah” dan tidak mengapa menunggu wali dari tempat
yang dekat selama tidak dikuatirkan berubah mayat. Tanbih : mencakup kalam
tersebut (Tidak ditunda shalat karena menunggu bertambah orang shalat) dalam
dua bentuk, yakni salah satunya apabila hadir jama’ah sedikit sebelum shalat,
maka tidak ditunggu selain mereka supaya banyak. Namun Zarkasyi dan lainnya berpendapat
apabila apabila jama’ah itu di bawah empat puluh orang, maka ditunggu
orang-orang yang dekat agar sempurna jumlah empat puluh, karena jumlah ini
merupakan jumlah dituntut dalam shalat. Dalam hadits Muslim dari Ibnu Abbas :
“Sesungguhnya beliau menundakan shalat karena menunggu empat orang”. Dikatakan,
hikmahnya bahwa tidak tidak berkumpul empat puluh orang kecuali dalamnya ada
seorang waliyullah. Hukum seratus orang sama dengan empat puluh orang
sebagaimana dipahami dari hadits terdahulu. Bentuk yang kedua adalah apabila
telah dishalati oleh orang-orang yang gugur fardhu dengan sebabnya, maka tidak
ditunggu jama’ah yang lain supaya mereka shalat lain atasnya, akan tetapi mereka
ini shalat saja atas kuburan. Telah dinash oleh Imam Syafi’i tentang ini,
karena menyegerakan penguburan merupakan hak mayat, sedangkan shalat tidak
hilang dengan sebab penguburan” [3]
2.
Ibnu
Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj menyebutkan :
وَلَا تُؤَخَّرُ) أَيْ لَا يُنْدَبُ التَّأْخِيرُ (لِزِيَادَةِ
مُصَلِّينَ) أَيْ كَثْرَتِهِمْ وَإِنْ نَازَعَ فِيهِ السُّبْكِيُّ وَاخْتَارَهُ
وَتَبِعَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَالزَّرْكَشِيُّ وَغَيْرُهُمَا أَنَّهُ إذَا لَمْ يُخْشَ
تَغَيُّرُهُ يَنْبَغِي انْتِظَارُ مِائَةٍ أَوْ أَرْبَعِينَ رُجِيَ حُضُورُهُمْ
قَرِيبًا لِلْحَدِيثِ أَوْ لِجَمَاعَةٍ آخَرِينَ لَمْ يَلْحَقُوا وَذَلِكَ
لِلْأَمْرِ السَّابِقِ بِالْإِسْرَاعِ بِهَا نَعَمْ تُؤَخَّرُ لِحُضُورِ
الْوَلِيِّ إنْ لَمْ يُخْشَ تَغَيُّرٌ وَعَبَّرَ فِي الرَّوْضَةِ بِلَا بَأْسٍ
بِذَلِكَ وَقَضِيَّتُهُ أَنَّ التَّأْخِيرَ لَهُ لَيْسَ بِوَاجِبٍ
“Tidak
menunda yakni tidak disunatkan menunda shalat untuk menunggu bertambah jumlah
orang shalat yakni banyak mereka, meskipun al-Subki telah membantahnya dan
telah memilih dan mengikuti pendapat al-Subki ini oleh al-Azra’i, Zarkasyi dan
lainnya bahwasanya apabila tidak dikuatirkan berubah mayat, maka seyogyanya
menunggu seratus atau empat puluh orang yang diharapkan dekat kehadiran mereka
karena ada hadits Nabi atau karena ada jama’ah lain yang tidak sempat
berjama’ah bersama mereka. Tidak menunda shalat tersebut adalah karena perintah
yang terdahulu untuk menyegerakan pengurusan jenazah. Namun demikian, ditunda shalat karena menunggu
kehadiran wali apabila tidak dikuatirkan berubah mayat. Dalam al-Raudhah,
diibaratkan dengan tidak mengapa hal itu, maksudnya menunda tersebut bukanlah
wajib.” [4]
3.
Dalam
Nihayah al-Muhtaj, Imam al-Ramli mengatakan :
(وَلَا
تُؤَخَّرُ) الصَّلَاةُ عَلَيْهِ أَيْ لَا يُنْدَبُ التَّأْخِيرُ (لِزِيَادَةِ
الْمُصَلِّينَ) لِخَبَرِ «أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ» وَلَا بَأْسَ بِانْتِظَارِ
الْوَلِيِّ إذَا رُجِيَ حُضُورُهُ عَنْ قُرْبٍ
وَأَمِنَ مِنْ التَّغَيُّرِ، وَشَمِلَ كَلَامُهُ مَا لَوْ
رُجِيَ حُضُورُ تَتِمَّةِ أَرْبَعِينَ أَوْ مِائَةٍ وَلَوْ عَنْ قُرْبٍ
لِتَمَكُّنِهِمْ مِنْ الصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ حُضُورِهِمْ خِلَافًا
لِلزَّرْكَشِيِّ وَمَنْ تَبِعَهُ،
“Tidak ditunda
shalat atas mayat, yakni tidak disunnatkan menundanya karena menunggu bertambah
orang shalat, berdasarkan hadits Nabi, “Segerakanlah pengurusan jenazah” dan
tidak mengapa menunggu wali apabila diharapkan kehadirannya dari tempat yang
dekat dan aman dari berubah mayat. Kalam tersebut (tidak ditunda shalat)
mencakup apabila diharapkan kehadiran sempurna empat puluh atau seratus orang,
meskipun kehadirannya dari tempat yang dekat karena memungkin mereka shalat di
atas kuburan setelah mereka hadir. Pendapat ini berbeda dengan pendapat Zarkasyi
dan ulama yang mengikutinya.”[5]
Dalam mengomentari pernyatan Imam al-Ramli di atas,
Syibran al-Malasy dalam Hasyiah ‘ala al-Nihayah menjelaskan sebagai berikut :
(قَوْلُهُ: لِتَمَكُّنِهِمْ
مِنْ الصَّلَاةِ إلَخْ) يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ لَوْ عَلِمَ عَدَمَ صَلَاتِهِمْ
عَلَى الْقَبْرِ أَخَّرَ لِزِيَادَةِ الْمُصَلِّينَ حَيْثُ أَمِنَ تَغَيُّرَهُ،
وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ مَا تَقَدَّمَ بِالْهَامِشِ عَنْ سم عَلَى مَنْهَجٍ عَنْ م
ر (قَوْلُهُ: خِلَافًا لِلزَّرْكَشِيِّ وَمَنْ تَبِعَهُ) حَيْثُ قَالُوا
يَنْتَظِرُونَ إلَخْ فِي مُسْلِمٍ «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ
مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إلَّا
شُفِّعُوا فِيهِ» وَفِيهِ أَيْضًا مِثْلُ ذَلِكَ فِي الْأَرْبَعِينَ اهـ ابْنُ
حَجّ.
هَذَا وَجَرَتْ الْعَادَةُ الْآنَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ
عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ دَفْنِهِ فَلَا يَبْعُدُ أَنْ يُقَالَ: يُسَنُّ
انْتِظَارُهُمْ لِمَا فِيهِ مِنْ الْمَصْلَحَةِ لِلْمَيِّتِ حَيْثُ غَلَبَ عَلَى
الظَّنِّ أَنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ عَلَى الْقَبْرِ، وَيُمْكِنُ حَمْلُ كَلَامِ
الزَّرْكَشِيّ عَلَيْهِ
“Perkataan
pengarang : “karena memungkinkan mereka shalat di atas kuburan” dipahami bahwa
apabila dimaklumi mereka tidak akan shalat di atas kuburan, maka ditunda shalat
untuk menunggu bertambah orang shalat seandainya aman dari berubah mayat. Atas
pemahaman ini dipertempatkan perkataan yang sudah dahulu pada hamisy dari Ibnu
Qasim atas Manhaj dari Imam al-Ramli. Perkataan pengarang : “berbeda dengan
pendapat Zarkasyi dan ulama yang mengikutinya” dimana mereka mengatakan,
menunggu dan seterusnya. Dalam Shahih Muslim ada hadits Nabi berbunyi : “Tidak
ada seorang muslim yang dishalati atasnya oleh umat muslim yang mencapai
jumlahnya seratus orang, semua mereka memberikan syafa’at bagi mayat kecuali
diberikan hak syafa’at kepada mereka bagi mayat” dan dalam Shahih Muslim juga
terdapat hadits seperti ini, tetapi berjumlah empat puluh orang. Demikian Ibnu
Hajj. Perhatikanlah, telah berlaku adat sekarang bahwa manusia tidak akan
shalat atas mayat setelah menguburkannya, maka tidak jauh bahwa dikatakan
disunnatkan menunggu mereka karena hal itu ada mashlahah bagi mayat seandainya
ada dhan yang kuat bahwa mereka tidak akan shalat atas kuburan dan sedangkan
kalam Zarkasyi memungkinkan dipertempatkan atasnya.”[6]
4.
Dalam kitab I’anah
al-Thalibin disebutkan :
)وقوله إلا لولي ) أي إلا لأجل حضور ولي الميت ليصلي عليه فإنه
تؤخر الصلاة له لكونه هو المستحق للإمامة لكن محله إذا رجي حضوره عن قرب وأمن من
التغير
“Perkataan pengarang : “kecuali karena menunggu wali” yakni
kecuali karena menunggu kehadiran wali mayat supaya walinya itu dapat
menshalatinya, maka dapat ditunda shalat karena menunggunya, karena wali lebih
berhak menjadi imam tetapi pada posisi apabila diharapkan kehadirannya dari
tempat yang dekat dan aman dari berubah mayat.”[7]
Kesimpulan
1.
Pada
dasarnya syari’at kita, menganjurkan menyegerakan pengurusan jenazah,
memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkannya.
2.
Dalam beberapa kasus dibolehkan menunda shalat atas mayat
karena faktor kemaslahatan, antara lain :
a. Menunggu kerabat mayat yang
memungkinkan hadir dari tempat yang dekat apabila menunggu tersebut tidak mengakibatkan
keadaan mayat berubah. Alasan menunggu kerabat ini adalah karena kerabat lebih
berhak menjadi imam shalat atas mayat sebagaimana penjelasan kitab I’anah
al-Thalibin di atas. Karena itu, menurut hemat kami apabila kerabat tersebut tidak
bertindak menjadi imam shalat sebagaimana kebiasaan yang terjadi di sekitar
kita selama ini, maka wali mayat tidak perlu ditunggu.
b. Menunggu kerabat mayat dengan
ketentuan di atas bukanlah wajib
c. Menunggu sempurna empat puluh atau
seratus orang jumlah jama’ah. Ini apabila ada dhan yang kuat bahwa mereka ini
tidak akan shalat di atas kuburan apabila tidak sempat shalat atas mayat
bersama jama’ah pertama. Adapun apabila ada dhan yang kuat mereka akan shalat di
atas kuburan kalau tidak sempat shalat atas mayat bersama jama’ah pertama, maka
tidak perlu menunggu mereka ini, karena mereka dapat melaksanakan shalat di atas
kuburan saja. Syibran al-Malasy sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas,
mengatakan bahwa pendapat Zarkasyi dan ulama yang sepaham dengannya memungkinkan
di pertempatkan dengan pemahaman point (b) ini, sehingga pendapat Zarkasyi
tersebut tidak bertentangan dengan pendapat kebanyakan ulama syafi’iyah
lainnya.
3.
Apabila mayat sudah dishalati oleh orang-orang yang dapat
gugur kewajiban shalat dengan sebabnya, maka tidak perlu menunggu jama’ah lain
untuk menshalatinya, karena mereka memungkinkan shalat di atas kuburan saja.
[1] Al-Syairazi, al-Muhazzab,
(Dicetak bersama Majmu’ Syarah al-Muhazzab), Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.
V, Hal. 235
[2] Al-Nawawi,
Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. V, Hal. 235
[3] Khatib
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal.
537
[4] Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir,
Juz. III, Hal. 192
[5] Al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 27-28
[6] Syibran al-Malasy,
Hasyiah Syibran al-Malasy ‘ala al-Nihayah, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, hal. 28
[7] Al-Bakri
al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II,
Hal. 132
Saya ingin bertanya Teungku, Apakah mauizah seusai shalat jenazah dan sebelum menguburkan mayat ada dilakukan oleh Rasulullah? Apakah tidak termasuk menunda-nunda menguburkan mayat?
BalasHapus1. menyampaikan mau'izah (memberi peringatan/nasehat ) sebelum penguburan jenazah pernah dilakukan Rasulullah SAW sebagaimana hadits berikut :
Hapushadits al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ,فَجَلَسَ رَسُولُ اللهِ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرُ وَفِي يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فِي الْأَرْضِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: اسْتَعِيذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ -مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا-…. الْحَدِيْثَ
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada acara mengantar jenazah seorang pria dari kaum Anshar. Kami sampai ke kuburan sementara lahadnya belum siap. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dan kami pun duduk di sekeliling beliau seakan-akan di atas kepala-kepala kami ada burung. Di tangan beliau ada kayu untuk mencocok cocok di tanah saat berpikir. Kemudian beliau mengangkat kepala dan bersabda, ‘Berlindunglah kepada Allah dari azab kubur—dua kali atau tiga kali’ …. dst.” (HR. Ahmad,)
al-Haitsamy mengatakan, rijal hadits ini rijal shahih. hadits di atas selengkapnya dapat dilihat dalam Majma' al-zawaid (versi maktabah Syamilah ) Juz. III, Hal 49-50. No. 4266.
hadits senada dengan ini (memberi nasehat sebelum penguburan) juga diriwayat oleh al-hakim dalam al-Mustadrak, Juz. I/93 yang kualitasnya shahih atas syarat bukhari dan muslim.
2. karena ini pernah dilakukan Rasulullah SAW, maka mau'izah sebelum penguburan termasuk penundaan yang dibolehkan. tentu ini selama tidak menyebabkan berubah mayat.
wassalam
kedua hadits di atas yang kami kutip berisi nasehat rasulullah tidak kami kutip keseluruhannya . nasehat Rasulullah dalam kedua hadits tsb lebih panjang dari yang kami kutip tersebut.
Hapus