assalamu'laikum
Apakah yang di maksud/defenisi ilmu TASAWWUF?
Bagaimanakah hukum belajar ilmu tasawwuf.apakah sama seperti kita belajar ilmu Tauhid dan Fiqih.Apakah sah tauhid.ibadah atau amalan kita tampa ilmu tasawwuf.
tolong penjelasannya
wassalam
Apakah yang di maksud/defenisi ilmu TASAWWUF?
Bagaimanakah hukum belajar ilmu tasawwuf.apakah sama seperti kita belajar ilmu Tauhid dan Fiqih.Apakah sah tauhid.ibadah atau amalan kita tampa ilmu tasawwuf.
tolong penjelasannya
wassalam
Jawab
1.
Syekh Amin al-Kurdi mengatakan,
ilmu tasauf adalah suatu ilmu yang dapat dikenal dengan sebabnya hal ahwal
jiwa, yang terpuji maupun yang tercela, cara menyucikannya dari yang tercela,
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan cara berjalan dan menuju kepada
Allah dan menyegerakan kepada-Nya.[1]
2.
Ibnu Khaldun mengatakan asal ilmu
tasauf adalah tekun beribadah,
memutuskan pertalian terhadap segala sesuatu kecuali Allah, hanya menghadap
kepada-Nya dan menolak perhiasan dunia. Selain itu membenci segala perkara yang
selalu memperdaya orang banyak sekaligus menjauhi kelezatan harta dan
kemegahannya. Tambahan pula tasauf itu berarti menyendiri menuju jalan tuhan
dalam khalwat dan ibadah.[2]
Kemudian beliau melanjutkan bahwa asal metode tasauf itu adalah semuanya
merupakan muhasabah jiwa atas suatu perbuatan atau meninggalkannya serta
membicarakan dzuq dan rasa yang didapati dari mujahadah kemudian tenggelam
dalam satu maqam dan seterusnya naik kepada maqam lainnya. kemudian mereka
mempunyai beberapa adab-adab tertentu dan istilah-istilah tertentu sesuai
dengan lafazh-lafazh yang berkisar di antara mereka.[3]
3.
Adapun hukum belajar ilmu tasauf
terdapat dua pendapat berdasarkan penelusuran kami dari beberapa referensi
pustaka. Ada yang berpendapat fardhu ain secara mutlaq. Pendapat ini dikemukakan
antara lain Syekh Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwirul Anwar[4]
dan al-Ghazali.[5]
Alasannya karena semua manusia kecuali
para anbiya tidak terlepas dari aib dan penyakit hati. Pendapat lain mengatakan,
apabila seseorang direzekikan Allah mempunyai hati yang baik tanpa perlu di bimbing
oleh ilmu tasauf, maka itu sudah memadai baginya dan tidak perlu belajar lagi
ilmu tasauf. Sebaliknya apabila hatinya tidak bersih dan tidak suci kecuali
dengan ilmu tasauf (sebagaimana kebanyakan manusia), maka ilmu tasauf itu
menjadi fardhu ‘ain baginya.[6]
4.
Namun tentu kewajiban belajar
ilmu tasauf ini tidak mesti harus mendalami hal-hal yang mendalam dan dalam
bentuk kajian yang tinggi dan pelik sebagaimana halnya kebanyakan kajian dalam
ilmu tasauf yang banyak dibicarakan orang. Jadi, cukup dan memadai dengan
kajian-kajian yang dapat membantu kita menjauhi sifat-sifat hati yang tercela seperti
‘ujub, dengki, dendam dan lain-lain dan mengisi dengan sifat yang terpuji
seperti tidak putus asa, ridha dengan qadha dan qadar tuhan dan lain-lain. Alhasil,
yang mengantarkan kita kepada yang wajib dijauhi dan wajib diisi hati kita dengannya,
maka itu menjadi wajib dan yang sunat dijauhi dan sunat diisi hati kita dengannya,
maka itu menjadi sunat. Misalnya selalu berzikir kepada Allah, mempunyai sifat
dermawan melebihi di atas kewajiban dan lain-lain.
5.
Tanpa ilmu tasauf tauhid dan
ibadah kita tentu sah selama syarat-syaratnya terpenuhi sesuai dengan yang ada
dalam dua ilmu tersebut. Namun apabila hati kita tidak bersih dan suci karena
tidak didukung oleh ilmu tasauf, maka tentunya tauhid dan ibadah kita tidak
bermakna dan kosong hikmah (misalnya ibadah dengan sifat riya, maka tidak
berpahala, meski terlepas dari kewajiban, contoh lain puasa yang tidak menjauhi
sifat mengupat/ghibah )
Demikian
, mudah2an bermanfaat
[1] Amin al-Kurdi,
Tanwirul Qulub ,Thaha Putra, Semarang, Hal. 406
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
Darul Fikri, Beirut, Hal. 467
[3]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
Darul Fikri, Beirut, Hal. 469
[4]
Amin al-Kurdi, Tanwirul Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 409
[5]
Al-Suyuthi, al-Asybah wan-
Nadhair, al-Haramain, Hal. 239
[6]
Al-Suyuthi, al-Asybah wan-
Nadhair, al-Haramain, Hal. 239
Tidak ada komentar:
Posting Komentar